Setelah dapat “Conditional Award” dari Chevening saya dapat banyak pertanyaan, “gimana sih bisa dapat beasiswa? Apa aja yang mesti dipersiapakan?”
Sebenarnya bisa banget tuh langsung googling aja, jawabannya udah banyak. Pertama banget, cari tahu dulu lah, beasiswa yang tersedia di Indonesia itu apa aja sih, terutama buat yang pengen belajar di luar negeri. Diantaranya ada LPDP – beasiswa dari pemerintah Indonesia, boleh pilih kemana aja kamu mau, universitas mana saja akan dibayarin, ditanggung juga kalau mau bawa keluarga – istri atau suami dan anak kandung ya, tapi usianya terbatas yaitu 35 tahun. Makanya saya tidak bisa ikutan, kepentok usia my man hahaha…. Sial betul!
Lalu ada beasiswa DAAD dari pemerintah Jerman, Stunet dari pemerintah Belanda, ADS dari pemerintah Australia, Fullbright dari Amerika dan yang terakhir Chevening dari Pemerintah Inggris. Ini adalah beasiswa yang saya sempat incar, pelajari dan beberapa malah sudah diisi formulir pendaftarannya.
Tapi sebelum googling jenis beasiswanya, yakinkan dulu, sudah siap ga sih buat belajar ke luar negeri? Lalu mau ambil jurusan apa?
Buat saya, butuh 7 tahun meyakinkan diri bahwa “this is the time” karena ada banyak sekali hal yang harus diselesaikan sebelum memutuskan untuk focus cari beasiswa. Mulai memikirkan mami saya dititipkan pada siapa, adik saya sudah siap merawat mami atau belum, tidak meninggalkan pekerjaan atau tanggungjawab, karena itu saya akhirnya memilih freelance. Dan juga apakah CV saya sudah cukup meyakinkan pemberi beasiswa untuk memberikan kepercayaan pada saya, punya cita-cita apa sih sebenarnya setelah lulus nanti?
Kalau soal jurusan, saya pernah berbagi hati. Antara terjun sebebasnya di dunia penulisan walaupun pengalaman minim atau focus pengembangan diri di isu yang udah sebenernya ngeletek, jurnalistik dan komunikasi atau nyerempet ke social entrepreneur. Karena ga focus pada maunya apa, saya ditolak loh masuk jurusan “Life Writing” di Goldsmith, University of London. Sadar banget emang belum cukup kuat alasan saya untuk ngejar jadi penulis, pengalamanan minim. Tapi minat jurnalistik, komunikasi dan social entrepreneurship itu ternyata bisa dikombinasikan dalam jurusan Political Communication atau Media, Campaign and Social Change. Syaratnya Cuma satu, pelajari benar-benar isi mata kuliah yang kamu akan ambil dan minati. Dari situ sebenernya kamu baru bisa nulis tentang motivasi yang menuntutmu untuk punya visi lima tahun ke depan.
Intinya sih, gelar master itu bukan untuk ambil tantangan baru, tapi upgrading kemampuan dan pengetahuan yang selama ini kamu punya, namanya juga mastering kan. Ssst kata “upgrading” itu mujarab loh saat kamu di wawancara nanti – nanti saya share lagi tips menghadapi pertanyaan chevening.
Apakah ranking kampus itu penting? Penting dan tidak penting. Buat saya sih bisa dapat ilmu yang bagus sesuai minat dan kampus berperingkat baik, ya Alhamdulillah. Kalau cuma ngejar peringkat kampus sementara kuliahnya tidak sesuai minat, ya sama aja boong, bisa jadi kamu tertekan nanti. Atau ada juga yang ga mentingin keduanya, yang penting bisa sekolah, gelar dari luar negeri dan masih bisa jalan-jalan hahaha. Ya ga salah juga. Balik lagi aja deh ke motivasi masing-masing. Buat saya sayang banget kalau jauh-jauh ke negeri orang, ga ngelmu sebanyak-banyaknya.
Rasanya pernah baca buku tentang seorang perempuan dengan prestasi sangat baik di sekolah dan hidupnya dan dia percaya diri bahwa dia cerdas, tapi begitu kuliah sekelas Harvard dia merasa “bodoh”. Bayangkan kamu ada di antara orang pandai sedunia, siapkah kamu merasa kecil?
Lagi-lagi tanyakan pada diri sendiri, mau apa sih belajar ke luar negeri?
Kalau saya, begini….
Berasal dari keluarga dengan 11 anak – saya ketujuh dari tiga istri papi, dan tinggal di daerah Bronx nya Jakarta dimana anak perempuan cuma bisa sampai SMA setelah itu menjajakan diri kalau mau punya uang lebih dan anak lelaki lebih banyak mati karena overdosis, saya Cuma ingin keluar dari lingkungan yang sedemikian. Papi dan mami saya selalu pesan, tidak ada warisan harta untuk anak-anaknya selain dukungan sepenuhnya kalau saya masih mau melanjutkan sekolah. Pada kenyataannya, papi pensiun persis saya tingkat dua, adik saya baru lulus sma dan si bungsu masih sekolah dasar. Artinya ga mungkin mengandalkan bea kuliah dari orang tua, karena itu bekerja sambil kuliah dan mengejar beasiswa jadi pilihan paling tepat. Maka dari itu lah juga, saya nyaris tidak bergaul di kampus, ga sempat kawan hahaha.
Hidup itu selalu penuh perjuangan yang menyenangkan buat saya, dan keinginan sekolah lagi itu harus kejar-kejaran dengan kebutuhan lainnya. Dan sialnya sekolah di Indonesia itu tidak pernah murah, kecuali rela belajar sesuatu yang tidak sesuai minatmu dan di kampus bukan harapanmu. Setelah survey sekian tahun, saya menyerah, kalau harus bayar sendiri, tentu tidak akan cukup budget saya untuk sekolah di Indonesia. Karena itulah jatuhnya harus cari beasiswa ke luar negeri, bonus terbesarnya, kualitas pendidikan lebih baik dan pengalaman hidup bertambah.
Itulah alasan kuat kenapa akhirnya saya jadi pemburu beasiswa bertahun-tahun. Persiapannya seperti yang disebut di atas yaa… kalau mau lebih jelas tentang masing-masing beasiswa itu, liat sendiri link di bawah ini yaa…