Semoga Semua Makhluk Berbahagia. Review Sacred Nature karya Karen Amstrong

Standar

Doa dari Agama Buddha mengawali tulisan ini, cocok merangkum tulis Karen Amstrong dalam buku ini. Dalam doa tersebut, Buddha mengajak kita untuk mendoakan bahagia untuk semua makhluk baik yang terlihat maupun tidak terlihat.

Semua agama mengajarkan kebaikan, dan kasih sayang. Tetapi sebelum agama-agama monolitik hadir, masyarakat di Cina dan India sudah mengenal energi supranatural yang hadir dalam setiap ciptaan, seperti hewan, tanaman, air, angin, api dan tanah, langit, matahari, bulan, dan Bintang. Dari ketiadaaan, menjadi ada, lalu kembali pada ketiadaan. Penciptaan bukanlah bentuk kekuasaan yang besar tapi kelemahan yang saling mengisi untuk menjadi kuat. Dan manusia hanya bagian dari semesta bersama isinya.

Penyerahan diri dalam semua ajaran agama dan kepercayaan, tidak sekedar berserah pada tuhan, tapi juga pada semesta yang tercipta. Sholat, semedi, meditasi adalah bentuk ritual bagaimana manusia kembali berserah, menjadi bagian dari semesta, mengikat kembali hubungan dengan sekitar, dengan tuhan dan dengan dirinya sendiri, melepaskan ego dan keinginan duniawi.

Dalam Al Quran, berulangkali disebutkan “apakah kamu tidak mendengar dan melihat?” bahwa kekuatan Allah nyata dalam ciptaannya di bumi dan di langit, pada gunung, lautan, hutan, hewan, tanaman. Menjaga harmoni hubungan antar manusia, manusia dengan Allah dan manusia dengan alam dan keharmonisan yang sama ada di semua agama, dalam Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, dan ajaran Konghucu. Lalu kenapa manusia melanggarnya?

Ahimsa adalah ajaran dalam masyarakat India untuk tidak menyakiti siapapun dan ajaran ini masuk dalam praktik keagamaan di sana, Hindu dan Islam. Kasih sayang dan rasa menghormati yang ada dalam lima hubungan di Konghucu yaitu kepada anak, kepada orang tua, saudara, masyarakat dan negara, tidak bisa dilakukan tanpa menjaga hubungan dengan alam yang membuatnya menjadi ada. Islam mengajarkan umat untuk beramal lewat zakat kepada kaum dhuafa, mengasah empati dengan puasa adalah bentuk bagaimana kita menjaga hubungan antar manusia dan berserah harta untuk keadilan bagi orang lain. Tapi bagaimana dengan kerusakan yang dilakukan yang membuat orang lain menjadi miskin karena kehilangan penghidupan dan rumahnya?

Sebelum demokrasi hadir di dunia barat, Konghucu sudah lebih dulu mengajarkan tanggung jawab individu dalam berpolitik. Bahwa setiap orang wajib berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, berpolitik dan memastikan sebuah kebijakan tidak mencederai rakyat dan alam, agar Bakti kepada Tian dan semesta tetap ditegakkan. Islam memperingatkan bahwa kerusakan yang dilakukan manusia dimuka bumi akan membawa petaka. Hindu dan Buddha menyebutnya sebagai karma.

Karen tidak tegas mengajak kita untuk mengutuk negara yang abai menjaga keseimbangan alam, pada pengusaha dan penguasa yang seringkali menggunakan dalil agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok dan memiskinkan rakyat dengan merusak alam. Karen mengajak individu kembali merefleksikan hubungan dengan alam, berjalan di alam tanpa headphone dan ambil foto lalu berbagi di media sosial. Karen mengajak kita duduk dalam diam, menikmati angin, memandangi kebesaran semesta di atas langit, benda-benda alam yang berputar pada orbitnya.

Tapi itu saja tidak cukup, karena seruan moral harus nyata dalam bentuk aksi. Membuat saya berpikir, apakah mereka perusak alam itu benar-benar beragama? Apa mereka yang menerima sumbangan dari para pendosa itu juga ikut dosa? Rumah ibadah yang megah dibangun dengan uang dari merusak alam, apakah bisa memediasi hubungan kita dengan Tuhan? Apakah Tuhan maha pemaaf bagi mereka yang merusak ciptaannya tanpa ada upaya mereka memperbaikinya?

Saya menikmati alam, duduk sambil menikmati angin dan debur ombak adalah suara terbaik dari alam begitu juga suara burung. Saya menikmati panas matahari dan hujan yang membasahi tubuh, menikmati gelap malam dan mensyukuri sinar pinjaman rembulan. Tapi ketika melewati log kayu besar yang tergeletak di antara perjalanan saya ke desa di Kalimantan, saya patah hati. Tiap kali melintasi lubang tambang, saya mengutuk. Atau ketika melewati hamparan kebun sawit, hati saya pilu. Saban membaca berita banjir bandang, saya marah. Karena di balik itu semua, yang celaka selalu mereka yang tak punya dan hewan juga tumbuhan tanpa daya.

Sesungguhnya, menjadi pemaaf bagi mereka yang membuat kerusakan sangat berat buat saya. Bahkan ketika Tuhan Yesus, dan Allah Swt memerintahkan kita untuk memaafkan musuh, dan mendoakan mereka, amarah saya sangat besar. Saya masih belajar menjadi manusia yang masih jauh dari baik menurut ajaran agama saya.

Tinggalkan komentar