Lewat kawan, saya akhirnya dipertemukan dengan Debbie Martyr, peneliti orang pendek dan harimau sumatera yang sudah tinggal di kaki Taman Nasional Kerinci Seblat selama dua puluh tahun. Selama ini saya hanya mendengar ceritanya dari kawan dan sebelum bertemu dengannya, saya google dulu profil Debbie, biar nyambung obrolannya.
“Debbie, kita ketemu dimananya di Brixton? Saya masih baru di sini.”
“Nanti kita cari tempat yang enak buat minum, yang penting ketemu dulu di Brixton. Saya juga sudah 20 tahun tidak di London, jadi juga masih baru.”
“Okay, selama ada Citymapper, saya tidak akan tersesat.”
“Apa itu Citymapper?”
Buat Debbie, London juga menjadi kota yang asing buatnya setelah 20 tahun. “Saya ini orang dusun,” katanya berkali-kali. Brixton pun dipilihnya atas rekomendasi kawan, dulunya ini tempat rawan banyak orang ditusuk, bisiknya. Tapi sekarang, “very fashionable and so expensive.” Apalagi ketika kami mampir masuk kawasan “Brixton Village” yang isinya deretan restaurant.
“English breakfast for 6 pounds… that’s mad,”lalu dia berhitung dalam rupiah.
Sambil minum anggur, yang harganya 200 ribu rupiah berdua, Debbie mulai cerita banyak tentang dusunnya di kaki Kerinci. Bahasa yang dia gunakan bercampur aduk antara bahasa Indonesia, Inggris dan Jambi, sedikit melayu.
“Kalau kito orang bekerja dengan orang dusun, ya harus belajar lah bahasa mereka supaya ada komunikasi.” Berkali-kali Debbie menjadi perantara obrolan orang Jakarta yang bahasanya “tinggi” susah dimengerti ke dalam bahasa Jambi, tepatnya bahasa di dusunnya.
Debbie sangat mencintai rumah yang dia siapkan untuk pensiun nanti. Di sana segalanya ada, mau makan apa pun tinggal ambil di kebun sendiri. Dia mengajak tetangga dusunnya untuk menanami kembali hutan yang hasilnya bisa dimanfaatkan, seperti pohon kepayang.
“Masak kamu ga tahu kepayang? Katanya anak Green Radio,”kata Debbie.
Untung Google siap sedia, oooh ini yang namanya Kepayang, kata saya. Ternyata minyak Kepayang bisa digunakan sebagai minyak goreng bahkan untuk obat. “Kalau sakit gigi, kumur aja pakai minyak Kepayang, nanti sembuh,”kata Debbie.
Kepayang bisa dipanen pada usia 7-8 tahun dan untuk masa 50 tahun hidupnya, buah Kepayang bisa terus dimanfaatkan untuk minyak. Saat ini dusunnya sudah mampu menghasilkan hingga 30 ton minyak Kepayang yang sebagian besar dijual ke Bali dan Jepang dengan harga 80-90 ribu rupiah perkilogram. Nilai ekonominya tinggi.
“Tidak cuma menanam tanaman produktif buat manusia, tapi orang juga harus menanam pohon untuk burung. Saya punya pohon beringin di halaman rumah. Iya itu buat burung lah.”
Ga cuma itu, Debbie sedang membuat ekowisata di dusunnya. Pada suatu hari, Debbie melihat induk beruang bersama anaknya bermain di pinggir hutan dekat dusun. Dari situ Debbie berinisiatif untuk membuat ecowisata sebagai penghasilan lain buat penduduknya. Kalau hutannya dijaga, nilai ekonomis yang diberikan pasti lebih buat masyarakat sekitarnya.
Bukan tanpa tantangan, ada banyak perusahaan yang mau masuk ke wilayahnya dan mereka harus ekstra bernegosiasi dengan tokoh adat dan pemerintah setempat agar hutan adat /rakyat bisa tetap ada.
Waktu saya tanya apakah Debbie masih bekerja untuk organisasi besar di Kerinci? Dia menjawab, dan jawaban ini akan saya selalu ingat,”Saya bekerja untuk tujuan saya sendiri, saya tidak bekerja pada siapa pun atau organisasi mana pun. Kalau mereka ada, itu hanya untuk mendukung saya.”
Sangat masuk akal mengingat sudah 20 tahun Debbie bekerja untuk hutan Indonesia, menjaganya lestari dan mencintainya sepenuh hati.
“Pastikan kamu datang berkunjung ke dusun saya ya. Nanti saya ajak jalan-jalan lihat beruang. Semoga saya masih ada di sana pas kamu datang,”pesannya saat kami berpisah di ujung jalan.
Saya sangat berharap kami masih diberi waktu untuk bertemu di lain hari, di Jambi, di Kaki Kerinci.