Monthly Archives: Oktober 2015

Nge-wine Cantik Bareng Debbie Martyr – Cerita Hutan Kerinci Di Tengah Kota London Yang Dingin

Standar

Lewat kawan, saya akhirnya dipertemukan dengan Debbie Martyr, peneliti orang pendek dan harimau sumatera yang sudah tinggal di kaki Taman Nasional Kerinci Seblat selama dua puluh tahun. Selama ini saya hanya mendengar ceritanya dari kawan dan sebelum bertemu dengannya, saya google dulu profil Debbie, biar nyambung obrolannya.

“Debbie, kita ketemu dimananya di Brixton? Saya masih baru di sini.”

“Nanti kita cari tempat yang enak buat minum, yang penting ketemu dulu di Brixton. Saya juga sudah 20 tahun tidak di London, jadi juga masih baru.”

“Okay, selama ada Citymapper, saya tidak akan tersesat.”

“Apa itu Citymapper?”

Buat Debbie, London juga menjadi kota yang asing buatnya setelah 20 tahun. “Saya ini orang dusun,” katanya berkali-kali. Brixton pun dipilihnya atas rekomendasi kawan, dulunya ini tempat rawan banyak orang ditusuk, bisiknya. Tapi sekarang, “very fashionable and so expensive.” Apalagi ketika kami mampir masuk kawasan “Brixton Village” yang isinya deretan restaurant.

“English breakfast for 6 pounds… that’s mad,”lalu dia berhitung dalam rupiah.

Sambil minum anggur, yang harganya 200 ribu rupiah berdua, Debbie mulai cerita banyak tentang dusunnya di kaki Kerinci. Bahasa yang dia gunakan bercampur aduk antara bahasa Indonesia, Inggris dan Jambi, sedikit melayu.

“Kalau kito orang bekerja dengan orang dusun, ya harus belajar lah bahasa mereka supaya ada komunikasi.” Berkali-kali Debbie menjadi perantara obrolan orang Jakarta yang bahasanya “tinggi” susah dimengerti ke dalam bahasa Jambi, tepatnya bahasa di dusunnya.

Debbie sangat mencintai rumah yang dia siapkan untuk pensiun nanti. Di sana segalanya ada, mau makan apa pun tinggal ambil di kebun sendiri. Dia mengajak tetangga dusunnya untuk menanami kembali hutan yang hasilnya bisa dimanfaatkan, seperti pohon kepayang.

“Masak kamu ga tahu kepayang? Katanya anak Green Radio,”kata Debbie.

Untung Google siap sedia, oooh ini yang namanya Kepayang, kata saya. Ternyata minyak Kepayang bisa digunakan sebagai minyak goreng bahkan untuk obat. “Kalau sakit gigi, kumur aja pakai minyak Kepayang, nanti sembuh,”kata Debbie.

Kepayang bisa dipanen pada usia 7-8 tahun dan untuk masa 50 tahun hidupnya, buah Kepayang bisa terus dimanfaatkan untuk minyak. Saat ini dusunnya sudah mampu menghasilkan hingga 30 ton minyak Kepayang yang sebagian besar dijual ke Bali dan Jepang dengan harga 80-90 ribu rupiah perkilogram. Nilai ekonominya tinggi.

“Tidak cuma menanam tanaman produktif buat manusia, tapi orang juga harus menanam pohon untuk burung. Saya punya pohon beringin di halaman rumah. Iya itu buat burung lah.”

Ga cuma itu, Debbie sedang membuat ekowisata di dusunnya. Pada suatu hari, Debbie melihat induk beruang bersama anaknya bermain di pinggir hutan dekat dusun. Dari situ Debbie berinisiatif untuk membuat ecowisata sebagai penghasilan lain buat penduduknya. Kalau hutannya dijaga, nilai ekonomis yang diberikan pasti lebih buat masyarakat sekitarnya.

Bukan tanpa tantangan, ada banyak perusahaan yang mau masuk ke wilayahnya dan mereka harus ekstra bernegosiasi dengan tokoh adat dan pemerintah setempat agar hutan adat /rakyat bisa tetap ada.

Waktu saya tanya apakah Debbie masih bekerja untuk organisasi besar di Kerinci? Dia menjawab, dan jawaban ini akan saya selalu ingat,”Saya bekerja untuk tujuan saya sendiri, saya tidak bekerja pada siapa pun atau organisasi mana pun. Kalau mereka ada, itu hanya untuk mendukung saya.”

Sangat masuk akal mengingat sudah 20 tahun Debbie bekerja untuk hutan Indonesia, menjaganya lestari dan mencintainya sepenuh hati.

“Pastikan kamu datang berkunjung ke dusun saya ya. Nanti saya ajak jalan-jalan lihat beruang. Semoga saya masih ada di sana pas kamu datang,”pesannya saat kami berpisah di ujung jalan.

Saya sangat berharap kami masih diberi waktu untuk bertemu di lain hari, di Jambi, di Kaki Kerinci.

debbie

 

Iklan

Selamat Datang Musim Dingin #mycheveningjourney

Standar

Jam 2 dinihari tadi, jam berubah, mundur 1 jam. Jadi beda antara Jakarta – London bukan lagi 6 jam tapi 7 jam. Daylight Saving Time atau British Summer Time, yang resmi dilakukan sejak 1916. Di Link ini kamu bisa lihat ceritanya dalam 90 detik.

http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/11953492/When-do-the-clocks-go-back-this-weekend-A-countdown-to-GMT-and-Daylight-Saving-Time-ending-October-2015.html

Pagi sekali saya bangun dan pertama yang dilakukan adalah ngecek jam di hape, apakah sudah berubah. Jam 6.30. Saya matikan hape dan nyalakan lagi, iya masih 6.31. Begitu melihat jam analog peninggalan mba Dewi, baru ngeh, kan hape setingan waktunya otomatis, berarti otomatis juga dia berubah. Lalu jam enam yang biasanya masih gelap, hari ini sudah terang. Keliwat deh subuhnya *alasan banget *toyor. Artinya saya mesti bangun lebih pagi lagi.

Hari ini ada janji bertemu kawan di Brixton. Karena mataharinya terik, saya pikir ga usah pakaian ala musim dingin yang bikin susah bergerak. Jadinya Cuma pakai kaos dilapisi sweater atau jumper kata orang Inggris, jaket tipis dan celana panjang lapangan tanpa lapisan. Tapi begitu jam 4 sore, baru deh berasa dingiiin banget. Baru inget… ini masuk musim dingin bedul… lu gimana sih nit. Otak langsung bertindak.. okay ini dingin.. dingiiiin…

Begitu berpisah dengan kawan, saya setengah berlari, menghindari dingin dengan maksud mau masuk ke dalam toko. Jam 5 sore, toko segera tutup, in 10 minutes katanya… huhuhu… lalu lari lagi ke toko buku, pun sudah tutup. Ga keburu ngincer diskon… duh

Sepanjang jalan orang orang sudah berpakaian tebal, dan berjalan cepat-cepat. Mungkin sama, secepatnya menghindari ruang terbuka. Beruntung kereta selalu hangat. Begitu tiba di Charlton Station, barulah saya buka aplikasi BBC Weather dan tercatat 8 derajat! Ngok, pantas dinginnya luar binasa dan ini masih akan turun lagi suhunya…

17.45… ketika saya tiba di stasiun Charlton, sudah gelap bak jam 7 malam, bulan bulat hampir sempurna tampak nempel cerah di langit malam. Semuanya benar-benar berubah… mulai besok, pakaian berlapis siap dikenakan…

Selamat datang musim dingin…. Brrrrr…..

“No Pain No Gain” – 3 Jam Berdiri Demi Benedict Cumberbatch #mycheveningjourney

Standar

Semalam itu sedang buang hajat kecil ketika Puji teman saya yang kuliah di SOAS (School of Oriental and African Studies) tetiba tanya apakah saya mau ikut ke Barbican Teater untuk menunggu Benedict keluar dari Teater Stage Door dan minta tandatangan, sukur-sukur bisa selfie dengannya. Tanpa pakai mikir saya bilang “IYAAAA, YUUKK,” padahal sebelumnya menolak ajakan Ben untuk makan bareng usai pemutaran film karena pasti akan pulang malam. Rumah saya jauh di tenggara kota London. Tapi untuk Benedict Cumberbatch seems distance doesn’t matter at all.

Pagi sebelum keluar kamar itu emang udah niat bawa buku biografi Benedict dan tiket Hamlet yang saya tonton minggu lalu, niatnya mumpung ada di tengah kota pengen sekalian nangkringin state door sekali lagi. Rasanya bakal mati penasaran kalau sampai pulang ke Jakarta ga dapat tandatangan dan ngeliat langsung lelaki yang bikin akang cemburu berat ini.

Tas saya hari itu penuh dengan makanan… terlihat seperti kebetulan, tapi semesta itu emang suka bekerja di luar nalar. Makanan itu jadi bekal kami berdiri di tengah dingin kota London dari jam 8 malam sampai sebelas malam.

Karena kami tiba jam delapan kurang dikit, kami bisa dapat di baris paling depan yang dibatasi pagar besi bersama dengan belasan penggemar Benedict lainnya. Sebagai informasi yaaa, penggemar Benedict itu perempuan perempuan dewasa gitu.. *tunjuk diri sendiri, kibas poni” ga ada abege berisik. Sebagian besar sudah dua tiga sampai lima kali ada di sana, bahkan ada anak Indonesia yang tinggal di Singapora menyempatkan datang ke London Agustus lalu untuk dua minggu berturut-turut menanti Benedict. Saya, untuk kedua kalinya. Saya ga pasang target besar, tandatangan di buku catatan essay dan kamera yang dipasang selfie. Kamera butut, bawaannya foto gelap terus. Ga papa deh asal Benedictnya keliatan.IMG_20151022_215517

Berdiri 3 jam di tengah dingin itu rasanya… di jam 10 malam, menguap kita kakak.. tapi harus sabar sabar… posisi saya berdiri ini udah pasti jadi rebutan semua orang yang ada di sana. Makin lama makin penuh. Satu persatu mendesak kami makin ke depan. Lalu salah seorang perempuan yang bertugas sebagai keamanan mengingatkan kami,”nanti kalau benedict keluar coba ya teriaknya dalam hati aja… aaaahhh gitu, tapi ga pakai suara. Kalau berisik Benedict ga mau keluar loh.”

Lalu semua menyamakan suara…. Sssshhhhhh……

Setengah sebelas malam… pemain Hamlet satu persatu keluar, saya menyodorkan buku dan mendapat tandatangan empat orang di antara mereka.

IMG_20151023_003519Hati saya makin degdegan, mulut meralap kalimat yang mau disampaikan kalau Benedict sampai di depan saya! “Thank you for helping me with English. Don’t stop producing audio book.”

“HELLOOO…” Kata Benedict begitu keluar pintu yang disambut dengan teriakan… aaaahhh…. Lalu shhhhh…. Ssshhhh….

Kilatan kamera foto dimana-mana, setiap orang cuma kebagian dua detik untuk bisa dekat dengannya saat dia kasih tandatangan. Puji teriak,”I flew from Indonesia, can I have a selfie with you?” yes kata Benedict… tapi kamera fotonya tetiba ngambek dan foto batal padahal dua kali Benedict kasih kesempatan.

IMG_20151022_225635

Tiba giliran saya…. saya bengong, beruntung ga mendadak pingsan atau menangis.. sayang bengong sampai lupa kalau bukunya belum ditandatangan…. Begitu ingat, saya sibuk berteriak, “please dooong…” yoi, pake doong…. Dan semua susunan kalimat itu menghilang… hilang….

Melihatnya sudah cukup… cukup… membuat saya jatuh cinta lebih dalam hahaha… duh Tuhan, terima kasih sudah menciptkan makhluk di depan saya ini… dia manusia, lelaki beneran nyata.. bukan lagi di depan layar laptop, televisi dan layar bioskop!

IMG_20151022_225647

Di luar itu semua, saya puas! Puas mewujudkan mimpi yang dibawa sejak 2012, berjumpa langsung dengan Benedict Cumberbatch, dan dapat tandatangannya. Meski kalau bisa meminta lebih, bolehlah suatu hari nanti kami minum kopi bareng.

Kata dessy savina,”ngelunjak lu”

Sekali lagi, saya percaya ga ada mimpi yang terlalu tinggi untuk jadi terbukti… hari ini mungkin tidak, tapi besok, cuma Tuhan punya rencana kan. Nicholas Saputra juga Cuma mimpi bertahun tahun sampai 2007 saya mewawancarainya dengan pertanyaan bodoh, lalu tahun berikutnya kami sudah minum kopi the poci bareng. Lalu dia selalu inget,”kita tuh pernah ketemu sebelumnya kaaan?” gue selalu bilang…”kagaaa” hahaha malu karena dulu pertanyaan bodoh yang muncul.

Skenario suatu saat saya dan Benedict mungkin akan sama… lalu saya akan cerita,”iya saya menunggu kamu berdiri kedinginan selama tiga jam dan sudah nyusun kata-kata lalu cuma bisa bengong begitu kamu di depan mata.” Jreng!

IMG_20151022_230154

Melindungi Sumbermu Sampai Mati – Catatan Kuliah Media Law and Ethic week 4

Standar

Butuh empat minggu sampai ketemu koneksi sama bapak professor yang nyentrik ini. Setengah mati tiga minggu sebelumnya untuk tidak tertidur saat kuliah umum dan berusaha nyambung di kelas seminar. Saking semangatnya, semua bahan dia masukin ke dalam folder mata kuliah yang bisa kami akses, tapi tanpa martikulasi yang jelas, minggu ini mau membahas apa sih. Sampai minggu keempat ini, saya ngeklik dengan tema bahasannya, tentang melindungi sumber berita, how to protect your source.

Kuliah umum kemarin dia buka dengan cerita saat masih bertugas di lapangan, 30 tahun dia jadi jurnalis radio bersama BBC dan sebagian besar bertugas sebagai jurnalis criminal, nongkrong di pengadilan kalau tidak siaran di studio. Suatu hari datanglah perempuan, istri dari salah satu terdakwa pembunuhan yang masih menjalani persidangan dan dengan nada sedih perempuan ini bilang,”apa kamu tahu dampak siaranmu tentang suami saya terhadap anak-anak kami?” kata si professor, sejak itu dia kayak ditimpuk, saat itu dia tahu bahwa sebagai jurnalis, broadcaster, kita harus peka sama dampak dari setiap ucapan dan berita yang kita sampaikan.

Kuliah seminar hari ini dibuka dengan pertanyaan saya,”apa jawaban anda ketika perempuan itu datang?” panjang lebar dia bercerita, dan berkali-kali dia minta maaf jika menyakiti perasaan anak-anaknya. Bagaimana pun yang “jahat” adalah si bapak, tapi anak-anak ikut menderita, dijauhi secara sosial.

Sekali lagi dia berpesan, you should realy really careful on what you are saying, think about others, respect other, not only your listener but the community.”

Pertanyaan saya berikutnya,”it would be hard to do when you are live broadcasting or live report.” Dia mengakui itu, tapi itulah fungsinya produser di ruang siaran untuk menjaga agar ucapan tetap teratur dan tidak menyinggung atau berdampak negative pada pendengar.

Tiba ketika dia bercerita tentang wawancaranya dengan salah seorang narasumber yang tidak ingin disebut namanya. Saya kembali bertanya,”bagaimana kalau ada orang yang tahu siapa dia dari suaranya? Lalu dituntut, dan bagaimana kekuatan “off the record” untuk melindungi narasumber?”

Jawaban dia panjang sekali, tapi singkatnya begini

  1. Ketika wawancara terjadi, pastikan narasumbermu tahu bahwa ada alat rekaman yang dipakai. Minta izin boleh tidaknya merekam percakapan, kalau tidak boleh, respect!
  2. Lalu tawarkan, apakah dia bersedia disebut sebagai narasumber, atau ini akan jadi “off the record”
  3. Kalau ini adalah “off the record” keep all the information to yourself, not even your boss should know it! jaga rahasianya beyond the grave! Ga ada kompromi soal ini, ingat!
  4. Apa yang menjadi informasi “off the record” tadi Cuma jadi referensi untukmu mencari sumber lain.

Menjaga hubungan dengan narasumber yang tidak mau disebut namanya itu penting sekali karena ini soal kepercayaan. Professor nyentrik ini bilang,”what most important about being a journalist is the thing that you don’t tell or publish.” Ini soal hubunganmu dengan masyarakat sekitar dan terutama narasumbermu.

Pernah lebih dari 10 tahun jadi jurnalis, ini hal yang sebenarnya sudah dihapal di luar kepala. Tapi namanya di luar kepala justru lebih sering lupa, ga Cuma saya, tapi juga jurnalis lain di Indonesia. Bener kaan? Kadang sudah cuek sama narasumber begitu berita sudah naik…

Empat pertanyaan dari saya cukup membuatnya bicara selama satu jam, padahal kami Cuma punya satu setengah jam buat seminar yang biasanya dipakai buat praktek jadi pengacara, penuntut dan hakim. Saya sampai minta izin pada kawan-kawan sekelas untuk mengajukan dua pertanyaan terakhir, baru kali ini semangat membuncah. Tetiba merasa jadi anak baru yang lagi ngebet banget pengen liputan J

journalism

Datanglah Tanpa Prasangka #mycheveningjourney

Standar

Satu hal yang paling nyangkut di kepala setelah pelatihan fasilitator vibrat bersama Inspirit January lalu adalah menjadi orang yang bebas dari prasangka. Ketika datang ke negara orang, bebaskan isi kepala dari prasangka yang datangnya Cuma dari “katanya.” Ga gampang memang apalagi karena begitu sampai di sini tetiba saya merasa kenapa semua orang jadi “rasis” gini? Jangan tinggal sama orang dari negara anu karena jorok, orang dari negara itu juga, mereka berisik banget, dan sebagainya. Di kampus anak-anak dari negara anu terus terusan bergerombol, menguasai kelas… ini pasti ada.

Lalu masuk di kelas political communication, ada 14 orang mewakili 12 negara; Inggris, Itali, Swedia, Australia, Israel, Amerika, Palestina, Malaysia, Indonesia, Argentina, Brasil dan Mexico. Ini kelas paling seru dari yang pernah saya bayangkan. Hanya ada dua orang dari Inggris, selebihnya membawa pengalaman dan budaya yang berbeda. Begitu perkenalan ada kawan Palestina dan Israel, semua ternyata sepikiran… ini bakal seru banget. Selama empat minggu kuliah, baru kemarin mereka berada di satu kelompok, dan akrab… Alhamdulillah…. Mungkin masalah ribuan tahun bisa selesai dimulai dengan dua kawan ini.

Terlalu tinggi mimpi kami ternyata.

Seperti biasa, saban Senin malam, kami kawan sekelas menyempatkan diri untuk nongkrong bareng. Bahasannya ya ga jauh dari isu politik, cerita jadi mengembang kemana-mana. Ini seperti belajar dari teman tentang kondisi di 12 negara ini. Tapi semalam, keriaan itu tak terjadi. Ketika saya datang, betapa bahagianya melihat kawan Israel dan Palestina ini duduk sebelahan. Begitu duduk di dekat mereka, ternyata mereka sedang berdebat, apalagi kalau bukan soal konfilik. Kawan Palestina saya adalah lelaki pendiam yang cerdas, ga pernah kedengeran bernada tinggi, sampai tadi malam. Kawan Israel saya yang cantik ini juga cerdas luar biasa, walau kadang susah banget menerima pendapat orang . Jadilah perdebatan kusir itu terjadi di atas meja bar dengan bir dan anggur. Kawan lain berusaha menengahi, tapi mba Israel malah setengah membentak, “apa yang kamu bicarakan tentang kami adalah dari perspektif lelaki kulit putih.” Teman saya untungnya ga ikutan naik pitam… kami memisahkan topic dan membiarkan mereka lanjut berdebat, sambil berdoa, semoga ada cinta di antara mereka abis ini.

Setelah setengah jam saya mendengar mereka berdebat, akhirnya pada tarikan napas keduanya, tetiba saya samber topic lain, “siapa mau ikutan ke Itali? Atau mungkin kita bisa ketemu merayakan natal bareng?” barulah kemudian debat itu berhenti. Kesepakatan terjadi, kami akan berpesta tanpa isu politik.

Hari ini, kisah itu dibagi ke beberapa teman sekelas yang ga sempat hadir semalam. Kawan dari Amerika menyayangkan kalau sampai debat politik kita terhenti Cuma karena dua kawan ini bertensi tinggi. Justru karena kami sekelas belajar politik, seru abis untuk muntahmuntahin semua kebusukan politik di negeri masing-masing. Hmmm iya juga…

Teman dari Malaysia lalu bilang,”mari kita tidak berpihak pada siapa pun. Buat saya ini kali pertama punya teman Israel, saya ingin kenal mereka lebih dekat dari kawan ini, siapa tahu apa yang selama ini kita “diberitahu” adalah salah.” Saya bilang, terlepas apa yang terjadi di sana dan seberapa besar pengetahuan saya soal perebutan teritori Palestina oleh Israel, semuanya korban, dua kawan kami itu juga korban dari sejarah panjang politik busuk berkedok agama dan mereka jelas lebih tahu daripada saya. Jadi siapalah saya menghakimi kawan dari Israel ini, atau memihak buta kawan dari Palestina.

Saya datang dengan kepala bebas nilai, bebas prasangka, berteman dengan siapa pun tanpa memilih. Setiap kawan adalah sumber pengetahuan buat saya.

Lalu saya berbisik pada kawan dari Australia, “di Indonesia sebagian dari kami percaya bahwa “religion is your genital, keep it to yourself.”

Dia tertawa puas sekali, “please do tell that to the world Nita.”

Well I am now!

Bebaskan diri dari prasangka, dengan begitu baru kamu bisa menerima semua pengetahuan dan pengalaman dengan terbuka…

new cross house

Sebulan Pertama #mycheveningjourney

Standar

Hari ini sebenarnya sebulan lebih 1 hari ada di kota London, yang sepuluh tahun lalu cuma denger cerita Citra Prastuti tentang kerennya belajar dan tinggal di sini. Tahun ini rezeki saya untuk merasakan apa yang diceritakan Citra (yang ehem ngasih sederetan agenda kunjungan museum dan tempat-tempat keren di sini)

Saya masih belajar menyesuaikan diri dengan air panas dan dinginnya udara yang bikin kulit badan kering dan kepala jadi ketombean, tapi bibir sudah tidak lagi pecah-pecah loh. Makasih Vasel*** saya masih suka berantem sama rasa malas terutama pagi hari untuk keluar dari selimut, masih memaki dinginnya udara.

Soal makanan sih ga terlalu rewel, selama masih ketemu Indo**, restaurant dan toko asia. Bapak kos saya yang baik juga sering bikin masakan Indonesia. Lalu mamang Turki ganteng sebelah rumah yang menjual sayap ayam murah meriah. Yang belum sempet dijajal malah makanan kebanggan Inggris, Fish and Chips… maaf yaa.. tapi sebulan ini, saya terlalu banyak minum kopi. Saban hari bawa bekal makan siang dan sebotol kecil kopi Indonesia. Kopi di sini, sudah lah yaa…

Sebulan ini saya sudah punya tiga kelompok main di kampus saja. Ada kelompok teman sekelas yang maunya sih bisa kongkow seminggu sekali, ini udah kedua kali dalam tiga minggu pertemuan. Lalu kelompok Indonesia saya yang cuma berempat yang aktif, saban jumat mencoba menjadwalkan acara masak masakan Indonesia. Dan terakhir grup besar, 27 anak, Goldsmiths Chevening, yang berasal dari hmm.. Serbia, Bosnia, Argentina, Meksiko, Taiwan, Hongkong, Vietnam, Malaysia, Singapura, Laos, Syiria, Palestina, Iran, Mesir, Venezuela, Peru, Cuba, Brasil dan Bezile. Duh kayaknya masih ada yang belum saya sebut… buanyak. Tapi kami sebisa mungkin untuk saling kontak. Menjaga relasi sama kawankawan ini penting banget, pikirkan masa depan, setelah kelar semua tantangan ini J targetnya ya mengunjungi kawankawan ini di kampung halamannya hahhaa.

Saya belum cape pake bahasa Inggris, justru berasa kurang karena kemana-mana masih ketemu orang Indonesia, masih menulis dalam bahasa Indonesia J tapi saya beruntung karena tinggal dengan keluarga Inggris yang mengajari saya banyak hal yang khas dari negeri ini. Saya punya teman-teman yang beragam yang memaksa saya untuk terus berlatih bicara.

Soal kuliah, sebulan ini masih mencari cara belajar yang paling efektif buat saya pribadi. Jadwal begaul itu sungguh mengacaukan jadwal belajar sih sebenarnya. Tapi begaul juga bagian dari perjalanan saya kemari. Kalau Cuma mau belajar, ambil paket sekolah jarak jauh aja hahaha. Di sini waktunya berteman sebanyak-banyaknya dengan kawan darimana pun. Kesuksesan itu justru bergantung pada 60% aktivitas bergaulmu dengan kelompok terdekat, ya kawan-kawan di sini.

Sebulan ini sudah umrah ke Baker Street 221B, haji ke pertunjukan Hamlet – Benedict Cumberbatch, meski belum ketemu kang mas itu. Sudah mulai khatam jalur trayek bus dari dekat rumah ke pusat kota. Mulai kesel kalau diminta ke oxford street atau piccadily circus yang sumprit sumpek turis terutama di wiken. Punya dua lokasi langganan charity shop. Mulai pinter belanja online buat amazon dan TIKET pertunjukan, sudah naik kereta gantung aka Cabel Car, jalan menyusuri sungai Thames, foto dekat Bigben dan London Eye, berkunjung ke toko buku semua 1 pounds, ke primark yang murah luar binasa. Daaaannn sudah pegang tiket untuk konser HOZIER January nanti!

Masih banyak yang harus dikunjungi terutama keliling UK, berkunjung ke rumah mba Ulil di Wales dan Mba Yuyun di Cambridge, lalu ke lokasi syuting Leap Year di Dublin, ke Skotland juga… I will be there J Tapi belakangan merasa referensi kunjungan seni bergeser neh, maunya yang contemporary, experimental, sedikit gila dan expressive, dibanding ke tempattempat sejarah yang mengukuhkan cerita hebatnya Inggris menjajah negeri negeri ketiga di dunia di masa kolonialisme…

Anyhow… sebulan ini mulai terbiasa untuk jauh dari keluarga dan ga mewek lagi kalau kangen… I know, I am so mellow hahhaa… I am okay now J dan percaya bahwa saya dan akang akan baikbaik saja… huhu… stop sebelum mewek lagi, uhuk…

Menanti keseruan di bulan-bulan mendatang J

Big Ben

To Be Or Not To Be… To Sleep, To Dream or To Die… Mari Bermimpi Sekali Lagi Tentang Perjumpaan Kita, Ben!

Standar

“Hampir 85% penontonnya adalah perempuan, dan 90% di antaranya ga pernah kenal siapa Shakespeare si pengarangnya.” Begitu kata seorang kawan.

Begitu juga dengan Sherlock Holmes, yang justru menjadi besar dan mendunia ketika secara radikal diterjemahkan dalam kekinian dan dimainkan dengan sangat baik oleh Benedict Cumberbatch. Maka sudah paling benar untuk mengangkat lagi cerita klasik Hamlet dengan menjadikan Benedict Cumberbatch sebagai pemeran utamanya.

Tiket Hamlet sudah habis terjual sejak tahun lalu. Kalau saya berhasil menonton malam ini, itu karena keberuntungan bisa dapat tiket yang dibalikan ke Barbican teater. Butuh dua hari x tiga jam buat nongkrongin website resmi mereka untuk sebuah keajaiban tiket yang kembali, dengan harga yang tidak juga murah 65 poundsterling. Satu lagi mimpi yang jadi kenyataan karena sudah memantau Hamlet sejak tahun lalu dan ternyata bisa sampai di R31 stall, artinya di lokasi yang langsung menghadap panggung.

IMG_20151015_174825

Di ruang tunggu duduk remaja perempuan dengan dandanan yang sekenanya, jeans robek, kaos oblong dan tindik di bibir. Dia sudah dua kali nonton Hamlet, bukan sekedar suka pada ceritanya, tapi yang pasti mengejar tandatangan Benedict. Dia kasih foto-foto usahanya dia ngejar Ben, she is a hardliner cumberbabe. Dia dari Israel dan di London for long vacation… pasti bapaknya kaya hahaha… dan di dalam teater, barisan depan saya ada 8 pasangan dan mereka baru minggu lalu nonton Sherlock Holmes! Berbisiklah “He is awesome! We definitely will love this show!”

Penonton Hamlet akhirnya didominasi anak muda yang karena kekagumannya pada Benedict, mereka rela bayar tiket yang lumayan mahal untuk kenal Hamlet. Sepanjang acara, mereka menyimak penampilan dengan tenang, sesekali tertawa karena dialognya memang lucu. Ikut kaget ketika music menghentak. Terus terang bahasa yang digunakan dalam dialog sebagian besar asing buat saya karena memakai kosa kata Inggris lama, persis seperti Shakespeare tulis. Tapi secara keseluruhan saya mengerti isi ceritanya.

Tidak perlu panjang lebar menceritakan bagaimana saya sungguh terpesona, melongo, duh gusti orang ini memang keren banget, personal, tampilan. Saya pecinta teater, pernah bermimpi kembali ke dunia teater meski akhirnya Cuma bisa jadi penikmat. Malam ini 65 poundsterling saya sangat layak untuk membayar penampilan seluruh pemain di atas panggung beserta tata cahaya dan seting pertunjukkan, sempurna!

IMG_20151015_210726Yang membuat saya bertanya sepanjang pertunjukan adalah bagaimana kekasih hati saya, Benedict, ini bisa menjaga staminanya? Dia tampil setiap hari, sejak 5 Agustus – 31 Oktober dan tiga jam pertunjukan. Di akhir pekan, pertunjukan malah dua kali, jam 1 siang dan 7 malam. Di atas panggung, mereka berbicara tanpa bantuan mikrophon, bayangkan bagaimana suara mereka harus lantang, kencang dan bulat. Ketika marah, mereka harus membentak, berteriak, selama 3 jam setiap malam. Berlari dari kiri ke kanan, turun naik tangga, melompat, terjungkal… luar biasa!

Kostum yang digunakan tidak lebay mengikuti zaman 1500an saat Shakespeare menuliskannya. Benedict dan para pemain lainnya menggunakan kaos dan celana khaki, sepatu kets, sepertinya adidas J saat Hamlet menjadi “gila” barulah keluar kostum seperti penjaga kerajaan, atau saat ibu ratu Gertrude menikah dengan paman Claudius, sebulan setelah Raja Hamlet meninggal. Beberapa pemain yang menjadi petugas keamanan kerajaan di atas panggung juga bekerja rangkap membereskan property saat ganti adegan. Semuanya berlangsung cepat dan dibawa suasana langsung di atas panggung.

Why Shakespeare always wrote something in tragic? Why the main character has to die on his stories?

Saya tidak akan menjawab pertanyaan di atas karena ga cukup waktu buat riset dan terlalu serius. Cukup menjadi penikmat teater dan Benedict saja. Melihatnya di atas panggung malam ini, masih berasa seperti mimpi. Saya masih senyum sendiri di jam nyaris 1 pagi. Saya seperti melihat langsung Sherlock Holmes, the way he talk, move, angry… itu mirip banget dengan karakter yang dia mainkan di Sherlock. Semoga dia tak terjebak di karakter yang sama seperti kebanyakan artis di Indonesia.

Don’t push your luck too much, I supposed that phrase works for me! I was lucky enough to get the ticket but not his autograph. Dari banyak malam yang dia sempatkan keluar untuk memberikan tandatangan, tapi tidak malam ini. Padahal sudah siap untuk bilang, “thank you for your help me with my English test. Now I am here with the scholarship. And please don’t stop reading the audiobook. It helps me, surely will help others too with your English.”

Mungkin suatu hari nanti bisa punya kesempatan untuk menyampaikan kalimat itu langsung kepadanya. Suatu saat…

_85042334_hamlet3

Boleh Aku Mendengar Suaramu?

Standar

Sudah sebulan aku jauh darimu, menanggung rindu saban waktu. Di tengah buku yang kubaca, wajahmu muncul tiba-tiba. Kita bicara dalam tulisan, setiap saat. Tapi tak sama dengan mendengar suaramu. Walaupun percakapan yang terjadi akan sama seperti dalam tulisan, tapi suaramu menenangkan.

Boleh aku mendengar suaramu? Suara yang membuatku nyenyak tidur dalam senyum, kecuali saat diganggu dingin yang menggigit. Suaramu yang akan mengingatkanku bahwa kita punya janji besar saat aku kembali nanti. Suara yang akan menahanku dari banyak goda.

Suara yang sama, yang pernah mendendangkan rayuan cinta, menuangkan harapan untuk tetap bersama. Suara yang selama empat tahun terakhir membuatku tenang, bahwa kamu selalu ada menungguku pulang.

Aku tak sedang menguji kita, tapi sedang mewujudkan mimpi yang selalu menggelayuti yang jika tak teruruti bisa hinggap sampai mati. Dan kamu sangat mengerti itu.

Tak perlu drama katamu, setahun itu cuma sekejap… Tapi aku perlu mendengar suaramu untuk menenangkan hari-hariku. Besok, carilah sinyal yang kencang. Kalau perlu, naiklah kau ke atap dan jangan lupa beli data agar koneksi kita lancar di udara. Terbangkan doa cinta pada semesta, semoga kita tetap bersama.

Minggu Ketiga, Berbagi Cerita

Standar

Harusnya saya belajar malam ini karena besok ada kelas seminar. Tapi pertemuan dengan kawan-kawan dari kelompok Chevening di kampus tidak bisa dilewati. Selalu ada cerita yang layak saya tulis untuk dibagi dan merekam ingatan.

Tetiba di meja yang dipenuhi kawan dari Bosnia, Serbia, Argentina, Cuba, Vietnam, Malaysia, Indonesia (saya), Iran, Syiria dan Palestina bertebaran cerita perang. Kawan dari Bosnia bercerita bagaimana Yugoslavia terpecah menjadi Bosnia, Kroasia dan Serbia meski mereka berasal dari budaya yang sama. Kawan Bosnia saya bahagia sekali ketika tahu ada anak Serbia dalam kelompok kami, tetiba mereka mojok berdua dan asik bercerita dalam bahasa mereka. Itu minggu lalu. Malam ini giliran pelajaran sejarah yang mereka berikan pada kami.

Dari Argentina, kawan kami sibuk latihan sepakbola. Tadinya mau cari kegiatan mengisi waktu luang aja, tapi keterusan dan harus latihan tiga kali seminggu. Besok akan mewakili kampus dalam sebuah pertandingan sepakbola. Seru abis.

Di Iran, teman kami yang jurnalis ini selalu dibayang bayangi kematian. Dia bilang, suatu saat mungkin dia akan mati ditangan pemerintah. Kami bilang, kalau nyawamu terancam, pergilah ke Indonesia, Malaysia, Argentina, Cuba… dia punya teman di seluruh dunia. Dari dia saya baru tahu kalau sedang musim panas di Teheran, suhunya bisa sampai 40 derajat celcius dan musim dingin bisa mencapai minus 12 derajat.

Ada yang tahu negara Belize? Saya dan kawan dari Iran langsung ngecek di google map. Saya kira Belize ada di afrika, ternyata di karibia. Malunyooo… dan cuma ada 300 ribu orang di negara ini.

Waktu saya bilang, Indonesia punya 250 juta penduduk di 13 ribu pulau dan 12 juta di Jakarta, yang lain melongo… bagaimana bisa hidup di kota padat itu? Ah bisa aja ya ternyata, meski ga masuk akal.

Tapi dari cerita bergulir, semua tertegun prihatin dengan kawan dari Palestina. Dia meninggalkan anaknya yang berusia enam bulan bersama suami di Ramallah hampir sebulan ini untuk belajar di Inggris. Seminggu terakhir situasinya memburuk di kota itu. Belasan remaja dibunuh oleh tentara Israel, dan ga cukup sampai di sana, tentara Israel “menghukum” keluarga karena mereka dianggap bersalah membesarkan anak seperti itu dengan membom rumah mereka. Suami teman saya terpaksa mengungsi dari apartemennya karena dua remaja yang ditembak Israel adalah tetangga mereka. Tentara Israel sudah mengusir mereka dari rumahnya. Kawan saya ini bercerita sambil menahan emosinya, bagaimana dia bisa tidur tenang saban malam kalau suami dan anak enam bulannya itu hidup dalam kondisi perang?

Apa yang bisa kami lakukan saat mendengar cerita itu, selain diam, bingung berpendapat kecuali sama sama berdoa, semoga keluarganya selamat dan mereka segera berkumpul lagi. Kami tetiba merasa, rindu kami pada keluarga di negara yang “damai” ini ga perlu di dramatisir, karena di depan kami ada kawan yang harus berjuang menuntut ilmu dengan meninggalkan keluarganya.

Menutup perbincangan, kami merasa perlu lebih dekat satu sama lain, dengan agenda wisata bersama dan makan-makan. Setiap orang harus menyumbang masakan khas negaranya untuk dibawa ke perjamuan. Saya beruntung berada di antara dua puluh tujuh penerima beasiswa chevening yang punya banyak cerita.

 

Merekam Suara Kematian, Sebuah Sejarah Peradaban

Standar

jewel of ear

Kalau lihat poster tersebut, tentu dibayanganmu adalah pertunjukan sitar India yang mistis, sesuai dengan keterangannya yang berkaitan dengan funeral, pemakaman. Saya membayangkan menikmati sitar dan akan hanyut bersamanya, menangisi kematian.

Yang terjadi di dalam ruangan teater yang dipenuhi sekitar 30 puluhan orang, yang sepuluh menit pertama berkurang, terus berkurang, hingga tiga baris yang tidak lagi penuh. Saya bertahan, barangkali akan ada kejutan, di tengah, atau di akhir.

Adalah dua orang musisi idealis, kolektor piringan hitam, dan orang “gila”. Ini music eksperimental, ga tepat sebenarnya disebut music yang harusnya ada sebuah “harmonisasi” di antara alat alat yang mengeluarkan suara. Ini menggabungkan suara piringan hitam, rekaman audio dalam bentuk kaset dan eksplorasi ruangan dengan alat perekam yang menghasilkan “feed back” suara. Iyalah melengking, tidak ada nada dalam pertunjukan tadi, samar samar terekam sitar, suara nyanyian, suara orang bercakap. Melengking, sampai sampai sebagian besar penonton menutup telinga, seorang mahasiswa berbisik pada temannya, “When this will be end?” lalu tanpa sengaja dia berdahak kebanyakan soda persis di akhir pertunjukan ketika semua orang bertepuk tangan.

Sepanjang pertunjukan di kepala saya berpikir keras, maksudnya apa sih ini, apakah gue yang bego ga ngerti pertunjukkan tingkat tinggi ini?

Ternyata, kejutannya justru ada di sesi tanya jawab… oh iya, suara ajaib tadi berlangsung selama 45 menit. No wonder kalau banyak yang akhirnya mundur dari sisi penonton.

Dua orang di depan yang bermodalkan shellac records, gramophones, field recordings, feedback dan gitar tua 1960an, intinya itu bercerita tentang sejarah recording sebagai alat dokumentasi dan preserving human history through sound. Keren ga tuh. Suara suara lapangan yang ada dalam pertunjukan tadi adalah rekaman suara upacara pemakaman, saat kremasi dilakukan, disatukan suara feedback dari ruangan teater.

“Kenapa gramophones dan recording sounds justru lahir di Barat dan bukan di India, Cina atau Afrika? Karena di Barat melihat pada kebutuhan akan itu,”kata Gilles Aubry, yang punya project ini bersama Robert Millis. Dengan kekuatan teknologi rekaman itulah Barat kemudian menjadikan music India komersil, ya itu berkaitan juga dengan masa kolonialisasi Inggris terhadap India.

Justru dari suara yang memekakkan telinga itu, saya belajar sejarah manusia lewat rekamanan suara. Sebagai bekas jurnalis radio yang pernah dekat dengan Marantz dan masih pakai recording Sony, ga pernah kepikiran sebelumnya bahwa suara yang pernah saya rekaman, sesederhana apapun adalah sebuah sejarah!

Harusnya saya bisa merekam suara sepatu yang dipakai, bus yang ditaiki, dosen yang mengajar, debat yang terjadi di kelas, sampai suara dentingan piring dan sendok ketika makan siang. Saya bisa cerita nanti, tentang masa sekolah di Inggris.

Atau bisa saja, saya mewasiatkan pesan, kubur saya bersama alat rekam Marantz atau Sonny, sampai di suatu waktu diambil, dengarkan bagaimana saya perlahan habis mendaur bersama tanah dan cacing di dalamnya.