
Hore! Sampai di hari ke 200 masa pandemi, saya masih waras, sehat lahir dan batin. Saya masih di sini, dikelilingi oleh orang-orang tercinta, suami, kucing, tanaman, keluarga Cimahi dan Cinere, para sahabat yang selalu saling menjaga dan kerabat, sanak saudara juga kolega. Saya diberkati satu ponakan/anak baru, Azki yang hari ini usianya genap 1 bulan. Jadilah anak-anak karantina yang kuat, tabah dan penjaga bumi yang setia setelah semua ini berakhir.
Sama sekali bukan perkara mudah untuk menjaga kewarasan dan kesehatan fisik sepanjang 200 hari ini. Pernah muncul keinginan untuk menyudahi rumah tangga, pernah ingin pergi dari semua hal dan memulai lagi dari awal lagi segalanya. Merasa putus asa, merasa tak akan sanggup melalui semua ini. Semakin orang menyarankan sabar, kembali pada tuhan dan meditasi, semakin saya merasa terpuruk. Gaslighting dari sekitar, bahwa saya begitu lemah, cengeng, pendosa itu nyata. Bahwa kalau saya kalah dan menyerah, itu semata-mata salah saya. Meski tak langsung bilang ke saya, tapi menyatakan bahwa, it is not that bad to stay home, is one of the gaslighting that you give to others. Karena tak semua orang merasa hal yang sama. Begitu sedikit waktu yang dipunya, semakin jauh dari diri sendiri. Harusnya tidak seburuk ini, seharusnya saya bisa bangkit, kita semua bisa bangkit dan embracing this change.
Saya tak sendiri, 64,3% masyarakat mengalami cemas dan depresi karena Covid-19, begitu kata Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dikutip dari Tirto.id Juli 2020, angkanya bisa jadi hari ini semakin tinggi. Bagaimana tidak cemas, bapil yang dulu penyakit harian yang dianggap biasa, sekarang bisa jadi awal kematian. Mulai dari tak bisa tidur, kehilangan minat terhadap apapun, kekhawatiran akan tertular, khawatir pada kesehatan ibu dan mami yang sudah tua. Setiap hari akang pergi untuk sekedar beli ina inu seperti dia pergi ke medan perang, barangkali sama perasaannya saat melepas saya kerja ke Jakarta. Ketika Azki lahir, antara bahagia dan kesedihan luar biasa, bahwa dunia tak sedang baik-baik saja nak, bagaimana kami harus menyiapkan masa depan yang lebih baik untukmu besok hari.
Air mata jatuh tak terbilang banyak dan seringnya. Setiap hari ada saja berita duka mampir di media sosial. Dekat atau tidak dengan orang itu, saya tetap merasa sesak. Begitu dekat virus itu di sekitar saya. Kita tak lagi bisa melacak darimana datangnya dan kapan dia akan membawa kita pergi. Ini seperti cerita Venom, virus mencari “host” yang tepat untuk tumbuh bersama dengan manusia, jika tidak, dia akan memakan habis sel-sela di dalam tubuh calon hostnya. Hari ini dunia mencatat 1 juta orang meninggal karena COVID-19. Al fatihah untuk semua, semoga Allah mencukupkan surga untuk semua.
Saya marah. Marah pada politisi yang menjadikan pandemi sebagai taman bermain kekuasaan. Tertawa-tawa di atas kematian satu per satu nyawa warganya. Menganggap remeh sejak awal, mengatasi pandemi dengan ekonomi bagi-bagi kuasa, menyerahkan urusan kesehatan pada intel bukan medis, kenapa tak sekalian tembak aja virusnya bersama manusia si penderita. Saya marah pada politisi yang tetap berkumpul tanpa masker dan tertawa-tawa mengabadikan momen. Saya marah karena bukan pil penyelamat yang diutamakan tapi pilkada yang dijalankan. Bahwa virus ini menunjukkan wajah aseli kekuasaan negeri yang tak peduli pada masa depan warganya. Saya marah sampai kehabisan kata. Kalau besok saya tiada, bukan karena saya tak berdaya, tapi saya ditiadakan oleh sistem yang gagal mempertahankan saya untuk tetap ada.