Biasanya saya baru akan kasih komentar tentang buku kalau sudah selesai dibaca. Tapi novel 1984 karya George Orwell ini baru sampai halaman 100 aja, sudah kasih tiga kali mimpi buruk dalam seminggu terakhir. Biasanya juga saya akan cepat selesai baca novel, tapi karena satu dan lain hal, novel kali ini cukup makan waktu lama buat diselesaikan, selalu mentok sama urusan kampus.
Mimpi buruk pertama adalah di hari saya ulang tahun. Saya ada di sebuah bentrokan bersenjata, remaja lawan remaja. Mungkin perang antar gang, tapi berada di tengah situasi mereka saling tembak itu benar menakutkan. Saya tiarap di jalan untuk menghindari jarak tembak kedua pihak. Saya melihat teman dekat saya yang dalam kehidupan nyata sangat sopan, truly British gentlemen menjadi menakutkan. Dia memimpin kelompok militant, pemberontak dan dia bahkan tak sudi melihat apalagi menyelamatkan saya. Apakah dia musuh saya? entah. Saya menangis sejadinya, mungkin untuk dia, mungkin untuk perang yang menyeramkan, mungkin untuk nasib saya. Lalu kawan saya yang lain tiba di lokasi bermaksud meliput dengan kameranya, saya berlari menuju dia. Sambil mencengkeram kerah bajunya, saya berteriak sambil menangis… apa yang terjadi sama dunia ini?… saya terbangun sambil menangis.
Mimpi buruk kedua, saya ada di sebuah penjara, gelap dan menakutkan. Saya mencari jalan keluar. Tidak sendirian tapi tidak juga bisa membayangkan dengan siapa saya berusaha kabur itu?. Mimpi ketiga adalah pagi tadi. Di langit pesawat tempur berjajar, membentuk formasi untuk melindungi pesawat kepresidenan. Perang akan segera terjadi. Ketika bermaksud keluar rumah, intelejen mencegat saya dan memastikan bahwa saya adalah tahanan rumah.
Semula ga sadar bagaimana semua mimpi ini beruntun terjadi. Lalu ingat peringatan teman, dia bilang, ketika selesai baca 1984, dia mimpi buruk berminggu minggu… saya baru sampai 100 halaman dan sudah tiga kali mendapatkan mimpi buruk.
Saya rasa bukan karena buku ini menakutkan, tapi cerita di dalamnya begitu dekat dengan apa yang terjadi sekarang, hari ini. Saya takjub bagaimana cerita yang ditulis diakhir 1940-an itu bisa menggambarkan persis kejadian sekarang. Atau barangkali novel ini jadi panduan negara mengendalikan warganya.
Saya baru kelar melewati cerita tentang ‘Two minutes of hate,’ bagaimana negara dalam term Big brother memaksa setiap warganya menonton dua menit film tentang ‘musuh negara,’ salah satunya adalah seseorang yang menuntut agar demokrasi terjadi. Cerita itu begitu dekat dengan pengalaman pribadi. Kembali ke tahun 1980-an akhir, saya dipaksa sekolah menonton film Pengkhianatan Gerakan 20 September… ga cuma dua menit, tapi 271 menit!! Saya dan generasi saya dipaksa menonton dan bahkan bikin laporan tentang apa yang disaksikan….
Kamu tahu betapa itu menakutkan buat saya? Sejauh ingatan, saya cuma menonton 2 kali. Saya menolak menonton film itu! Saya rela tidak naik kelas dan dapat angka merah daripada harus menonton film itu. Saya menangis meraung-raung, ngumpet di kolong tempat tidur, menutup kuping dan mata, dan itu ga mengobati ketakutan saya. Rumah kami di petakan padat, percuma matiin tv, menangis, menutup kuping dan mata, ketika semua orang HARUS menonton film yang sama! maka setiap malam 30 September, saya ketakutan, sangat ketakutan! Saya tertidur setelah cape menangis… kadang tertidur dalam pelukan ayah saya.
Ayah saya, polisi, tapi dia ayah saya dan dia tahu saya menderita karena kewajiban itu. Dia lah yang menuliskan laporan tentang film itu saban tahun! Iyap saban tahun. Mana ada guru yang berani menegur ayah saya yang pagi setelahnya mengantarkan saya sekolah dengan muka bengkak habis menangis dan beliau berseragam lengkap…. Berani memarahi saya karena ga menonton, maka urusannya ya sama ayah saya… thank you pap!
Seingat saya tidak cuma kami diwajibkan menonton Pengkhianatan G20S, tapi juga pemberontakan PKI di Blitar 1948.. dan film yang dibuat untuk mencuci otak kami lainnya. Kamu pikir itu menyenangkan?! Itu memuakkan, menyakitkan, mengerikan!
Saya hampir lupa betapa memori menakutkan itu masih ada jauh di belakang otak saya, sampai di KBR ada acara menonton film Act of Killing by Joshua Oppenheimer. Tetiba rasa takut itu muncul lagi. Saya menolak menonton! Sampai hari ini saya tidak menonton film itu! Tidak! Tidak lagi takut yang muncul, saya Cuma bisa menangis dalam marah, iya saya marah! Kamu boleh menyebut saya berlebihan, tapi takut, sedih, marah, emosi trauma yang muncul tidak bisa saya sangkal.
September 2015, Goldsmiths University of London bikin acara nonton bareng The Look of Silence… kami ada empat orang Indonesia di antara puluhan mahasiswa Goldsmiths yang memadati ruangan sempit, betumpukan kami duduk di sana. Saya menangis sepanjang film… that is just too much for me! Damn bahkan menulis ini aja saya menangis… kacrut kacrut…
Sekuat saya mencoba untuk menuliskan cerita pribadi tentang pengalaman menonton film itu, atau bahkan berkeinginan menulis essay untuk tugas kampus tentang bagaimana Orde Baru melakukan propaganda lewat film ini, saya tidak bisa…. sama sekali tidak bisa menuliskannya… Iya saya marah. Masa kecil saya yang ceria terenggut saban 30 September. Sebagian dari saya ingin sekali melupakan trauma ini, tapi sebagian lagi ingin menyimpannya, sebagai sejarah kelam, bahwa saya dan generasi saya yang dicuci otaknya, menderita. Orde baru gagal mencuci otak kami… kami adalah korban propaganda kalian, kami tidak sebodoh itu menerima mentah-mentah apa yang dipaksakan pada kami.
Oh well, seperti juga saya melanjutkan hidup, halaman 100 dari novel 1984 itu pun harus dilanjutkan. Saya hanya perlu bertahan dari mimpi buruk yang mungkin kembali datang…. Cuci tangan, cuci kaki, minum susu hangat dan berdoa sebelum tidur, berharap mimpi buruk tak lagi datang….