Monthly Archives: Februari 2017

Tak Ada Perempuan di Pilkada DKI

Standar

Tidur akhir pekan saya kali ini sungguh terganggu usai menonton debat semalam. Saya kira tak akan ada hal baru yang ditanyakan karena jawaban semua paslon ya itu-itu aja sejak debat pertama. Apa pun pertanyaannya, jawabannya ga jauh dari perumahan apung yang dan 1 minyar untuk RW oleh Agus, foto cantik hasil  penggusuran bantaran kali dan KaliJodo yang jadi andalan Ahok, dan kartu Ok Oce yang jadi andalan Sandi serta dakwah Anies tentang Narkoba.

Begitu menyimak kembali text di layar TV tentang tema debat ‘ Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak’ saya langsung meradang. Seperti Jaka Sembung bawa golok, kaga nyambung G**…. Saya langsung sedih, sesedih sedihnya…

Belum selesai saya meringis melihat timeline FB saya yang bersih dari komentar soal penampilan moderator. Kalau moderatornya perempuan yaitu Ira Kusno, bukan isi debat yang muncul di status, tapi soal kecantikannya, usianya yang lebih dari 40 tahun dan status perkawinannya… what the fuck! Tidak ada satu timeline di FB yang mengomentari bagaimana cara Ira memimpin debat pertama yang menurut saya ketika itu terlalu grogi dan kaku dengan suara melengking yang bikin kuping saya terganggu. Sementara debat malam ini dipimpin oleh Alvito dan semua HANYA membahas isi debat! Tak ada yang mengomentari semakin klimisnya rambut Alvito, dan menurut saya Alvito lebih luwes memimpin debat.

Nyata betul bahwa perempuan cuma dianggap aksesoris layar kaca apapun latar belakang pendidikannya, segimana pun pintar dan berprestasinya dia!

Kembali ke tema debat tentang pemberdayaan perempuan malam ini.

Tidak ada dari tiga paslon yang keluar dengan program brilliant untuk melakukan pemberdayaan perempuan. Semuanya focus pada pemberdayaan PKK! Anies yang saya dengar sempat menyebut tentang banyaknya komunitas perempuan di DKI, eh sayang ujungnya meruncing lagi pada peran PKK!

Tidak ada yang salah dengan PKK, kecuali selama ini peran perempuan hanya dikerdilkan lewat PKK di ranah domestic! Mengurusi kesehatan anak dan membina keluarga. Itu artinya perempuan masih dianggap tak pantas ada di ranah public!!

Mpok Silvi saya rasa juga hanya dipasang sebagai templokan ada terlihat mewakili perempuan, padahal tidak sama sekali. Maaf ya mpok. Tidak apa apa. Bicara perempuan di panggung tadi malam, cuma ada Mpok Silvi, selebihnya lelaki, ga papa…mengutip teman-teman perjuangan, yang penting ada dulu aja nit, soal isi masih bisa dibenerin nanti… itu yang terjadi di kuota 30% perempuan di Parlemen!

Atau jangan-jangan pertanyaan tentang pemberdayaan perempuan juga hanya dimunculkan agar Nampak sebagai bentuk kepedulian tanpa tahu bahwa pertanyaan itu begitu sensitive?

Tentang bagaimana perempuan berdaya sebenarnya paling gampang melihat pada Gender Development Index, atau Indeks Pembangunan Gender, dia akan selalu hadir bersama dengan Indeks Pembangunan Manusia… oops, IPM ini sudah disebut padahal di debat satu. Tapi malam ini, para paslon lagilagi cuma focus pada:

  1. PKK
  2. Ahok yang marahin seorang ibuk – buat saya tak ada justifikasi untuk ini, apa pun alasannya.
  3. Foto dengan ibuk-ibuk sebagai indikasi kepedulian terhadap perempuan

Aaaahhh…. Saya sedih 😥

Dalam level nasional yang datanya diambil dari UNDP 2014  (http://hdr.undp.org/en/data) Indonesia ada di Medium Value of Indeks Pembangunan Manusia  dan dalam Indeks Pembangunan Gender masuk dalam grup 3  atau di Medium Equality dalam IPM antara perempuan dan laki-laki. Informasi apa saja yang ditampilkan dalam GDI?

  1. Jumlah kematian ibu melahirkan (kematian per 100.000 kelahiran)
  2. Jumlah usia perempuan melahirkan ( per 1000 perempuan berusia antara 15-19)
  3. Jumlah kursi di parlemen yang dimiliki perempuan. Tahun 2014 masih 17% dari 30% kuota nasional.
  4. Tingkat pendidikan perempuan
  5. Jumlah penyerapan tenaga kerja perempuan

Itu semua ada angkanya! Dari level nasional, semestinya semua paslon bisa dong melihat angka di tingkat provinsi lalu berdebat lah sesuai dengan tema yang ditentukan! Haloooo

Diluar dari 5 indikator di atas, persoalan perempuan lainnya adalah tentang KDRT – Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yang mestinya sih datanya gampang dicari, ini Jakarta Om dan Tante! Tentang perburuhan anak, apa kabar anak-anak pemulung yang jumlahnya ribuan di Jakarta. Tentang Perdagangan Manusia terutama perempuan dan anak di Jakarta….

Semua datanya bisa dicari. Jadi pengen tahu bagaimana perasaan kawan-kawan LSM Perempuan di Jakarta yang seperti tak dianggap ini.

No! waktunya tidak akan cukup untuk menjelaskan hal di atas.. really?!

Ini bukan soal waktu yang tidak cukup untuk menjelaskan program nyata apa yang akan dilakukan para paslon untuk pemberdayaan perempuan. Ini soal ketiadaan perspektif gender pada ketiga pasangan calon Gubernur DKI yang bakal memimpin Jakarta, barometer pembangunan Indonesia. Menyedihkan!

Waktu pun habis untuk saling serang dan bertahan pada persoalan yang menyerang pribadi, bukan mendebat isi program. Sedih saya ketika bicara perempuan, mereka menunjuk pada istri dan ibu juga ketua PKK tok.

Sebagai perempuan belum akan berkeluarga, kritis dengan persoalan social dan politik, the wander lust, dan masih punya semangat untuk terus belajar, saya merasa tidak ada, tak terwakili dalam politik negeri ini.

gender-trap

Iklan

Kopi dan Kita (5) _ (D)Espresso

Standar

Nada mengantri di depan kasir kedai kopi di kampus. Paul, barista, tersenyum menyambut Nada. ‘Regular soya capuccino with chocolate on top, right?’

‘Yes. You got it right Paul.’

Tanpa Nada ketahui, Mika sudah mengantri di belakangnya. ‘How come Paul knows your coffee better than me?’

‘Oh my God, not again. MIKA!’

‘Do you know my coffee Paul’ Teriak Mika pada Paul yang sedang meracik kopi pesanan Nada.

‘Yes sure do sir. You are Americano.’

Nada membayar dan pergi tanpa bicara pada Mika.

‘What now? Where are you going? Why do you so piss on me? Are we breaking up?

Nada membalikkan badan dan melotot…’Oh my God, you are such a pain in the ass!

Mika membututi Nada. Ini sudah hari ketiga sejak kejadian di Trafalgar Square, Nada menolak bicara padanya. Mika duduk di hadapan Nada

‘Look, I am sorry. Aku berlebihan.’

‘Memang.’

‘Jangan marah. Please. Aku tidak tahan kamu diam.’

‘I am not angry. Seperti kamu bilang, waktu kita terlalu sebentar untuk memelihara perasaan apa pun, termasuk marah.’

‘So are we cool?’

‘Yeah we are cool.’

‘I got seizure two nights ago, after sex.’

Nada hamper memuntahkan kopi dari mulutnya. Ini tidak mungkin terjadi. Dalam teori mana pun, sex buat tubuh relax. ‘How come?’

‘I know it was weird. It never happened before. I am sorry for her. She must be panic and I feel so bad for gave her trouble.’

‘She understands, you don’t want it to happen neither. You couldn’t help it. Where did happened? In her place?’

‘Yes. Before the ambulance arrive, I was awake and refuse to be taken to the hospital. I come back the next afternoon. She forced to taking care of me.’

‘I bet! Why you didn’t call me, I can pick you up from her place.’

‘You were angry with me. I really feel so lonely afterwards.’

Nina berdiri dan memeluk Mika.’I am sorry Mika. I promise, even if you are acting like a jerk, I will be angry of course, but I will keep talking to you.’

‘But I am not a jerk.’

‘Of course, you are not my dearest friend.’

‘Jangan pergi ya.’

‘Setiap kita akan pergi, pulang ke rumah masing-masing.’

‘I don’t want to hear that. Just don’t leave me. Stay.’

‘Hey, I am here for you… for now.’

Jemari Mika luka lagi, juga bibirnya. Dia menahan kejang.

 

Nada

Mari kuceritakan apa yang diderita Mika dan aku ingin dunia tahu agar aku tak sendirian menjaganya. Mika menderita epilepsy, dalam Bahasa Indonesia lebih dikenal dengan ayan. Iya penyakit yang penderitanya sering banget dicemooh atau dibully, dianggap sebagai penyakit memalukan. Itulah sebab mereka yang menderita epilepsy memilih diam dan hanya bercerita pada satu atau dua orang. Mika bercerita padaku setelah serangannya kumat di Jakarta, di depan kawanku yang panik setelah mati karena tidak tahu apa yang terjadi padanya. Kalau aku tak paksa dia cerita, barangkali sampai hari ini aku dan Mika hanya teman biasa. Tapi karena aku memegang rahasianya, dan dia merasa nyaman untuk berceirta denganku, maka kami tak bisa dipisahkan.

Kejadian dia terserang epilepsy malam dia kencan, barangkali kesalahanku. Badannya memang relaks dan santai, tapi kepalanya tidak. Dia pikir aku marah tak mau bicara lagi padanya. Kamu tahu masalah dia terbesar apa? Over thinking! That is it! Terlalu banyak mikir hal yang tidak seharusnya dipikirkan, memperbesar masalah yang sebenarnya kecil saja. Aku tidak semudah itu marah pada siapa pun, lagian cuma personalan Soya Capuccino, ya elah… Inggris mau nge bom Syiria tuh besar. Brexit tuh masalah besar. Kalau cuma aku kesal karena seolah dia ingin menguasai waktuku, ya sudah lah, aku tidak pikir itu sebagai masalah. Gemas!

 

Mika

Dia pasti pikir masalah Soya Capuccino itu kecil. Buatku tidak. Kamu tahu bicara soal penyakit ayan itu tidak gampang, tidak semua orang bisa mengerti, tidak semua orang will stand by your side setelah mengetahui hal itu. Penyakit ini seperti kutukan buatku. Dalam banyak cerita kutukan bisa dicabut, epilepsy itu tidak. Aku tahu aku bisa mati kapan saja ketika serangan itu datang. Setiap kali serangan datang, ribuan sel di otakku mati. Aku tahu aku tak boleh tinggal sendirian ketika serangan itu datang, aku tidak boleh stress, aku harus bisa mengantisipasi serangan itu, karena sebenarnya penanda itu ada. Tapi aku tidak bisa, mungkin aku lemah. Nada itu menyebalkan, dia tidak mengerti bahwa aku tidak bisa ditinggal sendirian. Kalau dia tak bisa menemaniku, paling tidak jangan membuat aku tambah pusing.

Iya malam itu harusnya aku senang-senang. I did. But she was on my head, god damn it! Dia buat aku terus memikirkan bagaimana kalau dia berhenti bicara denganku sama sekali? Lalu siapa yang bakal menemani hari-hariku di sini? It is my fault I know. I cannot help it. Maksudku kan bercanda, kenapa dia sensitive sekali sih. Mungkin dia sedang PMS. Aku harusnya bisa juga membaca mood nya. Tapi kan dia… ah sudahlah…. Dia bersamaku sekarang.

 

Narator

Maaf menyelak, menurutku penting untuk menjelaskan apa itu epilepsy dan bagaimana si penderita maupun orang terdekatnya bisa berjaga-jaga sebelum kejang-kejang itu datang. Epilepsy atau ayan itu adalah kelainan pada syaraf yang membuat si penderita kejang-kejang, kehilangan kesadaran. Sering diasosiasikan seperti aktivitas listrik dalam otak dan biasanya memicu penyakit lainnya untuk muncul. Apa yang muncul kemudian dari kejang-kejang itu? Pada Mika adalah luka-luka, iyalah ketika kejang, tanpa sadar tangannya akan memukul-mukul, kakinya menendang. Lalu daya ingat berkurang, juga kemampuan untuk focus pada satu hal. Mood nya naik turun, mudah depresi dan cemas. Efek samping dari obat muncul dan berkurangnya kemampuan reproduksi. Terakhir, penyakit ini bisa menyebabkan kematian karena komplikasi antara kejang-kejang dan luka yang diderita.

Kematian!

Seharusnya Mika tahu kalau kejang-kejang itu akan datang.

 

Mika

I do know when it is about to come, thank you!

Narator

Jangan nyelak naratorlah… mau aku atau kamu yang menjelaskan?

Mika

Kamu saja. Cerita ini kan kamu yang punya.

 

Narator.

Thanks Mika. Jadi tanda-tanda kejang-kejang akan dialami oleh penderita epilepsy adalah perasaan yang aneh dan tidak bisa dijelaskan. Tiba-tiba mencium baru aneh, rasa yang aneh atau badan rasanya tidak jelas, bisa seolah-olah keluar dari ‘self’ diri sendiri. Ingatan yang loncat-loncat, sampai pada kejang di lengan, tangan dan seluruh badan, atau numbness, kebas, eh itu Bahasa pemakai narkoba, mati rasa, kepala pusing, dan lemas.

Bukan begitu Mika?

 

Mika

Yes. That is so true! Dan aku sudah pernah memberikan tanda-tanda ini pada Nada. She doesnot pay attention enough to me. Itu yang buat aku sedih, sakit hati. Nada harusnya mencatat ini, harusnya dia mencari tahu apa yang terjadi padaku, bahkan sebelum kejang-kejang itu datang. In the end of the day, you just have to realize that I am on my own, like always. Am I over thinking again? Bagaimana bisa aku memindahkan tanggungjawab hidupku pada orang lain. Nada punya hidupnya sendiri.

Tapi paling tidak, kamu mengerti kenapa Soya Capuccino itu bukan sekedar soya cappuccino buatku? Karena kalau aku depresi, aku ingin Nada relaks, dan membuat aku tenang. Tapi dia selalu tampak ‘sibuk’ untukku.

 

Nada

Please look everything from my side too. Aku tahu sesuatu bakal terjadi pada Mika setiap kali dia hilang konsentrasi ketika bicara denganku. Atau bahkan dia lupa apa yang terjadi kemarin, baru kemarin.  Suatu kali di kereta dia pernah bilang padaku kalau dia akan minta bantuan psikolog kampus untuk membantunya karena dia punya masalah dengan konsentrasi di kelas. Dia bilang ADHD, atau Attention Deficit Hyperactive Disorder, kesulitan untuk focus pada beberapa tugas dan subjek.

‘Loh bagus dong, artinya dalam satu waktu bisa kamu kerjakan semua hal.’

‘Itu beda Nada. Itu kemampuan multitasking. Sedangkan aku, tidak bisa mengerjakan satu hal sampai selesai, tidak ada satu pun bisa selesai kukerjakan. Essay semester kemarin, aku minta mundur sebulan tapi dengan rekomendasi psikolog kampus. Tapi hasilnya dong.’

‘Berapa?’

‘85’

‘What the fuck!’

Do you know how sad it is, tahu temanmu itu jenius tapi makin hari kemampuannya berpikir akan berkurang karena epilepsy? Sakit. Sedih!

ADHD nya itu bukan bawaan, yang bawaan adalah epilepsy-nya yang kemudian berdampak pada kemampuan Mika berkonsentrasi pada satu hal. Pantas saja dia suka mengusai meja di perpustakaan, tiba-tiba tak hanya buku, dia juga gelar kertas A3 untuk menggambar, lengkap dengan semua perlengkapannya. Tiga hal dia kerjakan bersamaan, tapi kemudian dia akan bilang, ‘Aku lelah. Jalan-jalan yuk.’

Aku merasa kalau sesuatu bakal terjadi pada Mika, tapi aku bisa apa? Kami tak tinggal bersama satu atap. Aku tidak bersamanya 24 jam. Sesuatu bisa saja terjadi padanya kapan saja.

 

‘Pindah ke Out of The Brew yuk.’

‘Kenapa? Sudah selesai baca bahan seminar besok?’

‘Belum. I need stronger coffee. Feeling Depresso’

‘Hahaha… the horrible feeling before coffee.’

 

otb_01

(Out of The Brew, London)

Be an Ethical Tourist, Pay Respect!

Standar

The more I learn about people and culture, the more I realize how little my knowledge is. That is how life to me is about learning…

I don’t know much about Bali but this is my story of four months in Bali, this beautiful island that rich with culture. I have seen little to say how people sometimes act like a shit and un-respect to local custom.

Back in history, Bali just like other places in Indonesia were naked. However, women have always been a central of attention in the history. Antonio Blanco admired the firm breast and the beauty of Balinese woman on every painting he made. Then somehow being naked equal to un-civilized, that we have to covered our body. We accept that as part of history… we are wrapped now.

Yesterday we saw women – foreign tourist with bikinis on the motorbike on the street. Woman with thin dress that showed the bra are everywhere. Man topless with short are everywhere. If you are a foreign tourist, everything seems acceptable. Even if it against the local culture, people tend to stay quiet to make a comment.

Few weeks ago, I stopped on motorbike at the red light. There were one family with two children on the motorbike next to foreign tourist with local woman. The tourist hands touching every part of the woman, on public, next to the children! How the hell I supposed to feel? I got annoyed obviously.

So many times, I have heard that Bali is heaven, you can do whatever you want to do. I do not feel comfy about it. I heard people just watch when a couple hit each other at my flat (before I stay there). No one complains when two men’s talking out loud at 2 am in the morning when others supposed to sleep tightly. Or girls just came back from work at 3 am and keep chating until 5 am in the morning. That’s not kind of ‘OKAY’ to bother others’ right of rest! That’s not OKAY to keep silent to violence.

It is NOT OKAY to looking at me un-respectfully like I am an easy local girl, and underestimate my brain. We can argue all the time, talk all the time, and look who got the brain now.

Bali is the Island of God. We respect God and His creation, including human being and nature. We respect God, and human, do pay the same respect to us as a human.

What I am trying to say is please be an ethical tourist, be human, pay respect to others. You can wear your bikinis on the beach, but not all around the place, oooh please… go topless on the beach, it means to be, but please wear your shirt as you enter the shopping mall or cafes, it is not a nude restaurant dude!

Pay respect to woman! Not all woman is a gold digger, and easy as you thought.

There is something called, Ethical Tourism which means tourism that benefits people and the environment in different destinations. It can offer a better income to families living in the area, by sourcing products and service locally.

In my perspective, it also means to respect locals (customs, culture and environment) and people who travel with ethic, let’s call them an ethical tourist.

To end, just because you have money, does not mean you can buy everything and act like shit whatever you like. If you are entered a new house,  show some respect to the house owner as we respect you as our guest.

respect-quotes-5

The Grass Root Survival Method In Sharing Economy Trend

Standar

It has been a debate of who gets the benefits from the Sharing Economy trend, do they really care about their ‘labour’? or is it just a new form of capitalism? The second surely is the answer, to me at least. Honestly, as a customer, I do enjoy the comfort service of Sharing Economy and their price is amazingly competitive, use the simple word, cheap!

I am using this online taxi both car and motorcycle since I got back from London. Especially now that I live in Bali, where there is no public transportation available. I have no choice but to use this Gojek and Uber everywhere I go. Yes, I cannot drive, and I don’t want to learn (now). I love talking to the driver and have learnt a lot from them about how they deal with this Sharing Economy capitalist.

sharing-economy

In Bali, once you are arrive in the airport, you will be drag by so many taxi driver to an ‘official counter’ for taxi. For a newbie in Bali, you wouldn’t know that you will be trapped! They will put a enormous price on the receipt. Last October 2016,  I had to pay IDR 200.000 for like 15 minutes away, my flat is only like 7km from the airport.

Then I learnt that you can use the Uber application. You need to arrange the meeting point away from the Taxi crowd, go to the departure entrance and meet the Uber driver there.  However, sometimes you cannot walk that far because your luggage is enormous. Then you need to come out with some PLAY, a theatre skill you somehow have inside…. My Uber driver told me a story:

‘One day I have to pick up a lady at the arrival gate. She pretends to be my sugar lady and she kissed me on the cheek.’

The conventional taxi is in danger of loss in this sharing economy trend. How they act to survive is by hating all the Uber and Gocar driver. Oh I should mention that in big city in Indonesia we have Uber, Gojek and Grab as the online taxi in sharing economy trend. Sometimes, the conventional taxi driver will check every car driver at the parking lot, whether he or she is a Uber driver or not. If they are being caught as the uber driver at the airport, the conventional taxi driver will do they harm, like punch him physically or broke the uber car.

The act of hatred is nurture by fear of losing their income. The vandalism is the reaction of their animal instinct to survive in the jungle of financial competition. That is make sense, yet, do not tolerate the violence.

When other is using violence to survive, I met others who adapt to the change to win the competition. These three type of sharing economy (Uber, Gojek and Gocar) are very competitive in the market, they are using lots of promotion that give pleasure to customer. As a customer, I would love to get the cheapest price, but for the driver, sometimes this promo rather killed them than increasing their income. I give you a story from other driver

‘Every time I see the promotional banner of Grab, 50% discount, it breaks my heart. I don’t get the rest of 50% from the normal price from the company. For Uber, I try not to take a customer who pay with Credit Card because the Uber never give us the money without being cut and it takes longer to receive them.’

So how you survive? I asked

I use three app on my phone, Uber, Grab and Gojek, he said. That is how I can tell the treatment of the company to their driver, which one is better and which one is worse. If Grab is on the promotional time, I turned off the app and go for Uber or Gojek, for example.

Other drive said that he also offers the customer a private service, means they don’t use app to travel around Bali. Price of IDR 500.000 for like 10-hours driver.

Yesterday I met a Gojek driver with the Uber helmet! Obviously, he is using two app for his motorcycle. Who’s to blame, he is just want to survive J

However, nothing more surprising than I have found to day. Since I was trapped IDR 200.000 by the conventional Taxi, I never want to take their service, ever again. I always use Uber when it is raining or I have to bring lots of stuff. I order one this morning. But I saw the blue taxi approaching and spontaneously I said NO! because I was waiting for my Uber. Then I checked the car number, damned! It is the Uber that I was waiting.

I asked how come he drive a conventional taxi but using apps too?

‘With this taxi, I can pick up the customer from the red zone of apps for Uber, Grab or Gojek.’

Does any of your colleague knows that you are using apps?

‘Oh, I don’t need to be worry at all. There many of my friends are also doing the same.’

Obviously, he knows that he would not be survive by depending on only one conventional taxi that has being left behind by many customers. He chose to adapt the trend rather than hating the competitor. It is natural act of survival, you can just stand still and gradually die or you adapting the change! I wanted to take picture of the taxi, but for his safety, I think I better share the story without his picture J

I was laughing as I got off the car, a cynical laugh to the capitalism. I read the paper how upset the Uber CEO with #banuber as the reaction of his decision joining Trump squad. He said please consider the uber driver!

Well sir, Indonesian is really know how to survive. They can just turn off the Uber and use other two at the same time 🙂

share_stephanie-mcmillan

Kopi dan Kita (4)_Soya Capuccino

Standar

You don’t meet people by accident. They are meant to cross our path for a reason – Unknown.

NADA

Jadi aku bertemu bertemu dengan Anthony di Trafalgar Square, saat menunggu Mika selesai dengan urusan rapatnya dengan sebuah rumah produksi. Mencari tambahan uang saku di London tidak mudah, antara jadi anak magang yang hanya diganti uang makan dan transport, atau kerja di bar. Mika ingin lebih, karena London ini kota yang mahal dan dia ingin sekali menonton semua drama yang sedang dimainkan di seluruh sudut kota. Mika ingin mengajakku menjajal semua kedai kopi yang terkenal di London, yang masih ada sejak London Fire 1666. Sementara tiga video yang dia buat cuma-Cuma buat kawannya, ini adalah proyek yang kata dia bayarannya lumayan. Tambahannya, daripada dia bayar orang lain untuk mengendarai mobil van untuk produksi film, honor itu pun disimpannya, dia yang nyetir dari zona satu ke zona enam London dekat bandar udara Heathrow.

Aku bisa bilang apa selain mengingatkan untuk tidak terlalu lelah, semakin dia stress dengan tumpukan kerjaan, badannya lelah karena kurang tidur, serangan itu akan semakin sering datang. Awalnya aku hanya mendengar dia cerita satu kali sebulan, sejak tiga bulan lalu, serangannya masih sering, dua kali seminggu. Itu artinya Mika sedang stress berat.

‘Sebaiknya menghangatkan diri di dalam Museum saja. Anginnya mengigit, nanti kamu sakit.’ Seseorang bicara di sebelahku, saat aku berdiri membelakangi museum memandangi orang yang berkumpul menikmati matahari yang sekali lagi bohong. Matahari London tak pernah benar-benar hangat.

‘Terima kasih. I’ll stay here, sedang menunggu teman.’ Kataku sambil tersenyum menghadap lelaki yang tingginya sekitar 180cm. Matahari persis di belakang kepalanya.

‘Aku juga. Aku Anthony,’ katanya sambil menjulurkan tangan.

‘Nada.’ Aku menyambutnya. Genggaman yang erat, senyuman yang ramah. Sudah kubilang dia tampan? Iya, dia tampan dengan kacamata tebalnya, jaket suade coklat, jeans dan berbalut kafiyeh di lehernya.

‘You are not from here, aren’t you?’

‘Bukan. Aku dari Indonesia.’

‘I am sorry for my bad geography, but where is Indonesia?’

Untung ganteng, aku maafin. Biasanya bikin ilfeel dan langsung kutinggal pergi. Tapi harus ingat, you are an ambassador of Indonesia here dan wajar kalau tak semua orang tahu dimana Indonesia.Tell him instead of leaving him. Ah there is no way I am leaving this handsome man.

‘If you ever heared about Bali, that is part of my country, Indonesia. We are in Asia and near to Australia.’

‘Ah Bali is on my bucket list to visit.’

‘Welcome then, let me know if you come to visit, I will show you around.’

‘So you don’t actually live here in London?’

‘I am a master student, shall be leaving soon in two months.’

‘Shit! So soon.’

Aku tertawa.

‘Don’t you ever think of staying here?’ dia bertanya sambil menatap mataku lekat-lekat.

‘I don’t know. I love my sunny country, London is too gloomy. How can you stand with this weather?’

‘Ah.. let me tell you something, ceritaku tentang cuaca. First, can you guess, where I from?’

‘Like from Italia, or Spain but grew up here, karena aksen British mu kental sekali.’

‘Aku lahir dan besar di London memang, tapi orang tuaku dari India.’

‘Yang bener?! Kok bisa tidak kelihatan sama sekali?’ aku memberanikan diri menatapnya lekat-lekat. Dia tersenyum.

‘It’s up to you untuk percaya atau tidak. Tapi aku keturunan India. Do you want to seat somewhere and have a coffee with me?’

‘Sure. After you sir.’ Kataku membuka jalan.

‘No lady, after you.’

‘Thank you.’

Kami menyeberang jalan ke arah Parlement Square dan berhenti di Pret a Manger, kedai organic yang menyediakan ragam kudapan, kopi dan teh. Aku memilih Soya Capuccino dan dia Americano.

‘Aku alergi susu sapi.’ Kataku sebelum pertanyaan kenapa susu kedelai itu meluncur dari mulutnya. Iya, aku minum Soya Capuccino, tidak melulu kopi hitam, hanya sebagai variasi. Capuccino itu elegan, minuman untuk bersantai dan ngobrol, sedangkan kopi hitam pas untuk bekerja, menahan kantuk.

Kami memilih duduk di luar. Meski anginnya dingin, paling tidak masih bisa bertemu matahari. Telepon pintarku bergetar, persis ketika kami hendak meletakan pantat di kursi aluminium itu.

‘Kawanmu sudah datang?’

‘Belum, justru dia bilang rapat kemungkinan bakal panjang. Dia bilang sebaiknya aku menyusulnya ke Convent Garden daripada kedinginan di Trafalgar Square.’

‘Do you want to walk there?’

‘No, I rather stay here with you and hear your story about the weather.’

‘Are you sure?’

‘Yes.. hang on. It is my friend caling.’

Di seberang sana, Mika bicara penuh kekhawatiran.

‘Kamu lamban sekali membalas pesanku. Are you okay? Or are you with someone?’

‘Hmm… yeah. I am with friend.’

‘Bukannya sendirian tadi ke sini? Siapa?’

‘Teman. Tadi bertemu tidak sengaja di sini.’

‘I know all your friend.’

‘Oh my God. Just carry on with your work Mika. I am okay. I will wait for you here. Okay?’

‘You are with someone and you don’t want me to know. FINE! Enjoy! Get yourself warm and I will be there in one hour.’

Anthony tersenyum melihatku menggelengkan kepala. Mika….

‘Apa temanmu marah karena kamu tidak menyusul dia ke sana?’

‘No. Dia hanya memastikan aku tidak keberatan menunggu lebih lama, dan aku tidak kedinginan.’

‘Teman yang baik. Cheers.’ Dia mengangkat cangkirnya untukku. ‘Okay, aku lanjut. Jadi lima tahun lalu aku nekat pergi ke India untuk memulai hidup baru. Tepatnya di Goa. Hari pertama, wow, mataharinya terang sekali. I was so excited to go for a walk. Hari kedua, matahari bersinar tak kalah terang seperti sebelumnya, lagi, aku keluar rumah untuk jalan-jalan. Hari ketiga, keempat dan di hari kelima, aku bilang, ‘Dear God, just give me some cloud please if it is not rain.’

Aku tertawa, ‘really?’

‘Iya. I think constant weather is boring. Changes are good.’

Kami diam sesaat memandangi cangkir kopi masing-masing. Bingung memulai kata-kata dan hanya tersenyum ketika mata kami saling pandang.

‘Coba lihat sekeliling kita sekarang Nada.’

Aku memutar pandangan ke sekelilingku. Di meja seberang tiga perempuan duduk satu meja tapi tak saling bicara, ketiganya sibuk memandangi layar telepon genggamnya. Di belakang meja kami, lelaki muda dengan bukunya. Di meja lain, pasangan yang juga tak bicara, lagi-lagi sibuk dengan telepon genggamnya.

‘Dulu kedai kopi adalah tempat bertemu orang, berbicara, berdiskusi, berilmu. Bahkan gaya hidup hipster yang artinya anti mainstream itu sama tuanya dengan usia kedai kopi pertama di Inggris, sekitar abada 17. Ketika pemilik-pemilik kedai mulai melirik bisnis koran, kebiasaan ngobrol itu berganti dengan membaca. Orang datang ke kedai untuk numpang baca koran.’

‘Lalu zaman bergeser dan sekarang orang juga tak bicara satu sama lain di kedai kopi, tapi untuk bekerja lewat telepon genggamnya atau lewat laptop.’

‘Kita bukan bukan orang dong, karena kita ngobrol.’

Kami tertawa. Hatiku terasa hangat, oleh kopi dan oleh senyumnya dan pada kenyataan bahwa dia juga penggemar kopi.

‘Where is your friend by the way?’ tanyaku

‘Am I boring? No just kidding, let me check.’ Dia melirik jam tangan yang tak dapat aku tebak merknya. Mukanya berubah. ‘Oh shit! He changed the meeting point and I am 10 minutes late already. Wait here please.’ Anthony bergeser posisi untuk menelpon.

‘Nada, I have to go. It is a really nice to know you.’ Dia menjulurkan tangannya kembali dan aku sambung ‘ It is really nice to meet you too, Anthony.’

‘Cheers.’ Katanya sambil berlalu membelakangiku. Ada yang kesentil di dadaku, nyeri. Aku sedang membereskan isi tasku ketika lima menit kemudian dia berlari kembali ke arahku.

‘Hmm.. would you like to have a drink with me again, sometime, someday, later?’ Wajahnya bersemu dan gugup. Aku rasanya wajahku yang coklat ini pun berubah jadi tomat. ‘Yes, of course. I would love to.’

Giginya menyeringai mendengar jawabanku. Dia langsung mengeluarkan secarik kertas dan pulpen dari balik jaketnya dan memberikan nomor teleponnya. ‘Call me please.’ Dia menarik tubuhku dalam pelukannya yang erat dan berlari sambil menari.

MIKA

Wajahnya merona waktu aku menemuinya di Canada House Trafalgar Square. I knew there is something going on and she doesn’t want to tell me. Aku kesal. Sepanjang perjalanan aku diam, sekalipun dia berusaha mengajakku bicara, aku diam. Bukan soal cemburu, tapi aku merasa kami sudah sangat dekat sebagai sahabat, tidak perlu lagi merahasiakan apa pun dariku. Dia bilang, ini bukan apa-apa, belum apa-apa.

I don’t want her to get hurt. Sudah sering aku bilang, kita ini di London hanya sebentar, tidak perlu jatuh cinta, tidak perlu patah hati. Aku tahu, orang yang paling ceria adalah mereka yang hatinya paling rapuh. Nada tak beda. Aku tahu dia tegar, tapi tak bisa selamanya dia tegar, suatu kali dia akan jatuh dan aku ingin ada di sana menemaninya. Tunggu, aku bahkan tak ingin dia jatuh dan terluka.

‘How come you have a Soya Capuccino with him and an Americano with me?!’

‘What Mika? Really? Is it really matter?’

‘Yes, It Is! It means you never relax when you are with me! You need a strong coffee to keep you alert when you are with me. Am I some kind of an essay to you?’

Dia setengah berlari sewaktu bus kami tiba di halte, lalu kami duduk dalam diam.

soya-capuccino_google

(google picture)