Monthly Archives: Desember 2017

46 Buku di 2017, the last review of the year

Standar

Awal 2017 saya menargetkan setahun ini membaca 52 buku, apa saja. Fiksi, non fiksi, dalam bentuk buku, komik, manga, apa saja. Komik kata Bre Redana adalah literature yang terlupakan. Obelix dibuat berdasarkan cerita sejarah loh. Tapi saya ternyata bukan penikmat komik, di komik ke 7 kemarin, saya berhenti begitu buku Orhan Pamuk ‘Silent House’ datang. Karena itu pula, tulisan ini dibuat, karena sudah tidak mungkin mencapai target 52 dengan kehadiran buku terakhir yang 300an halaman ini.

Saya tahu kamu menanggapi target membaca saya ini dengan nyir-nyiran, sombong lah, sok pintar lah, pencitraan dan lain-lain. I am not reading book for your pleasure tentu saja. I am reading books for my own. I love books, reading is like breathing. Setelah beberapa bulan menikah, tinggal 24 jam bersama, suami saya yang pernah jadi pacar selama 5 tahun pun, baru beneran tahu kalau begitu halaman terakhir sebuah buku saya baca, lalu saya gundah.’Buku mana lagi ya? Yang, bukuku habis, antar ke toko buku yuk.’ Dan itu jadi kayak mantra, berulang-ulang, sampai akhirnya dia hidupkan motor, googling Periplus waktu itu, karena ga ketemu akhirnya ke Gramedia juga. Seperti janjinya  sebelum menikah, kemarin dia mulai bikin rak buku. Masih berbox-box plastik buku saya di rumah mami, siapkan dulu raknya, baru minta dikirim.

Seperti kamu yang hobi belanja sepatu, berapa pun harganya, sebanyak apa pun sepatu yang kamu punya di rak, tetap kamu beli. Atau kamu yang hobinya otomotif deh, mahal, ya kan, tetap aja diusahakan ada. So don’t mind me if I do buy dozen of books this year, more than a dozen, belum lagi yang didonlot gratisan dalam bentuk e-book yang tersimpan di Kindle saya. Ada belasan buku masih dengan plastiknya, tapi itu juga ga menghentikan saya untuk membeli yang baru. Lebih baik punya sekarang, daripada bukunya keburu hilang dari rak di toko dan sebelum saya ‘miskin’ lagi. Ada suatu waktu saya menjual kalung pemberian mami untuk beli buku, karena buku itu harus dibeli untuk tugas kampus dan tak ada yang meminjami, sedih. Akhirnya dijual deh buat beli buku.

Anyway, 46 bukan pencapaian karena kurang dari target, but I do have to reward myself for doing it so far. Meski senang membaca, tapi baru sejak kuliah di Inggris saya sadar betapa beruntungnya saya bisa dapat akses membaca sebanyak ini, dalam bahasa Inggris yang mungkin tidak banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya ingin membagi apa yang saya baca dengan orang lain. Itulah sebab, buku berbahasa Inggris yang saya baca, lalu saya rangkum ala-ala eh serius sih tapi istilahnya diterjemahkan bebas untuk dibaca orang lain dan berharap suatu saat buku-buku keren itu ada yang sudi diterjemahkan. Tapi sayang, sepertinya pasar Indonesia kebanyakan belum ke sana. Coba tengok Gramedia, yang paling banyak dapat titel ‘Best Seller’ adalah buku motivasi, lalu buku-buku tentang beragama, bukan tentang agama dalam sejarah, tolong bedakan, tapi lebih pada bagaimana hidup sesuai akidah (yang sangat tergantung pada penulisnya uhuk) baik bentuknya non fiksi dan sialnya banyak fiksi. Jadi buku-buku bertema kerusakan lingkungan, politik dunia, politik ekonomi, sejarah dan komuniksai massa, ya sudahlah wassalam. Kamu harus sedikit kerja keras dan keluar duit lebih banyak untuk mendapatkan buku-buku beginian di Indonesia.

Soal membacanya, right…. Saya mewajibkan diri membaca buku paling sedikit, sesibuk-sibuknya saya dengan pekerjaan dan urusan keluarga, adalah 2 jam setiap hari! Wajib, harus! Saya anak pagi, bangun sekitar jam 5 subuh, sambil mengumpulkan nyawa untuk mulai aktivitas, baca buku dulu sekitar 1 jam-an lah, bahkan bisa lebih. Jatah 2 jam bisa selesai di pagi hari, maka dari itu, target bisa dilebihkan, 4 jam deh. Dua jam lainnya bisa diambil menjelang bobo malam. Di sela-sela itu, bisa sambil makan siang di kantor, bisa sambil eek atau di dalam perjalanan, sambil nunggu temen di kafe, sambil nunggu meeting dan lain-lain. Saya sesekali sengaja keluar rumah, ke kafe, ngopi sambil baca buku, biasanya weekend. Everybody need a little me time, pastinya.

Tapi semua kembali pada prioritas hidupmu, bagaimana kamu mengatur waktumu dan untuk apa. Kembali ke atas, buat saya membaca seperti bernapas, ga usah diatur-atur lagi, ya memang sudah mengalir menjadi kebiasaan, kapan saja, dimana saja, saya sempatkan buat membaca. Buku selalu ada di tas saya.

Kenapa belum tercapai 52 dengan model begitu? Well, akhirnya memang kembali ke jenis buku yang dibaca. Kalau cuma baca komik, serratus setahun jadi target yang kecil. Buku paling berat tahun ini yang dibaca adalah buku Yanis Varousfakis, bekas Menteri keuangan Yunani yang menolak skema   bantuan dari Uni Eropa, lalu Yunani dinyatakan pailit aka sebagai sebuah negara (review no  ). Susah karena pada dasarnya saya bukan anak ekonomi, istilah yang digunakan tidak familiar buat saya. Jadinya kerja dua kali, buka google dan membaca hahaha… Paling enak membaca buku yang tulisannya mudah dimengerti, yang bisa selesai hanya dalam beberapa hari bahkan bisa Cuma semalam, seperti buku GOD by Reza Aslan. Buku yang memang sesuai minat, paling asik, mudah dan cepat selesai dibaca. Buat saya tulisan Naomi Klein itu seru, ada tiga bukunya selesai saya baca tahun ini.

Fiksi dan non-fiksi dibaca bergantian. Fiksi mengasah rasa, mengasah empati. Non-fiksi mengajak kita berlogika, berdebat, melakukan perhitungan. Membaca hanya satu jenis saja, akan membuat saya tidak seimbang. Hidup kan ga harus Cuma merasa, nanti habis waktu hanya baperan tanpa bisa menjelaskan dengan logika. Nah non fiksi memperkaya itu. Tapi non-fiksi saja tidak cukup. Cape kita diajak berdebat, berargumen, berpolitik tapi ga pakai rasa, ga pakai empati, nanti seperti satpol PP yang main gebuk PKL tanpa pertimbangan kemanusiaan.

Dua penulis non fiksi yang menurut saya sukses menyeimbangkan logika dan rasa dalam tulisannya adalah Naomi Klein dan Reza Aslan. Tulisan mereka sangat dekat dengan saya, kita, sesama manusia.

Untuk fiksi, saya masih setia dengan penulis-penulis favorit, Orhan Pamuk, Arundhati Roy, Dan Brown dan di Indonesia, Seno Gumira Adjidarma, Dee Lestari dan Eka Kurnia. Buku-buku mereka ada dalam koleksi 2017 ini.

Satu buku yang sudah dibeli beberapa minggu tapi belum selesai juga saya baca adalah buku Zero Poverty by Muhammad Junus, seperti ada yang salah saya rasa. Barangkali ternyata apa yang saya harapkan dari sosok ideal seorang Muhammad Yunus, tak tercapai dalam tulisan itu. Dua hal yang membuat saya berhenti sejenak membacanya untuk kemudian mencerna dan menerima perbedaan prinsip antara saya dan Muhammad Yunus, (halah, kaya seleb), ternyata Yunus mendukung Pasar Bebas dan penekanan dia pada kalimat ‘Orang miskin membayar lebih baik hutang mereka daripada orang kaya,’ lalu saya sedih…. I feel like he is exploiting the poor people instead of empowering. Anyhow, bukunya belum selesai saya baca, mungkin nanti saya berubah pendapat lagi.

Wokeh that is it for 2017 books, couldn’t wait to read more in 2018! 75 books to read as my target. Hiiyaaa… bisa, bisa bisa…

Iklan

CELUP-an Agama

Standar

Sekali lagi, blog ini dibaca lebih banyak orang pada postingan dengan judul Agama dan Seks (Susila). Kepingin ngikik karena ingat salah satu buku ‘How to Rob a Bank’, yang penulisnya sudah pasrah kalau bukunya bakalan ga laku. Menurut data penjualan buku di dunia, kata dia, paling laku ya tentang agama, entahlah apakah orang yang beragama masih perlu merasa diyakinkan tentang keyakinannya akan Tuhan? Yang kedua adalah buku motivasi diri, entahlah apakah mereka juga kehilangan semangat menghadapi hidup…

Ternyata benar saja, itu berimbas pada blog saya yang sebagian juga mereview buku tentang Agama dan Ketuhanan. Justru saking yakinnya pada keyakinan saya, lebih enak rasanya membaca buku pembanding. Saya seperti Reza Aslan yang sudah sampai pada tingkat spiritualisme. Tuhan ada di semesta, di sebelah saya, depan, belakang, di hati saya, di kepala saya. Apa pun nama Tuhan yang kamu sematkan padaNya, buat saya Tuhan ada di setiap kita. Bahkan menempel pada sepeda Saladin, makanya dia sering kuelus agar mau jalan dengan baik.

Jualan agama itu paling laku. Itu sebab, saya tak membatalkan niat untuk terjun ke dunia politik. Bok, kita mau jualan tentang demokrasi, perubahan iklim, ekonomi, ga akan laku tanpa menyisipkan isu agama di dalamnya. Jualan pluralisme yang menyangkut soal agama, nah itu laku!

Mau terkenal, bikinlah sensasi seperti CELUP. Kemunafikan menular dari generasi tua, calon ahli surga, pada anak micin, kemarin sore yang berusaha mengikuti jejak surga yang remah-remahnya ditabur di media. Salah siapa? Air tak pernah jatuh jauh dari talangnya.

Jualan agama di generasi muda sudah ada sejak zaman saya sekolah. Ibuk yang melarang saya ikut-ikutan rohis, ‘nanti kamu diajari yang enggak-enggak’. Sahabat saya nyaris tak lulus sekolah SMA perkara ikutan pengajian yang ujungnya mengajak pendirian Negara Islam Indonesia. Sampai hari ini saya dag dig ser saban menerima undangan pertemanan dari kawan SMA dan Kuliah, yang saya tahu mereka pernah mendapatkan doktrin agama yang… begitulah… Demi kesehatan jiwa, kamu dan saya, pertemananmu saya gantung ya.

Pertanyaan itu lagi, lalu siapa yang harusnya bertanggungjawab atas Celup ini? Dimana mereka dapat ide itu? Kenapa sampai lolos dari pengawasan kampus? Sampai ini muncul di media, lalu ramai.

Masa depan mereka masih panjang, perundungan akankah selesai dalam sekejap? Bisa jadi, orang mudah lupa, tapi internet tidak! Barangkali lima tahun dari sekarang, calon bapak mertuanya men-googling mereka lalu menemukan CELUP…. Jreng jreng…

Mahasiswa di belahan dunia lain sedang bicara tentang penemuan terkini, teknologi tercanggih, menyusun bisnis untuk masa depan, berpolitik, berdebat…. Kita masih bicara asusila atas dasar asumsi. Fuck man!!

Saya sih mencolek dosen-dosen di kampus yang umurnya tak jauh dari saya. Kita pernah gede bareng cuy, kenapa kamu biarkan anak-anak didikmu sebodoh itu? Guru kencing berdiri, murid kencing berlari… kalau kualitas anak didikmu segitu, kualitasmu sebagai guru, dosen, serendah apa?

Oedipus Menanggung Takdir. The Red-Haired Woman oleh Orhan Pamuk, a review #36

Standar

Cem baru berusia 16 tahun ketika dia bertemu perempuan berambut mewah yang usianya 33 tahun. Cem jatuh cinta pada perempuan itu. Mencuri waktu disela menemani tuannya penggali sumur, Master Mahmud, membeli tembakau di kota terdekat, Ongoren. Perempuan itu tersenyum padanya, dunianya jungkir balik, Cem dilalap cinta membara. Suatu malam, Cem bercinta dengannya.

Sejak itu pula cerita berputar begitu cepat. Pikiran Cem tak pernah lagi focus pada pekerjaannya sebagai asisten penggali sumur. Tanpa sengaja, dia melepaskan ember yang menimpa Master Mahmud, yang sudah dia anggap sebagai ayah dan sebaliknya, di 20 meter sumur yang digalinya. Cem panik, mencari bantuan yang dia tidak dapat, lalu pulang ke Istanbul, melupakan semuanya. Cem menikah tanpa dikaruniani anak, menjadi raja property di Istanbul.

Tiga puluh tahun kemudian….. Cem bertemu kembali dengan pemuda yang mengaku sebagai anaknya, dari perempuan berambut merah itu. Perempuan yang sama yang juga adalah kekasih ayah Cem, aktivis gerakan kiri yang bolak-balik keluar masuk penjara karena menentang pemerintah. Ayah dan anak bertemu, berseteru, lalu ada kematian. Salahkah Cem yang tidak pernah tahu kalau dia punya anak dari persetubuhan remajanya? Salahkah Enver, anaknya, menuntut keadilan, selamanya hidup dalam kemiskinan, ketidaktahuan tentang sosok ayah? Salahkah jika anak ‘tanpa sengaja’ membunuh ayah karenanya?

Sepanjang hidupnya, Cem terobsesi pada kisah Oedipus the King, dari Yunani dan Shahnameh dari Persia dengan cerita yang hampir sama, anak dan ayah dengan ketidaktahuannya saling membunuh. Cerita berulang seperti doa dan mantra, lalu mewujud pada kejadian, itulah yang dialami Cem.

Orhan Pamuk buat saya tampil berbeda di dalam cerita ini, begitu cepat, begitu ringkas, malah terkesan terburu-buru selesai. Biasanya cerita-cerita Orhan Pamuk, berjalan lamban, meski lamban, dia bisa memainkan emosi saya sebagai pembacanya untuk betah berlama-lama membaca sampai selesai. Buku ini, selesai dalam waktu semalam saja. Tapi seperti buku yang lain, Pamuk sukses meninggalkan kesan.

Selama membaca buku ini, saya mencoba membaca apa yang menjadi ciri khas dari Pamuk? Yang kecil yang bisa bercerita tentang dia. Bandingkannya dengan Murakami yang selalu menyelipkan jazz dan kucing dalam setiap cerita yang dia buat. Pamuk tidak! Saya belum membaca siapa Pamuk sebenarnya, buku biografi singkatnya pun masih dalam box plastik di rumah. Saya hanya paham, cerita-cerita Pamuk sangat politis, tentang pandangan kiri, tentang pergulatan budaya barat dan timur yang bertemu di Turki, Turki yang nyaris kehilangan identitasnya, sebagai asia atau eropa, atau Turki saja sebagaimana Iran selalu bilang, kami Persia, bukan arab, bukan asia. Pamuk selalu menceritakan bagaimana sebuah kota seperti Istanbul berubah dari masa ke masa, dan manusia didalamnya dipaksa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

Ada 253 halaman dalam buku ini, harganya di WHSmith bandara, 255K, busyet, seribu sehalaman. But it is worthy! Beneran…

ORHAN PAMUK_RED HAIRED WOMAN

Tuhan Dalam Sejarah Manusia oleh Reza Aslan, a Review. Note: Bacaan Dewasa #35

Standar

Buku ini dibuka dengan cerita sewaktu Reza kecil, sama seperti kita, paling ngga saya yang tumbuh dengan pertanyaan, “Tuhan itu siapa? Tuhan dimana? Kalau Dia Maha Mengetahui, maka Dia akan tahu bahwa Adam dan Eve akan memakan buah terlarang dari pohon pengetahuan, dan Dia mengusir mereka. Lah kenapa ga sejak awal aja manusia ditempatkan di bumi kalau gitu? Kenapa begini dan kenapa begitu?”

Buku yang tebal isinya 170, sisanya adalah referensi dan catatan menjadi 300 halaman seharga 398K rupiah ini seolah menjabarkan keresahan saya sejak kecil, yang biasanya dulu, selalu di hush… hush…. Jangan banyak nanya tentang Tuhan, kata guru agama saya, kata orang-orang tua kecuali Mami saya. Mami menjawab, “pertanyaanmu jawabannya ada di sini.” Sambil menunjuk hati saya…

Reza Aslan bilang, Tuhan melarang Adam dan Eve memakan buah dari pohon pengetahuan karena nanti akan tahu apa yang baik dan salah, padahal kedua hal itu hanya Dia yang tahu. Ketika Adam dan Eve memakannya, maka mereka adalah ‘Tuhan’ di bumi.

Reza membagi buku ini dalam tiga bagian:

Bagian Pertama: The Embodied Soul. Tentang awal kehadiran manusia di muka bumi, berburu untuk kelangsungan hidup. Dalam masa berburu itu, mereka menemukan ‘sesuatu’ yang tidak dapat dijelaskan dengan nalar atau logika, sesuatu yang menguasai semesta, hewan buruan, pemangsa dan dimangsa. Kepercayaan pada ‘sesuatu’ yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk gambar dalam goa-goa yang sulit dijangkau oleh manusia, goa tempat pemujaan. Pada masa ini, ‘Tuhan’ digambarkan dalam bentuk hewan-hewan, the Lord of Beasts. Seiring dengan evolusi manusia, dari berburu kemudian bertani. Mendomestikan manusia dan hewan. Manusia melihat ‘sesuatu’ pada pohon-pohon besar yang ada di sekitarnya, pada musim mereka bergantung untuk panen.

Reza menghadirkan perdebatan para ilmuwan berdasarkan artefak yang ditinggalkan manusia purba.

Antropolog akan melihat kepercayaan itu sebagai jawaban dari hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Sosiolog menjawab kepercayaan adalah norma sosial yang menyatukan keluarga dan kerabat untuk melakukan ritual dan menjaga kekerabatan. Psikonalisis melihat kepercayaan sebagai bentuk gangguan jiwa. Kepercayaan muncul sebagai jawaban untuk meredam insting kebinatangan manusia. Lalu pandangan pemikir terkini mengatakan agama dan kepercayaan itu bukan hasil adaptasi evolusi tapi by product atau dihasilkan oleh adaptasi itu sendiri.

Bagian Kedua: The Humanized God. Peradaban manusia dimulai ketika tulisan ditemukan, ketika manusia memutuskan untuk tinggal bertani, menetap membentuk desa dan kota lalu kerajaan. Dimasa inilah diceritakan bagaimana Manusia melihat Tuhan dan mewujudkannya. Ini pada masa Babilonia, Mesopotamia, Mesir, Yunani Kuno, Persia.

Pada bagian ini, Reza membuat kesimpulan yang menarik, Jika berburu membuat manusia menguasai ruang, maka bertani membuat manusia menguasai waktu. Dari pemujaan terhadap ‘tuhan’ bergeser, dari langit yang berasosiasi pada ayah, kepada bumi yang berasosiasi pada ibu. Tuhan juga diwujudkan pada hal yang mewakili matahari, cahaya dan api di masa Mesopotamia. Yunani mewujudkan Tuhan dalam sebutan dewa yang memiliki keluarga, ayah, ibu, adik, kakak, ada sifat yang saling iri, haus pada kekuasaan. Zeus yang sibuk mondar mandir ke bumi mengawani manusia perempuan. Di masa Mesir kuno yang melihat Tuhan sebagai bentuk tertinggi, tanpa wujud, hanya sesekali muncul dalam gambar seperti sinar matahari. Kemunculan Tuhan adalah Satu, tidak bisa berkembang di masa ini karena sulit bagi manusia menerima Tuhan yang mewakili sifat baik dan buruk dalam satu wujud. Meskipun pada masa Iran Kuno muncul ‘nabi’ pertama Zarathrustra yang mendapatkan ‘wahyu’ bahwa tuhan hanya satu.

Bagian Ketiga: Apa Tuhan Itu? What is God? Bagian ini  Reza menceritakan perjalanan keagamaan dimulai 586 sebelum masehi, ketika suku Israel mempercayai satu Tuhan bernama Yahweh yang muncul dihadapan Musa (Exodus 3:15)  orang Israel adalah monoteisme, hanya percaya pada satu dan hanya satu Tuhan. Reza menceritakan panjang lebar bagaimana kepercayaan monoteisme ini berjalan dan hubungannya dengan kepercayaan sebelumnya seperti zarathrusta.

Bab kedelapan bercerita tentang TUhan itu Tiga dalam perkembangan agama Kristen di dunia.

Dalam sejarah, manusia memberikan atribut ‘kemanusian’ pada tuhan, menghilangan kemuliaan tuhan dan memanusiakan tuhan, bahkan mewujudkan Tuhan sebagai Raja. Dengan demikian tak aneh jika Tuhan-Tuhan menuntut ‘keadilan’ dan haus kekuasaan. Tentu saja tuhan tidak punya tangan untuk menyentu, mata untuk melihat, jadi sangat tergantu pada ‘wakil’ tuhan di bumi berwujud raja-raja, firaun dan kaisar, atau juga pendeta-pendeta, nabi-nabi, dan messiah. Termasuk dalam bagian ini perdebatan dalam perjalanan agama Kristen tentang Tuhan ada dua atau tiga.

Bab kesembilan, kehadiran Islam. Beberapa bulan setelah pertemuan perebutan kota Cappadocia, datang perwakilan nabi dari Arab yang menepis perdebatan tentang dua tuhan atau tidak, dalam surat yang ditandatangan Muhammad Rasulullah: Muhammad utusan Allah. Muhammad tidak menggantikan Yahweh dengan Allah, Muhammmad melihat Yahweh dan Allah adalah tuhan yang sama dan mengakui nabi-nabi utusan Allah sebelumnya, seperti dalam Surah 3:84.

Tapi keberadaan kalam, teologi dalam islam tak cukup memuaskan penjelasan tentang Allah bagi sebagian umat yang kemudian bercabang dalam sufism, gerakan spiritualisme untuk mencari dan lebih dekat dengan Allah.

Konsep Wahadat-al wujud atau the Unity of Being (apa ya bahasa Indonesianya – Kesatuan dalam wujud) yang diempu Muhyiddin ibn al-Arabi memulai dengan debat terhadap tauhid: jika diawal, tidak ada apa pu kecuali Tuhan, bagaimana Tuhan menciptakan seusatu, kecuali menciptakan itu dari dirinya sendiri? Jika tuhan menciptakan sesuatu dari dirinya sendiri, apakah itu tidak melanggar prinsip ‘Oneness’ dan kesatuan dalam Tuhan dengan memisahkan Tuhan sebagai Pencipta dan yang diciptakan?

Pada kesimpulan akhir bab, reza menuliskan: Tuhan bukan pencita segala sesuatu yang ada, Tuhan Itu ya sesuatu yang ada.

Semua ini adalah pilihan untuk percaya atau tidak. Kamu boleh percaya pada keberadaan Tuhan, atau percaya pada yang disebut oleh sains sebagai Energy. Percaya pada Tuhan atua tidak. Tentukan sendiri bagaimana kamu mau menemukan Tuhanmu. Bagaimana pun, ambil pelajaran kata Reza, dari mitologi Adam dan Eve, makanlah buah terlarang dari pohon pengetahuan itu. Kamu tidak perlu takut pada Tuhan.. Kamu adalah Tuhan!

Ini adalah buku ketiga Reza Aslan yang say abaca dan selalu menarik bagaimana dia menantang logika kita tentang agama dari sudut sejarah. Di buku ini dia menyebutkan posisinya sebagai penganut kepercayaan dan panteism, yang menganggap Universe atau Semesta adalah perwujudan dari Tuhan, bukan Tuhan dalam bentuk personal atau artefak.

GOD a Human History

 

Nikmati Sendirimu

Standar

Kemarin ketika main di Gramedia Cinere, mata ini menangkap @dakwahjomblo, saya bahkan lupa apa judul buku itu, tapi akun itu mengganggu saya hingga hari ini. Saya ingat, sewaktu masih single, semua orang sibuk komentar, ‘Eh, lu tuh ga usah nasehatin orang untuk menikmati masa sendiri deh. Kan lu ga tahu enak atau tidaknya menikah.” Nah, kalau yang menasehatimu perempuan single juga barangkali sekitarmu bakal menanggapi begitu. Mana dia tahu kehidupan pernikahan kalau belum pernah mencoba.

Kalau saya yang menulis, maukah kamu membacanya? Boleh suka atau tidak, boleh setuju atau tidak, tapi tidak ada yang salah dan benar dalam tulisan ini. Kebenaran hanya milik Allah semata, begitu bukan yang kamu pelajari sepanjang hidup beragama?

Begini dik. Kakakmu ini hidup 39 tahun sendirian sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Baru hitungan bulan menikah, tapi saya bisa kasih tahu bahwa ada banyak dalam hidup yang berubah ketika kamu sudah berdua. Mereka yang sibuk mendorongmu untuk menikah, percayalah, mereka iri pada kebebasanmu, mereka iri pada hidupmu. Mereka yang seringkali mengolok-olokmu dengan sebutan jomblo, semata-mata iri pada keriaanmu, kebebasanmu memilih dalam hidup, kamu dan hanya kamu. Kamu terlihat egois, itulah kenapa mereka sebel lihat kamu.

Dik, puas-puasin lah menikmati hidup. Kamu ingin keliling dunia, pergilah. Pakai uangmu sendiri, jangan minta mama-papa, mandiri dik, mandiri. Bekerja di lapangan manapun, lakukanlah. Bertemulah banyak orang yang akan mengajarimu berempati, merasakan apa yang mereka rasakan. Pindah-pindahlah kerja sesukamu, asah keahlianmu sampai pada akhirnya kamu tahu dimana kamu punya kelebihan. Pacaran? Saya tak menyuruhmu punya banyak pacar, tapi kalau itu pilihanmu, silakan saja. Bertemanlah sebanyak-banyakya dengan lawan jenis, sampai kamu paham mana yang tulus mana yang cuma pecundang, penjahat kelamin. Jaga dirimu baik-baik. Tubuhmu adalah hakmu, tapi jangan bunuh masa depanmu dengan membuntingi diri, itu nanti. Jangan serahkan masa depanmu pada orang yang tak bisa memiliki visi, yang hanya hidup untuk hari ini.

Dik, sekolahlah sampai kamu eneg. Sekolah memang tak harus duduk manis di kelas, sekitarmu adalah guru terbaik. Petik banyak-banyak ilmu dari sekitarmu. Banyak-banyak membaca buku, apa pun. Jangan nonton tivi, karena itu racun. Waktumu habis untuk menonton yang tidak nyata, berkhayal hidup bak bintang di dalam sinetron. Matikan tivimu, buka lembaran buku, berkhayal, pergilah jauh dalam cerita itu.

Puaskan penasaranmu tentang hidup, sampai pada suatu hari kamu bertemu seseorang yang akan menggandengmu untuk berjalan bersamamu. Bukan dia yang bersoraksorai menyambut sukesmu saja, bukan dia yang hanya mendengar senangmu, bukan dia yang menunggumu di garis finish. Tapi dia yang akan bilang, yuk, kita berpetualang bersama. Aku dan kamu. Sampai itu, jangan pernah berhenti mencari, berpetualang, seperti menjajal sepatu dik. Kalau ga pas ukurannya kamu seperti naik perahu kopong atau lecet karena kesempitan. Cari terus, dan terus. Jangan berhenti hanya karena sekitarmu menggonggong terus menerus, menceramahimu betapa indahnya pernikahan… bohong dik. Menikah atau tidak, hidup ini memang penuh tantangan dan kalau kamu merasa menikmati sendirimu, kenapa maksa untuk membaginya dengan orang lain.

photo: google image

single-life

Saya, Kartini. Review Habis Gelap Terbitlah Terang #34

Standar

Membaca buku kumpulan surat Kartini kepada para sahabat Belandanya antara tahun 1899-1904 membuat saya tertohok. Apa yang dia risaukan di masa penjajahan Belanda, tak banyak berubah dengan apa yang perempuan alami di masa kemerdekaan. Gagalkah Kartini? Tidak. Mendobrak budaya memang tak pernah mudah, bahkan setelah berabad-abad. Tapi hari ini saya bisa menuntaskan membaca surat-surat Kartini adalah bukti perjuangannya berhasil, saya, perempuan, berpendidikan dan insya Allah bisa bermanfaat

Kartini menuliskan surat pertamanya pada usia 20, mencari perempuan ‘modern’ yang bisa diajaknya berbagi gundah, berbagi mimpi dan mendukung mimpinya. Dalam konteks hidup Kartini saat itu, perempuan modern yang dia lihat adalah perempuan Belanda, Stella Zeehandelaar, lima tahun lebih tua dari Kartini, seorang feminis. Kartini berbagi gundah tentang keinginannya untuk bebas, mewujudkan cita-cita menjadi guru, menjadi pendidik buat anak perempuan. Mendidik perempuan adalah mendidik bangsa. Bahkan Kartini sudah paham itu sejak usianya 20tahun di 1899. Kartini mengerti, perempuan adalah pendidik pertama dan utama bagi seorang anak. Bagaimana berharap Jawa bisa maju kalau kunci dalam kehidupan di rumah tak berpendidikan?

Kartini mengkritik bangsawan Jawa yang selalu ingin dipuji, disanjung oleh rakyatnya. Mereka seperti tidak rela membagi ilmu dan Pendidikan bagi rakyatnya, kalau perlu selamanya rakyat bodoh agar mereka tetap berkuasa. Karena itulah Kartini mengusulkan, Pendidikan harus menyasar pada kaum bangsawan, mendidik tak hanya ilmu pengetahuan tapi juga budi pekerti, bahwa semakin tinggi status seseorang, dia menanggung lebih besar tanggungjawab terhadap bangsanya. Rakyat perlu contoh, dan bangsawan yang berilmu dan berbudi pekerti adalah contoh yang baik. Karena itu pula ketika Kartini akhirnya mendirikan sekolah perempuan pertamanya di rumah orang tuanya di Jepara, yang disasar adalah anak-anak bangsawan. Memanfaatkan kedudukan sang ayah sebagai Bupati Jepara, Kartini punya ‘kekuatan’ untuk menarik perhatian keluarga bangsawan untuk menitipkan anak-anak mereka padanya.

Di satu sisi, Kartini memang beruntung karena lahir di keluarga bangsawan dan menikahpun dengan bangsawan, bupati Rembang. Dia memanfaatkan keistimewaan itu untuk mewujudkan cita-citanya, mendidik anak perempuan. Di sisi lain, justru karena Kartini lahir dari keluarga bangsawan, tantangan yang dia hadapi tak muda. Bergulat dengan adat yang mengukung perempuan, bergulat dengan ayah tercinta agar segala yang dia lakukan tak membuat ‘malu’ ayah dan keluarganya. Karena itu pula, Kartini harus merelakan mimpinya kandas untuk menjadi dokter dengan beasiswa dari Belanda, lalu memilih mengambil ijazah guru di Betawi. Belum lagi dia mulai sekolah, Kartini sudah harus menikah. Kartini telah memilih, dengan menikahi Bupati Rembang, tanpa ijazah guru pun, dia tetap bisa mendirikan sekolah perempuan dan mengajar.

Kartini mengkritik pemerintah Kolonial Belanda dan bangsa Eropa yang selalu memandang rendah orang Jawa sebagai orang tidak beradab. Apa itu peradaban? Peradaban bukan terletak pada tingginya ilmu, kebiasaan minum-minum, merendahkan orang lain. Peradaban kata Kartini ada pada hati nurani dan kebaikan.

Semua yang dituliskan dalam surat-suratnya sungguh berkesan buat saya. Tentang bagaimana Pendidikan seharusnya disampaikan, bukan dengan khutbah, tapi dengan bahasa sederhana dan popular yang mudah ditangkap oleh orang awam. Bermain adalah proses belajar yang baik untuk anak-anak. Berpendidikan Eropa tidak menjadikan kita rendah terhadap mereka, justru sebaiknya, menjadi punya harga diri dan martabat dan bermanfaat untuk kemajuan bangsa.

Kartini mempertanyakan kedudukan agama dalam kehidupan manusia. Tidak cukupkah kita berbuat baik terhadap sesama tanpa embel-embel sholeh? Buat Kartini, agama tertinggi adalah kebaikan hati apapun bungkusnya, dia bisa menjadi Kristen, Budha, atau Muslim. Kartini menolak membaca al – Quran kalau tidak ada terjemahan dalam bahasa Jawa atau Belanda yang dia mengerti. Menurut Kartini, apa guna membaca sesuatu yang kita tidak paham karena kita bahkan tak mengerti apa yang kita baca.

Saya, Kartini. Saya merasa dekat dengan Kartini setelah membaca buku ini, seperti dia sedang berada di sebelah saya membacakan surat-suratnya. Saya sedih karena Kartini mati muda, setelah sekian berat perjuangan untuk mewujudkan mimpinya, dia meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Usianya baru 25 tahun ketika itu. Kalau dia ada di sebelah saya sekarang dan konteks kekinian, pengen sekali bilang, ‘Lu sik, pake kawin segala. Kita bisa mewujudkan mimpi tanpa harus ‘menjual diri’ pada kekuasan, tauk!’ Tapi Kartini pasti akan tertawa, kita beda zaman, beda konteks sejarah meski perjuangan kita sama. Dan dia sudah memilih.

Satu lagi yang membuat saya merasa dekat dengan Kartini, bahwa musuh utama kami sama, POLIGAMI. Demi Tuhan, selamanya saya akan memerangi ini. Membuat perempuan mandiri, berpendidikan dan berhati nurani, bahwa tidak ada keadilan dalam poligami dan kamu harus LAWAN!

Kumpulan surat Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang, adalah buku yang WAJIB! Kamu baca sekali dalam hidupmu saudara perempuanku.

Saya akhiri dengan satu paragraph dari Kartini yang paling berkesan:

“Kami tahu bahwa pekerjaan merintis jalan itu tidak mudah dan tidak menyenangkan, mengalami nasib yang pahit kami juga tahu. Tetapi bahwa perintis jalan itu menggendong neraka, kami tidak tahu Stella. Kami tidak tahu. Aduhai! Sungguhpun demikian, seribu kali lebih suka masuk neraka daripada tidak berperasaan! Semua yang menonjol harus dipendekkan (diratakan). Semua yang mengilat harus dinodai, dikotori! Semua orang yang bercita-cita, setiap saat tanggung jawabnya berat. Dunia tidak membiarkan kehadiran orang-orang yang berlainan haluan dengan masyarakat kebanyakannya. Dan, orang yang tidak sama dengan yang lain-lain (kebanyakan orang), seumur hidup akan diejek agar menanggalkan bajunya sendiri dan menggantinya dengan pakaian umum.”

 Note: 577 halaman dan banyak typo!! Gemes deh mau benerin 😛

resize

Dari Hutan Masuk Hotel Bintang Empat

Standar

“Kang, ini beneran acara pelatihannya di Hotel Bintang Empat?”

“Kenapa Mbak Nita?”

“Ga papa sih, terlalu mewah aja menurutku”

Lalu dibalas dengan tawa. Informasi ini saya sampaikan lagi ke kawan yang dia balas, “Ga papa atuh mbak, namanya rezeki orang kampung.”

Sebenarnya sih betul juga, rezekinya orang kampung, tidur nyaman di kasur mewah, berpendingin ruangan, air panas dan dingin mengucur dan bisa leyeh-leyeh berendam dalam bath-tub. “Tapi ya, ini kawan-kawan yang datang bahkan tidak pernah sampai di kota. Gue Cuma khawatir ada alarm bunyi.”

Salah saya yang tidak menyambut mereka di depan meja resepsionis untuk mengantarkan satu persatu dan menjelaskan apa saja yang bisa dilakukan dan sebaiknya tidak boleh dilakukan di dalam kamar, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Maka kejadianlah hal-hal lucu sepanjang empat hari pelatihan manajemen keuangan dan bisnis sosial yang dihadiri oleh 20 peserta dari tiga desa di Berau. Buat Herlina dari Basap, ini adalah kali pertama dia pergi jauh dari kampungnya. Sepanjang 8 jam perjalanan, dia mabok. Akhirnya semua menjaga Herlina, jangan sampai di jalan-jalan sendirian di kota lalu tak bisa pulang. Lebih gampang tersesat di hutan buat dia daripada di antara rumah dan gedung di kota.

Ibu Inok ditemukan berbaring dalam gelap sampai petugas kamar datang. “Kenapa Ibu gelap-gelapan?”. Dia menjawab, “aku tidak tahu dimana lampunya.” Petugas lalu mencari kunci kamar dan memasangkannya di tempat yang seharusnya… taarrraaa nyala sudah. Beberapa terkunci di luar karena lupa melepas kunci kamar dari tempatnya.

Kawan-kawan tak kuat AC dinyalakan tapi juga tidak tahu bagaimana menaikan suhunya, akhirnya dimatikan. Tapi mereka bercerita, tengah malam telanjang karena kegerahan. Jiaah… mending dingin berselimut tebal daripada berkubang keringat, kata saya sih.

AC selalu bikin ribut di ruang pelatihan, sebagian meminta dinyalakan, sebagian meminta dimatikan. Sebagian masuk angin karena AC, dan Herlina kentut saat yang lain khusyu mengisi kuesioner. Kontan ruangan riuh reda dengan tawa, yang punya hajat hanya berkata “eh”

Nah yang paling seru itu makanan. Iya makanan yang bikin kawan-kawan ini sakit perut karena tiga kali sehari ketemunya dengan daging. Mereka tak bertemu daging sesering itu, karena tiga desa ini terletak di pinggir sungai dan laut. Sayang tak ada menu ikan, kecuali daging sapi dan ayam. Ibu Rini menyerah, hari ketiga dia kabur nyari bakso. Feli pingsan sampai harus dilarikan ke IGD karena kolesterolnya tinggi.

Saban malam saya patroli memastikan dua lantai baik-baik saja. Tapi di pintu 332, alarm berbunyi! Saya panik, sepaniknya. Saya telpon resepsionis untuk mencari sumber suara dan mengecek kamar, semoga tidak apa-apa. Ternyata itu suara alarm jam duduk! Ibu Noor tak tahu bagaimana mematikannya.

Selalu ada awal untuk segalanya kan, termasuk merasakan tinggal di hotel Bintang Empat, nyaman sih, tapi yang jelas mereka lebih menikmati rumah masing-masing. Bahkan kolam renang hotel mereka sebut sebagai kubangan. Anak Danau Nyadeng, Sungai Gie dan Laut itu terbahak-bahak mendapati kolam yang cetek dan sempit itu.

Saya senang karena teman-teman menikmati pelatihan yang diberikan dengan segala kelucuan yang terjadi di sela-sela itu. Tidak ada yang bolos, hanya sesekali beberapa peserta harus menyelesaikan tugas pribadinya, tapi mereka kembali untuk menuntaskan empat hari pelatihan itu.

Saya senang karena perempuan peserta pelatihan ada yang membawa anak-anak mereka. Perempuan memang tidak harusnya dibatasi keinginannya belajar dengan urusan keluarga. Kalau memang harus dibawa, bawalah. Tugas saya memastikan anak-anak mereka tidak pelototin karyawan hotel, tidak jatuh saat bermain dan ibunya masih bisa belajar di sela memberikan asi di dalam ruangan. Horeee…

Semoga pengalaman ini berguna di esok, dan di kemudian hari 😊 besok kita jajah lagi Hotel Bintang Lima sekalian!

SE Training

Home at last! – Beberapa update dari Sepinggan

Standar

Alhamdulillah, sampai juga di Bandung setelah sekian banyak drama sejak kemarin. Saya sedang duduk cantik di kedai kopi langganan, Denny’s Coffee dengan secangkir Americano setelah sebelumnya di bandara seruput Single Espresso. Iyalah penting nyebutin jenisnya, soalnya ada orang beken yang seksis dan nganggap kopi itam itu punya laki, kopi susu itu perempuan… cih yak…

Alhamdulillah, jalanan lancar karena ternyata yang mau libur panjang sudah tumplek duluan di jalan Pasteur Bandung neh.

Pagi tadi saya dikontak kawan, dia memforward tulisan saya tentang terdampar di Sepinggan dan perlakuan tidak menyenangkan, tend to risky, exposure to crime, karena mengantarkan saya ke ruang gelap gulita di bandara lama, untuk istirahat. Sepinggan baru saja menerima predikat sebagai Bandara terbaik di Indonesia, kalau kasus ini muncul, bisa merembet pada status itu. Kasihan buat mereka yang sudah kerja keras mencapai predikat itu.

Saya berterima kasih karena tulisan dan pengalaman saya itu difollow up buat perbaikan. Saya selamat, perempuan lain kalau lagi bernasib sial, belum tentu. Pada situasi yang kacau seperti kemarin, harusnya manajemen bandara bisa lebih fleksible. Kabarnya tulisan saya sudah sampai juga ke General Manajer Bandara Sepinggan. Monggo didiskusikan kawankawan.

Saya ditelpon Customer Service Sepinggan, Pak Allan. Dia meminta maaf atas nama manajemen dan berjanji akan meneruskan ini ke manajemen dan memastikan ada perubahan yang terjadi. Saya terima kasih sekali karena dianggap serius dan memang serius 😉 saya hanya titip untuk tidak menghukum satu, dua orang petugas yang semalam ‘mengusir’ halus saya. Saya yakin mereka hanya mengikuti kebiasaan yang berlaku di sana, kebiasaan yang harusnya ditiadakan.

Saya juga dikontak seorang jurnalis lewat twitter untuk minta izin dipublikasikan pengalaman saya ini. Saya minta maaf untuk tidak meneruskan ini ke media, karena sudah lebih dulu ditelpon CS Sepinggan. Mari beri kesempatan mereka melakukan perbaikan dulu. Pak Allan janji akan memberikan saya informasi apa yang diputuskan manajemen soal ini.

Matur suwun semuanya… saya cuma ingin istirahat beberapa hari ini. Lelah hayati dan body mulai meriang. Kasihan akang, cuma kebagian ngurusin saya sakit huhuhu….

22 Jam Penuh Drama dan Belum Sampai Rumah – Menanti Pesawat Pulang

Standar

Hanya sekitar 2 jam saja kira-kira saya tertidur sejak kemarin. Itu pun tidak lelap. Bagaimana bisa lelap kalau saban kali truk lewat depan Penginapan Wahyu, bumi rasanya gonjang ganjing, gempa, tempat tidur bergetar. Barangkali juga karena takut terlambat, saya rebahan sambil peluk laptop dan hape yang sudah dipasang bersuara dengan volume paling kencang. Meminta semua yang saya kenal untuk menelpon saya jam 4 pagi, takut ketiduran dan gagal mendengar alarm. Walhasil, kepala berat bener neh.

3.30 pagi, saya packing kembali. Celana basah karena kehujanan tadi sudah dibungkus, jaket  yang sempat diangin-angin sudah kering kembali. Sempat panik karena bapak ojek yang tadi menjanjikan bakal menjemput tak bisa dikontak. Untungnya ingat ada taksi online di Balikpapan. Hanya ada satu mobil yang aplikasinya masih menyala. Kata bang Kiky, supir taksi online, saya lupa matikan aplikasi, banyak orang iseng jam segini mbak. Saya bilang, untung kamu ga matikan aplikasi, kalau tidak, saya pasti bingung bagaimana kembali ke bandara. Terima kasih bang kiky.

Sampai di bandara, girang bukan kepalang. Setelah drama panjang itu, saya akhirnya bertemu dengan wajah yang dikenal. Mbak Mai, yang juga bakal ada di pesawat yang sama. Oooh Tuhan, banyak-banyak terima kasih karena saya masih dalam lindunganMu.

Drama belum lagi usai menurut saya sampai saya benar-benar sampai di rumah bertemu Akang tersayang. Sementara itu, saya cuma pengen tidur!

ps. dan Lion masih aja mengumumkan pesawat delay… subuh, penerbangan pertama… hadeuh.

Melihat Dunia Dari Kacamata Ekonom – When To Rob a Bank, a review #33

Standar

Buku ini saya beli karena judulnya yang catchy, “when to rob a bank”, kapan waktu yang tepat buat merampok sebuah bank. Tadinya saya berharap buku ini bakal mendukung argument-argumen bahwa kapitalisme itu jahat, lah ternyata buku lanjutan dari Freakconomic ini justru mengajak kita merefleksi diri tentang hidup dari kacamata ekonom. Boong lah kalau setiap sesuatu yang kita lakukan tidak memikirkan untung ruginya, langsung maupun tidak langsung. Good cause or boncos, meminjam istilah Amel kawan saya 😉

Jadi buku ini sebenarnya adalah isi blog mereka, yang dituangkan setelah buku jadi. Lebih menarik blog kata mereka, karena bisa diupdate kapan aja, dan lebih interaktif. Tapi buku, lebih banyak menghasilkan, yaa namanya juga ekonom yak. Jadi membacanya pendek-pendek saja, hanya beberapa topik yang ditulis berlembar-lembar. Bahasa yang digunakan singkat, lucu dan ga ngebosenin macam buku ekonomi yang terakhir saya baca. Font huruf juga nyaman buat mata.

Kecuali bagian poker dan American football, yang saya lewati dengan sengaja karena tidak tertarik, yang lain penuh kesan. Misalnya yang paling dekat dengan saya adalah komentar-komentar dua orang mengarangnya ini tentang gerakan-gerakan lingkungan.

Pertama, kenapa 350.org hanya memusuhi batubara dan energi fosil dan meninggalkan isu gas metan yang dihasilkan peternakan sapi dunia. padahal menurut penelitian, kalau semua orang berhenti makan daging, kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 80 persen. Barangkali karena lebih mudah menyerang sebuah perusahaan daripada mengubah gaya hidup sendiri.

Kedua, kalau mau bicara soal gaya hidup, kita harusnya bisa memulai dari rumah. Ngapain beli buah yang dibungkus satuan dengan plastik yang berakhir dari sampah. Ngapain nyetok banyak-banyak makanan di rumah yang akhirnya juga jadi sampah. Beli sesuai kebutuhan, beli buah tanpa sampah.

Ketiga, mengajak perusahaan berubah itu gampang, harus diembeli dengan penghematan di biaya produksi mereka. Contohnya, hotel yang melabeli dirinya hijau, biasanya meminta pelanggan untuk tidak meninggalkan handuk di lantai, artinya akan dipakai kembali. Menunda proses pencucian artinya menghemat biaya sabun, buat bumi, mengurangi sumber pencemaran. Jadi kalau mau mengajak swasta berubah, harus ada benefit ekonomi juga buat mereka, bukan sekedar pencitraan.

Keempat, kalau bikin gerakan ini dan itu harus benar-benar lagi-lagi dikaji dampaknya. Contohnya, ada gerakan di Amerika Serikat untuk satu hari tidak memberi bahan bakar buat kendaraan untuk membuat perusahaan minyak galau. Buat mereka itu gerakan konyol. Pembelian itu hanya ditunda, justru akan terjadi pembelian besar-besaran satu hari sebelum dan satu hari sesudah, kebayang ga kalau antrian panjang di SPBU itu justru akan berdampak pada mobilitas masyarakat dan aktivitas ekonomi lainnya.

Kelima, membangun kesadaran pribadi untuk hidup hijau itu emang sulit. Saat ini si pengarang memilih tinggal di dekat kantornya, jalan kaki, atau naik bus. Sebelumnya dia naik mobil sendiri, dampak yang terjadi dari kebiasaan itu adalah:

  1. Mengendarai mobil sendiri artinya menyebakan orang lain terjebak kemacetan di jalan raya
  2. Mengendarai mobil sendiri = menyumbang polusi

Tapi seberapa orang yang dengan kesadarannya sendiri mau berubah, demi orang lain?

Buku ini juga mempertanyakan sekaligus menjawab sendiri tentang banyak hal, kenapa pramugari tidak boleh terima tips seperti para pekerja di sector pelayanan lainnya kayak pelayan restaurant gitu. Kenapa bencana di Myanmar dan Pakistan tidak menarik perhatian media dibanding tsunami di Asia terutama di Phuket 2004 lalu. Bagaimana kalau dilegalkan saja kepemilikan senjata, dan yang dihukum berat adalah tindakan ilegalnya? Kenapa kita takut pada orang asing sementara penelitian menunjukkan kekerasan dan kejahatan dilakukan justru oleh orang dekat dan dikenal korban? Kenapa tidak menerapkan pajak pada hasil rampasan, penjualan narkotika, untuk mencegah meluaskan pengaruh gang di kalangan pemuda? Kenapa tidak melegalkan prostistusi untuk mengontrol tingkat kesehatan pelanggan dan penjualnya?

Nah tentang pertanyaan yang jadi judul buku, kapan waktu yang tepat buat merampok bank? Jawabannya tidak ada, tidak ada yang tepat, tidak ada juga yang tidak tepat. Kapan aja bisa dilakukan, tapi yang paling tepat melakukan adalah orang dalam, karena mereka paling tahu kapan waktu yang pas buat merampok bank.

Halaah…

Buku ini menghibur, yang pasti, kesentil hal-hal yang buat kita selama ini biasa aja.

resize 01