Awal 2017 saya menargetkan setahun ini membaca 52 buku, apa saja. Fiksi, non fiksi, dalam bentuk buku, komik, manga, apa saja. Komik kata Bre Redana adalah literature yang terlupakan. Obelix dibuat berdasarkan cerita sejarah loh. Tapi saya ternyata bukan penikmat komik, di komik ke 7 kemarin, saya berhenti begitu buku Orhan Pamuk ‘Silent House’ datang. Karena itu pula, tulisan ini dibuat, karena sudah tidak mungkin mencapai target 52 dengan kehadiran buku terakhir yang 300an halaman ini.
Saya tahu kamu menanggapi target membaca saya ini dengan nyir-nyiran, sombong lah, sok pintar lah, pencitraan dan lain-lain. I am not reading book for your pleasure tentu saja. I am reading books for my own. I love books, reading is like breathing. Setelah beberapa bulan menikah, tinggal 24 jam bersama, suami saya yang pernah jadi pacar selama 5 tahun pun, baru beneran tahu kalau begitu halaman terakhir sebuah buku saya baca, lalu saya gundah.’Buku mana lagi ya? Yang, bukuku habis, antar ke toko buku yuk.’ Dan itu jadi kayak mantra, berulang-ulang, sampai akhirnya dia hidupkan motor, googling Periplus waktu itu, karena ga ketemu akhirnya ke Gramedia juga. Seperti janjinya sebelum menikah, kemarin dia mulai bikin rak buku. Masih berbox-box plastik buku saya di rumah mami, siapkan dulu raknya, baru minta dikirim.
Seperti kamu yang hobi belanja sepatu, berapa pun harganya, sebanyak apa pun sepatu yang kamu punya di rak, tetap kamu beli. Atau kamu yang hobinya otomotif deh, mahal, ya kan, tetap aja diusahakan ada. So don’t mind me if I do buy dozen of books this year, more than a dozen, belum lagi yang didonlot gratisan dalam bentuk e-book yang tersimpan di Kindle saya. Ada belasan buku masih dengan plastiknya, tapi itu juga ga menghentikan saya untuk membeli yang baru. Lebih baik punya sekarang, daripada bukunya keburu hilang dari rak di toko dan sebelum saya ‘miskin’ lagi. Ada suatu waktu saya menjual kalung pemberian mami untuk beli buku, karena buku itu harus dibeli untuk tugas kampus dan tak ada yang meminjami, sedih. Akhirnya dijual deh buat beli buku.
Anyway, 46 bukan pencapaian karena kurang dari target, but I do have to reward myself for doing it so far. Meski senang membaca, tapi baru sejak kuliah di Inggris saya sadar betapa beruntungnya saya bisa dapat akses membaca sebanyak ini, dalam bahasa Inggris yang mungkin tidak banyak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Saya ingin membagi apa yang saya baca dengan orang lain. Itulah sebab, buku berbahasa Inggris yang saya baca, lalu saya rangkum ala-ala eh serius sih tapi istilahnya diterjemahkan bebas untuk dibaca orang lain dan berharap suatu saat buku-buku keren itu ada yang sudi diterjemahkan. Tapi sayang, sepertinya pasar Indonesia kebanyakan belum ke sana. Coba tengok Gramedia, yang paling banyak dapat titel ‘Best Seller’ adalah buku motivasi, lalu buku-buku tentang beragama, bukan tentang agama dalam sejarah, tolong bedakan, tapi lebih pada bagaimana hidup sesuai akidah (yang sangat tergantung pada penulisnya uhuk) baik bentuknya non fiksi dan sialnya banyak fiksi. Jadi buku-buku bertema kerusakan lingkungan, politik dunia, politik ekonomi, sejarah dan komuniksai massa, ya sudahlah wassalam. Kamu harus sedikit kerja keras dan keluar duit lebih banyak untuk mendapatkan buku-buku beginian di Indonesia.
Soal membacanya, right…. Saya mewajibkan diri membaca buku paling sedikit, sesibuk-sibuknya saya dengan pekerjaan dan urusan keluarga, adalah 2 jam setiap hari! Wajib, harus! Saya anak pagi, bangun sekitar jam 5 subuh, sambil mengumpulkan nyawa untuk mulai aktivitas, baca buku dulu sekitar 1 jam-an lah, bahkan bisa lebih. Jatah 2 jam bisa selesai di pagi hari, maka dari itu, target bisa dilebihkan, 4 jam deh. Dua jam lainnya bisa diambil menjelang bobo malam. Di sela-sela itu, bisa sambil makan siang di kantor, bisa sambil eek atau di dalam perjalanan, sambil nunggu temen di kafe, sambil nunggu meeting dan lain-lain. Saya sesekali sengaja keluar rumah, ke kafe, ngopi sambil baca buku, biasanya weekend. Everybody need a little me time, pastinya.
Tapi semua kembali pada prioritas hidupmu, bagaimana kamu mengatur waktumu dan untuk apa. Kembali ke atas, buat saya membaca seperti bernapas, ga usah diatur-atur lagi, ya memang sudah mengalir menjadi kebiasaan, kapan saja, dimana saja, saya sempatkan buat membaca. Buku selalu ada di tas saya.
Kenapa belum tercapai 52 dengan model begitu? Well, akhirnya memang kembali ke jenis buku yang dibaca. Kalau cuma baca komik, serratus setahun jadi target yang kecil. Buku paling berat tahun ini yang dibaca adalah buku Yanis Varousfakis, bekas Menteri keuangan Yunani yang menolak skema bantuan dari Uni Eropa, lalu Yunani dinyatakan pailit aka sebagai sebuah negara (review no ). Susah karena pada dasarnya saya bukan anak ekonomi, istilah yang digunakan tidak familiar buat saya. Jadinya kerja dua kali, buka google dan membaca hahaha… Paling enak membaca buku yang tulisannya mudah dimengerti, yang bisa selesai hanya dalam beberapa hari bahkan bisa Cuma semalam, seperti buku GOD by Reza Aslan. Buku yang memang sesuai minat, paling asik, mudah dan cepat selesai dibaca. Buat saya tulisan Naomi Klein itu seru, ada tiga bukunya selesai saya baca tahun ini.
Fiksi dan non-fiksi dibaca bergantian. Fiksi mengasah rasa, mengasah empati. Non-fiksi mengajak kita berlogika, berdebat, melakukan perhitungan. Membaca hanya satu jenis saja, akan membuat saya tidak seimbang. Hidup kan ga harus Cuma merasa, nanti habis waktu hanya baperan tanpa bisa menjelaskan dengan logika. Nah non fiksi memperkaya itu. Tapi non-fiksi saja tidak cukup. Cape kita diajak berdebat, berargumen, berpolitik tapi ga pakai rasa, ga pakai empati, nanti seperti satpol PP yang main gebuk PKL tanpa pertimbangan kemanusiaan.
Dua penulis non fiksi yang menurut saya sukses menyeimbangkan logika dan rasa dalam tulisannya adalah Naomi Klein dan Reza Aslan. Tulisan mereka sangat dekat dengan saya, kita, sesama manusia.
Untuk fiksi, saya masih setia dengan penulis-penulis favorit, Orhan Pamuk, Arundhati Roy, Dan Brown dan di Indonesia, Seno Gumira Adjidarma, Dee Lestari dan Eka Kurnia. Buku-buku mereka ada dalam koleksi 2017 ini.
Satu buku yang sudah dibeli beberapa minggu tapi belum selesai juga saya baca adalah buku Zero Poverty by Muhammad Junus, seperti ada yang salah saya rasa. Barangkali ternyata apa yang saya harapkan dari sosok ideal seorang Muhammad Yunus, tak tercapai dalam tulisan itu. Dua hal yang membuat saya berhenti sejenak membacanya untuk kemudian mencerna dan menerima perbedaan prinsip antara saya dan Muhammad Yunus, (halah, kaya seleb), ternyata Yunus mendukung Pasar Bebas dan penekanan dia pada kalimat ‘Orang miskin membayar lebih baik hutang mereka daripada orang kaya,’ lalu saya sedih…. I feel like he is exploiting the poor people instead of empowering. Anyhow, bukunya belum selesai saya baca, mungkin nanti saya berubah pendapat lagi.
Wokeh that is it for 2017 books, couldn’t wait to read more in 2018! 75 books to read as my target. Hiiyaaa… bisa, bisa bisa…