Monthly Archives: Oktober 2019

Autokritik: Pameran Bukan Pasar Akhir, Belajar Bisnis Model Agar Tak Jualan Rasa Kasihan

Standar
Autokritik: Pameran Bukan Pasar Akhir, Belajar Bisnis Model Agar Tak Jualan Rasa Kasihan

Bukan satu atau dua kali, kami di Kait Nusantara mendapat tawaran buka booth dan diajak mengundang para seniman rotan. Jika Kait Nusantara ada modal untuk menerbangkan mereka dari Teluk Sumbang ke Jakarta dan kembali ke Teluk Sumbang, tentu akan kami pertimbangkan tawaran itu. Jika berikutnya adalah, tentang barang yang dibawa. Jika tidak laku terjual, apa yang harus Kait lakukan? Kami akan merasa berdosa jika para seniman rotan kami pulang dengan membawa barangnya kembali dan bersedih, terluka merasa dibohongi. Sudahlah melewati lautan, bukit lalu terbang dan melewati macetnya Jakarta, di antara mereka bahkan tidak pernah keluar desa, kalau ada hanya 3 jam dari kampung itu pun diselingi muntah berkali-kali sepanjang jalan. Jawaban kami masih sama, terima kasih, silakan datang dan menjenguk seniman rotan kami di Teluk Sumbang saja..

Barang-barang yang kami beli dari para seniman rotan, adalah beli putus. Kami membagi ilmu berhitung ongkos produksi, berapa selisih keuntungan yang mau mereka ambil dan berapa harga jual yang kami patok ketika di Jakarta, semua dilakukan terbuka. Kami rewel soal kualitas, karena ini bukan sekedar menjual tas rotan untuk menyambung mereka hidup, justru untuk merawat tradisi, sekaligus membuat mereka mandiri secara ekonomi, maka tas rotan harus berfungsi dan dapat digunakan oleh orang kota, harus sedap dipandang mata, barulah mereka bisa mendapatkan harga yang pantas untuk itu.

Bukan satu-dua kali kami dikontak orang untuk pesanan, tapi belum bisa diterima, karena kami menakar kemampuan kelompok seniman rotan dalam berproduksi yang bergantung pada musim hujan dan kemarau, juga kalender tanam dan agama. Mereka tak bisa dipaksa kerja rodi hanya untuk memenuhi orderan pasar. Kami masih harus belajar menguatkan kelompok, berbagi beban kerja, dan membuat pola produksi sendiri, yang tentu tidak mengganggu aktivitas utama mereka.

Ketika para seniman rotan mendatangi kami dengan barangnya, saya dan tim akan cek dulu kualitas, itu yang utama. Pasti dibeli, tapi dengan catatan, jika kualitas menurun, harga pun menurun. Itu kesepakatan yang sudah kami buat sejak awal. Para seniman rotan harus belajar menghargai sebaik-baiknya profesi mereka dengan membuat tas berkualitas terbaik hingga harganya juga akan baik. Kami sangat menghargai kerja mereka, sehingga tidak asal jeplak membeli barang dari rasa kasihan, tapi berdasarkan kualitas dan fungsi serta penghargaan setinggi-tinggi pada karya seni dan budaya.

Pameran harusnya bukan tujuan akhir pemasaran, karena pameran itu ribet, butuh tenaga dan waktu yang tidak sedikit dan jika promosi kurang baik, manyun mak. Secara pribadi, saya tahu betul rasanya mengerjakan sebuah karya, satu-satu memilin kertas menjadi sebuah keranjang, ikut pameran, lalu tak laku. Pulang membawa kembali semuanya, lelah yang tak terbayarkan tapi saya juga tidak mau orang membeli karya saya karena kasihan, orang harus beli karena suka atau butuh. Menciptakan pasar bisa dilakukan lewat cara yang lebih murah, melalui sosial media, berbagi cerita. Kita masih dan harus terus belajar mengembangkan model pemasaran untuk produk-produk lokal dan memberdayakan para seniman lokal sambil melestarikan budaya dan alamnya, tapi jangan lagi pakai model-model lama, produksi dan terus produksi lalu lupa bagaimana menjualnya. Kita takkan mampu terus-terusan membeli produk rakyat dan menumpuknya di gudang karena tak tahu cara jualannya kemana. Para seniman harus bisa hidup, begitu juga kita para penggiat ekonominya. Jangan konyol lah…

Model bisnis sosial perlu kita belajar lagi dan lagi, tapi tahan diri agar tak terjebak menjadi kapitalis yang bikin rugi dan memperdaya orang lain.

Iklan

Kesuksesan Ekonomi Suatu Negara Bukan Cuma Tentang GDP Tapi Kesejahteraan Rakyatnya. Review People, Power and Profits oleh Joseph E. Stiglitz

Standar
Kesuksesan Ekonomi Suatu Negara Bukan Cuma Tentang GDP Tapi Kesejahteraan Rakyatnya. Review People, Power and Profits oleh Joseph E. Stiglitz

Demokrasi adalah tentang kedaulatan rakyat, one person, one vote – satu orang, satu suara. Tapi dalam perjalanannya di Amerika, satu dollar satu suara. Demokrasi dikuasai para bohir, pemodal politik, yang membuat kebijakan pemerintah bergeser demi kepentingan para pemodal, swasta, bagaimana pun caranya, bahkan jika harus mengorbankan kepentingan rakyat.

Joseph Stiglitz, peraih nobel untuk ekonomi mengingatkan kembali Amerika pada nilai dasar kebangsaan mereka, yang menjunjung demokrasi, menghargai perbedaan, dan tanah yang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warganya untuk memaksimalkan potensi mereka. Tetapi yang terjadi pasca kepemimpinan Reagan dengan neoliberalismenya adalah jurang ketidakadilan yang semakin dalam. Satu dari lima anak di Amerika hidup dalam kemiskinan, jutaan orang muda terjerat utang pendidikan pada negara seumur hidup mereka, sementara kesempatan kerja semakin sedikit karena tergantikan oleh mesin-mesin robot, lingkungan yang rusak dan akses kesehatan yang terpangkas.

Kesejahteraan hanya milik 1 persen warga negara yang selama lebih dari empat decade telah menguasai perekonomian dan politik Amerika. Pemerintah seperti tak bergigi dalam menjalankan kuasanya dihadapan pengusaha terutama perbankan yang selalu bisa mengeluarkan dana dari udara kosong, dan ketika masalah kredit macet datang, keuangan merosot, tak lain dan tak bukan meminta perlindungan pemerintah. Jaminan perlindungan kesejahteraan pemerintah diberikan kepada pengusaha, dan perbankan, bukan pada rakyat.

Anak-anak yang lahir dari keluarga miskin akan sangat mungkin terkutuk dalam lingkaran yang sama karena akses pendidikan berkualitas hanya dinikmati oleh anak-anak dari kelas menengah ke atas. Ketika mereka berhasil lulus SMA, pilihan untuk melanjutkan pendidikan kuliah adalah dengan menandatangani kontrak pinjaman yang akan menjerat mereka seumur hidup. Setelah lulus, belum tentu mereka mendapatkan pekerjaan yang layak, dan membuat mereka berpikir dua sampai lima kali untuk menikah dan berkeluarga. Punya rumah dengan angsuran adalah jebakan batman berikutnya, karena bunga terus tinggi, ancamannya mereka akan kehilangan rumah yang telah diangsur sekian lama. Dana pensiun dan asuransi kesehatan di privatisasi yang ujungnya selalu sama, mendahulukan profit daripada kesejahteraan masyarakat.

Jika masyarakat kehilangan kesempatan untuk meningkatkan taraf hidupnya, maka ekonomi suatu bangsa akan ikut terpuruk, cepat atau lambat. Jika lingkungan rusak, aktivitas ekonomi terhambat, masyarakat kehilangan pekerjaan, daya beli turun, maka lagi-lagi ekonomi negara akan ikut terpuruk. Jika semua pabrik beralih pada robot demi biaya operasional yang lebih rendah dan menghindari hiruk pikuk tuntutan serikat buruh, lalu masyarakat kehilangan pekerjaannya, daya beli turun, apakah robot bisa jajan dan menggantikan manusia sebagai konsumen?

Semua saling bertalian, hanya pemerintah yang harus bisa turun tangan mengendalikan situasi dengan mengetatkan kebijakan perlindungan dan penyelamatan lingkungan, memberikan akses pendidikan dengan kualitas sama kepada anak-anak, berinvestasi pada riset, investasi pada dana pensiun dan akses kesehatan. Persoalan ini tidak bisa diserahkan pada pasar, pada kebijakan ekonomi yang selama ini justru membuat rakyat terpuruk dan lingkungan rusak. Pemerintah harus berani beralih pada kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam demokrasi.

Stiglitz yang pernah menjadi penasihat ekonomi Presiden Clinton, mengutip Clinton “We have to put people first, social contract includes the preservation of the environment for future generation, and restoring political and economic power to ordinary people.” Bahwa kesejahteraan suatu negara kata Stiglitz tidak bisa hanya diukur dari tingkat kenaikan GDP nya tapi pada kesejahteraan rakyatnya. Hal itu hanya bisa dicapai jika kebijakan dirancang dengan baik, pasar yang diatur dengan baik dan kerjasama yang baik antara pemerintah dan organisasi sipil masyarakat. Tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi juga menyelamatkan kapitalisme itu sendiri dengan kompetisi yang lebih sehat.

Menurut saya meski Stiglitz menuliskan buku ini dalam konteks kritik kerasnya terhadap kebijakan Donald Trump, tetapi apa yang dia sampaikan, sangat relevan untuk Indonesia yang juga disebut sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Kita sudah dapat peringatan keras betapa demokrasi yang dijalankan sekarang menjadi milik 1 persen, para bohir politik, para parpol yang juga penguasa gelap negeri. Demokrasi kita saat ini seolah hanya nyata saat pemilu, di dalam kotak suara, begitu terpilih, rakyat seolah hanya jadi penonton, mari tepuk tangan.

Bicara Dalam Bahasa Mereka, atau Kau Diam!

Standar
Bicara Dalam Bahasa Mereka, atau Kau Diam!

Di angkatan saya sewaktu sekolah di London dari 27 orang, dua yang tertua adalah kawan dari Hongkong 42 tahun dan saya 38 tahun, lalu yang termuda usianya baru 22 tahun. Suatu hari Cheng bilang pada saya, “aku gagal paham, kenapa kamu bisa main bareng mereka? Kita ini selisih usianya jauh dengan mereka Nit. Mereka belum kenal dunia, seperti kita.” Sambil senyum saya bilang, “teman, ya saya anggap teman, termuda saya adalah Leon, anak Indonesia yang hari ini barangkali usianya baru 18 tahun. Dan saya juga tidak kenal dunia mereka, karena itu saya mau kenalan.” Cheng pergi sambil manyun, “saya tidak bisa seperti kamu. Tidak selevel lah.” Oh baiklah kata saya. Itu kan pilihan dia.

Kawan lain dari Malaysia bilang, “kamu seperti orang tua yang berusaha menjadi anak muda, Nit.” Lagi-lagi sambil senyum saya bilang,”usia bukan batasan buat dua orang berteman. Saya bukan tante atau orang tua mereka, saya kawan.”

Barangkali sejak mengasuh Green Radio 2008, saya sudah mulai membiasakan diri berbicara dengan anak muda. Tim saya, setengahnya hampir 20an orang itu baru lulus. Kalau saya tak bicara dalam bahasa mereka, mengenal gaya hidup mereka, tim tidak akan solid, maka saya hanya akan dikenal dengan boss yang cuma bisa perintah ini dan itu. Tim harus kuat, saling dukung dan meski Green Radio Jakarta tiada, tim kami sampai hari ini masih komunikasi, masih saling lempar rezeki, pekerjaan.

Lalu bekerja dengan Ashoka Indonesia dan bersinggungan dengan Young Changemaker, anak-anak muda usia 14-25 tahun yang punya gerakan sosial. Berkenalan dengan ratusan anak-anak di Indonesia yang punya empati dan tergerak untuk menyelesaikan masalah sosial di sekitar mereka. Buat saya, mereka anak-anak luar biasa, yang sampai hari ini, saya mengikuti perjalanan mereka. Bahkan mereka yang sudah meninggalkan kelompoknya, tetap menjadi anak-anak muda yang punya idealism dan empati tinggi. Bertemu mereka, berteman dengan mereka, membuat saya percaya, kita masih punya harapan.

Tapi sudah hampir sebulan ini, banyak sekali orang seangkatan dan di atas saya merasa sangat perlu menasehati anak muda bagaimana mereka harus berpolitik, mengekspresikan pendapatan bahkan dalam soal berbuat kebaikan, bahkan mengajari mereka untuk menabung. Wow… sungguh wow…. Sindiran dan nyinyiran terus dilemparkan pada anak-anak muda yang sedang mengekspresikan pendapat dan perbuatan dengan cara mereka, dalam bahasa mereka. Saya mau bilang, “bagitukah caramu “mengatur” anakmu di rumah?”

Kamu tahu kah kawan tua, kawan-kawan muda ini tak punya banyak “kebanggaan” terhadap kita, tanah air bahkan masa depannya. Apa yang mau dibanggakan ketika hutan sudah berganti tambang, ketika laut isinya hanya sampah, hewan yang tersisa hanya ada di kebun binatang, bukit hijau dipangkas seperti tetek ibu terserang kanker dan harus dibuang. Uang yang kau suruh anak muda itu tabung, takkan bisa membeli oksigen, air bersih, dan mengembalikan hewan yang sudah kau punahkan. Uang yang kau suruh anak muda tabung, takkan sanggup untuk membayar utang yang kau wariskan, takkan sanggup membeli rumah seperti kau karena bahkan tanah saja tak bersisa untuk mereka tinggali, untuk mereka tanam.

Kalau ada anak muda bilang “kita mungkin mati besok,” ya iya sangat mungkin! Orang tuanya sibuk mengumpulkan uang dengan menggerus dari alam yang tersisa hari ini. Orang tua sibuk mengatur selangkangan daripada memperbaiki dan menyiapkan masa depan. Orang tua melakukan kekerasan dan berkata kasar, sungguh contoh yang luar biasa. Orang tua sibuk nyinyir sementara karir politiknya juga mandek dan hidupnya tak lebih untuk membuat sensasi, supaya dianggap ada. Kita ini yang punya dosa banyak pada anak-anak muda itu.

Bicara lah dengan bahasa anak muda, jika tak sanggup, maka diam dan berikan dukungan saja. “Kami lelah berpolitik cara orang tua,” kata Ananda Badudu dan saya sangat memaklumi itu. Jika tak sanggup berkawan dengan mereka, jangan posisikan jadi lawan. Bukan, tak usah geer, ini bukan tentang masa depan kita orang tua yang sebentar lagi akan magrib dan berpulang, ini tentang mereka yang harus menjalani masa depan dengan perjuangan yang panjang dan akan melelahkan.

Dukung saja, atau kau diam.

foto : The Youth Movement – Korn Ferry

Yang Abadi Adalah Jejak Digitalmu. Review Buku Permanent Records oleh Edward Snowden

Standar
Yang Abadi Adalah Jejak Digitalmu. Review Buku Permanent Records oleh Edward Snowden

Saya sudah mengikuti cerita Snowden sejak 2013, membaca beritanya, menonton film CitizenFour, baca buku No Place to Hide oleh jurnalis yang menulis bocoran Snowden untuk the Guardian, Glenn Greenwald. Sepanjang kuliah, materi essay ga jauh-jauh dari Snowden. Esai dengan nilai terbaik saya waktu itu dimulai dengan kalimat “Edward Snowden membalas twit saya dengan …” novel kedua Hening, juga ga jauh inspirasinya dari cerita Snowden lalu begitu melihat buku ini, meski di dompet duit tentang segitu-gitunya, belilah… kalau ada figure di dunia modern yang berpengaruh dalam hidup saya, Snowden salah satunya

Buku ini menceritakan tentang kisah hidup Snowden dalam tiga babak; babak pertama kehidupan awal, babak kedua tentang pekerjaannya sebagai kontraktor IT untuk badan intelejen di Amerika, dan ketiga, tipping point atau momen puncak dari hidupnya yang membuat dia memutuskan untuk membocorkan rahasia negara. Tiap babak memberikan kesan tersendiri buat saya. Bahwa Snowden lahir di keluarga yang memiliki privilege untuk mendapatkan komputer seri pertama karena ayah dan ibunya juga bekerja untuk lembaga intelejen Amerika. Komputer tak Cuma sahabatnya tapi hidupnya bagi Snowden, di balik layar orang bisa menjadi apa saja, termasuk diperlakukan sebagai orang dewasa ketika dia menghubungi sebuah laboratorium dan memberitahu kebocoran sistem keamanannya, usia baru belasan tahun ketiga itu.

Babak kedua, memasuki dunia intelejen yang seru. Membacanya sambil membayangkan film mission impossible dengan CD yang terbakar usai memberikan perintah, atau seri berikutnya yang membaca semua kegiataan orang di layar virtual, dan itu yang memang dilakukan oleh intel. Yang paling seru buat saya ketika Snowden menggambarkan ruangan kerja dan bagaimana CIA bekerja dengan gamblang. Tentang orang tua dari zaman “colonial” masih dipekerjakan untuk menjaga ruang penyimpanan data yang bekerja dengan kaset dan tape recorder. Pertama karena CIA sendiri tak percaya dengan sistem komputerisasinya yang sewaktu waktu bisa rusak dan menghilangkan semua simpanan data, kedua, karena tidak ingin dibajak balik. Di babak kedua ini, Snowden membongkar cara-cara “nakal” pemerintah dengan menyewa kontraktor melakukan hal buruk, seperti nurturing al qaeda untuk menghalau rusia keluar dari tanah Afghanistan, tapi yang terjadi kemudian berbalik, Al Qaeda menyerang Amerika – ini yang disebut sebagai Frankenstein Effect. Tentara-tentara bayaran untuk maju di medan perang dan menyiksa tahanan di Abu-Ghraib. Di sini Snowden mulai bertanya pada dirinya sendiri, apakah nilai patriotism itu? Berjuang untuk negara yang melanggar nilai kemanusiaan atau apa? Pada moment ini, Snowden mulai sangat hati-hati menyebarkan informasi pribadi di internet. Dia tidak menggunakan kartu kredit karena takut diambil datanya, dia beli mobil secara kas loh.

Babak ketiga, perjalanan menuju akhir terowongan dimulai. Di bagian ini dia ingin menceritakan kalau keputusannya membongkar rahasia NSA yang melakukan mass surveillance kepada warga Amerika dan dunia lewat kerjasama dengan sekutunya yang disebut Five Eye (Canada, UK, New Zealand, Australia dan Amerika) bukan keputusan ujug-ujug. Snowden menimbang semuanya, dia tahu kalau akan kehilangan kehidupan pribadinya kalau dia membocorkan ini. Tapi keputusannya sudah matang, ini bagian dari cara dia menebus kesalahan pada dunia, dia yang membantu sistem surveillance ini terbangun dan kemudian digunakan untuk kepentingan tak Cuma intelejen atas nama keamanan negara tapi kepentingan para kapitalis. Metadata yang tersimpan sepersekian detik tentang kehidupan pribadi setiap orang di dunia ini diperjual belikan kepada kapitalis untuk membaca dan prediksi perilaku, tingkat konsumsi, preferensi minat membeli, dan kemampuan membeli. Bagi intelejen, semua data pribadi bisa disalahgunakan untuk melanggar kehidupan privasi orang. Di Amerika, kepemilikan pribadi sangat dilindungi negara dengan undang-undang, tapi hukum selalu terlambat dibanding perkembangan teknologi, data pribadi menjadi property negara dan itu harus dilawan. Snowden bilang, orang yang tidak peduli pada privasi datanya seperti orang tidak percaya tuhan hanya karena dia atheis, orang tidak percaya demokrasi karena dia otoritarian dan seterusnya. Hari ini kamu boleh tidak percaya pada perlunya perlindungan data pribadi, tapi suatu saat hal terburuk bisa terjadi, datamu digunakan untuk melawanmu dan generasimu berikutnya.

Salah satu yang cerita yang membuat dia menemukan keputusan adalah ketika dia mengawasi atau surveille seorang dosen di Indonesia. Dosen itu mengajukan penelitian bersama dengan universitas di Iran, dengan menyebut Iran saja, namanya kemudian masuk dalam daftar pengawasan intelejen Amerika. Snowden melihat kegiatan si dosen dengan laptopnya di belahan dunia lain. Tiba-tiba anak si dosen menghampiri bapaknya, dan dipangku. Snowden berhadapan mata dengan anak itu dan dia membayangkan dirinya sendiri bersama bapaknya. Dia langsung berdiri dan ke kamar mandi, napasnya berhenti. Dia membayangkan apa yang akan terjadi pada anak itu dengan data yang tersimpan bahwa bapaknya berhubungan dengan Iran. Saya berhenti membaca di bagian ini… sejenak… dan menangis. SHIT! Kita bisa sangat mudah masuk daftar hitam hanya karena mampir ke situs situs yang dianggap sensitive oleh negara dan itu menjadi catatan abadi yang sangat mungkin memengaruhi kehidupan anak cucu nanti

Kecemasan demi kecemasan yang membuat Snowden mendapatkan serangan epilepsy di usia 27 tahun. Ibunya ternyata juga mengalami epilepsy di akhir 30an. Kecemasan memicu serangan di otak dan itu yang membuat kejang atau seizure. Cerita ini mengena buat saya pribadi karena sahabat dekat saya meninggal dalam tidur karena kejang epilepsy tiga tahun silam.

Ada banyak cerita yang bisa diambil pelajarannya dari buku ini, termasuk bagaimana cara menghindari penyadapan ketika kamu melakukan aktivitas yang sensitive untuk “diinteli” yang berguna untuk kawan-kawan jurnalis. Awareness saja tidak cukup untuk melindungi data pribadimu, kamu harus berjuang untuk melindunginya kata dia.

2016 saya mencolek Snowden di twitter “terus kenapa lu ada di twitter padahal tahu diawasi?” jawabannya singkat tapi mengena, “untuk menyampaikan pesan.” Nel-uga… tapi kan ga setiap orang bisa melindungi datanya seperti dia huhuu, saya hanya mengurangi apa yang bisa saya kurangi dari data pribadi.

Kita selalu percaya bahwa perbuatan baik semasa hidup akan membuat nama kita abadi saat mati nanti, tapi sekarang, yang abadi hanya data pribadi. Jadi berhati-hatilah dengan jejak digitalmu.

Politik Dalam Ruang Keluarga

Standar

Hampir dua pekan ini, ruang public diramaikan oleh aksi mahasiswa dan pelajar yang membuat orang tua berang, meradang. Mereka seolah terusik oleh sikap mereka, memaki pagar yang dirusak, kepala polisi yang bocor, seolah meniadakan fakta, bahwa ada anak-anak berseragam putih biru dan mahasiswa berjaket kampus berhadapan dengan pasukan dengan atribut lengkap yang terlatih menghadapi “penjahat” bukan pelajar. Mereka terlatih untuk melindungi kepala dari lemparan batu, bahkan sudah siaga dengan rompi anti peluru dan helm. Dalam logika sederhana, yang dihadapi ini manusia, anak-anak bukan perusuh. Dari penampakan itu saja, stigma negative sudah disempatkan oleh negara dalam bentuk kepolisian pada mahasiswa dan pelajar. Coba lihat yang di Yogya, apakah polisi beratribut sama? Kenapa di sana polisi bisa akrab dan bukan sebaliknya? Apa karena ini Jakarta?

Akan sangat mudah untuk mencari kambing hitam, menunjuk mana yang salah. Dalam politik, kita pasti bias karena punya keberpihakan dan saya tak ingin terjebak pada diskusi panjang itu. Buat saya, kekerasan siapa pun yang melakukan tidak dibenarkan tapi menempatkan anak-anak dan mahasiswa seperti penjahat dan perusuh, itu berlebihan. Kembali pada Undang-Undang yang berlaku untuk melindungi anak-anak di bawah 18 tahun.

Saya dibesarkan oleh seorang polisi yang memulai karirnya sebagai prajurit dan pensiun berpangkat mayor dan bertugas terakhir di Mabes Besar Kepolisian RI. Papi saya keras, sangat keras, darinya saya belajar tentang ketegasan, keteguhan, dan kedisiplinan. Kami berdua kepala batu. Tapi tak pernah sekali pun tangannya memukul saya. Kami bisa sahut-sahutan saling tinggi nada berargumentasi, saya tidak pernah puas membantah beliau, tapi lagi-lagi tak pernah sekali pun tangannya melayang untuk menghentikan saya bicara. Dia akan mendengarkan saya berargumen, lalu dia menyahut, dan saya kembali menyahut. Yang kemudian menengahi adalah mami. “Sudah cukup! Berisik!” lalu saya yang biasanya melipir. Satu-satunya rem dalam hidup saya, rasanya mami, sampai hari ini.

Dalam keluarga, kami anak-anak diajari berpolitik. Papi tidak akan memulai makan malam kalau salah satu anaknya belum tiba. Dia akan menunggu, di depan televisi. Kami tak punya ruang makan, rumah petakan tiga ruang itu justru membuat kami benar-benar dekat. Bayangkan lagi sebel sama papi, tidak ada ruang buat sembunyi. Pelajarannya, masalah bukan alasan untuk lari, tapi hadapi, suka tidak suka. Papi akan memulai dengan pertanyaan, “bagaimana sekolah?” lalu entah siapa yang memulai, saya atau papi, argumentasi terjadi, mulai dari urusan pelajaran di sekolah, acara di tv sampai rebutan bantal.

Jika ada persoalan keluarga, papi bawa itu dalam diskusi makan malam, di depan tv. Semua akan ditanya pendapatnya, saya, lina dan si bungsu, juga mami. Semua kebagian memberikan masukan. Setelah debat, dan papi “kalah” dia akan berkata, “begini, bagaimana pun papi ini kepala keluarga, jadi papi yang memutuskan.” Lalu saya akan ngedumel, “kalau begitu, ga usah lah minta pendapat nita.” Papi melotot, mami mencubit.

Ketika masuk SMA, kontrak politik pertama saya dengan papi ditandatangan. Bahwa saya, nita, selama belum bisa mencari uang sendiri, selama tinggal satu atap dengan keluarga maka tidak ada pacaran, tidak ada satu pun yang menghentikan cita-cita untuk kuliah. Jika ketahuan pacaran, sekolah berhenti, kawin saja. Begitu isi kontrak yang saya harus sepakati dengan papi. Dan saya penuhi janji itu. Sekali pun pada tahun kedua, papi pensiun, dan saya harus membiayai kuliah saya sendiri.

Di masa persiapan pensiunnya itulah peristiwa 1998 terjadi. Papi tahu, anaknya yang ini sudah pasti gatel untuk ikut turun ke jalan. Ada sebal mendadak melihat tingkah polisi dan saya sedikit menjauh dari papi. Saya diam tak banyak bicara di rumah ketika papi ada, tapi menyala-nyala cerita pada mami, dan dia tahu itu. Suatu pagi dia bilang, “papi izinkan kamu ikut demo tapi kita jangan sampai bertemu di jalan.” He knows, he just following order. Kalau situasi tak terkendali, bisa jadi dia harus menangkapi saya. Ketika itu, dia bukan papi saya, dia alat negara.

Apa yang papi dan mami berikan sejak kecil, sangat politis dan itu menular pada cara saya dan Lina memerlakukan kakak Zi dan Septi. Mereka adalah manusia berusia muda, mereka anak-anak yang kami perlakukan sebagaimana manusia dewasa. Setiap keputusan didiskusikan bersama, Kakak Zi dan Septi punya hak mengeluarkan pendapat, setuju atau tidak. “Kasih alasan yang cukup baik untukku membelikan kamu squishy ini?” “Kenapa aku harus membelikanmu dinosaurus yang baru?” “Mana yang kalian pilih, liburan ke Ragunan atau kita jalan-jalan naik MRT? Terus alasannya?”

Ketika mereka lihat mahasiswa dan pelajar turun ke jalan, setiap malam Zi menanti saya pulang untuk memberikan cerita apa yang terjadi hari itu. “Aku tahu ada yang meninggal?” “Kenapa kakak SMA ikutan demo?” “Kenapa mereka dipukuli dan diberi tembakan apa itu, gas air mata?”

Jawaban yang saya berikan jujur bahwa ada Rancangan Undang-Undang yang akan mengatur kehidupan kita yang sedang dipermasalahkan. Tentang saya tidak bisa pulang malam, dan tentang ayam masuk ke pekarangan rumah. Tentang kakak mahasiswa yang memperjuangkan agar hutan tak lagi dibakar, agar kakak Zi dan Septi punya udara yang lebih bersih dari hari ini, tentang Rancangan Undang-Undang yang kita perjuangkan untuk melindungi Kakak dan Septi dari kekerasan. Memperjuangkan masa depan Kakak dan Septi menjadi lebih baik. Kalau ada kakak mahasiswa dan pelajar yang dipukul, kita harus sepakat kak, bahwa kekerasan itu tidak baik, tidak boleh terjadi.

Keduanya besar di era keterbukaan informasi, kalau tidak saya jawab, mereka akan menemukan jawabannya sendiri dengan jempolnya. Informasi yang salah sangat mudah didapat, saat inilah saya dan Lina ibuknya punya tanggungjawab lebih besar untuk mendampingi keduanya mengunyah pelan-pelan setiap informasi yang mereka dapat.

Yet, perjuangan yang kata orang diprovokasi, saya hanya menghela napas. Hari ini, saya rindu papi. Saya tidak tahu Pak Kumis itu akan berkata apa kalau melihat kawankawannya menendang keras dengan sepatu lars yang dulu setiap pagi saya semirin, memukul dengan tongkat yang keras itu pap, yang kita simpan jaga-jaga kalau maling masuk rumah. Al Fatihah

Dan untuk Kakak Zi dan Septi, maafkan nak, perjuangan belum lagi usai. Kalian adalah pemilik masa depan yang diniatkan rusak oleh mereka yang punya kuasa.