
Bukan satu atau dua kali, kami di Kait Nusantara mendapat tawaran buka booth dan diajak mengundang para seniman rotan. Jika Kait Nusantara ada modal untuk menerbangkan mereka dari Teluk Sumbang ke Jakarta dan kembali ke Teluk Sumbang, tentu akan kami pertimbangkan tawaran itu. Jika berikutnya adalah, tentang barang yang dibawa. Jika tidak laku terjual, apa yang harus Kait lakukan? Kami akan merasa berdosa jika para seniman rotan kami pulang dengan membawa barangnya kembali dan bersedih, terluka merasa dibohongi. Sudahlah melewati lautan, bukit lalu terbang dan melewati macetnya Jakarta, di antara mereka bahkan tidak pernah keluar desa, kalau ada hanya 3 jam dari kampung itu pun diselingi muntah berkali-kali sepanjang jalan. Jawaban kami masih sama, terima kasih, silakan datang dan menjenguk seniman rotan kami di Teluk Sumbang saja..
Barang-barang yang kami beli dari para seniman rotan, adalah beli putus. Kami membagi ilmu berhitung ongkos produksi, berapa selisih keuntungan yang mau mereka ambil dan berapa harga jual yang kami patok ketika di Jakarta, semua dilakukan terbuka. Kami rewel soal kualitas, karena ini bukan sekedar menjual tas rotan untuk menyambung mereka hidup, justru untuk merawat tradisi, sekaligus membuat mereka mandiri secara ekonomi, maka tas rotan harus berfungsi dan dapat digunakan oleh orang kota, harus sedap dipandang mata, barulah mereka bisa mendapatkan harga yang pantas untuk itu.
Bukan satu-dua kali kami dikontak orang untuk pesanan, tapi belum bisa diterima, karena kami menakar kemampuan kelompok seniman rotan dalam berproduksi yang bergantung pada musim hujan dan kemarau, juga kalender tanam dan agama. Mereka tak bisa dipaksa kerja rodi hanya untuk memenuhi orderan pasar. Kami masih harus belajar menguatkan kelompok, berbagi beban kerja, dan membuat pola produksi sendiri, yang tentu tidak mengganggu aktivitas utama mereka.
Ketika para seniman rotan mendatangi kami dengan barangnya, saya dan tim akan cek dulu kualitas, itu yang utama. Pasti dibeli, tapi dengan catatan, jika kualitas menurun, harga pun menurun. Itu kesepakatan yang sudah kami buat sejak awal. Para seniman rotan harus belajar menghargai sebaik-baiknya profesi mereka dengan membuat tas berkualitas terbaik hingga harganya juga akan baik. Kami sangat menghargai kerja mereka, sehingga tidak asal jeplak membeli barang dari rasa kasihan, tapi berdasarkan kualitas dan fungsi serta penghargaan setinggi-tinggi pada karya seni dan budaya.
Pameran harusnya bukan tujuan akhir pemasaran, karena pameran itu ribet, butuh tenaga dan waktu yang tidak sedikit dan jika promosi kurang baik, manyun mak. Secara pribadi, saya tahu betul rasanya mengerjakan sebuah karya, satu-satu memilin kertas menjadi sebuah keranjang, ikut pameran, lalu tak laku. Pulang membawa kembali semuanya, lelah yang tak terbayarkan tapi saya juga tidak mau orang membeli karya saya karena kasihan, orang harus beli karena suka atau butuh. Menciptakan pasar bisa dilakukan lewat cara yang lebih murah, melalui sosial media, berbagi cerita. Kita masih dan harus terus belajar mengembangkan model pemasaran untuk produk-produk lokal dan memberdayakan para seniman lokal sambil melestarikan budaya dan alamnya, tapi jangan lagi pakai model-model lama, produksi dan terus produksi lalu lupa bagaimana menjualnya. Kita takkan mampu terus-terusan membeli produk rakyat dan menumpuknya di gudang karena tak tahu cara jualannya kemana. Para seniman harus bisa hidup, begitu juga kita para penggiat ekonominya. Jangan konyol lah…
Model bisnis sosial perlu kita belajar lagi dan lagi, tapi tahan diri agar tak terjebak menjadi kapitalis yang bikin rugi dan memperdaya orang lain.