Setiap kali menulis novel, meski baru ketiga, selalu ada pengalaman yang menarik dan berbeda satu sama lain. Di novel perdana TUN yang berhasil membuat pembacanya gemes di ujung cerita, kesel sama tokoh perempuan yang menye itu, yang artinya saya berhasil membangun karakter, saya lebih banyak terjebak pada riset. Kritik yang membangunkan saya adalah, too much detail! Kayak jurnalis lu. Novel pertama itu “pesanan” seorang kawan di Myanmar yang ingin saya mengenalkan cerita Mynamar di Safron Revolusi, tentu saja dengan balutan cinta agar mengalir dan menarik, kesampaean ga ya?
Novel kedua, Hening, sempat tertunda selama 5 tahun. Kali ini bukan kebanyakan riset, tapi saya jatuh cinta pada karakter yang dibuat, anjrit banget. Tapi saat menjaga jarak dengan tokoh fiksi ini, saya malah terbawa kehidupan nyata, ya kerja, ya sekolah. Setelah duduk manis di depan laptop dan diniatkan banget untuk menulis, eh kelar tuh semuanya dalam waktu satu bulan. Semua memang tergantung niat. Tssaaah.
Novel yang baru lahir setengah jam yang lalu, masuk dalam generasi karantina, novel covida. Kelamaan di rumah, membuat saya banyak marah, emosi naik turun, sering naiknya daripada turun dan semua itu harus disalurkan. Salah satu yang saya targetkan adalah menyelesaikan satu novel.
Bulan Mei, menuliskan kerangka awal dalam folder tersendiri di laptop. Saya biasa membuat judul awal supaya cerita tetap fokus pada judul dan ga meleber kemana-mana. Mei – Juli tidak maju-maju dari bagian I. Ternyata menulis di masa karantina tidak lebih mudah daripada menulis Hening saat sibuk kerja menderu. Di masa karantina ini pergulatannya pada kewarasan dan perjuangan menjaga emosi. Hari-hari di tempat yang sama, tak ada orang-orang yang lalu lalang yang biasanya menambah inspirasi. Novel ketiga ini beneran lahir di dalam gua, subuh buta, sendirian, penuh emosi di luar cerita. Drama di dunia nyata yang kadang bikin saya ingin banting laptop, tapi tentu merasa rugi. Kacau lah pokoknya, ada ratusan alasan untuk menyerah.
Persis ketika ingin menyerah, teman memberikan hadiah, ikutan workshop Kaizen Writing bersama Dee Lestari di Agustus ini. Kata pertama dari Dee yang akhirnya benar-benar menampar saya, dan membangunkan lagi semangat yang hampir mati, adalah TAMAT! Percuma tuh mengaku penulis tapi tak pernah menamatkan cerita. Sebuah karya baru akan jadi karya kalau dia mencapai kata TAMAT! Bagaimana mencapai kata Tamat itu yang disampaikan Dee dalam workshop ini dan saya tidak akan mengulasnya dengan detail. Kamu harus ikutan dan merasakan sendiri perjalanannya. TAMAT itu bukan deadline, tapi birthdate – sebuah kelahiran.
Dari Dee saya belajar untuk berpikir sistematis, menangkap dan merawat ide dengan penuh kasih sampai dia membentuk menjadi sebuah karya tulisan, apapun itu. Istilah kalkulator kata juga jadi salah satu yang paling menohok. Jadi yang harus dilakukan di awal adalah menentukan kapan tanggal kelahiran sebuah karya aka memunculkan kata TAMAT, dan berapa banyak kata yang ditarget. Lalu untuk pengerjaannya, hitung mundur dari target kata dan dibagi berapa hari kerja yang mau dilakukan.
Untuk bayik ketiga bernama sementara “Kala Kelabu di London” ini hari lahir ditargetkan 31 Agustus 2020 dengan jumlah kata 40.000. Saya berani menargetkan waktu itu karena sudah punya modal awal dan sisa jumlah kata dibagi perhari dengan target 1000 kata dan bekerja 2 jam perhari. Tapi setelah dijalani, ternyata kecepatan menulis fiksi saya adalah 1000 kata per jam! Woohoo, tapi dengan catatan bebas distraksi. Alhasil, bayik ketiga lahir lebih cepat, hari ini 17 Agustus 2020, hari kemerdekaan Indonesia ke 75 tapi isinya totally bukan tentang kemerdekaan, dan dengan jumlah 43.838 kata.
Rasanya plong, hampa, persis seperti saat kelar baca sebuah buku yang menarik. Terus apalagi ya? Dee bilang, tinggalkan saja dulu, biar kata-kata itu berfermentasi sebelum masuk ke proses penyuntingan awal. Pas! Minggu ini banyak libur, ya libur kerja, ya libur menulis. Saya mau bersenang-senang setelah bayik ini menguras banyak emosi dan penuh drama selama pengerjaannya.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya mau menjawab beberapa kawan yang juga ingin menulis tapi ga kelar-kelar, boro-boro kelar, masih dalam angan malah. Jiah… gini loh, memulai itu memang sulit, tapi jangan terus ga dijalanin. Tulis saja dulu, tulis semua yang ingin kamu tulis. Tapi karena ini menulis untuk orang lain, bikin kerangka agar tak melebar dan bukan sekedar tulisan bebas. Dee mengajari saya untuk berprasangka baik dengan pembaca, artinya tidak semua hal detail perlu saya tulis dan jelaskan. Ini bukan jurnal ilmiah. Juga jangan memikirkan tanggapan orang lain tentang tulisanmu. Sebuah karya itu subjektif kok, tergantung selera orang. Buat A mungkin karyamu seringan kapas dan memuakkan, ih biar sih, ga usah dibaca. Buat B, karyamu mengubah cara pandangnya soal dunia, tssaaah.
Buat saya, menulis adalah mengabadikan kenangan. Setiap novel yang saya tulis selalu ada cantolan kenangan yang ingin saya abadikan, dan tentu saja dibalut imajinasi. Bayik ketiga, saya buka rahasia, memang ditujukan untuk bercerita tentang epilepsi dan demensia. Dua hal yang sangat dekat dengan saya beberapa tahun ini. Kedekatan dengan tema bisa merugikan, tapi buat saya lebih banyak menguntungkan karena ada rasa yang hidup di dalam tulisannya.
Okay waktunya bersenang-senang, makan enak….