Monthly Archives: November 2020

Mudahnya Perhatian Netizen Digeser. Studi Kasus WordPress Untuk Artikel Review How Democracies Dies

Standar
Mudahnya Perhatian Netizen Digeser. Studi Kasus WordPress Untuk Artikel Review How Democracies Dies

Senin, 23 November 2020, setelah akhir pekan yang penuh perjuangan untuk sekedar sehat, saya buka laptop untuk bekerja. Seperti biasa, laman yang dibuka adalah WA, wordpress ini, facebook dan email. Saya terkejut, bukan sekedar terkejut, tapi mau copot jantung beneran begitu lihat traffic yang mengakses wordpress ini setinggi Burj Khalifa di Dubai. 600 views! Emejing!

Sungguh tak paham apa yang terjadi pagi itu. Lama melototin traffic, begini rasanya jadi anak-anak start up yang berlomba mencuri perhatian netizen untuk aplikasi mereka ya. Apa yang terjadi di luar sana? Sakit saya sembuh seketika.

Begitu lihat item artikel tertinggi adalah Review How Democracies Dies, 489 views, saya sudah bisa menebak, sesuatu yang tak lazim terjadi di media sosial. Seseorang menciptakan tren lalu kubu lawan macam kebakaran jenggot, macam tahu bulat, mendadak tergoreng. Jadilah wordpress ini ikutan ditengok ratusan orang.

Ini penampakan traffic Senin, 23 November 2020

Saya tahu, buku terbitan 2018 dan saya review ditahun yang sama itu cuma dilirik karena lagi tren sementara. Bukan karena mereka benar-benar tertarik membahas isi buku yang sebenarnya benarnya menarik. Jadi kenapa saya harus bangga didatangi ratusan pengunjung, sebaliknya saya mah prihatin, begitu mudahnya kamu tersulut tren. Ih!

Yang terjadi dalam beberapa hari kemudian, media sosial dipenuhi foto orang membaca buku. Kalau cuma pencitraan, sungguh kasihan. Kamu tahu, 2017 Unesco bilang hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang membaca buku. Indeks literasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 menunjukkan bahkan DKI Jakarta sebagai Ibukota negara, yang keren ini, tingkat literasinya masih 58,16% artinya sedang-sedang saja (sambil nyanyi dangdut). Sekalipun buta aksara berkurang, budaya membaca secara umum masih sangat rendah. Ketika foto ramai-ramai membaca buku, doa saya semoga itu bukan sekedar political statement, bukan pencitraan, tapi buku itu benar-benar kalian baca dan pahami.

Sudahlah budaya membaca rendah, kita sudah dihantam budaya instant lewat teknologi. Makin sederhana bahasa, semakin popular narasinya, semakin pendek jumlah kalimatnya, semakin disenangi orang. Kamu takkan cukup dituangi data tanpa narasi yang benar, tak cukup membaca headline untuk paham isi berita.

Setiap kali menuliskan review buku di blog ini, saya tuh dilema. Apakah dengan memberikan review sebuah buku yang halamannya ratusan dan berbahasa Inggris ini tindakan benar? Apakah tidak membuat orang yang “malas” membaca akan semakin malas membaca dan saya hanya melanggengkan budaya instant? yang lebih buruk adalah orang-orang memanfaatkan hasil review saya untuk berdebat kusir dan bertingkah seolah membaca sendiri buku itu.

Niat awal review buku dibuat semata untuk membantu saya terus mengingat sekaligus sekedar pematik bagi pembaca untuk membaca sendiri buku itu. Selain itu berbagi tentang pengetahuan yang singkat dari sebuah buku yang saya baca. Sesederhana itu. Tapi apa yang terjadi tiga hari kemarin membuat saya meringis. Kesel.

Ini traffic perhari ini, 26 November 2020

Sesederhana itu melihat betapa mudahnya netizen digeser opininya oleh politisi dan kerumunan pendukungnya juga media. Setiap hari mulai menurun tren orang mencari resensi buku ini, sukurlah. Saya hanya blog ini normal lagi, ditemukan orang yang benar-benar ingin cari referensi awal untuk sebuah buku yang ingin dibaca. Bukan sekedar ikutan tren

Pak Anies, besok saya boleh titip novel untuk difoto bareng bapak? Mayan pak, bisa bantu saja jualan novel.

Iklan

3 Rekomendasi Drakor Berisi

Standar

Pandemi memang benar-benar mengubah hidup saya. Sejak pandemi resmi diakui Indonesia, saya beralih menonton drama korea selepas magrib untuk mencari hiburan. Rutinitas saya berubah, oh well, saya berusaha untuk tidak terjebak dalam rutinitas sebenarnya. Tapi drama korea akan ada di satu dua jam dalam sehari. Diusahakan ga menggila menghabiskan satu malam penuh dan binge semua episode. Saya juga termasuk sangat pemilih, tonton satu episode untuk tahu apakah plotnya saya suka, isi cerita menarik dan tentu saja pemainnya enak dipandang. Judulnya juga mencari hiburan, kalau ala kadarnya ya mending baca buku sik.

Dari banyak drakor yang saya tonton, ada tiga saja yang mau saya rekomendasikan untuk pembaca blog ini. Drakor ini plotnya menarik, twist banyak di setiap episode yang bikin penasaran untuk meneruskan tontonan dan yang pasti risetnya serius.

Flower of Evil – pertama kali lihat posternya di VIU saya sih ga tertarik. Coba judulnya aja jayus gitu. Tapi setelah temen bilang, tonton dulu deh episode pertama pasti lu suka. Akhirnya bener terjebak dalam cerita dan mengejar 16 episode dalam satu minggu saja.

Sebagai anak kriminologi, ceritanya jadi dekat dengan saya. Stigmatisasi terhadap anak seorang pembunuh terus menempel hingga dia dewasa dan itu mengubah keseluruhan hidupnya. Kalau punya bapak penjahat, kemungkinan besar anaknya juga akan jahat dan menjadi bagian komplotan bapaknya. Si anak juga terlahir dengan kebutuhan khusus secara pskilogis tidak mampu menunjukan emosinya. Tidak paham apa itu sedih, marah, bahagia, cinta. Itu menambah “kesialan” dalam hidupnya.

Kedua tokoh utama protagis dan antagonisnya sama-sama memiliki masalah kejiwaan. Risetnya menarik.

Stranger / Forest of Secret – langsung ke drakor yang saya tonton karena tokoh utamanya juga punya masalah psikologis, ketidakmampuan memahami emosi. Ini drakor politis banget, cocok buat saya yang menyukai politik. Cerita tentang sebuah pernikahan politis, anak perempuan seorang milioner yang menikah dengan jaksa muda yang cemerlang. Keduanya mengambil keuntungan, papa mertua pebisnis itu membeli hukum lewat anak mantu untuk melindungi bisnisnya. Si anak mantu memanfaatkan papa mertua untuk memuluskan karirnya di kejaksaan sampai menjadi sekretaris gedung biru – pemerintahan korea. Harta, tahta dan perempuan memang masuk dalam plot ini.

Lalu ada jaksa Hwang Si Mok yang ga bisa mengenali emosi itu kalau ngomong ga pakai tadang aling-aling. Di episode pertama saya sudah jatuh cinta padanya karena mirip Sherlock Holmes hanya ga tengil aja. Karena tidak tak punya emosi, tidak punya kepentingan dan sepanjang hidupnya berlaku jujur. Si Mok lah yang membongkar kasus pembunuhan seorang penyedia jasa perempuan untuk para petinggi kejaksaan untuk ditukar dengan perlindungan hukum. Kasus itu merembet pada korupsi di kejaksaan dan semua yang terlibat diungkap oleh Si Mok dan partner dari kepolisian detektif Han.

Money Game – nah ini… buat pembaca buku tentang kapitalisme, neoliberal, sosialisme, drama korea yang satu ini menjelaskan itu semua dalam 16 episode. Ya tentu saja tidak penuh, tapi lagi-lagi risetnya bagus. Mengusung buku the Great Transformation – Karl Polanyi, drama korea ini mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana neoliberalisme sudah mengiris kedaulatan pemerintahan korea selatan. Saat krisis finansial 1997, pemerintah korea selatan yang nyaris bangkrut itu meminta pertolongan IMF untuk meminjamkan utang, yang syaratnya tentu saja privatisasi perbankan nasional. Ketika krisis kembali terjadi di 2020, seorang politisi ambisius ingin mengembalikan kedaulatan pemerintahan, bagaimana bisa mengendalikan pasar tanpa menjadi bangkrut. Apa yang salah menjadi sosialis katanya, ketika pasar tidak lagi mampu mengembalikan kesejahteraan rakyat?

Film ini tuh berasa dekat secara emosional buat saya. Cerita tentang bagaimana keluarga miskin semakin miskin karena uangnya dipertaruhkan di bursa saham yang lagi-lagi dikendalikan oleh orang-orang tertentu. Terjebak utang yang tak terbayarkan meski sudah bekerja lebih dari 12 jam sehari. Tentang seorang profesor dan praktisi ekonomi tingkat dunia yang keluar dari Wall-Street untuk menjadi petani kubis di sebuah desa. Dia merasa telah mengajarkan ilmu ekonomi yang salah kepada mahasiswanya, dia mengakui bahwa pasar bukan jawaban untuk mensejahterakan rakyat, membebaskan pasar sepenuhnya hanya akan menguntungkan sekelompok kecil konglomerat.

Tiga drama korea ini bikin saya semakin gemas karena sinetron Indonesia sumpah jelek banget!! Kacang, tanpa isi. Tak ada riset, tak ada plot menarik, tak ada pemain yang serius, teknik sinematografinya ala kadar. Jauh sungguh jauh.

Tiga drama korea ini juga bikin saya penasaran, seandainya seluruh isi buku di perpustakaan pribadi saya itu bisa dibagi seringan drama korea, barangkali pesan akan cepat sampai. Barangkali publik akan sama-sama mudah mencerna dan tak mudah dibohongi si anu dan si inu.

Seandainya bisa milih pemainnya, tentu saja tetap setia untuk memilih Cho Seung Woo, Lee  Joon – Gi, dan Goo So, dan tidak melupakan Gong Yoo kesayangan, haik.

Tiga Mantra Suci Pemerintahan dan Mari Dipikir Ulang. Review buku Wellbeing, Resilience and Sustainability: The New Trinity of Governance oleh Jonathan Joseph, J. Allister McGregor

Standar
Tiga Mantra Suci Pemerintahan  dan Mari Dipikir Ulang.  Review buku Wellbeing, Resilience and Sustainability: The New Trinity of Governance oleh  Jonathan Joseph, J. Allister McGregor

Satu lagi buku yang mengganggu ketenangan dan kenyamanan cara pandang saya sebagai orang yang bekerja di dunia development sejak 2008. Artinya buku bagus, dan wajib dibaca oleh kawan-kawan di dunia saya, juga yang bergerak di politik. Markipas, mari kita kupas.

Ketiga mantra suci tata kelola pemerintahan, wellbeing (kesejahteraan), resilience (daya lenting) dan sustainability (keberlanjutan) seolah menjadi wajib ada dan dicantumkan serta menjadi prinsip dasar membuat kebijakan, dalam proses politik. Apakah ujug-ujug datangnya? Matra terakhir tentang sustainability yang sangat dekat dengan alam, itu sudah dibahas sejak tahun 1970an. Ada kekhawatiran tentang aktivitas manusia yang mengekploitasi alam secara berlebihan dan menganggu ekosistem yang ada. Kekhawatiran itu tentu jadi angin lalu bagi para pemuja “growth” terutama ketika 1980an duo maut neoliberalisme Reagan dan Thatcher menggaungkan tentang kekuasaan absolut pada pasar yang seolah akan menyelesaikan masalah ekonomi dan meningkatkan pasar. Neoliberalisme menekankan pada individualitas, persaingan bebas termasuk antar individu, tak ada lagi yang namanya society, tak ada kelas sosial.

Lalu beberapa peristiwa terjadi, krisis finansial dunia 1998 dan 2008, lalu serangan terorisme di 9/11 2001,mengubah tatanan dunia, mengubah cara berpikir pemerintahan. Tapi bukannya mengakui bahwa sistem ekonomi dunia yang selama ini dijalankan itu salah, sebaliknya narasi yang diubah. Bahwa tanggungjawab kesejahteraan masyarakat, kemampuan masyarakat untuk bouncing back atau bertahan dari krisis dan bangkit lagi, serta keberlangsungan alam dan manusia, menjadi tanggungjawab personal. Oh yes, kamu pintar, kita kembali ke paragraph di atas. The ME CULTURE

Wellbeing – adalah tentang kesejahteraan yang levelnya personal. Apa yang membuatmu bahagia? Begitu pertanyaannya. Happiness movement atau gerakan menuju kebahagiaan bergaung. Referensi awalnya adalah kehidupan para biksu Budha yang hidup tenang dan melepaskan keduniawaian. Konsep yang merujuk pada agama tak laku di dunia yang sekular, lalu mereka mengubah narasi menjadi mindfullness – tbh, sampai sekarang masih kaga paham konsep ini sebenarnya. Bahwa yang terjadi kemudian, konsep ini being use and abused oleh kapitalis yang sama. bukannya melepas beban ekonomi, tapi ditawarkan pengalaman-pengalaman yang menenangkan pikiran dan itu tidak murah. Bahkan kesehatan mental menjadi produk jualan, ketidakwarasan menjadi tanggungjawab pribadi dan bukan sebuah konsekuensi dari gagalnya sistem sosial yang ada. Kita dibuat lupa bahwa ada banyak orang yang tidak punya privilese untuk keluar dari tekanan sosial. Bagaimana kamu bisa menjelaskan orang miskin yang bekerja lebih dari 12 jam sehari dan tetap miskin. Ada mereka yang penghasilannya di bawah standar, dihadapkan pada kebutuhan sehari-hari, bayar listrik dan air juga kontrakan, ditambah biaya sekolah dan kesehatan.

Resilience – ditempatkan pada level komunitas. Berbondong-bondong konsep ini dijejalkan pada masyarakat tentang bagaimana membuat mereka kuat bertahan dari bencana dan bangkit lagi. Penekanannya pada adaptasi bukan mitigasi, bukan pada bagaimana mencegah agar bencana tidak terjadi. Bicaranya tak lagi bagaimana menciptakan infrastruktur yang tahan gempa, tapi pada apa yang harus dilakukan jika gempa terjadi dan bagaimana membangun kehidupan kembali. Pada bagaimana menyelamatkan diri dari banjir daripada mencegah hulu tidak gundul. Jika pemerintah memberikan izin yang asal-asalan kepada pengusaha, maka yang salah adalah manusia yang menjadi korban, kenapa kamu tidak mampu bertahan. Nah, persis, segala izin dipangkas, termasuk tentang lingkungan, maka bersiaplah kita diminta untuk mampu bertahan dari bencana yang disebabkan olehnya.  

Terakhir, sustainability, atau keberlanjutan. Di sini yang berlanjut adalah kegiatan ekonominya, ahai. Konsep ini sangat dekat dengan isu lingkungan, ekologi, ekosistem yang prinsipnya menempatkan manusia sebagai bagian dari alam. Tapi yang terjadi sebenarnya adalah bagaimana agar aktivitas ekonomi tetap berlanjut tanpa merusak alam, begitu cita-cita mulianya. Bisa? Dengan Business as Usual, kita butuh 4 planet baru untuk mendukung ketamakan manusia atau kita punah tak kurang dari 100 tahun mendatang. Hasil negosiasi tingkat dewa saban tahun itu tak pernah benar-benar mengikat dan siapa yang mengontrol tak jelas. Yang jelas jenis kapitalisme baru yang muncul, green capitalism. Dunia barat bisa terus menghasilkan banyak emisi lalu mengkonversinya dengan membayar negara lain yang masih punya hutan untuk menyerap emisi. Jadi singkatnya yang dosa biar tetap melakukan dosa, nanti dihapus dengan memberikan uang pada orang lain. Seperti juga konsep tebang 1 tanam 100, mau tanam 1000 juga percuma, wong satu pohon butuh sekian puluh tahun untuk bisa berfungsi sama dengan yang ditebang dan dalam perjalanannya mereka rentan mati dalam kondisi seperti sekarang. Seperti konsep circular economy, kalau kita hanya menyelesaikan sampah di hilir, maka produsen sampah di hulu akan terus leluasa beroperasi menghasilkan sampah.

Lalu apakah kita tanggalkan saja tiga mantra suci ini? kata Jonathan Joseph, J. Allister McGregor, tidak harus begitu juga cara pikirnya. Kita bisa memanfaatkan dan mengembalikan tiga mantra suci ini pada prinsip dasarnya. Menggaungkan the Me-Culture – atau semuanya serba gue, tidak seharusnya melepaskan tanggungjawab pemerintah. Konsep Governmance in distance itu mengabaikan prinsip bernegara ketika rakyat menyerahkan mandat pada pemerintahan untuk bekerja. Wellbeing harus dikembalikan pada konteksnya, sulit untuk menyamaratakan indeks kebahagian secara global seperti yang dilakukan dalam GDP karena konsep kebahagian setiap budaya sangat mungkin berbeda. Resilince tidak boleh dilepastangankan hanya menjadi tanggungjawab kelompok masyarakat karena tanggungjawab pemerintah tetap ada di bagian pencegahan dan bagaimana membangkitkan kembali kehidupan masyarakat. Sustainability harus dikembalikan pada konsep bahwa manusia adalah bagian terintegrasi dalam sebuah ekosistem. Aktivitas yang dilakukan manusia jelas merusak dan menyebabkan ekosistem terganggu. Kedua penulis buku ini mengungkit kembali gerakan DeGrowth, melepas patokan GDP sebagai penentu ekonomi dan kembali pada tolok ukur keberlanjutan lain, secara radikal mengubah konsep ekonomi yang selama ini ada.

Kira-kira begitu pemahaman saya terhadap buku ini. Selamat membaca dan terganggu seperti saya. ahai.