Pada suatu sore, gadis sembilan tahun itu berkesempatan berkeliling pusat kota Jakarta, bisnis distrik, gedung-gedung tinggi menjulang mencakar langit. Dia tak berhenti menatap ke atas gedung berdecak kagum.
“Mam, gimana rasanya tinggal di hotel ya?,”Tanyanya sambil menoleh pada sang ibu di sisi kanannya
“Ya seperti raja, dilayani,” kata si ibu santai
“Aku nanti mau keliling dari satu hotel ke hotel berikutnya.” Kata gadis itu sambil membayangkan kasur penuh kutu busuk di rumah kontrakan petakan di pemukiman padat pinggiran Jakarta. Kasur yang beberapa tahun kemudian harus dibagi bertiga sejak adik bungsunya hadir terlambat sebelas tahun. Setiap malam mereka bertengkar berebut bantal “adem” setelah didiamkan beberapa menit di bawah kipas angin yang bunyinya berderit memilukan. Rumah beratap asbes ini panas, jadi harus cari cara paling sederhana untuk bisa dapat rasa “adem” termasuk mendiamkan bantal. Lalu tetiba adik atau ayah datang merebut bantal itu, rasa murka itu sampai di ubun-ubun kepala. Cuma gara-gara bantal.
“Kalau tidur di hotel kan pakai AC, sudah pasti adem kan ya mam?” Tanya nya lagi
Si ibu tidak menyahut, dia hanya mengelus kepala gadis itu yang terus melempar pandangan sepanjang jalan.
“Mam, gimana rasanya naik pesawat?,” tanyanya lagi
“Wah kalau naik pesawat mami juga belum pernah. Nanti nak suatu saat kamu dewasa, kamu akan terbang keliling dunia. Ceritakan sama mami gimana rasanya naik pesawat.”
Gadis kecil itu adalah aku yang karena pekerjaan buatku terbang naik pesawat lima sampai enam kali dalam satu pekan, melewati pintu detector berkali-kali, melewati turbulensi yang kadang-kadang ditanggapi dengan doa berbagai agama dan kepercayaan memanggil Tuhan yang begitu dekat seakan menyembul di balik awan yang bergumpal di balik jendela pesawat. Tidur bak putri raja di hotel-hotel berbintang di atas kasur empuk, dingin menggigit, kamar mandi seluas rumah petakanku dulu, dan makan dengan hidangan terbaik, yang tak terbilang mahalnya.
Mami… aku sekarang lelah berkeliling dunia, memanggul tas, menarik koper, hidup bergantung pada mesin pesawat terbang.
Aku rindu kasur bau busuk itu, bertengkar dengan adik-adikku untuk bantal adem, hangatnya matahari di bawah atap asbes. Aku rindu tidur di ketiakmu…. Aku rindu rumah.