
Setiap kita adalah penghuni penjara yang dipaksakan ada, atau kita sendiri yang membuatnya. Penjara itu bernama rutinitas kerja, kebutuhan sehari-hari, uang, karir, perkawinan bahkan kenangan. Cie yang susah move on….
Jangan bicara kebebasan kalau sampai hari ini kau saja tak mampu meluangkan waktu untuk dirimu sendiri. Berapa kali kamu selalu bilang, mana sempat untuk membaca buku, mana sempat untuk bertemu sahabat, mana sempat untuk menemui ibu atau bahkan menelpon beliau. Mana sempat?
Setiap kali bertemu para perempuan penghuni lapas perempuan di Bandung, selalu sedih yang tertangkap di balik keceriaan yang membalut amarah, rindu dan sedih. Kemarin saya berkata, penjara fisik ini bisa jadi saatnya untuk jeda dari kehidupan dan mengamati kembali mana yang perlu dan tidak, mana yang akhirnya memang untuk kita punya dan mana yang tidak. Di luar sini, di tempat saya berada, setiap kita terpenjara sesuatu.
Sahabat saya terpenjara selama puluhan tahun dalam pernikahan yang tidak pernah membuatnya bahagia, bertahan, karena status janda begitu menakutkan di mata sosial. Sampai pada harinya, dia berkata, cukup! Dia menemukan dirinya kembali setelah lepas dari penjaranya.
Orang terdekat saya terpenjara di rumah, harus mengurus kedua orang tuanya yang sakit. Bukan karena terpaksa dia merawat mereka, tapi nyatanya, dia memang harus merelakan semua kebebasan yang pernah dimilikinya hilang, bahkan untuk menjadi dirinya sendiri.
Sahabat saya yang lain kembali masuk rumah sakit. Dokter bilang, kecapaian, badannya drop. Tapi dia bilang tak bisa keluar dari penjara bernama kerja, agenda rapat dari pagi sampai malam lalu diulangi besoknya.
Yang lain, terpenjara usia, takut tua. Sebagian uang di dompetnya habis untuk mengabadikan keremajaan sel-sel dalam tubuhnya. Setiap saat berkaca, takut muncul kerutan, takut kalah bersaing dengan waktu.
Yang terpenjara harta, sampai harus pasang CCTV di rumah, di kantor, di mobil, barangkali di kamar tidur. Takut orang lain mengambil kekayaan yang kabarnya diraih dengan susah payah.
Lalu yang terpenjara algoritma, merelakan satu-satunya harta paling berharga dalam hidup ini, privasi. Demi kenyamanan dan keamanan, kita menyerahkan diri dengan sukarela untuk dipenjara dalam data. Rela disodori tawaran yang sebenarnya tidak kita butuh, disodori keinginan semu, dan rela diawasi.
Dan terakhir terpenjara kenangan… hidup di masa lalu, tak berkemampuan melihat kehidupan saat ini, dan merancang masa depan. Yang terpenjara kenangan baik, tanpa mampu melihat keburukan, yang terpenjara kenangan buruk, tak mampu melihat kebaikan.
Beruntunglah mereka yang terpenjara raga tapi jiwa terbebas melayang, berpikir, berkhayal dan berencana. Paling beruntung adalah mereka yang mampu mendapatkan kebebasan jiwa dan raga, ADA?
Kalau saat ini, kamu masih bilang tak sempat bertemu dirimu sendiri karena sibuk…. Tak usah ikut berteriak memperjuangkan kebebasan. Bebaskan saja dulu dirimu.