
Salah satu kritik terhadap gerakan sosial di media sosial adalah munculnya ruang gema, artinya kita hanya bersuara di kamar sendiri, terhadap teman-teman sendiri yang sudah sepaham, kita yakin kita benar karena ada di kelompok yang sama. Ini sik sebelum ramai media sosial juga sudah sering terjadi, dalam diskusi-diskusi yang undangannya public tapi pesertanya adalah kawan berkawan. Atau pemilihan narasumber yang adalah teman dekat. Tidak masalah selama yang disampaikan memang sesuai tema, selama goalnya tercapai.
Tapi dalam media sosial, echo chamber atau ruang gema justru memersempit makna dan tujuan awal media sosial. Kita cenderung berkawan dengan teman-teman sepaham, bicara tentang hal-hal sepaham, menggaungkan tujuan yang sama. Begitu kritiknya.
Tunggu dulu…
Ruang gema mungkin terjadi saat menyangkut ideology. Ketika legitimasi religious dalam pemilihan presiden dan gubernur dki muncul, iya betul, kita begitu terbelah. Semua berisik di ruangnya masing-masing. Cebong dan kampret. Kita mengotak-kotakan diri menjadi yang paling suci dengan bawa-bawa akhirat dengan mereka yang realistis menapak di bumi (tidak juga melupakan langit tentu saja)
Gema itu masih terasa. Pemimpin yang terpilih atas legitimasi kaum religi selalu jadi bulan-bulanan kaum realis yang tidak lagi bisa realistis. Apa saja menjadi “salah” dan merasa perlu dikritik. Kebencian menutup logika.
Lalu..
Situasi politik selalu berubah-ubah, begitu juga manusianya. Bahkan algoritma tidak akan bisa membaca perubahan itu. AI tidak sepandai itu, karena memang manusia yang menciptakannya.
Setelah pemilu presiden selesai, dulu serombongan orang yang berada di gerbong yang sama, dalam ruang gema yang sama, mulai lagi berubah. Sebagian merapat pada kekuasaan dengan niat awal “mengawal” dan sebagian mengawal dan mengritisi dari luar lingkaran kekuasaan. Pilihan moral sudah ditentukan masing-masing.
Saya masih ingat sekali ucapan kawan, “lu harus masuk dalam sistem untuk bikin perubahan atau mengawal perubahan yang sudah baik. Ga cukup di luar teriak-teriak.” Pertanyaan saya kala itu, “kalau sudah masuk terus tidak bisa mengawal atau buat perubahan gimana mas?” dia jawab, “yang penting kita usaha dulu.”
Saban kali perubahan politik terjadi, saban kali saya melihat perubahan terjadi pada kawan saya. Yang dulunya menggebu-gebu idealismenya, sekarang menghilang. Mereka yang ada dalam lingkaran sekarang seperti fangirling, seperti aku dengan Benedict Cumberbatch, diehard lah, ga ada yang salah dengan Ben. Untunglah Ben bukan presiden, mungkin aku akan seperti mereka…
Tetapi ini masalah rakyat, bukan sekedar keterkaguman pribadi, ini masalah empati. Ini dia yang membuat saya dilarang kawan seorang konsultan politik untuk ada di dunia politik praktis, karena politik praktis = bisnis kapitalis, perhitungan untung rugi itu harus jelas. Barangkali kawan-kawan ini sudah masuk dalam jargon kapitalis “Don’t bite the hand that feed you” EVEN WHEN YOU KNOW YOU ARE NOT A DOG! Atau “don’t pee the well that you drink water from” EVEN IF YOUR WELL FULL WITH SHIT!
Dalam ruang gema saya saat ini, kembali terpecah. Mereka yang pernah saya kagum, ternyata ga lebih dari anjing yang tak mungkin menggigit tangan tuannya. Padahal kalau kamu bekerja, kamu menukar ide, tenaga + waktu dengan uang. Bukan jiwa yang kau tukar. Maka tetaplah jadi jiwa-jiwa yang bebas, beretika dan empati.
Kalau ada yang meminta saya menutup akun-akun yang tak sepaham, saya tidak mau. Saya tidak ingin memuaskan algoritma tentu saja, bukan kamu. AI yang dibanggakan oleh sejagat itu, tetap tidak akan bisa membaca perubahan politik, pola dan tingkah manusia di dalamnya. Tidak ada sains yang bisa menjelaskan tentang SOUL kecuali menyerah pada istilah energi.
foto: daily sabah- google