Monthly Archives: September 2019

Ruang Gema dalam Media Sosial dan Perubahan Politik

Standar
Ruang Gema dalam Media Sosial dan Perubahan Politik

Salah satu kritik terhadap gerakan sosial di media sosial adalah munculnya ruang gema, artinya kita hanya bersuara di kamar sendiri, terhadap teman-teman sendiri yang sudah sepaham, kita yakin kita benar karena ada di kelompok yang sama. Ini sik sebelum ramai media sosial juga sudah sering terjadi, dalam diskusi-diskusi yang undangannya public tapi pesertanya adalah kawan berkawan. Atau pemilihan narasumber yang adalah teman dekat. Tidak masalah selama yang disampaikan memang sesuai tema, selama goalnya tercapai.

Tapi dalam media sosial, echo chamber atau ruang gema justru memersempit makna dan tujuan awal media sosial. Kita cenderung berkawan dengan teman-teman sepaham, bicara tentang hal-hal sepaham, menggaungkan tujuan yang sama. Begitu kritiknya.

Tunggu dulu…

Ruang gema mungkin terjadi saat menyangkut ideology. Ketika legitimasi religious dalam pemilihan presiden dan gubernur dki muncul, iya betul, kita begitu terbelah. Semua berisik di ruangnya masing-masing. Cebong dan kampret. Kita mengotak-kotakan diri menjadi yang paling suci dengan bawa-bawa akhirat dengan mereka yang realistis menapak di bumi (tidak juga melupakan langit tentu saja)

Gema itu masih terasa. Pemimpin yang terpilih atas legitimasi kaum religi selalu jadi bulan-bulanan kaum realis yang tidak lagi bisa realistis. Apa saja menjadi “salah” dan merasa perlu dikritik. Kebencian menutup logika.

Lalu..

Situasi politik selalu berubah-ubah, begitu juga manusianya. Bahkan algoritma tidak akan bisa membaca perubahan itu. AI tidak sepandai itu, karena memang manusia yang menciptakannya.

Setelah pemilu presiden selesai, dulu serombongan orang yang berada di gerbong yang sama, dalam ruang gema yang sama, mulai lagi berubah. Sebagian merapat pada kekuasaan dengan niat awal “mengawal” dan sebagian mengawal dan mengritisi dari luar lingkaran kekuasaan. Pilihan moral sudah ditentukan masing-masing.

Saya masih ingat sekali ucapan kawan, “lu harus masuk dalam sistem untuk bikin perubahan atau mengawal perubahan yang sudah baik. Ga cukup di luar teriak-teriak.” Pertanyaan saya kala itu, “kalau sudah masuk terus tidak bisa mengawal atau buat perubahan gimana mas?” dia jawab, “yang penting kita usaha dulu.”

Saban kali perubahan politik terjadi, saban kali saya melihat perubahan terjadi pada kawan saya. Yang dulunya menggebu-gebu idealismenya, sekarang menghilang. Mereka yang ada dalam lingkaran sekarang seperti fangirling, seperti aku dengan Benedict Cumberbatch, diehard lah, ga ada yang salah dengan Ben.  Untunglah Ben bukan presiden, mungkin aku akan seperti mereka…

Tetapi ini masalah rakyat, bukan sekedar keterkaguman pribadi, ini masalah empati. Ini dia yang membuat saya dilarang kawan seorang konsultan politik untuk ada di dunia politik praktis, karena politik praktis = bisnis kapitalis, perhitungan untung rugi itu harus jelas. Barangkali kawan-kawan ini sudah masuk dalam jargon kapitalis “Don’t bite the hand that feed you” EVEN WHEN YOU KNOW YOU ARE NOT A DOG! Atau “don’t pee the well that you drink water from” EVEN IF YOUR WELL FULL WITH SHIT!

Dalam ruang gema saya saat ini, kembali terpecah. Mereka yang pernah saya kagum, ternyata ga lebih dari anjing yang tak mungkin menggigit tangan tuannya. Padahal kalau kamu bekerja, kamu menukar ide, tenaga + waktu dengan uang. Bukan jiwa yang kau tukar. Maka tetaplah jadi jiwa-jiwa yang bebas, beretika dan empati.

Kalau ada yang meminta saya menutup akun-akun yang tak sepaham, saya tidak mau. Saya tidak ingin memuaskan algoritma tentu saja, bukan kamu. AI yang dibanggakan oleh sejagat itu, tetap tidak akan bisa membaca perubahan politik, pola dan tingkah manusia di dalamnya. Tidak ada sains yang bisa menjelaskan tentang SOUL kecuali menyerah pada istilah energi.

foto: daily sabah- google

Iklan

Perempuan Harus Berpolitik. Review “Attack of the 50ft. Women” oleh Catherine Mayer

Standar
Perempuan Harus Berpolitik. Review “Attack of the 50ft. Women” oleh Catherine Mayer

Pada sebuah pertemuan Women of the World Festival di London, 2015, Mayer berbicara tentang bagaimana perjuangan perempuan selama ini hanya bersuara di ruang-ruang pertemuan, dalam diskusi tertutup dengan mereka yang sebenarnya sudah sepaham. Harusnya feminis bisa keluar dari chambernya, menyentuh hal-hal nyata yang ada di public. Bagaimana caranya? Bikin partai politik!

Mayer ditantang untuk membuat partai politik, Women’s Equality Party, partai kesetaraan perempuan. Kenapa berpartai? Agar bisa berpartisipasi dalam demokrasi dengan jalur formal, merebut kursi dan membuat kebijakan yang berpihak pada kesetaraan dan keadilan gender. Kekuatannya mejadi lebih solid untuk melakukan perubahan, begitu niatnya. Partai ini digawangi Mayer dan Sandi Toksvig dan seluruh manifesto kebijakan resmi diperkenalkan pada public pada 20 Oktober 2015.

Buku “Attach of the 50ft.Women” adalah perjalanan Mayer untuk memulai karir politik yang sesungguhnya. Latar belakang Mayer adalah jurnalis. Dalam buku ini dia memulainya dengan cerita tentang perempuan yang digambarkan sebagai Scarlet Johansson yang menjadi raksasa dan menguasai dunia. Perempuan harus ada di atas untuk dapat didengar, begitulah kira-kira, caranya ya itu tadi lewat politik.

Jatah kursi 30% dalam parlemen memang sudah ada dan seringkali dikritik karena perempuan yang terpilih tidak menyuarakan keberpihakan pada kesetaraan dan keadilan gender. Tentu tidak semua perempuan punya perspektif gender yang baik, yang melanggengkan patriarki karena hidup dan bertumbuh dalam lingkungan tersebut, juga lebih banyak. Tapi dengan memberikan ruang 30%, itu artinya memberikan kesempatan yang baik buat suara perempuan didengar. Tugasnya kemudian adalah memastikan bahwa mereka yang duduk di sana punya perspektif gender yang baik. Women’s Equality Party menjadi salah satu channel untuk memastikan hal tersebut kejadian.

Tetapi dalam perjalanannya tidaklah mudah. Feminisme adalah wacana kelas menengah ke atas, mereka yang berpendidikan dan di dalam kalangan feminis juga terpecah belah lagi, antara penganut first wave dan second wave feminism. Sementara di dunia yang dibatasi dengan warna kulit, maka perempuan berwarna tidak merasa disertakan dalam banyak diskusi dan perjuangan, apalagi kalau perjuangan itu dikomandani oleh perempuan kulit putih, berpendidikan dan berkelas. Apakah sosok itu mewakili “minoritas”? tantangan terbesar bagi WEP adalah memastikan semua yang termajinalkan, perempuan dengan kulit berwarna – perempuan hitam dan latin juga asia, dan disabilitas di antaranya, bisa sama-sama terangkul.

Tapi mengajak perempuan masuk dalam partai saja, itu sebuah pekerjaan berat. Perempuan khawatir tidak bisa membagi perannya dengan baik antara berpolitik di luar rumah dengan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Perempuan khawatir berpolitik dan disorot media akan memengruhi kehidupan rumah tangganya terutama tumbuh kembang anak-anak. Perempuan penyintas masih berkutat dengan traumanya, perempuan karir memilih menyelamatkan karirnya daripada politik, dan seterusnya.

Dalam penyusunan manifesto WEP, Mayer salah satunya belajar dari negara-negara skandinavia terutama Islandia yang sudah memberikan upah setara laki-laki dan perempuan, memberikan cuti kelahiran yang sama bagi ibu dan bapak tanpa kehilangan gaji mereka. Tetapi jangan kenalkan feminisme katanya di Islandia, justru karena mereka tidak merasa perlu membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan.

Soal bisnis, jumlah perempuan di pucuk jabatan masih sangat rendah. Padahal dalam banyak bukti (silakan baca sendiri di dalam bukunya), perempuan terbukti lebih hati-hati dalam memberikan keputusan penting tidak secara emosional dan akhirnya merugikan perusahaan. Keputusan berdasarkan hormone itu mitos, kata Mayer. Perempuan memiliki kemampuan dan kapasitas yang sama dengan laki-laki yang dibutuhkan adalah kesempatan dan perubahan cara pandang. Sebagian besar perempuan harus berlaku seperti “laki-laki” agar bisa diterima dalam lingkungannya, padahal tidak perlu seperti itu, perempuan harus menjadi diri sendiri, dunia yang harus mengubah cara pandangnya terhadap perempuan.

Buku ini menarik buat saya yang belum lama belajar secara teori sebagai feminis, selama ini saya feminis karena pengalaman. Banyak hal menyentil kita kaum feminis yang berkutat terus menerus pada level wacana dan tidak praktis, salah satunya dengan berpolitik.

Lebih jauh tentang WEP, silakan meluncur ke https://www.womensequality.org.uk/

Pelajaran Kehumasan dan Jurnalisme Dasar Dari Kasus Livi Zheng

Standar
Pelajaran Kehumasan dan Jurnalisme Dasar Dari Kasus Livi Zheng

Disklaimer dari awal ya, saya punya lebih 10 tahun pengalaman sebagai jurnalis, belajar tentang Komunikasi Politik dan di dalamnya ada kelas tentang Promotional Culture atau budaya promosi. Di kelas itu saya belajar tentang kerjaan konsultan politik dalam kehumasaan dan lobi-lobi. Pengalaman kerja juga mengharuskan saya sedikit banyak belajar tentang kehumasan. Saya penggemar Michele Foucault yang bilang power atau kekuatan atau kekuasaan itu tidak melulu tentang opresi, atau paksaan. Knowledge atau pengetahuan adalah salah satu amunisi kita untuk mempraktikan kekuasan atas orang lain, memengaruhi orang lain untuk percaya, tunduk pada apa yang kita inginkan.

Nah kasus Livi Zheng adalah kemampuan PR- kehumasan yang ada di belakangnya untuk mempengaruhi media arus utama untuk memercayai apa yang mereka tulis dan selanjutnya membuat public percaya pada penokohan Livi Zheng. Kasus ini adalah kemenangan PR atas media yang gagal melakukan tugas utamanya sebagai the watchdog, pengawal, pengawas demokrasi dengan etika jurnalisme yang ketat soal pemberitaan. Livi Zheng bukan politisi, bukan pejabat, tapi justru di sana pintu masuk kita, lalu bagaimana dengan politisi yang memermak wajahnya setiap saat menjadi orang baik yang membawa kesejahteraan rakyat, bayangkan kerja keras tim PR di belakangnya dan betapa mudahnya media bisa “ditipu,” dan sebagai rakyat jelata dah apalah kita, harus terus skeptis membaca apa yang ditangkap mata.

Pilih angle yang tepat dan rilis yang mudah dikutip.

Hal pertama yang sering kami diskusikan di kelas adalah tentang “soundbite” pilih kalimat yang mudah dikutip media, apapun yang ditanya oleh jurnalis yang sekarang makin malas bertanya, maka beri jawaban yang sama. Kita tentu ingat kata-kata yang sering diucap oleh SBY “Saya Prihatin” atau Presiden Jokowi dengan kata “Sontoloyo” nya, dan Livi dalam wawancara terakhir yang saya baca di beritagar, mengulang kata “ada datanya, nanti saya beri.” Terus berulang dan muncul di media, diperdengarkan di berita macam kaset kusut atau CD looping. Itu bukan kesengajaan, itu by design. Contoh lainnya coba ingat lagi apa yang sering diucapkan oleh Prabowo Sandi sepanjang musim kampanye kemarin.

Kedua, pilih angle yang tepat. PR Livi memainkan penokohan Livi sebagai anak muda, sutradara muda Indonesia yang mendunia, mampu menembus Hollywood. Di tengah suasana yang memuakan seputar politik, tokoh Livi adalah angin segar bukan, pengalih perhatian politik. Dengan iming-iming Oscar dan Hollywood, Indonesia yang da apalah kita, yang selalu merasa inferior terhadap apa saja yang datang dari barat, langsung membelalak, oh iyes! Indonesia hebat, good news from Indonesia.

Ketiga, pilihan konteks. Setelah pilih angle, pilih konteks waktu, kapan yang paling tepat menyebar rilis. Moment itu disebut di atas, saat orang muak dengan politik, menyajikan Livi adalah kesegaran baru, “harapan baru” bahwa Indonesia hebat.

Keempat, koneksi. Seperti warung padang yang memasang foto tentara atau restaurant dengan papan panjang tandatangan artis dan pejabat, maka mencitrakan seseorang hebat adalah dengan siapa dia terlihat public. Dalam kasus Livi, dia ada di sebelah Luhut Panjaitan, Tito Karnavian, Jusuf Kalla, Anies Baswedan.

Sederhananya gini loh, kalau hanya bikin film profil kota atau kabupaten, ada banyak rumah produksi dan sutradara Indonesia yang biasa buat ini. Tapi karena ini ada title sutradara Hollywood, baik politisi, pejabat pun memanfaatkan pencitraan yang sama. Iyes.

 

Rendahnya perhatian pada Berita Hiburan

Berita hiburan selalu menarik untuk diklik oleh pembaca, meski isinya tak kurang banyak tentang gossip. Bagaimana Nikita Mirzani kawin cerai itu lebih penting tampil di media daripada cerita perjuangan dia sebagai perempuan kepala rumah tangga, orang tua tunggal yang membesarkan ketiga anaknya sendirian. Oh tentu itu tidak menarik Isabela. Atau ketika Syahrini berbulan-bulan menghiasi berita hiburan kita, mulai cerita rebutan laki, sampai isi tasnya yang rasanya sinting kalau ada yang ingin tahu. Tapi itu click bait buat media.

Berita hiburan sering dianggap “remeh” oleh redaksi, hanya hiburan, sehingga mungkin sangat longgar dalam pengawasannya. Di lapangan, jurnalis hiburan seringkali tidak dianggap sebagai jurnalis, karena hanya menulis gossip. Lalu naik tingkat ketika menjadi jurnalis budaya, bicara tentang film, pertunjukan seni dan budaya. Tapi lagi-lagi dimana posisinya? Ada di halaman belakang, ada di sidebar, atau di acara sempilan. Intinya, nyaris berita hiburan tak dianggap serius

Lalu semua media mengangkat sosok Livi Zheng, take it for granted.

Di dunia yang serba cepat, rilis yang mudah anglenya bagus, tokohnya bagus, waktunya tepat, dan mudah dikutip, langsung cus, naik berita. Dalam beberapa kesempatan tidak Cuma berita hiburan, bahkan berita pun hanya mengandalkan rilis yang dikirim oleh lembaga tertentu tanpa ada upaya untuk verifikasi. Kalau perlu rilis itu dipotong menjadi beberapa berita pendek lagi supaya angka visitor dan viewer naik. Kalau hanya mengandalkan rilis, jadi jurnalis rilis aje.

Ketika media arus utama menampilkan Livi Zheng, maka serta merta media lainnya juga seperti laron, beramai-ramai menaikan informasi tentangnya. Semua menelan mentah-mentah, tanpa verifikasi di awal. Lagi-lagi saya sih curiganya karena kepengen cepat, kepengen click naik, dan ini berita hiburan…

Sampai ketika seorang dengan nama palsu menulis tentang Livi di Geotimes, dan ditangkap cantic oleh Tirto lalu berbondong-bondong media yang sebenarnya ikutan bersalah itu mencuci tergesa-gesa muka yang terlanjur kecipratan air kotornya sendiri. Sampai lupa sebenarnya, media mana saja yang paling awal memberitakan soal ini?

Buat saya ini skandal jurnalisme Indonesia, kalau dianggap kecil, kamu salah. Bayangkan ini bisa sangat mungkin terjadi pada penokohan lain, politisi atau pejabat public. Media yang kita harapkan menjadi rujukan kebenaran ternyata gagal menjalankan hal paling sederhana, 5W +1 H, gagal bertanya, gagal memverifikasi berita rilis.

Media tidak seharusnya membeda-bedakan kualitas berita, politik, lingkungan dan hiburan. Kualitas jurnalisnya harus selevel dong, harus punya kemampuan yang sama, tetap kritis pada informasi. Pelatihan jurnalisme investigasi harus berlaku untuk semua desk berita, tak terkecuali.

Di tengah digitalisasi informasi, ini saatnya merefleksi istilah FAST, karena FAST and FALSE itu FATAL! Mau cepet eh salah. Ih gemes.  Jangan lagi kecolongan deh ah. Malu!