Monthly Archives: Juli 2018

Naik Terus, Kapan Turunnya? Sudah Saatnya Ekonomi Tidak Terus Bertumbuh, Tapi Melambat Lalu Mendarat. Review #20 Doughnut Economy (bagian ketujuh, habis)

Standar
Naik Terus, Kapan Turunnya? Sudah Saatnya Ekonomi Tidak Terus Bertumbuh, Tapi Melambat Lalu Mendarat. Review #20 Doughnut Economy (bagian ketujuh, habis)

Terakhir Kate Raworth mengajak kita untuk menjadi orang yang agnostik, skeptis pada growth atau pertumbuhan yang selalu menjadi ukuran perekonomian negara dan dunia. Ini bahaya kata Raworth karena tidak ada satu pun ekonom yang saat ini ada mampu menjelaskan Apa Rencana Jangka Panjang Dari Petumbuhan GDP? Ekonom abad 20 melihat pertumbuhan tidak dapat berhenti, harus tumbuh, padahal tidak ada satupun di dunia yang tumbuh selamanya.

Hari ini yang kita butuhkan adalah ekonomi yang membuat kita berkembang, tanpa harus bertumbuh.

Menjadi Agonistik yang dimaksud Raworth dalam buku ini dalam hal merancang ekonomi yang mempromosikan kesejahteraan manusia, yang tidak terpengaruh apakah GDP naik, turun atau stagnan. Ini pekerjaan yang tidak mudah terutama bagi negara yang sudah lebih dahulu maju, bagaimana membuat model keuangan, politik dan struktur sosial yang sudah menyandu GDP untuk bergerak, dan berpikir di luar konsep GDP. Konsep Green Growth, tentang bertumbuh dan melestarikan alam hanya bisa dilakukan di negara-negara berkembang, atau yang pendapatannya rendah. Mereka masih punya peluang untuk menyelamatkan alam dengan konsep ekonomi yang berkembang tanpa harus bertumbuh. Tapi di negara maju yang sudah ‘rusak’ pekerjaan ini menjadi berat.

Raworth percaya ini bisa dilakukan, terlepas dari semua perdebatan – terutama dari kepentingan politik dan bisnis. Meski diakhir perdebatan, namanya tetap GDP, dia berharap, di abad 21 ini, setiap produk dan jasa yang dihasilkan bukan sekedar produk dan jasa yang dinilai semata-mata dari sisi ekonomi, tapi sudah merangkum keseluruhan aspek dalam siklus kehidupan, membuat ekonomi berkembang, tidak sekedar bertumbuh. Ekonomi abad 21 bergerak pada siklus distribusi yang adil, proses ekonomi yang regeneratif, dan agnostik pada pertumbuhan.

Lalu pakai ukuran apa jika GDP tidak tersebut dalam ukuran pertumbuhan ekonomi dunia? Bhutan mengunakan Gross National Happines untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakatnya, dan Selandia Baru menggunakan istilah lain, bahkan PBB mengeluarkan indeks kebahagiaan dan daftar negara-negara yang berbahagia setiap tahunnya.

Pakai ukuran apa? Kembali ke table 1 dan 2 di bagian pertama review buku Doughnut Economy oleh Kate Raworth.

Indonesia, mungkin saatnya meninggalkan GDP dan beralih pada GNH … are we happy enough?

Iklan

Ekonomi Kupu-Kupu, Bertumbuh dan Memperbaharui Bumi. Review #20 Doughnut Economy (bagian keenam)

Standar

Cara berpikir ekonom abad 21 itu selalu berpikir bagaimana caranya mencipta sesuatu tanpa merusak, tapi justru memperbaiki, paling tidak meminimalisir dampak kerusakan di muka bumi. Mainstrem ekonom yang masih mempercayai diagram Kuznet akan percaya bahwa kerusakan alam itu konsekuensi yang harus diterima dalam aktivitas ekonomi. Ketika ekonomi bertumbuh, langkah-langkah perbaikan akan bisa dilakukan. TELAT!

Kerusakan alam itu adalah hasil dari rancangan bisnis yang degeneratif atau tidak memperbaharui diri, bukan sebaliknya, regeneratif. Memang bisa?

Kate Raworth menjelaskan dalam bentuk gambar:

Ini cara kerja bisnis yang bisa, model ulat bulu, Ambil, Buat, Gunakan, Buang. Industri mengambil energi dan materi dari alam sebagai bahan baku, diolah menjadi produk, manfaatkan, lalu buang sisanya berupa limbah.

Ulat Bulu

Nah ekonom abad 21 harus bisa mengubah rancangan industri ulat bulu ini, menjadi kupu-kupu. Berpikirlah tentang bagaimana meregenerasi, atau memperbaharui materi yang diolah, mempertahankannya lebih lama dengan konsep daur ulang sebelum dibuang. Dengan konsep ini, paling tidak limbah materi dan panas yang dilepas atau dibuang bisa diminimalisir.

KupuKupu

Tentu saja tidak ada industri yang bisa mendaurulang materi yang digunakan dan dihasilkan seratus persen, tapi sangat mungkin untuk diperkecil jumlah limbahnya. Jepang misalnya mampu mendaurulang 98% bahan metal yang digunakan oleh industri dalam negerinya.

Nilai ekonomi itu pada akhirnya bukan diukur dari jumlah produk dan jasa yang dihasilkan tapi dari bagaimana produk dan jasa bisa menyelamatkan dan memperbaiki bahan bakunya.

Supaya mengerti bagaimana kita bisa menempatkan diri dan beradaptasi dalam lingkar hidup semesta, coba renungkan ini;

“Kita ini binatang yang memiliki otak besar, tapi kita semacam pendatang di muka bumi. Maka wajar kalau kita bertingkah macam anak balita yang berharap Ibu Bumi membersihkan kotoran kita. Coba kita masuk dalam lingkar kehidupan alam. Mulai dengan lingkar siklus karbon. Industri yang kita gerakan ini menghasilkan karbondioksida, cobalah menjadi tumbuhan, kita hirup karbondioksida masuk dalam tubuh, simpan untuk menyuburkan tanah pertanian. Kalau kita bisa hidup dalam siklus karbondioksida, coba lakukan juga dengan nitrogren dan air.”

Jangan Tunggu Pertumbuhan Ekonomi Mengentaskan Ketidakadilan, Karena Itu Mustahil. Review #20 Doughnut Economy (bagian kelima)

Standar

Cara berpikir kelima ekonom abad 21 itu adalah merancang alur distribusi. Mainstream ekonom menggunakan kurva Kuznets dengan matranya tentang ketidakadilan: ‘akan memburuk dulu sebelum akhirnya membaik dan pertumbuhan (ekonomi) akan memperbaikinya.’

Tapi ketidakadilan sosial itu bukan konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi, itu sik kata Raworth adalah kegagalan dalam desain ekonomi. Ekonom abad 21 akan mengenali banyak cara untuk merancang ekonomi yang lebih adil dalam distribusi nilai yang dihasilkan. Kita tidak lagi sekedar bicara tentang distribusi pendapatan, tapi juga kesejahteraan yang lebih spesifik terletak pada siapa yang menguasai lahan, badan usaha, teknologi, pengetahuan dan kekuasaan untuk mencipta uang.

Selama ini pertumbuhan ekonomi dunia hanya dikuasai oleh 1% konglomerat dan elit politik-ekonomi, sisanya terbagi-bagi tidak merata. Dalam narasi neoliberal, kata ketidakadilan secara politis dilarang muncul karena dianggap liar dan bentuk sosialis. Dalam buku ini dicontohkan bentuk-bentuk ketidakadilan yang terjadi dalam sebuah negara, tingginya angka kehamilan remaja, gangguan kejiwaan, penggunaan narkotika, obesitas, angka drop-out dari sekolah, rendahnya angka harapan hidup, status rendah bagi permepuan dan kepercayaan antar anggota masyarakat yang rendah. Dampak ketidakadilan ini menurut Richard Wilkinson dan Kate Picket adalah merusak tatanan sosial seluruh masyarakat.

Ekonomi donut mencoba menyelesaikan ketidakadilan ini dengan mendistribusikan nilai yang diperoleh aktivitas ekonomi secara adil dalam jejaring. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merancang jalur distribusi ekonomi :

  1. Siapa yang menguasai lahan? – mendistribusikan kepemilikan lahan dalam sejarah adalah salah satu cara untuk mengurangi ketidakadilan secara nasional. Ini tentu juga terkait dengan tanah masyarakat adat, bagaimana kearifan lokal disertakan di dalam urusan distribusi pemilikan tanah.
  2. Siapa yang membuat uangmu? Merancang ulang sistem moneter bukan hal yang mustahil di era ini. Beberapa lembaga menciptakan alat tukarnya sendiri dengan menggunakan voucher misalnya, untukl mendorong perekonomian lokal, memberdayakan komunitas marjinal, sebagai bentuk penghargaan pada pekerjaan yang selama ini tak berbayar. Dan alat tukar ini bisa digunakan dan berlaku secara lokal.
  3. Siapa yang memiliki ‘labour’ atau tenaga kerja? Salah satu yang terbaik adalah membuka peluang perusahaan dimiliki sahamnya oleh karyawan atau dalam bentuk koperasi. Ada banyak contoh perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh karyawan atau yang berbentuk koperasi. Salah satunya John Lewis Partnership di Inggris yang tahun 2011 meningkatkan asetnya hingga 50 juta poundsterling dan mengundang karykawannya untuk membeli obligasi lima tahun dengan pengembalian untung 4.5% pertahun dan  2% dalam bentuk voucher belanja.
  4. Siapa yang akan memiliki teknologi robot? Ini ketakutan yang muncul di era ini. Tapi Kate Raworth bilang, ada yang tidak bisa dikalahkan oleh robot, yaitu soal kreativitas, empati, wawasan dan kontak antar manusia, ini yang dibutuhkan dalam banyak pekerjaan mulai dari guru sekolah dasar, direktur lembaga kebudayaan, psikolog, pekerja sosial dan pengamat politik. Jadi jangan takut tersaingi oleh robot. Dan Pemerintah, harusnya bisa tegas untuk menarik royalti dari perusahaan pemilik robot yang diciptakan lewat pendanaan sosial.
  5. Siapa pemilik ide? Hak paten mengangkangi pengetahuan yang secara tradisi merupakan milik umum. Joseph Stiglitz menulis, “We have designed an expensive and unfair intellectual property regime, that works more to the advantage of patent lawyers and larg corporations than to the advancement of science and small innovation.” Tapi kita hidup di masa collaborative commons, atau kolaborasi bersama, dimana jutaan inovator bersama-sama berkreasi dan menggunakan free open source software yang disebut FOOS, atau free open source hardrware atau FOSH. Yang harus ditegaskan oleh pemerintah sekali lagii bahwa semua penelitian yang dibiayai oleh publik harus menjadi milik publik, tidak boleh dipatenkan oleh satu pihak tertentu.  Yang masih kurang saat ini adalah platform digital global yang bisa menyatukan peneliti, mahasiswa, pengusaha dan perusahaan, juga NGO di dunia untuk berkolaborasi mengembangkan free open source technologies.

Ekonom abad 21, tidak akan menunggu datanya reformasi kebijakan dari pemerintah pusat, tapi mereka akan bekerja dari bawah bersama jejaringnya untuk melakukan revolusi dalam pendistribusian kesejahteraan.

Etika Bisnis Dalam Ekonomi Donut. Review #20 Doughnut Economy (bagian empat)

Standar
Etika Bisnis Dalam Ekonomi Donut. Review #20 Doughnut Economy (bagian empat)

“Today’s economy is divisive and degerative by default. Tomorrow’s economy must be distributive and regenerative by design.”

Setelah mempelajari aktor-aktor penting dalam ekonomi abad 21 dan bagaimana ekonomi harus merangkul prinsip dasar keadilan sosial dan batas toleransi eksplorasi alam, maka ekonomi yang terbaharui atau regeneratif, adalah ekonomi yang dirancang dengan melibatkan seluruh unsur dalam lingkaran ekosistem bumi.

Menghadapi dinamika perubahan sosial dan iklim yang terjadi secara global, memang dibutuhkan sebuah rancangan perubahan yang adaptable, atau mudah beradaptasi dengan sekitar. Tapi kata Elinor Ostrom, jangan buru-buru melakukan perubahan, be humble, merendah hati untuk mengalahkan sistem yang sudah kadung ada, yang berkaitan dengan ekonomi, hutan yang rusak bahkan masyarakat yang nilai-nilainya sudah rusak. Perhatikan dan coba mengerti apa yang sedang terjadi dan pelajari sejarahnya. Ini kan sangat mudah untuk bertanya, apa yang salah? Bagaimana kita bisa sampai di sini, kemana kita akan menuju, dan apakah ini masih bekerja dengan baik?

“Jangan turut campur tanpa berpikir panjang, dan merusak kemampuan sistem untuk memperbaiki dirinya sendiri… sebelum kamu bertanggungjawab melakukan hal yang lebih baik, perhatikan nilai-nilai yang sudah berlaku di sana (dalam komunitas itu).”

Ada empat hal yang harus diperhatikan ekonom abad 21 yang berkaitan dengan etika bisnis:

  1. Berusaha dan berlaku untuk mengantarkan kesejahteraan manusia dan meningkatkan kualitas jejaring kehidupan, mengakui keberadaan semua unsur kehidupan yang bergantung pada alam.
  2. Menghormati otonomi komunitas yang kamu layani, dengan memastikan keterlibatan mereka dan persetujuan (sadar mereka atas apa yang kita lakukan), sembari terus mewaspadai ketidakadilan dan perbedaan yang terjadi di dalamnya.
  3. Be Prudential, jadilah orang yang penuh pemikiran, tunjukkan empati saat berurusan dengan pengambilan keputusan, carilah resiko terkecil yang dapat menimbulkan kerisauan.
  4. Bekerja dengan kerendahan hati, buatlah terbukalah dengan asumsi dan kelemahan yang kkita miliki dan kenali alternatif perspektif dan alat ekonomi yang ada.

Kesemua penjelasan di atas ini ada pemikiran keempat dalam ekonomi donut. Sebelumnya hanya ada kurva permintaan dan persediaan, dalam konteks ekonomi abad 21, lebih kompleks daripada itu. Ada dinamika dari sekedar pasar finansial menuju aktivitas ekonomi untuk menuntaskan ketidakadilan sosial dengan titik penting pada perubahan iklim dan memasukkan unsur ini dalam sistem yang kompleks.

Kita Bukan Kalkulator, Kita Bagian Dari Masyarakat. Mari Pupuk Kembali Nilai Kemanusiaan. Review #20 Doughnut Economy (bagian tiga)

Standar

Bertahun-tahun sudah kita percaya bahwa kita harus memakai hitung-hitungan dalam setiap langkah. Kita dibuat percaya bahwa kita adalah manusia ekonomis yang rasional, self-interested (apa enaknya ini, ke ‘akuan’ dalam minat), terisolasi, penuh perhitungan, dan menguasai alam raya. Tapi sifat manusia itu lebih besar dari itu; kita ini mahkluk sosial, bergantung satu sama lain, hidup dalam norma dan nilai-nilai yang bisa saja berubah, dan bergantung dengan alam.

Kita tidak melakukan perhitungan tanpa menempelkan diri pada nilai sosial yang ada. Dalam contoh yang disampaikan di bukunya, termasuk bagaimana masyarakat di Lembatta berburu paus dengan kearifan lokal yang berlaku, Raworth ingin menegaskan kembali bagaimana motivasi finansial dalam kegiatan-kegiatan sosial justru merusak nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu.

“When it comes to creating deep and lasting social and ecological behavior change, the most effective approach is precisely to connect with people’s values and identity, not with their pocket and budget.”

Karena itu dalam bagian lain, Raworth mengingatkan jika kita ingin melakukan perubahan di sebuah komunitas, perhatian dengan baik nilai-nilai yang sudah ada di dalamnya. Perubahan bisa dilakukan tanpa merusak nilai yang sudah ada, apalagi dengan mengimingi insentif material.

Dalam hubungannya dengan ekonomi, masing-masing dari kita punya peran sebagai buruh, warga negara, pengusaha, tetangga, pelanggan, pemberi suara dalam politik, orang tua, penghubung, pesaing sampai sukarelawan. Seperti gurita, kita punya kemampuan yang sama untuk beradaptasi dengan lingkungan, dengan norma dan nilai yang secara konstan mengubah lansekap perekonomian.

Keluarga Adalah Inti Dari Aktivitas Ekonomi Donut. Review #20 Doughnut Economy (bagian dua)

Standar

Cara berpikir ekonom abad 21 yang kedua adalah menanggalkan gambar Circular Flow Diagram yang sudah ‘so yesterday’ menuju Embedded Economy. Bahwa kegiatan ekonomi itu tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial dan alam yang diberi kekuatan oleh matahari. Ilustrasi baru dalam ekonomi abad 21 harus dinarasikan oleh kekuatan bersama antara market, kemitraan dengan negara, peran inti dan sangat penting dari rumah tangga, dan kreativitas yang menjadi milik umum.

Di bagian ini, Kate Raworth mau bilang, neoliberalism itu tidak benar-benar ada. Pada kenyataannya ideologi yang mengagungkan kekuatan pasar itu tidak pernah bisa meninggalkan peran pemerintah. Bahwa di zaman keterbukaan digital, dan kreativitas dibagi dan menjadi milik bersama, dominasi pasar terpatahkan. Karena itu perlu sebuah narasi baru untuk menggambarkan aktivitas ekonomi, Embedded Economy, yang digambar sebagai berikut:

Embedded Economy

Setiap unsur dalam Embedded Economy memiliki perannya masing-masing:

  • Bumi, yang memberikan kehidupan – maka hormati batasan-batasannya
  • Masyarakat, yang sangat mendasar – maka pelihara konektivitasnya
  • Ekonomi, yang beragam – maka dukung setiap unsur dalam sistemnya
  • Rumah Tangga, yang menjadi inti – maka hargai kontribusinya
  • Pasar, yang memiliki kekuatan – maka rangkul dengan bijak
  • Common/ umum / publik, yang memiliki kreativitas – maka bebaskan potensi mereka
  • Negara, yang sangat penting perannya – maka buat negara terpercaya – akuntabel
  • Keuangan, yang merupakan jasa layanan – maka buat dia melayani masyarakat
  • Bisnis / dunia usaha, yang terus berinovasi – maka berikan dia tujuan yang jelas
  • Perdagangan / trade – yang selalu bermata dua – maka buat seadil-adilnya
  • Kekuatan / kekuasaan / power – yang sangat mudah menyusup – maka pastikan dia tidak disalahgunakan

Yang paling menarik adalah posisi Rumah Tangga yang menggeser peran Buruh yang selama ini menjadi inti kegiatan ekonomi. Buruh adalah mereka yang bekerja pada sebuah industri / majikan dan digaji. Padahal setiap harinya, buruh ini dipastikan terjamin kesehatannya lewat makanan yang disajikan dan kebersihannya oleh yang ada di rumah, pasangan hidup atau orang tuanya.

Teori ekonomi menanggalkan peran penting mereka yang tidak digaji di rumah, the unpaid work. Rumah tangga menjadi sangat penting di abad 21 ini, karena mereka penentu kesejahteraan manusia di dalamnya, termasuk dalam urusan produktivitas dalam kegiatan ekonomi yang berbayar. Karena itu menjadi sangat penting bagi pemerintah dan bisnis untuk memastikan adanya kesejahteraan keluarga diperhatikan, sebagai contoh memotong anggaran pelayanan sosial akan membuat perempuan tertekan karena memikirkan anak-anak mereka, dan tidak bisa produktif dalam bekerja. Menyertakan Rumah Tangga dalam ekonomi donut adalah langkah pertama menurut Raworth untuk mengakui pentingnya peran, dan mengurangi juga menyalurkan tenaga kerja perempuan yang tak berbayar.

Tujuh Langkah Menyelamatkan Bumi Dari Keserakahan Manusia Menurut Ekonomi Donut. Review #20 Doughnut Economy (bagian satu)

Standar
Tujuh Langkah Menyelamatkan Bumi Dari Keserakahan Manusia Menurut Ekonomi Donut. Review #20 Doughnut Economy (bagian satu)

Buku ini ditulis oleh ekonom lulusan Oxford yang juga aktivis di organisasi lingkungan hidup yang bermarkas di Inggris, Oxfam, Kate Raworth. Buat dia, belajar ekonomi bukan sekedar mempelajari teori yang ditulis oleh Adam Smith dan Keynes puluhan dan ratusan tahun silam. Dunia berubah, tantangan aktivitas ekonomi juga semakin besar, bagaimana terus bertumbuh sementara sumber daya alam terus berkurang. Kata Raworth, kalau ada yang bicara tentang pertumbuhan ekonomi menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan, coba tanyakan buktinya. Sampai kapan pertumbuhan ekonomi akan menuntaskan isu lingkungan? Sampai pada tingkat pertumbuhan seperti apa masalah itu akan selesai? Apakah pertumbuhan ekonomi serta merta menyelesaikan masalah kesenjangan ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia?

Kalau bukan Gross Domestic Product, lalu mengukur ‘kesejahteraan’ itu pakai apa?

Raworth ini orang yang visual, lebih mudah menjelaskan kata dia dalam bentuk gambar. Jadi ekonomi donut yang dia ciptakan, bentuknya tuh seperti ini:

Doughnut Economy

Ekonom abad 21 itu mesti punya tujuh cara berpikir dalam Doughnut Economy yang diciptakan Raworth dan karena masing-masing cara ini unik, perlu rasanya untuk dibahas satu persatu dalam bagian tersendiri.

Pertama, ubah tujuan/goal. Dari GDP menuju yang lebih besar; memastikan hak asasi manusia setiap orang terpenuhi dalam kerangka daya dukung alam. Tujuan ini ada dalam kerangka ekonomi donut, aktivitas ekonomi tidak boleh melewati toleransi ekologis yang akan menambah buruknya perubahan iklim, dan aktivitas tidak boleh mencederai kebutuhan dan prinsip dasar kemanusiaan atau sosial foundation yang berarti akan memicu konflik sosial.

Tentang batasan sosial dan ekologi, lembaga-lembaga international memiliki batasan yang sudah disepakati bersama. Di antaranya dalam tabel.

Tabel 1. The social foundation and its indicators of shortfall (page 296)

Dimension Illustrative Indicators

(percent of global population unless otherwise stated)

% Year
Food Population undernourished 11 2014-15
Health Population living in countries with under-five mortality rate exceeding 25 per 1.000 live births 46 2015
Population living in countries with expectancy at birth of less than 70 years 39 2013
Education Adult population (aged 15+) who are illiterate 15 2013
Children aged 12-15 out of school 17 2013
Income and Work Population living on less than the international poverty limitof $3.10 a day 29 2012
Proportion of young people (aged 15-24) seeking but not able to find work 13 2014
Water and sanitation Population without access to improved drinking water 9 2015
Population without access to improved sanitation 32 2015
Energy Population lacking access to electricity 17 2013
Population lacking access to clean cooking facilities 38 2013
Networks Population stating that they are without someone to count on for help in times of trouble 24 2015
Population without access to the internet 57 2015
Housing Global urban population living in slum housing in developing countries 24 2012
Gender Equality Representation gap between women and men in national parlemens 56 2014
Worldwide earnings gap between women and men 23 2009
Social Equity Population living in countries with a Palma ratio of 2 or more (the ratio of the income share of the top 10% of people to that of the bottom 40%) 39 1995-2012
Political Voice Population living in countries scoring 0.5 or less out of 1.0 in the Voice and Accountability Index 52 2013
Peace and Justice Population living in countries scoring 50 or less out of 100 in the Corruption Perception Index 85 2014
Population living in countries with a homicide rate of 10 or more per 10.000 13 2008 – 13

Sources: FAO, World Bank, WHO, UNDP, UNESCO, UNICEF, OECD, IEA, Gallup, ITU, UN, Cobham and Sumner, ILO, UNODC, and Transparency International. All percentages are rounded to the nearest integer

 

Table 2. The ecological ceiling and its indicator of overshoot (page 299)

Earth-System Pressure Control Variable Planetary Boundary Current Value and Trend
Climate Change Atmospheric carbon dioxide concentration, parts per million (ppm) At most 350 ppm 400ppm and rising (worsening)
Ocean Acidification Avarage saturation of aragonite (calcium carbonate) at the ocean surface, as a percentage of pre-industrial levels At least 80% of pre-industrial saturation levels Around 84% and falling (intesifying)
Chemical Polution No global control variable yet defined
Nitrogen and Phosphorus Loading Phosphorus applied to land as fetiliser, millions of tons per year At most 6.2 million tons per year Around 14 millions tons per year and rising (worsening)
  Reactive nitrogen applied to land as fetiliser, millions of tons per year At most 62 milions per year Aroun 150 milions tons per year and rising (worsening)
Freshwater Withdrawals Blue water consumption, cubic kilometers per year At most 4.000 km3 per year Around 2.600km3 per year and rising (intensifying)
Land Conversion Area of forested land as a proportion of forest-covered land prior to human alteration At least 75% 62% and falling (worsening)
Biodiversity Loss Rate of species extinction per million species per year At most 10 Around 100-1000 and rising (worsening)
Air Pollution No global control variable yet defined
Ozone Layer Depletion Concentration of ozone in the stratosphere, in Dobson Units At least 275 DU 283 DU and rising (improving)

Source: Steffen et al (2015)

 

Justru Karena Untuk Anak, Maka Saya Peduli #plasticfree

Standar
Justru Karena Untuk Anak, Maka Saya Peduli #plasticfree

Do I make you feel guilty by using single-used plastic? Well, you should!

Do I annoyed you by keep nagging you to at least care on how you behave toward the mother earth? Well you should and I am not sorry for that!

Saya sangat bisa untuk tidak peduli pada masa depan bumi, wong anak saja saya tidak punya. Seperti kata kawan, lu sik ga ada yang dipikirin. Iyak benar, hidup cuma bakal berdua sama akang, why should I care about the fucking mother earth! I am going to die anyway.

Tapi saya punya Kakak Zi dan Septi, dua ponakan yang sudah seperti anak sendiri. Masa depan mereka, jadi tanggung jawab saya. Persis rasanya seperti kamu menyiapkan makan dan masa depan buat anak-anakmu. Saya tidak punya banyak yang bisa diwariskan buat masa depan mereka. Tidak juga kamu. Seberapa besar rupiah yang kamu simpan untuk mereka dewasa nanti, bisa saja suatu saat menjadi 0 rupiah karena nilai mata uang jatuh. Bisa saja rumah yang kamu siapkan buat mereka, tenggelam karena banjir, runtuh karena gempa, terbawa lahar dari gunung meletus. Apa pun yang kamu siapkan untuk mereka bisa jadi sia-sia karena kamu tak peduli pada dampak yang kamu buat hari ini.

Dunia ini kacau, the world is fucked up! Kalau kamu perhatikan Donald Trump, iya sekacau itu pemimpin dunia, kejar terus pertumbuhan ekonomi tanpa melirik konsekuensinya pada bumi.

Satu-satunya warisan yang bisa saya siapkan untuk Kakak Zi, Septi dan kawan-kawan seangkatannya adalah bumi yang baik, kalau tidak bisa lebih baik, paling tidak, tidak lebih buruk dari sekarang. Karena itu saya memilih hidup beretika daripada hidup kaya raya. Beretika pada bumi. Sok idealis katamu, loh ya tidak papa, daripada hidup hanya nyampah demi rupiah. Selama ini toh hidup idealis tidak bikin saya melarat, karena saya percaya pada rezeki Tuhan. Dengan alasan yang sama, menjaga apa yang dititip Tuhan pada saya, maka saya peduli. Ini rumah kita kok, rumah masa depan anak dan cucu kita, kenapa sampai hati kamu tidak peduli?!

You do should feel guilty ketika bekerja pada perusahaan yang mencemari lingkungan. 2025, anakmu akan makan ikan yang perutnya dipenuhi plastik, ya yang kamu buang hari ini. Saya mau bilang, you are about to kill your own children!

You should stop now! Kalau tak bisa sama-sama mengguncang perusahaan untuk berubah, paling tidak kamu bisa berubah dari diri sendiri. Mengobrakabrik kebijakan memang berat, kamu tak akan kuat sendirian, tapi kalau bersama-sama kita pasti bisa. Tolong sampaikan kepada tempatmu bekerja, mereka harus bisa berubah, demi anak-anak yang lahir dari pekerja mereka.

Saya tidak akan pernah lelah untuk menyindir bekalmu yang dikemas dalam plastik, mencolekmu yang minum dari gelas plastik dan menyisip lewat sedotan plastik. Saya masih tidak sempurna, tidak bisa sepenuhnya bercerai dari plastik, tapi saya mencoba, and I do that really hard!

Jadi kalau kamu peduli pada masa depan anak-anakmu, mari bergerak bersama saya. Kita harus sama-sama berubah untuk lebih ramah pada ibu bumi. Kekuatan itu ada saat bersama, ajak Dilan biar seru!

Bagaimana Demokrasi Itu Bisa Mati dan Bagaimana Menyelamatkannya? Review #19, How Democracies Die by Steven Levitsky and Daniel Ziblatt

Standar
Bagaimana Demokrasi Itu Bisa Mati dan Bagaimana Menyelamatkannya? Review #19, How Democracies Die by Steven Levitsky and Daniel Ziblatt

Buku ini bicara tentang bagaimana Amerika sedang menuju ‘kehancuran’ dari demokrasinya di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump dan kedua penulis memberikan beberapa usulan untuk menyelamatkan demokrasi di Amerika dengan belajar dari demokrasi di negara lain dan sejarahnya sendiri.

“History doesn’t repeat itself. But it rhymes… Protecting our democracy requires more than just fright or outrage. We must be humble and bold and learn from other countries to see the warning sight- and recognize the false alarms.”

Sayangnya dalam buku ini, nama Indonesia tidak muncul, yang menurut saya, sebagai negara demokrasi ketiga di dunia dengan sejarah 32 tahun di bawah pemerintahan otoriter Soeharto, Amerika perlu juga belajar dari Indonesia. Tidak ada demokrasi yang sempurna, setiap negara yang mengaku dirinya demokrasi memiliki kekurangan, karena demokrasi adalah sebuah proses.

Apa yang bisa melunturkan demokrasi? Levitsky dan Ziblat menyusun empat kunci perilaku seorang pemimpin atau calon pemimpin yang memiliki kecenderungan otoriter atau diktator.

1.       Rejection of  (or the weak commitment to) democratic rules of game

Keengganan untuk berkomitmen mengikuti aturan main dalam demokrasi

Do they reject the Constitution or express a willingness to violate it?

Apakah mereka menolak perundang-undangan atau menunjukkan keinginan untuk melanggarnya?

Do they suggest a need for antidemocratic measures, such as cancelling elections, violating or suspending the Constitution, banning certain organizations or restricting basic civil and political rights?

Apakah mereka mengusulkan adanya gerakan antidemokrasi seperti membatalkan pemilu, melanggar atau membatalkan undang-undang, melarang organisasi tertentu, atau membatasi hak-hak sipil dan politik?

Do they seek to use (or endorse the use of) extraconstitutional means to change the government, such as military coups, violent insurrections, or mass protests aimed at forcing a change in the government?

Apakah mereka mencari-cari alasan atau mengusung digunakannya aturan DI LUAR perundang-undangan untuk mengubah kedudukan pemerintahan, seperti kudeta militer, pemberontakan dengan kekerasan atau protes massa yang memaksa adanya perubahan dalam pemerintahan?

 

Do they attempt to undermine the legitimacy of elections, for example, by refusing to accept credible electoral results?

Apakah mereka mencoba mengacaukan kesahan hasil pemilu, contohnya, menolak untuk menerima hasil pemilu yang sah?  

2.       Denial of the legitimacy of political opponents

Menyangkal legitimasi lawan politik

Do they describe their rivals as subversive, or opposed to the existing constitutional order?

Apakah mereka menggambarkan lawan politiknya seperti pelaku subversive, atau menentang terang-terangan ketentuan perundang-undangan yang ada?

Do they claim that their rivals constitute an existential threat, either to national security or to the prevailing way of life?

Apakah mereka menyatakan lawan politiknya merupakan ancaman baik terhadap keamanan politik atau pada “kebiasaan” hidup yang berlaku?

Do they baselessly describe their partisan rivals as criminals, whose supposed violation of the law (or potential to do so) disqualifies them from full participation in the political arena?

Apakah mereka tanpa dasar menuding lawan politiknya sebagai criminal atau penjahat, yang kemudian secara hukum (berpotensi secara hukum) didiskualifikasi untuk berpartisipasi dalam arena politik?

Do they baselessly suggest that their rivals are foreign agents, in that they are secretly working in alliance with (or the employ of) a foreign government – usually an enemy one?

Apakah dengan tanpa dasar mereka menuduh lawan politiknya sebagai agen asing yang secara rahasia bekerja untuk pemerintahan asing – biasanya pemerintahan musuh?

3.       Toleration and encouragement of violence

Toleransi dan mendorong penggunaan kekerasan.

Do they have any ties to armed gangs, paramilitary forces, militia, guerrillas, or other organization that engage in ilicit violence?

Apakah mereka punya keterikatan dengan kelompok bersenjata, paramiliter, kelompok militant, gerilyawan, atau organisasi lain yang secara terbuka terlibat dalam kekerasan?

Have they or their partisan allies sponsored or encouraged mob attacks on opponents?

Pernahkah mereka atau pendukungnya menyandang dana atau mendorong dilakukannya kekerasan terhadap lawan politik?

Have they tacitly endorsed violence by their supporters by refusing to unambiguously condemn it and punish it?

apakah pernah mereka secara diam-diam mendorong kekerasan yang dilakukan pendukungnya dengan menolak untuk dengan tegas menolak dan mengutuknya?

Have they praised (or refused to condemn) other significant acts of political violence, either in the past or elsewhere in the world?

Pernahkah mereka memuji (atau menolak untuk mengutuk) kekerasan atas nama politik, baik yang terjadi di masa lalu atau yang terjadi di belahan dunia lain?

4.       Readiness to curtail civil liberties of opponents, including media Have they supported laws or policies that restrict civil liberties, such as expanded libel or defamation laws, or laws restricting protest, criticism of the government, or certain civic and political organizations?

Pernahkah mereka mendukung undang-undang atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti memperluas diberlakukannya undang-undang tentang pencemaran nama baik atau fitnah, atau undang-undang yang membatasi aksi protes, mengritik pemerintah, atau organisasi sipil dan politik tertentu?

Have they threatened to take legal or other punitive action against critics in rival parties, civil society, or the media?

Apakah pernah mereka mengancam akan mengambil tindakan hukum atau aksi lain sebagai jawaban atas kritik dari lawan politiknya, masyarakat sipil, atau media?

Have they praised repressive measures taken by other governments, either in the past or elsewhere in the world?

Pernahkah mereka memuji tindakan kekerasan yang dilakukan oleh pemeirntah lain, yang terjadi di masa lalu atau di tempat lain di dunia?

Empat tanda-tanda ini bisa dibaca dalam setahun awal pemerintahan seorang pemimpin atau presiden, atau malah bisa dibaca jauh sebelum mereka benar-benar menang dan pemilu seperti yang sudah diprediksi banyak pengamat sebelum Donald Trump meraih kemenangan. Sayangnya sudah kejadian, terlambat mengantisipasi. Saya rasa empat tanda-tanda itu bisa diberlakukan di seluruh negara dengan sistem demokrasi, jangan lagi kita kecolongan seperti Amerika dengan Donald Trump.

Lalu bagaimana mengatasi lunturnya demokrasi di Amerika?

“Democracy is a shared enterprise. Its fate depends on all of us.” Kalau kepercayaan bersama terhadap demokrasi itu meluntur, maka demokrasi akan mati perlahan. Demokrasi Amerika didasari pada egaliterisme – kesetaraan, civility atau kesopanan, sense of freedom atau kebebasan, dan shared purpose atau tujuan bersama. Ada beberapa hal yang bisa saya bagi di sini, di antaranya:

  • Fokus pada isu yang telah digunakan Partai Republik dan Donald Trump yang melahirkan polarisasi warga yaitu isu rasial, agama dan ketidakadilan dalam ekonomi. Untuk mengembalikan lagi keharmonisan, semua pihak harus bekerjasama, tidak hanya organisasi yang mewakili minoritas, politisi yang masih memegang prinsip kebebasan individu dan kesetaran, tapi semua, tak terkecuali kelompok bisnis. Bagaimana pun bisnis terkena dampak dari kebijakan ekonomi dan politik Trump.
  • Mengembalikan lagi prinsip-prinsip berpolitik tak tertulis seperti mutual toleration – toleransi mutual antar partai politik dan institutional forbearance – kesabaran kelembagaan. Di sini maksudnya adalah partai politik tidak harus saling serang terus menerus, tidak membalas cemoohan dengan cemoohan, tapi berpikir dingin, berpikir sehat, dan pada saat tertentu bisa saling mendukung untuk kepentingan rakyat banyak, dan kesepakatan untuk sepakat untuk berbeda pendapat dan saling menghargai itu. (Pasalnya, di Amerika mereka tidak mengenal sistem koalisi seperti di Indonesia, hanya ada mayoritas penentu kebijakan dan suara minoritas pun hilang, begitu sepengetahuan saya)
  • Kedua penulis menyarankan agar Amerika belajar dari Chile tentang “democracy for agreement” atau demokrasi dengan kesepakatan, dimana presiden harus berkonsultasi dengan pemimpin partai sebelum mengirimkan rancangan undang-undang pada kongres.

Hal lain yang mereka sebutkan dalam buku ini soal reformasi dalam tubuh Partai Republik, bagaimana mereka membangun ulang dua norma politik, mutual toleration and institutional forbearance. Ini menarik karena memang aneh, bagaimana sebuah partai politik terjebak dalam mendorong seorang pemimpin yang akhirnya menggerogoti mereka dari dalam.

Oh sebuah ilustrasi menarik dari buku ini tentang politik dan Donald Trump:

“Sebuah pertengkaran terjadi di antara seekor kuda dan rusa jantan. Si kuda datang kepada pemburu untuk meminta bantuan mengalahkan rusa. Si pemburu bilang, “okay saya akan bantu kamu mengalahkan rusa, asalkan kamu izinkan aku memasang sepatu besi di antara jarimu dan aku akan mengendalikanmu dengan tali kekang dan pelana ini ditaruh di punggungmu, supaya aku bisa stabil memandumu mengejar musuh.” Si kuda setuju dengan semua permintaan pemburu dan rusa pun akhirnya dikalahkan. Kuda meminta pemburu untuk melepas semua yang telah dipasang di tubuhnya, tapi si pemburu bilang, “wow tidak bisa secepat itu kawan. Sekarang aku sudah memacumu dalam kendaliku dan aku memutuskan untuk tetap seperti itu.”

  • The Horse, the Stag and the Hunter. Aesop’s Fables

Buku dengan 231 halaman ini, sekalipun bicara tentang Amerika, tapi sangat bisa untuk jadi bahan diskusi di kelas. Indonesia yang condong berguru pada Amerika, harusnya juga bisa belajar dari banyak kesalahan yang dilakukan dalam demokrasi di Amerika.

Lahan Kosong Itu Atap Gedung

Standar
Lahan Kosong Itu Atap Gedung

Beberapa hari lalu, Jakarta tertutup kabut. Kalau saja itu di kampung, saya akan langsung bilang, wuiiih kabut dingin turun. Tapi ini Jakarta, kabut dingin darimana? Betul saja, kawan memberikan alamat untuk melihat kesehatan udara Jakarta setiap hari. Hasilnya, hari itu, udara Jakarta tidak sehat! Di sini kamu bisa cek setiap hari kondisi udara Jakarta. https://www.airvisual.com/indonesia/jakarta

Hampir setiap hari kondisi udara Jakarta tercatat buruk, kecuali pas liburan lebaran. Jakarta butuh lebih banyak ruang terbuka hijau untuk menyerap polusi yang saban hari menyelimuti angkasa Jakarta. Tahun ini ada target penambahan 50 hektar, semoga saja itu kejadian.

Saya berkantor setiap hari di lantai 38 gedung perkantoran di kawasan kota kasablanka, Jakarta Selatan. Kalau menengok ke bawah, atap Gedung yang lebih rendah itu sebenarnya bisa dimanfaatkan lebih dari sekedar tempat tong air. Kalau ini bisa dianggap sebagai lahan kosong, maka ide berikutnya adalah memanfaatkan atap Gedung sebagai kebun.

Awalnya membayangkan atap-atap Gedung itu bisa jadi tempat memanen angina dan matahari untuk energi tambahan buat Gedung. Tapi kawan yang lebih ngerti soal teknis bilang, terlalu mahal biaya pemasangan, terlalu sedikit energi yang bisa dipanen karena atap Gedung ga terlalu besar. Meski secara teknis tidak mungkin, saya kok masih yakin bisa ya? Entahlah.

Ide kedua adalah menjadikan atap Gedung itu sebagai lahan pertanian. Udah banyak kok contohnya, ini salah satunya, di New York, kota yang sama sibuk dan bisingnya seperti Jakarta

https://ny.curbed.com/2017/7/19/15998808/brooklyn-grange-rooftop-farm-video-tour

I know, I know, it won’t be that easy to replicate it. Tapi juga bukan hal yang mustahil kan? It always been my dream to have or to see the roof top farming in Jakarta. Desember 2017, Kompas menurunkan berita dengan luas 166 kilometer, Jakarta punya 158 gedung pencakar langit yang sudah berdiri, ditambah dengan yang masih dibangun dan dalam perencanaan jumlah 1300an!! Jangan heran kalau ruang terbuka hijau di Jakarta makin berkurang. Kalau pemerintah menargetkan membeli 50 hektar tahun ini untuk ruang terbuka hijau, itu artinya akan muncul masalah penggusuran rakyat miskin kota karena nyaris tidak mungkin menggusur ‘calon gedung’.

Kalau setiap Gedung punya sekitar 21 meter persegi lahan kosong di atapnya, dikalikan dengan 158 saja Gedung yang ada, berarti ada lahan kosong seluas 3.318 meter persegi yang bisa dimanfaatkan sebagai pertanian, dan ruang terbuka hijau. Selama ini pemanfaatannya baru sebatas restoran, yang semoga saja menanam tanaman aseli dan bukan plastic, atau sebagai helipad (ini sedikit sekali).

Jakarta punya ruang kosong seluas selbih dari 3ribu meter persegi, di atas Gedung pencakar langit. Kenapa bukan itu yang dimanfaatkan daripada membuat masalah baru dengan menggusuri rumah rakyat. Kalau itu dijadikan lahan pertanian, Jakarta bisa mandiri pangan, minimal sayuran. Dengan lahan yang sama, harusnya bisa manfaatkan sebagai tempat memanen energi matahari, kalau baling-baling pemanen angin tidak bisa dibuat skala kecil.

Tantangan terbesar adalah kebijakan pemerintah daerah yang tidak juga menghentikan pembangunan gedung di Jakarta, yang merenggut ruang hidup manusia lain di dalamnya. Hentikan lalu benahi. Ruang-ruang yang ada dimaksimalkan, harusnya ini juga diregulasi oleh pemkot agar manajemen Gedung mau dan dipaksa bergerak dan terlibat. Dalam beberapa kesempatan, ide ini tertahan meletus seperti bisul karena klien saya bilang, “waduh berat mba nit, ini harus dibicarakan dengan manajemen Gedung. Kami hanya sewa kantor di sini.”

Sekali lagi mimpi mimpi orang awam, karena yang berilmu kadang lupa meluangkan waktu melihat hal kecil untuk melakukan perubahan. Hayuk dong, bergerak. Saya bawel karena saya cinta Jakarta