Monthly Archives: Juni 2014

Meja Makan

Standar

Aku adalah hadiah perkawinan buat Joko dan Marni di tahun 1976, diangkut jauh-jauh dari Jepara menuju Jakarta. Almarhum Eyang Kusumo memberikanku kepada Joko dengan sebuah pesan,”rawat meja makan ini baik-baik. Kamu itu dibesarkan dengan kasih sayang yang nyata di meja makan ini. Ibumu memasakan makanan bergizi agar kamu pintar dan disajikan ya di meja makan ini. Kamu belajar demokrasi, menyatakan pendapatmu yang kadang mengjengkelkanku ya di meja makan ini. Kita jadi keluarga karena meja makan ini. Sekarang ini milikmu, jaga baik-baik dan semoga keluargamu rukun dan bahagia, seperti kita.”

Jangan tanya perasaanku soal lungsur melungsurkan barang, wong aku benda mati. Aku hanya akan bercerita tentang masa-masa aku menemani Joko dan Marni dan ketiga anak mereka.

Anak mereka lahir saban dua tahun, 1978, 1980 dan 1982, selang seling lelaki, perempuan dan lelaki. Marni mengurusi mereka dengan sangat baik, memastikan makanan yang disajikan di atasku adalah yang bergizi, sesuai anjuran pemerintah, empat sehat, lima sempurna. Daging tak selalu ada, karena keluarga ini tidak kaya, tapi kan kebutuhan protein bisa datang dari tahu dan tempe toh. Yang bungsu bernama Razak malah memutuskan menjadi vegetarian. Sejak kecil dia selalu muntah saban daging menempel di indra pencecapnya, hoek… badanku bau seketika.

Agenda sarapan dan makan malam hukumnya wajib di keluarga ini. Mereka tiba pagi hari dengan pakaian siap aktivitas sekolah dan bekerja pada jam enam pagi. Pertanyaan utama pagi hari keluar dari Joko, “bagaimana anak-anak, pe er sudah dikerjakan? Ada kegiatan apa hari ini? Tidak boleh ada agenda dadakan ya, beritahu bapak dan ibu sehari sebelumnya, agar kami tak sibuk mencari kalian.”

Jam tujuh malam, usai mandi sore dan sholat magrib berjamaah, mereka berkumpul lagi. Kali ini Marni membuka percakapan, “bagaimana hari ini? Di sekolah baik-baik saja? Habis makan jangan lupa kerjakan pe ermu ya.”

Ketiga anak mereka menurut, sampai salah satu dari mereka masuk sekolah menengah pertama. Kegiatan luar sekolah menjadi salah satu agenda yang harus disampaikan kepada orang tuanya.

“Bu, besok aku pulang telat ya. Ada latihan paskibra dulu,”kata Rinto si anak sulung.

“Tapi pulangnya jangan lewat magrib ya nak.” Begitu pesan Marni

Saat mereka masih di sekolah dasar, Marni dan Joko adalah tong sampah, tempat curhatan anak-anak mereka. Apa pun mereka ceritakan. Joko pandai membuka mulut anak-anak untuk bisa menceritakan segala hal, termasuk kisah cinta monyet mereka. Tidak boleh menghakimi anak-anak, begitu aturan main yang disepakati Marni dan Joko, kecuali mereka terbukti bersalah dan menyakiti orang lain.

Tapi ketika satu persatu beranjak remaja, cerita yang mereka sampaikan semakin selektif. Kisah cinta yang tak lagi monyet itu menghilang. Marni sempat memancing,”Rinto, pacar kecilmu dulu si Fika, apa kabar? Ibu kok ngga pernah dengar ceritanya lagi.”

Rinto akan menjawab,”Ya ampun Ibu. Udah ngga lagi. Malu ah, ngga usah disebut nama itu lagi ya.”

Suatu hari Rinka malah tak keluar kamar untuk makan malam. Joko, Marni dan kedua anak lelaki mereka saling bertatapan, sesuatu yang buruk pasti terjadi pada putrinya. Marni menatap Rinto,”kenapa adikmu? Ada yang terjadi di sekolah tadi? Kamu itu gimana sih, kan satu sekolah, mestinya saling jaga?”

Rinto langsung membela diri,”Ibu, kok jadi aku yang salah sih. Aku ngga tahu apa-apa bu. Dia kan perempuan, ya mainnya sama perempuan. Masa aku harus gabung sama geng mereka sih. Aku ini lelaki bu. Sibuk.”

“Sudah, sudah, kita tidak akan memulai perdebatan di meja makan ini. Marni, aku atau kamu yang akan ke kamar Rinka?,” Joko menengahi.

Malam itu menjadi malam tersingkat pertama dari yang berikutnya di meja makan ini, di tubuhku.

Anak-anak beranjak dewasa, kegiatan luar rumah mereka semakin banyak. Antara kegiatan ekstrakurikuler, kehidupan percintaan remaja. Tapi yang tidak berubah adalah jam makan malam.  Di pukul lima sore, Marni akan mengirimkan pesan lewat PAGER kepada semua anggota keluarga. Tidak ada yang membantah dan dengan tertib mereka kembali ke rumah. Sedikit telat, alasan jalan macet.

Tahun berganti, kota beralih rupa, semakin banyak penduduk, semakin ria kendaraan, semakin sibuk. Rinto mulai bekerja, Rinka di semester akhir dan Razak masuk semester empat. Sedangkan Joko, mendekati pensiun yang bukan membuatnya semakin sedikit bekerja, tapi semakin sibuk. Pegawai negeri itu sedang mempersiapkan bisnis kecil-kecilan sebagai bekal pensiunnya nanti, dia tak ingin diam, tua dan menunggu ajal.

Sedangkan Marni semakin kesepian. Dia lebih sering duduk sendirian di meja makan, bersamamu, meratapi makanan yang semakin hari semakin menipis jumlahnya. Mereka memang sudah kaya sekarang, mampu membeli makanan apapun sebanyak apa pun. Tapi siapa yang akan makan?

Setiap hari, anggota keluarga bangun lebih pagi daripada ayam jantan dan mereka berkokok lebih berisik darinya. Jam lima lewat tiga puluh menit, mereka kompak keluar rumah, menyalami Marni, membawa bekal roti untuk sarapan di jalan. Kalau tidak begitu, mereka akan sangat terlambat sampai di tujuan. Jakarta luar binasa macetnya, tak pakai toleransi.

Jam enam seperti kebiasan bertahun-tahun sebelumnya, Marni duduk manis di meja makan untuk sarapan, sendirian.

Sore hari, Marni seperti biasa juga menyampaikan pesan kali ini lewat pesan pendek SMS kepada semua anggota keluarga, “malam ini makan di rumah ya, Ibu sudah masak makanan kesukaan kalian.”

Lalu sms balasan beruntun datang.

“Ibu maaf, aku tak bisa ikut makan malam. Di kantor ada gala dinner, penyambutan bos baru,” pesan dari Rinto
“Ah ibu pasti lupa, aku kan harus menyelesaikan skripsiku bu. Malam ini sudah janjian bimbingan sama dosenku.” Begitu pesan Rinka.

“Ibu cantik, jangan marah ya. Razak ga bisa malam ini, mau latihan band.” Razak membalas.

“Marni, aku lupa bilang. Aku pulang terlambat, ada meeting malam ini. Demi masa depan kita sayang. Simpan dulu jatahku, nanti pulang dihangatkan. Tapi kamu makan duluan saja ya sayang.” Begitu Joko membalas.

Marni menangis….. dia kesepian. Air matanya membasahi meja makan. Serasa sia-sia ia seharian ini menghabiskan waktu di dapur. “Semua sudah lupa aturan agenda harus disampaikan satu hari sebelumnya. Semua sibuk sendiri dan aku tak butuh tambah kaya,”Marni membatin.

Pada suatu akhir pekan, keluarga berkumpul di meja makan. Mereka tahu telah menyakiti Marni secara tidak sengaja. Mereka sangat menghormati kebiasaan keluarga untuk makan malam bersama, tapi tuntutan keadaan sudah tidak memungkinkan mereka untuk bersama di jam yang telah ditentukan. Dan karena esensi dari makan malam adalah kebersamaan, dimana anggota keluarga menyampaikan situasi hari dan hatinya, maka diputuskan untuk memundurkan jam makan malam. Mulai Senin pada pekan berikutnya, makan malam berlangsung pukul dua puluh satu atau jam sembilan malam.

Keputusan itu dijalankan. Tapi makanan yang masuk ke perut mereka, makin sedikit. Tidak ada lagi makan besar, hanya cemilan menjelang waktu tidur. Sebab mereka sudah makan malam sebelum sampai di rumah.

Rinto menikah, Rinka bekerja sebagai jurnalis yang kena jam kerja bergantian, kadang masuk pagi, siang bahkan tengah malam. Razak, sibuk dengan dunia entertainmentnya, mulai dari main band, audisi sinetron remaja, sampai jadi foto model. Dia yang paling menarik penampilannya dibandingkan kedua kakaknya.

Keluarga kemudian berdiskusi kembali. Untuk menjaga tradisi kebersamaan di meja makan, mereka memutuskan bahwa pada akhir pekan antara Sabtu atau Minggu harus makan malam bersama. Rinka dan Razak yang jam kerjanya tak tentu seperti Rinto yang kantoran awalnya menentang habis-habisan. Mereka akan sulit berkompromi dengan tim kerjanya kalau harus rutin meninggalkan tugas untuk makan malam keluarga. Seperti biasa, Joko angkat bicara,”Bapak mengerti masalah kalian. Tapi ini untuk kepentingan keluarga ini. Sudah ya, tidak usah diperdebatkan lagi. Keputusan terakhir ada di kepala keluarga toh, yaitu aku. Maka dengan ini, aku putuskan setiap akhir pekan, kalian harus menyempatkan diri pulang ke rumah dan makan malam bersama. Titik!”

Kursi di meja ini ditambah karena Rinto membawa istri dan anaknya, kadang-kadang Razak membawa temannya untuk meyakinkan bahwa makan malam adalah tradisi keluarganya yang tidak bisa dihapus sama sekali. Sesekali Razak dan Rinka melongok jam tangan, sudah saatnya untuk pergi dan bertugas. Makanan pun tak lahap disantap. Joko akan melotot, dan Marni kemudian melambaikan tangan, “Ya sudah sana kalian pergi kalau memang harus pergi. Tapi hati-hati di jalan ya. Bawa sisa makanan.”

Suatu akhir pekan, Razak datang dengan muka kusut setelah tiga hari tak pulang, alasannya ada syuting di luar kota. Marni yang sudah kehilangan sebagian besar kabar anak-anaknya langsung merasa sesuatu tak beres terjadi pada Razak. Sepanjang makan malam yang dihadiri segenap keluarga, Joko, Rinka, Rinto, Mili istrinya dan kedua anak mereka. Razak diam sepanjang malam. Pada saat makanan penutup dihidangkan, Razak buka suara.

“Bapak, Ibu, ada yang mau Razak sampaikan.”

Semua menatap ke arah Razak. Dia merasa beruntung besar di keluarga yang terbuka dan bebas menyampaikan suara, sekalipun mata menatap dirinya, tak ada sorot penghakiman.

“Razak sudah pikirkan masak-masak soal ini, setelah bertahun-tahun menyimpannya. Maafkan kalau akhirnya nanti Razak akan mengecewakan semua yang ada di sini, termasuk bapak dan ibu. Razak akan terima semua konsekuensi yang akan diberikan oleh bapak dan ibu. Razak sangat sayang bapak sama ibu.”

Razak terdiam, senyap, semua berhenti mendentingkan garpu dan sendok pada piring. Marni mendekat pada Razak dan mengelus kepalanya.

“Razak mau bilang, kalau Razak ini gay bu. Razak menyukai lelaki.”

Razak menyembunyikan kepala pada perut ibunya yang mendekap sangat kuat. Di seberang meja, bapak tersedak makanan yang belum sempat dia telan. Dia tersungkur jatuh. Semua panic, Mili menjauhkan anak-anak dari meja makan. Rinka menelpon ambulance. Ibu dan Rinto menangkap bapak. Razak menangis di pojokan dan pergi terburu-buru.

Joko meninggal. Malam itu dia kena serangan jantung dan bukan karena makanan yang tersangkut di tenggorokan. Razak tak pernah lagi kembali ke rumah. Rinto dan Rinka mencarinya ke segala penjuru, dia hilang ditelan bumi. Marni tak pernah berhenti menangis. 40 hari setelah kematian Joko, Marni menyusulnya ke alam baka. Kantong air matanya selesai tugas di hari itu.

Di meja makan, Rinto membuka percakapan di hadapan Rinka dan Mili, istrinya.

“Harusnya ibu dan bapak menjual rumah ini dan pindah ke tengah kota, supaya kita tetap bisa makan malam bersama tanpa harus kehabisan waktu di jalan.”

Tidak ada yang menyahut.

“Harusnya ibu dan bapak tidak sekolot itu mengharuskan kita pulang hanya untuk makan malam. Kan kita bisa ketemu di tengah, seandainya saja ibu ngga mabok perjalanan.”

Masih tidak ada yang menyahut.

“Kita jual saja rumah ini beserta isinya. Kamu juga toh sudah punya apartemen, siapa yang akan mengurus rumah ini?”

Rinka angkat bicara,”jangan mas. Bagaimana kalau sewaktu-waktu Razak kembali? Ini akan selalu menjadi rumahnya. Menurutku kamu dan Mili bisa menempati rumah ini, toh cukup luas dan besar untuk anak-anak kalian nantinya.”

Mili memegang lengan Rinto, dalam batin dia menyetujui usul Rinka. Saat masih berdua, tinggal di apartemen adalah yang paling nyaman. Tapi anak-anak butuh ruangan yang cukup untuk bermain dan begitu besar mereka butuh kamar masing-masing. Rinto diam sejenak.

“Tapi aku tak sudi menyimpan meja makan itu! Semua hal terjadi di sana. Aku tak mau melihatnya lagi. Dan aku tidak akan seperti bapak yang memaksakan tradisi makan malam tanpa melihat situasi yang sudah berbeda.”

Seminggu dari percakapan itu, badanku yang terbuat dari jati sejak 1950, dibandrol dengan harga lima ratus ribu rupiah saja.

 

 

 

Iklan

Waktuku

Standar

14.00

Beberapa tahun lalu tempat ini menjadi pelarian yang nyaman buatku dari keriuhan rumah dengan dua balita yang acap kali menjerit satu sama lain. Sesekali aku ingin menikmati secangkir kopi hitam panas dan menikmati salah satu novel yang tak sempat lagi kubaca karena dua puluh empat jam sehari secara tak cukup untuk mengurusi segala tetek bengek dalam kehidupanku. Sebatang dua batang rokok masih sempat kubakar untuk meracuni paru-paruku dengan sadar, saat yang pas adalah ketika menjemur pakaian di atas loteng, saat anak-anak tidur siang. Cuma 10 menit satu hari rata-rata yang kupunya untuk diriku sendiri.

Hari ini entah kenapa, aku punya kekuatan dan kesempatan untuk meninggalkan anak-anak di rumah. Aku meminta Awan mengizinkanku untuk pergi ke pusat perbelanjaan sendiri. Aku  bilang aku ingin liburan. Bukannya tidak pernah Awam memberikan waktu untukku menikmati kesendirian. Tapi selalu aku tolak karena ada rasa bersalah yang mengikutiku saban kali meninggalkan anak-anak di rumah bersama pengasuhnya atau bahkan dengan ayahnya sendiri. Aku selalu takut hal buruk terjadi pada mereka saat aku tak bersamanya.

Tapi hari ini, aku ingin kembali ke tempat ini. Segalanya berubah. Music jazz yang biasanya mengalun merdu kalah nyaring dengan lagu techno yang diputar dari booth pameran tempat kebugaran para pesohor. Lelaki dengan badan tegap, kaos ketat yang sengaja dipakai untuk memperlihatkan otot-otot kering yang menggemaskan sibuk menyebarkan flyer potongan harga bagi anggota baru yang bergabung dengan mereka. Waktunya terbatas, selalu begitu kata kuncinya. Salah satu dari mereka yang boleh dibilang paling tampan menawariku flyer. Barangkali dia lihat badanku yang perlu dibentuk setelah turun mesin dua kali. Pada suatu waktu aku pernah merasa jijik pada tubuhku yang menggelambir di bagian perut, bekas sayatan pisau operasi tak hilang karena kulitku berbakat keloid. Aku pernah menolak permintaan Awam bercinta karena aku malu pada tubuhku sendiri, bahkan kepalaku dipenuhi curiga, hal yang wajar kalau Awam akan mencari perempuan dengan kulit perut yang mulus.

Awam tersenyum ketika kuceritakan alasan itu, dia menyerbuku, menelanjangi dan menciumi bekas operasi itu. “Dari sini lahir kehidupan baru, darah daging aku dan kamu, masa depan kita. Aku mencintaimu bukan perutmu, selamanya akan begitu.”

Lelaki dengan flyer potongan harga itu menggodaku dengan tatapan matanya dan senyumannya dan bilang hanya dalam waktu tiga bulan dengan latihan ketat dibawah bimbingannya, tubuhku akan langsing dan lebih menarik. Terima kasih, aku tidak tertarik mengubah bentukku hanya untuk memuaskan orang lain.

Pernah tidak kamu menghitung berapa banyak waktumu dicuri para penjaja yang ingin membuat kualitas hidup versi kekinian menjadi lebih baik. Dan aku sangat baik hati mendengarkan mereka barang lima menit, alasannya sederhana, aku tahu persis betapa lelahnya menjaga stand dan kesal ketika bertemu orang-orang yang bahkan tidak mau mendengarkanmu. Dengan gaji tujuh puluh lima ribu sehari, pasang muka manis, menarik mereka yang sesuai segmen dagangan dan keringkan kerongkongan dengan penjelasan panjang lebar. Dari puluhan yang kamu undang ke standmu, hanya belasan yang bersedia mendengarkan, dan hanya hitungan jari yang bersedia membeli.

Di sebuah pameran otomotif lah aku bertemu dengan Awam. Aku penjaga stand dan dia seorang eksekutif muda yang sedang mencari mobil. Tuntutan gaya hidup metropolitan memang seperti itu menurut seorang perencana keuangan yang berkoar-koar saban pagi di radio, mencekoki anak-anak muda yang kaget dengan gaji bulanan membuncah melebihi kebutuhan utama. Makin besar penghasilan, tentu biaya gaya hidup makin besar dong, harus disiapkan dana untuk liburan sekian persen, entertainment seperti hang out dan nonton sekian persen, cicilan mobil, apartement, kartu kredit, tabungan, asuransi dan jangan lupa, investasi.

Waduh banyak sekali tuntutan hidup mereka. Aku cukup bahagia dengan gaji tujuh puluh lima ribu rupiah perhari saban kali ada pameran, ditambah membantu terjemahan bebas karena belum tersumpah, menjadi penyiar radio, menulis puisi dan kadang-kadang cerpen untuk dimuat di Koran. Tidak ada gaji tetap, tapi kalau sedang kaya, penghasilanku luar biasa. Investasiku masih konvensional, beli emas saban kali ada uang lebih, tidak banyak, sampai saat menikah dengan Awam jumlahnya hanya dua puluh gram. Itu tabunganku selama lima tahun bekerja lepas.

Sejak awal kami bertemu, Awam sudah mencuri kekagumanku. Sekalipun dia mengikuti tuntutan gaya hidup eksekutif muda, sebenarnya Awam sangat sederhana. Dia tidak punya catatan buruk dalam percintaan, bukan jenis yang gonta ganti pasangan, dia percaya cinta pada pandangan pertama. Seminggu kami bersama, dia memintaku menjadi istrinya. Aku mengiyakan tanpa berpikir panjang bahkan lupa dengan cita-citaku untuk melanjutkan sekolah, mengejar gelar master supaya dapat surat izin mengajar di perguruan tinggi. Atau bekerja dan mengejar karir di perusahaan internasional supaya aku tak perlu lagi berbaju ketat, rok di atas dengkul, wajah didempul dan senyum simpul. Aku mengiyakan ketika Awam bilang “aku ingin kamu di rumah, menjadi ibu rumah tangga, profesi paling mulia yang bisa dilakukan seorang perempuan. Aku akan menggajimu sebanyak yang bisa kamu dapat dari sebuah perusahaan dengan level manajer.”

Tapi Awam lupa, menjadi ibu tidak sama dengan menjadi karyawan. Bekerja penuh dua puluh empat jam sehari, tanpa cuti haid, lebaran atau libur nasional. Menjadi ibu tidak sama dengan manejer perusahaan dengan job description tunggal, aku harus mengurus semua hal, divisi purchasing, keuangan, personalia, operasional bahkan menjadi teknisi. Aku menjadi supir buat anak-anak, menjadi guru, pendongeng dan juru masak. Rumah tangga tidak sama sekali berbeda dengan perusahaan dan aku bukan pegawai juga kamu bukan direktur. Aku lelah.

 

14.30

“Air mineralnya empat belas ribu rupiah ya bu, seharga orange juice,” kata kasir menatapku, memastikan pilihanku tak salah. Aku mengangguk dan dia memberikan air mineral botol plastic ukuran 600ml dengan bonus donut.

Kalau tanpa bonus donut, apakah harganya berkurang?, pertanyaanku membatin saja, malas berdebat karena kutahu akan dijawab dengan senyuman.

Pantas angka diabetes tinggi, bayangkan, air tawar sama mahal dengan minuman olahan. Buat ibu-ibu sepertiku, empat belas ribu rupiah untuk air minuman tawar tentu mahal sekali, bisa dapat tiga botol mineral di luar kafe. Di eropa, kita punya pilihan, membeli air tawar sparkling yang harganya lebih mahal dari segelas bir atau gratisan dari kran yang sudah dijamin kebersihannya dan layak minum. Di sini, kecuali kau mau diabet silah saja menghindari pesanan air minum tawar yang harganya menjulang.

Aku kembali ke kursiku sambil mengutuki harga, padahal ibuku pernah pesan pamali mengutuki sesuatu yang akan jadi tai. Jangan Tanya kenapa begitu, karena dia akan menjawab, tidak usah banyak Tanya, turuti saja apa kata orang tua. Lalu begitu menikah, kamu tidak bisa berbuat apa pun tanpa seizin suami. Oh betapa dirimu tak pernah menjadi milikmu seutuhnya.

Novel Lalita karangan Ayu Utami tak banyak bergeser, aku terlalu banyak melamun ternyata. Membayangkan Awam mengurusi Langit dan Puisi Pagi yang selalu ribut memperebutkan segala hal, remote televisi, bantal, mainan, buku bahkan kursi. Jarak mereka terlalu dekat, Langit baru berusia sembilan bulan ketiga Puisi hadir di perutku. Barangkali dia kesal karena belum puas mendapatkan perhatian dari kami dan kini harus berbagi segalanya dengan sang adik, bahkan ketika air susuku lebih banyak disedot Puisi. Aku kehilangan kebebasan sejak menikahi Awam karena Langit muncul di rahimku hanya satu bulan berselang sejak pesta digelar. Awam begitu bahagia, aku…

Kenapa aku tak bisa mengaku bahwa aku lelah tanpa merasa bersalah, tanpa takut orang lain akan menghakimiku dengan segala nasihat. Kalau kamu ikhlas, tak akan menjadi beban. Menjadi ibu adalah anugerah terbesar bagi perempuan, sebuah kesempurnaan. Mengasuh dan mendidik anak adalah kewajiban. Dan ketika menjadi kewajiban bukankah beranak beban? Kenapa aku tidak bisa menjadi Lena, seorang Lena, individu yang bisa merasakan lelah dan jenuh. Aku butuh bertemu dengan diriku sendiri, bercakap tentang aku dan hanya aku, tentang mauku. Kenapa aku tak bisa menjadi aku?

Karena aku seorang istri dan ibu maka aku tak bisa menjadi Lena?

“Sayang, kalau sudah istirahatnya, segera pulang ya. Langit demam,” pesan pendek dari Awam.

“Langit demam? Aku segera pulang,”

…”Ibu hanya butuh menyetorkan dana awal satu juta lima ratus ribu rupiah saja di awal dan biarkan dana itu bekerja untuk ibu. Ibu tinggal duduk manis di rumah, bisa gajian sehari tujuh ratus lima puluh ribu rupiah…” makelar multi level marketing mengiringiku pulang..

Ya aku pulang…..

 

tol Cipularang, 31 Mei 2014