Monthly Archives: Februari 2013

Selamat Ulang Tahun

Standar

Lelaki itu menghilang belasan tahun lalu tanpa ada kabar sama sekali, kecuali sebuah pesan “selamat ulang tahun” yang kadang datang tepat waktu, kadang terlambat satu bulan. Dengan cara yang sama lewat selembar kartu pos, dia akan sempatkan berkirim pesan satu kali dalam setahun untuk mengingatkan betapa hidup terus berjalan, keriput terus bertambah sementara kenangan tak juga beranjak dari satu hati, satu cinta yang abadi, di antara keduanya.

Kemana pun perempuan itu berpindah lokasi, dia akan kembali ke tempat yang sama hanya untuk menanti sebuah pesan “selamat ulang tahun” yang dikirimkan lelaki itu. Pesan di atas selembar kartu pos dengan stempel dan perangko dari negara berbeda setiap tahunnya, bawah langit adalah rumahnya dimana pun dia berada, masih lelaki yang sama. Lelaki yang karena profesinya tak bisa berada di satu tempat dalam waktu yang lama. Lelaki yang karena profesinya tak punya identitas ajeg, barangkali namanya pun bukan yang sebenarnya, latar belakang yang berbeda setiap kali perempuan itu pernah bertanya. Dia hanya akan menatap dalam-dalam pada bola mata hitam yang menenggelamkanya milik perempuan itu dan berkata,”satu-satunya yang jujur dari diriku hanya cinta padamu. Pegang saja itu. Selebihnya aku tak akan pernah bisa cerita.”

Zaman berubah, teknologi memperkenalkan perempuan itu pada telpon genggam, jejaring sosial media dan google yang bisa menjawab semua pertanyaan kecuali tentang lelaki itu, nama dan wajahnya selalu muncul berbeda, bukan dia. Lelaki itu menghilang ditelan bumi, tak terjangkau teknologi. Selalu dengan cara tradisional untuk menyampaikan kalimat “Selamat Ulang Tahun” yang sesekali dihias manis dengan gambar hati dan dilengkapi Hug and Kiss… Chris… nama singkat yang sangat umum di negara mana pun. Dia bisa jadi Christian, Christopher atau memang hanya Chris… ada jutaan lelaki bernama Chris yang muncul di google, facebook atau twitter. Tak ada jejak terlacak untuk mencarinya. Yang dipunya perempuan itu hanya kenangan dan selembar foto yang mengabadikan kebersamaan mereka, tak lebih. Bagaimana mencarinya, haruskah mencarinya?

Segalanya berubah. Perempuan itu sudah berkeluarga, memenuhi tuntutan makhluk hidup untuk berkembangbiak dan meneruskan keturunan. Perempuan itu memiliki suami untuk memenuhi kebutuhan purbanya. Sementara hatinya tak pernah pergi pada lelaki yang sama belasan tahun silam ketika semuanya berjalan singkat dalam hitungan hari. Lelaki itu berjanji seterusnya sepanjang hidupnya akan mengirimkan kabar saat perempuan itu mengulangi tanggal kelahirannya, waktu yang sama sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tanggal itu menjadi keramat untuk mengingat tentang cinta dengan kepedihan dan kesenangannya yang hanya datang sekali.

Perempuan itu menanti di beranda sambil menggenggam belasan kartu pos terdahulu. Lehernya terasa sakit melongok ke pagar menanti pak pos yang kian jarang datang ke lingkungan ini. Siapa lagi yang membutuhkan pak pos ketika semuanya bisa disampaikan lewat segenggam telpon pintar. Hentakan jempol pada keypad lebih cepat menyampaikan pesan daripada harus meluangkan waktu dan tenaga beranjak ke kantor pos untuk mengirimkan pesan lewat selembar surat. Hidup kini serba dimudahkan, semudah kita melupakan kenangan yang tersimpan dalam kertas surat usang dan tulisan tangan yang kian hari kian tak berbentuk. Cuma lelaki itu yang setia pada selembar kartu pos dan tulisan tangan untuk mengucapkan “selamat ulang tahun,” kepada kekasih abadinya.

Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ada kursi rotan, hatinya berdebar tiba-tiba dan terdiam dalam kehampaan. Angin semilir menerpa lembut daun telinganya dan berbisik,”selamat ulang tahun sayang.” Tak akan ada lagi kartu pos untuk dinanti.

Bandung, 12 Februari 2012.. untukmu yang akan berulang tahun esok hari….

birthday002_sedonadpsbaki

Iklan

What makes you a celebrity?

Standar

Indonesian well-known as their best smile, but it’s not for free and fair… well of course there some who does but most of them… nei… nothing is for free remember?

These are things that will make you treated like a celebrity in Indonesia:

  1. Your credit card- are they gold, platinum or titanium? Visa or mastercard? If you come up with just 4 million limited credit cards, you won’t get any special treatment. Try to come to an airport lounge with the ugliest outfit you can be, once you pas its security and show your titanium credit card, they will smile as wide as they can like a JOKER and give you a free drink.
  2. Your follower on twitter and friends on facebook…. It doesn’t matter where, who and what your follower stand for, as long as you have them in numbers of thousands, you become the social media celebrity. They will make you a buzzer for every tweet-shit so they call an invisible advertisement.
  3. Your bule-mate… if you are Indonesian with just an ordinary look and you walk with a bule, people suddenly will be very friendly to you.. again smile as wide as joker does. It is for not you, it is for your bule-mate.
  4. Your outfit… people don’t see how many cash you have in your wallet, but when you dress-up suddenly everything seem so easy.  You’ll get a paper stick with perfume 😛
  5. Your car… people never appreciate your motorbike, no matter if the price as expensive as a car, it will be just a motorbike. But if you come with a luxurious car, you’ll be treated special.

So be rich (doesn’t matter if you have it from your dirty work), be stylish, be famous (doesn’t matter for any reason why) and get your bule stand next to you… Voila! You got the spotlight!

Cheers

cc

Perempuan dan Hujan

Standar

Apa yang menarik dari hujan, mendungnya, airnya yang menggedor kaca dan membasahi tanah, bau tanah, bau comberan sampai anyir yang dibawa bersamanya atau sambaran kilat di langit yang mirip blitz kamera fotoku? Apa yang menarik dari hujan?

Pertanyaan itu selalu muncul saban kali aku lihat perempuan berkepang dua, kolega di kantorku yang selalu sibuk membuat kopi hitam dengan takaran satu sendok makan penuh, ditambah setengah sendok makan gula dan seperempat kreamer, dibawanya gelas kopi di bawah air panas dispenser lalu dengan sedikit terbirit-birit dia akan mengambil posisi duduk di sofa yang menempel pada jendela. Untuk apa? Ya untuk menikmati hujan. Dia menggenggam gelas kopi panasnya dekat dengan dada, menghirup bau kopi yang semerbak di ruang tamu sambil mata yang tak berpaling dari jendela kaca. Sesekali matanya terpejam mendengarkan lebih jernih pada suara air yang jatuh dari langit, kadang pelan tapi belakang lebih sering berbunyi kencang memecah air yang jatuh ke tanah, jumlahnya terlalu banyak. Jangan tanya padaku, mana mengerti aku soal debit air hujan. Pokoknya yang kutahu, belakangan hujannya lebih deras dari yang biasa. Buatku mengkhawatirkan tapi tidak untuk perempuan itu.  Dia justru akan menghentikan semua kegiatannya hanya demi hujan…

Sementara aku, akan mengeryitkan dahi menahan agar tak kaget begitu dengar suara petir, meski tak pernah berhasil. Tetap saja aku akan loncat dari posisiku berdiri mau pun duduk begitu bunyi agung itu membahana di angkasa. Spontan aku akan menutup kedua kupingku rapat-rapat lalu aku merapat pada tembok atau kasur atau apa pun agar ruang di sekitarku menyempit. Begitu aku lihat kilatan cahaya petir dari balik jendela, aku akan kabur sembunyi dimana pun aku bisa, berkejar-kejaran dengan suara petir yang menyertai cahaya sepersekian detik, jelas aku kalah telak dan selalu terkaget-kaget.

Aku tak suka pada hujan yang selalu airnya selalu membuatku demam dan kepala pening serta kaki dikerumuni kutu air. Aku tak suka pada hujan yang membuat jalanan menuju rumah dan kantor ini banjir. Meski saban tahun ada penambalan jalan di sana-sini tetap saja hanya bertahan sekian bulan, begitu musim hujan tiba, jalanan seperti wajah bekas cacar besi, bopeng dimana-mana, membuat kubangan dan banjir. Belum lagi baunya… sepertinya semua bau yang disembunyikan manusia, keluar saat banjir, ya bau bangkai, anyir darah sampai bau busuk sampah yang menumpuk pada saluran air.

Tapi perempuan itu, tetap akan duduk manis sambil mendekap gelas kopi dan mata yang menatap keluar jendela menikmati hujan. Sekali waktu aku pernah melihat perempuan itu menyeka air mata persis ketika dia menikmati hujan. Sekali waktu lain, teman sekantor bercerita kalau perempuan itu pernah berlari ke halaman belakang dan main hujan sambil merentangkan tangan dan menari-nari. Dia mengajak kami semua untuk bergabung bersamanya bermain di bawah derasnya hujan. Gila!

Dia melirikku…. Aku segera bersembunyi di balik rak buku….

“Dio, kemari…. Hujan Di… syahdu deh,” dia memanggilku sambil melambaikan tangannya. Dia bergeser untuk memberikan ruang untukku duduk di dekatnya.

Aku menggeleng dan berkata,”Aku tak suka hujan bu, apalagi bunyi geledeknya, bikin jantungan.”

Dia kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela. Jemarinya kini menempel pada dinding kaca yang basah karena kanopi teras tak mampu menghadang air hujan yang terbawa angin kencang. Aku yakin telah melihatnya menangisi hujan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa hujan begitu berarti untuknya, tapi pertanyaan itu tak pernah sanggup aku luncurkan di hadapannya. Dia bosku dan aku baru dua bulan di sini. Pertanyaanku terlalu pribadi.

Hujan mereda, dia beranjak dari duduknya dan menghampiriku di meja makan merangkap meja rapat kami. Kantor ini adalah rumah besar peninggalan keluarga perempuan itu. Dia mengambil posisi tepat di depanku.

“Ayahku meninggal disambar petir di lapangan golf, beliau kalah cepat berlari menghindari petir. Anakku meninggal kesentrum kabel tiang listrik yang putus karena disambar petir. Suamiku pergi meninggalkanku saat hujan deras persis setelah penguburan anakku. Aku tak sedang mencintai hujan, aku merayakan duka bersamanya.”

Perempuan itu pergi dan menutup pintu ruang kerjanya.

Heavy Downpour

Bandung, 05 Februari 2013

Marah Tanpa Berteriak

Standar

Sabtu kemarin gue pindah ke kosan baru, a bigger one with water closet and it’s always daylight in my room since the lamp is too bright somehow.

Anyway, kepindahan ke kosan baru kemarin disambut dengan tangisan tetangga. Rupanya dia sedang berantem dengan pasangannya. Yang perempuan jejeritan dengan tangis yang meledak, cetaarrr membahana sampai ke luar areal kos, sementara yang lelaki dengan santainya keluar untuk dinas. Kebetulan doi adalah polisi.

Dengan menggendong box plastic besar, gue menahan si lelaki yang hendak menutup pintu gerbang. “jangan ditutup mas, saya mau pindahan tetangga baru di nomor 2.” Lelaki itu urung pergi. Dia kembali lagi ke kamarnya sambil berbisik, eh kalau berbisik mah masa gue denger hehehe, “Udah dong nangisnya, malu sama tetangga baru.”

Gue sama si akang saling pandangan… “are we in the right time to moving in?” akang cuma senyum-senyum, biarin aja, urusan mereka, katanya.

Perempuan di kamar itu tidak menghentikan tangisnya, malah bertambah keras dan bilang “kalau aku sudah tak berarti lagi buatmu mas….” Sudahlah cukup sampai di situ gue quotingnya, karena selanjutnya si akang memasang music dari blackberry nya supaya kami tak perlu mendengar isi percakapan mereka.

Kenapa sih sebagian dari kita seneng banget meluapkan emosi yang menurut gue berlebihan begitu?

Gue setuju pada bagian, show your emotion, express yourself… but when you mad at the public space.. what for? Just to get other’s attention? Then what? Kamarnya memang milik pribadi, tapi kos-an itu milik bersama, ada 8 kamar di sana, 8 penghuni lain yang pengen ketenangan di akhir pekan begini.

I don’t know maybe Im wrong but I don’t like showing my private matters on public. I don’t yell when I mad, I might zip my lips and you won’t hear anything from me… I’ll write you a letter of the reason but surely won’t yell in public.

Gue pernah liat bagaimana teman-teman gue mengamuk pada pasangannya dimana pun mereka bisa, tarik-tarikan lengan baju, tepak-tepakan sampai tampar-tamparan. Itu namanya dating violence, it’s against the law. Most of all just don’t embarrass yourself…. When it comes to violence then fight against it but you can always talk to solve any problem you both have or just leave!

Why hurting yourself in the name of love!

As an intermezzo, this is my new room… *yeay*

kamar baru

me and my shoes

Standar

i dont know why i like taking a picture of me and my shoes…

it took me to the top of the mountain of Gede May 2012

it took me to the top of the mountain of Gede May 2012

new boot to welcoming the minister of forestry at sarongge, October 2012

new boot to welcoming the minister of forestry at sarongge, October 2012

dieng plateu and borobudur September 2012

dieng plateu and borobudur September 2012

my only "broken" high heels. lola wedding February 2011

my only “broken” high heels. lola wedding February 2011

the newest one, for shopping only :-)

the newest one, for shopping only 🙂

dont ask.. i just dont know the answer…

Sepatu

Standar

Ada setumpuk lembaran foto perempuan di mejanya bersama dengan curriculum vitae yang bercerita tentang latar belakang pendidikan, pekerjaan dan organisasi sampai hobi dan kegiatan sosial. Tumpukan surat lamaran itu bukan untuk pekerjaan, tapi melamar dirinya sebagai seorang calon suami dengan masa depan luar biasa. Apakah perempuan-perempuan itu secara sadar mengirimkan surat lamaran kepadanya? Sebagian ternyata iya, karena tim comblang yang pimpinan ibunya memasukkan nama dan curriculum vitae dia penuh bumbu ke dalam sebuah kolom kotak jodoh di majalah dan berbagai situs perjodohan. Sebagian lagi tidak, merasa tak cukup menjual dirinya pada biro jodoh, sang ibu menjual dirinya pada kyai di berbagai pesantren dan pengajian, taaruf, perjodohan secara islami dilakukan sang ibu dengan memberikan sedekah sebanyak yang diminta. Entah berapa rupiah sudah dikeluarkan sang ibu untuk mempertemukannya dengan perempuan terbaik versi ibu yang layak mendampinginya sampai mati nanti.

Sang ibu sudah kehabisan daftar perempuan dalam keluarga besar mereka yang dijodohkan padanya dan selalu ditolak secara halus. Ratusan kali dia ditenteng ibu untuk menemaninya ke pesta pernikahan, pesta kematian, undangan seminar, seremoni pengukuhan doctoral, wisuda, peresmian gedung baru sampai acara arisan RT. Dia tak pernah menolak permintaan ibu kecuali soal jodoh. Dengan senyum tulus dia akan menjabat tangan semua perempuan yang dikenalkan sang ibu padanya. Bercakap-cakap serius setiap perempuan yang didatangkan ke rumah untuk makan malam bersama. Tapi tetap saja, hatinya belum lagi tersentuh dengan perempuan mana pun dalam lima tahun terakhir sejak perempuan bersepatu gunung meninggalkannya di atas bukit belakang rumahnya.

Lelaki itu memandangi perempuan bersepatu gunung itu dalam laman facebook-nya. Tak ada perkembangan status sejak tiga bulan lalu ketika perempuan itu menuliskan,”sejauh kaki ini melangkah, tak akan pernah jauh dari hatimu.” Lelaki itu memandangi profil picture perempuan bersepatu gunung yang hanya memajang foto kaki mulai dari lutut dibalut celana kargo berwarna hijau lumut dan tentu saja sepatu gunungnya dengan model boot berwarna hitam dan cover picture laman itu adalah foto bukit di belakang rumah lelaki itu. Dia yakin sekali itu foto bukit di belakang rumahnya, tempat mereka pernah mengukir kisah tiga hari.

Sesekali ujung bibirnya tertarik bersamaan ke kiri dan kanan memandangi foto itu dan membaca berkali-kali status yang sempat dituliskan perempuan itu juga belasan tanggapan dari kawan-kawannya. Belasan foto yang men-tag perempuan itu dibukanya dan dia akan meng-klik kanan “save image” memindahkan dari facebook pada folder laptopnya berjudul “sepatu gunungmu”. Kecuali foto yang di-tag kawan, rekan dan keluarganya, perempuan itu tak pernah memajang foto dengan wajahnya terpampang, dia hanya menampilkan kaki dengan sepatu gunung model boot hitamnya dengan caption lokasi dia melangkah.

“Sepatu ini adalah sepatu gunungku yang pertama, tercinta yang aku beli dengan susah payah. Bermimpi tahunan untuk bisa beli sepatu ini. Gajiku tak pernah cukup. Jadi aku janji sama diri sendiri, kalau uangnya terkumpul, aku mau beli sepatu ini dan bersamanya akan berkelilingi dunia, kemanapun dia suka,”kata perempuan itu sambil mengelus boot hitamnya yang sudah berlubang kecil sana-sini.

Lelaki itu masih ingat sekali penjelasan perempuan dengan sepatu gunung itu tentang lubang-lubang kecil itu,”oh ini lubang semut, kayaknya sih. Mungkin karena jarang aku cuci. Hahaha.” Tawanya meledak tengah malam di luar tenda di bukit belakang rumahnya.

Lelaki tersenyum lebih lebar dengan jajaran gigi putihnya terpantul dari layar laptop. Senyumnya bercampur setitik air mata yang jatuh dan buru-buru dia usap dengan tangan dan melepas pandangan keluar kaca jendela kamar yang terbuka lebar. Di luar hujan menggedor jendela, airnya pecah berpencar begitu sampai di atas kaca, sebagian merembes lewat pinggir kusen sebagian menjadi gerimis dan membasahi meja dan laptop juga wajahnya. Angin berhembus kencang menerbangkan tumpukan foto dan curriculum vitae perempuan-perempuan pilihan sang ibu. Kamar itu menjadi gelap karena mendung hujan dan angin, tak sedikit pun dia berniat beranjak dari kursinya untuk menyalakan lampu.

Film-film pendek kenangan terputar sambung menyambung pada layar di dalam kepalanya, tentang perempuan bersepatu gunung warna hitam dengan lubang-lubang kecil pada solnya yang berlari lincah meloncati batu-batu di atas sungai yang airnya kian jarang di bukit belakang rumahnya. Tentang pertemuan kebetulan berkali-kali dengannya dalam berbagai kesempatan saat perempuan itu memberikan materi tentang penyelamatan diri dari bencana alam, pada seminar dan workshop tentang penyelamatan bumi. Lelaki itu penyandang dana pada organisasi yang mengundang perempuan bersepatu gunung itu. Mata lelaki itu tak pernah jauh dari sepatu gunung yang dikenakan perempuan itu.

“Kenapa melihat terus sepatuku?,”kata perempuan itu sambil menyerahkan segelas air putih pada saat coffee break di sebuah seminar.

“Aku iri pada sepatumu. Berapa sering dia ikut denganmu berpetualang?,”kata Lelaki itu dengan muka memerah seperti koruptor tertangkap tangan, hanya saja dia tak berusaha menutupi kelakuannya dengan ceramah.

“Dia ikut kemana pun aku pergi, kecuali tidur dan mandi barangkali. Aku punya beberapa pasang sepatu hiking tapi cuma sepatu ini yang aku suka, mungkin karena kenyamanannya, mungkin juga karena kenangannya. Sesuatu yang ngga mungkin dapat terganti dan terbeli adalah memori,”kata perempuan itu sambil berlalu meninggalkan lelaki yang tak juga melepas pandangannya pada sepatu gunung berwarna hitam yang membalut telapak kaki perempuan itu.

Lelaki itu bertekad menghentikan kebetulan yang terus terjadi di antara dia dan perempuan bersepatu gunung itu. Usai acara dia memberanikan diri menemui perempuan itu dan mengenalkan dirinya. Perempuan itu tersenyum ramah.

“Aku tahu siapa anda Tuan Ardi. Anda yang penyandang dana terbesar organisasi kami, bagaimana mungkin saya tidak mengenali Anda. Saya Lita.” Dia menyodorkan tangannya.

Hari-hari selanjutnya begitu mudah bagi mereka untuk dilewati bersama; di café dan di depan laptop, bercakap melalui skype karena jarak seringkali memisahkan mereka. Ardi pada pertemuan-pertemuan bisnis, Lita di wilayah-wilayah yang menjadi korban bencana alam, di kamp-kamp pengungsian.

“Suatu hari kamu harus meninggalkan sepatu pantofelmu dan ikut bersamamu menengok orang-orang yang menerima sumbanganmu secara langsung. Apa kamu ngga ingin tahu bagaimana kamu menyalurkan danamu?,” tulis perempuan itu dalam percakapannya di skype.

Tapi lelaki itu tak pernah bisa mencuri waktu untuk menanggalkan dasi dan sepatu pantofelnya, hidupnya untuk bekerja. Dia lupa kapan terakhir menikmati liburan. Sampai suatu hari perempuan bersepatu gunung itu datang ke rumahnya.

“Aku tahu dari teman-teman rumahmu di kaki bukit. Yuk kita berkemah. Aku yakin seumur hidupmu tak pernah sekali pun kamu merasakan tidur di bawah langit kan?”

Ibu tentu tak mengizinkan, tapi tidak juga bisa menolak keinginan lelaki itu dengan senyum tulus dan suara bernada rendah dan tegas itu. Di balik tirai rumah, Ibu memandangi tubuh anaknya yang hilang di balik pagar tinggi rumah mereka.

Tiga hari dua malam mereka habiskan di atas bukit perumahan mewah, persis seperti perkemahan Sabtu Minggu yang biasa diadakan masa sekolah yang juga tak pernah diikuti lelaki itu. Dua malam mereka tidur dalam kantong masing-masing dengan wajah berdekatan. Lelaki itu tak tertidur karena takut mengorok terlalu keras dan mengganggu perempuan yang kini bersemayam indah di hatinya, yang tertidur dengan suara mendengkur yang sangat halus. Tutup kepala kantong tidur itu menutup sebagian besar wajah si perempuan meninggalkan bibir tebal berwarna merah jambu yang lembut. Ingin sekali lelaki itu menyentuhnya, sekedar menyentuhnya tapi tertahan entah oleh apa. Mereka berbagi cerita tentang cita-cita untuk dunia yang lebih baik, bermimpi tak ada yang berlebihan.

Cahaya kilat memancar dari luar jendela diiringi suara petir tak lama kemudian, membangunkannya dari lamunan. Meja dan laptop basah air hujan, foto-foto perempuan dan surat lamaran berserakan di lantai tertiup angin. Lelaki itu hendak melangkah keluar kamar ketika kakinya tersandung paket bersampul coklat. Barangkali Mba Inah yang menaruhnya di sana setelah lelaki itu dipanggil tanpa menyahut. Paket itu dibukanya. Sepatu gunung berwarna hitam dengan lubang-lubang semut pada sol karetnya datang bersama selembar surat.

Dear Ardi

Semoga sepatu ini sampai dengan selamat ke tanganmu. Aku memberikan sepatu ini padamu, kurasa ukuran kaki kita sama, ya aku yakin sama. Kalau pun kesempitan, simpan saja ya. Petualanganku sudah selesai dan aku harap kamu mau memulai petualanganmu. Syukur-syukur bersama sepatu ini, dia akan lebih awet kalau dikenakan terus, tidak disimpan. Solnya baru aku ganti beberapa bulan lalu, jadi aman lah untuk beberapa waktu ke depan.

Ada banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku terlalu lelah. Seberapa besar pun semangat untuk melanjutkan petualangan, badanku sudah menolak. Aku rasa harus tahu diri. Aku harus istirahat.

Cheers

Lita

Pada lembar pos pengirim tercantum nama kota Berlin, tertanggal pengiriman satu bulan lalu.

Lelaki itu kembali ke bangkunya dengan kotak sepatu di pangkuan. Dia kembali ke laman facebook perempuan dengan sepatu gunung hitam, sebuah pesan dari seorang masuk ke time-line laman itu.

RIP Lita… we are going to miss you a lot…. 😥

Dan dia tak sempat menyampaikan rasa cintanya…..

 

Bandung, 1 Februari 2013

IMG-20121029-00197