Ada setumpuk lembaran foto perempuan di mejanya bersama dengan curriculum vitae yang bercerita tentang latar belakang pendidikan, pekerjaan dan organisasi sampai hobi dan kegiatan sosial. Tumpukan surat lamaran itu bukan untuk pekerjaan, tapi melamar dirinya sebagai seorang calon suami dengan masa depan luar biasa. Apakah perempuan-perempuan itu secara sadar mengirimkan surat lamaran kepadanya? Sebagian ternyata iya, karena tim comblang yang pimpinan ibunya memasukkan nama dan curriculum vitae dia penuh bumbu ke dalam sebuah kolom kotak jodoh di majalah dan berbagai situs perjodohan. Sebagian lagi tidak, merasa tak cukup menjual dirinya pada biro jodoh, sang ibu menjual dirinya pada kyai di berbagai pesantren dan pengajian, taaruf, perjodohan secara islami dilakukan sang ibu dengan memberikan sedekah sebanyak yang diminta. Entah berapa rupiah sudah dikeluarkan sang ibu untuk mempertemukannya dengan perempuan terbaik versi ibu yang layak mendampinginya sampai mati nanti.
Sang ibu sudah kehabisan daftar perempuan dalam keluarga besar mereka yang dijodohkan padanya dan selalu ditolak secara halus. Ratusan kali dia ditenteng ibu untuk menemaninya ke pesta pernikahan, pesta kematian, undangan seminar, seremoni pengukuhan doctoral, wisuda, peresmian gedung baru sampai acara arisan RT. Dia tak pernah menolak permintaan ibu kecuali soal jodoh. Dengan senyum tulus dia akan menjabat tangan semua perempuan yang dikenalkan sang ibu padanya. Bercakap-cakap serius setiap perempuan yang didatangkan ke rumah untuk makan malam bersama. Tapi tetap saja, hatinya belum lagi tersentuh dengan perempuan mana pun dalam lima tahun terakhir sejak perempuan bersepatu gunung meninggalkannya di atas bukit belakang rumahnya.
Lelaki itu memandangi perempuan bersepatu gunung itu dalam laman facebook-nya. Tak ada perkembangan status sejak tiga bulan lalu ketika perempuan itu menuliskan,”sejauh kaki ini melangkah, tak akan pernah jauh dari hatimu.” Lelaki itu memandangi profil picture perempuan bersepatu gunung yang hanya memajang foto kaki mulai dari lutut dibalut celana kargo berwarna hijau lumut dan tentu saja sepatu gunungnya dengan model boot berwarna hitam dan cover picture laman itu adalah foto bukit di belakang rumah lelaki itu. Dia yakin sekali itu foto bukit di belakang rumahnya, tempat mereka pernah mengukir kisah tiga hari.
Sesekali ujung bibirnya tertarik bersamaan ke kiri dan kanan memandangi foto itu dan membaca berkali-kali status yang sempat dituliskan perempuan itu juga belasan tanggapan dari kawan-kawannya. Belasan foto yang men-tag perempuan itu dibukanya dan dia akan meng-klik kanan “save image” memindahkan dari facebook pada folder laptopnya berjudul “sepatu gunungmu”. Kecuali foto yang di-tag kawan, rekan dan keluarganya, perempuan itu tak pernah memajang foto dengan wajahnya terpampang, dia hanya menampilkan kaki dengan sepatu gunung model boot hitamnya dengan caption lokasi dia melangkah.
“Sepatu ini adalah sepatu gunungku yang pertama, tercinta yang aku beli dengan susah payah. Bermimpi tahunan untuk bisa beli sepatu ini. Gajiku tak pernah cukup. Jadi aku janji sama diri sendiri, kalau uangnya terkumpul, aku mau beli sepatu ini dan bersamanya akan berkelilingi dunia, kemanapun dia suka,”kata perempuan itu sambil mengelus boot hitamnya yang sudah berlubang kecil sana-sini.
Lelaki itu masih ingat sekali penjelasan perempuan dengan sepatu gunung itu tentang lubang-lubang kecil itu,”oh ini lubang semut, kayaknya sih. Mungkin karena jarang aku cuci. Hahaha.” Tawanya meledak tengah malam di luar tenda di bukit belakang rumahnya.
Lelaki tersenyum lebih lebar dengan jajaran gigi putihnya terpantul dari layar laptop. Senyumnya bercampur setitik air mata yang jatuh dan buru-buru dia usap dengan tangan dan melepas pandangan keluar kaca jendela kamar yang terbuka lebar. Di luar hujan menggedor jendela, airnya pecah berpencar begitu sampai di atas kaca, sebagian merembes lewat pinggir kusen sebagian menjadi gerimis dan membasahi meja dan laptop juga wajahnya. Angin berhembus kencang menerbangkan tumpukan foto dan curriculum vitae perempuan-perempuan pilihan sang ibu. Kamar itu menjadi gelap karena mendung hujan dan angin, tak sedikit pun dia berniat beranjak dari kursinya untuk menyalakan lampu.
Film-film pendek kenangan terputar sambung menyambung pada layar di dalam kepalanya, tentang perempuan bersepatu gunung warna hitam dengan lubang-lubang kecil pada solnya yang berlari lincah meloncati batu-batu di atas sungai yang airnya kian jarang di bukit belakang rumahnya. Tentang pertemuan kebetulan berkali-kali dengannya dalam berbagai kesempatan saat perempuan itu memberikan materi tentang penyelamatan diri dari bencana alam, pada seminar dan workshop tentang penyelamatan bumi. Lelaki itu penyandang dana pada organisasi yang mengundang perempuan bersepatu gunung itu. Mata lelaki itu tak pernah jauh dari sepatu gunung yang dikenakan perempuan itu.
“Kenapa melihat terus sepatuku?,”kata perempuan itu sambil menyerahkan segelas air putih pada saat coffee break di sebuah seminar.
“Aku iri pada sepatumu. Berapa sering dia ikut denganmu berpetualang?,”kata Lelaki itu dengan muka memerah seperti koruptor tertangkap tangan, hanya saja dia tak berusaha menutupi kelakuannya dengan ceramah.
“Dia ikut kemana pun aku pergi, kecuali tidur dan mandi barangkali. Aku punya beberapa pasang sepatu hiking tapi cuma sepatu ini yang aku suka, mungkin karena kenyamanannya, mungkin juga karena kenangannya. Sesuatu yang ngga mungkin dapat terganti dan terbeli adalah memori,”kata perempuan itu sambil berlalu meninggalkan lelaki yang tak juga melepas pandangannya pada sepatu gunung berwarna hitam yang membalut telapak kaki perempuan itu.
Lelaki itu bertekad menghentikan kebetulan yang terus terjadi di antara dia dan perempuan bersepatu gunung itu. Usai acara dia memberanikan diri menemui perempuan itu dan mengenalkan dirinya. Perempuan itu tersenyum ramah.
“Aku tahu siapa anda Tuan Ardi. Anda yang penyandang dana terbesar organisasi kami, bagaimana mungkin saya tidak mengenali Anda. Saya Lita.” Dia menyodorkan tangannya.
Hari-hari selanjutnya begitu mudah bagi mereka untuk dilewati bersama; di café dan di depan laptop, bercakap melalui skype karena jarak seringkali memisahkan mereka. Ardi pada pertemuan-pertemuan bisnis, Lita di wilayah-wilayah yang menjadi korban bencana alam, di kamp-kamp pengungsian.
“Suatu hari kamu harus meninggalkan sepatu pantofelmu dan ikut bersamamu menengok orang-orang yang menerima sumbanganmu secara langsung. Apa kamu ngga ingin tahu bagaimana kamu menyalurkan danamu?,” tulis perempuan itu dalam percakapannya di skype.
Tapi lelaki itu tak pernah bisa mencuri waktu untuk menanggalkan dasi dan sepatu pantofelnya, hidupnya untuk bekerja. Dia lupa kapan terakhir menikmati liburan. Sampai suatu hari perempuan bersepatu gunung itu datang ke rumahnya.
“Aku tahu dari teman-teman rumahmu di kaki bukit. Yuk kita berkemah. Aku yakin seumur hidupmu tak pernah sekali pun kamu merasakan tidur di bawah langit kan?”
Ibu tentu tak mengizinkan, tapi tidak juga bisa menolak keinginan lelaki itu dengan senyum tulus dan suara bernada rendah dan tegas itu. Di balik tirai rumah, Ibu memandangi tubuh anaknya yang hilang di balik pagar tinggi rumah mereka.
Tiga hari dua malam mereka habiskan di atas bukit perumahan mewah, persis seperti perkemahan Sabtu Minggu yang biasa diadakan masa sekolah yang juga tak pernah diikuti lelaki itu. Dua malam mereka tidur dalam kantong masing-masing dengan wajah berdekatan. Lelaki itu tak tertidur karena takut mengorok terlalu keras dan mengganggu perempuan yang kini bersemayam indah di hatinya, yang tertidur dengan suara mendengkur yang sangat halus. Tutup kepala kantong tidur itu menutup sebagian besar wajah si perempuan meninggalkan bibir tebal berwarna merah jambu yang lembut. Ingin sekali lelaki itu menyentuhnya, sekedar menyentuhnya tapi tertahan entah oleh apa. Mereka berbagi cerita tentang cita-cita untuk dunia yang lebih baik, bermimpi tak ada yang berlebihan.
Cahaya kilat memancar dari luar jendela diiringi suara petir tak lama kemudian, membangunkannya dari lamunan. Meja dan laptop basah air hujan, foto-foto perempuan dan surat lamaran berserakan di lantai tertiup angin. Lelaki itu hendak melangkah keluar kamar ketika kakinya tersandung paket bersampul coklat. Barangkali Mba Inah yang menaruhnya di sana setelah lelaki itu dipanggil tanpa menyahut. Paket itu dibukanya. Sepatu gunung berwarna hitam dengan lubang-lubang semut pada sol karetnya datang bersama selembar surat.
Dear Ardi
Semoga sepatu ini sampai dengan selamat ke tanganmu. Aku memberikan sepatu ini padamu, kurasa ukuran kaki kita sama, ya aku yakin sama. Kalau pun kesempitan, simpan saja ya. Petualanganku sudah selesai dan aku harap kamu mau memulai petualanganmu. Syukur-syukur bersama sepatu ini, dia akan lebih awet kalau dikenakan terus, tidak disimpan. Solnya baru aku ganti beberapa bulan lalu, jadi aman lah untuk beberapa waktu ke depan.
Ada banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku terlalu lelah. Seberapa besar pun semangat untuk melanjutkan petualangan, badanku sudah menolak. Aku rasa harus tahu diri. Aku harus istirahat.
Cheers
Lita
Pada lembar pos pengirim tercantum nama kota Berlin, tertanggal pengiriman satu bulan lalu.
Lelaki itu kembali ke bangkunya dengan kotak sepatu di pangkuan. Dia kembali ke laman facebook perempuan dengan sepatu gunung hitam, sebuah pesan dari seorang masuk ke time-line laman itu.
RIP Lita… we are going to miss you a lot…. 😥
Dan dia tak sempat menyampaikan rasa cintanya…..
Bandung, 1 Februari 2013
