Author Archives: nroshita

About nroshita

an impulsive traveler

Lesson Learned from 2022

Standar
Lesson Learned from 2022

2022 was my first year without making any resolution and for sadness and happiness, I really enjoy surprises. Main reason why I did not make any resolution anymore, it is because life is just a bonus after the pandemic and live it fullest before yours ends as well.

Let us starts with the sadness thing first. I lost the baby Saga and it still hurts and will always be. I do not need to explain why and no need any preach anymore. I live with the grief that will make me stronger than ever. Somehow, I even become firmer in loving my nieces and nephew.

Happiest moment was when I manage to build a house of my own after 12 years! Through many challenges, I made it at last. I made my pap’s dream come true.

Craziest decision I made this year was going back to school to get my second master because of my thirst of access to knowledge and to enjoy the academic argument. It is fun! Totally! For 11 weeks of classes, I only absent twice due to works in no signal area.

You know how it said… when you are happy you forget anything else, such as tiredness. Balancing between work, house errands and college are challenging.

By the time you are getting older, your circles of friends are getting smaller. Everybody is busy and I am no nagging person for attention, so I shift my thoughts to other positive spot like college thing. Well, that is another reason.

Works are always fun, through all the challenges, they are still fun! Good teammates, we argue, we laugh, and got crazy together. I got my lesson learned a lot from working with my current team.

Have I changed a lot? I guess I am. I keep myself away from the spotlight, enjoying my work behind the curtain. Away from the crowd, less drama and just me, myself, Kim Seokjin, BTS, few friends and akang.

I spent more on paintings, experiment with my brush, different medium, and expressions. I read a lot but very less time to write the review, maybe I should do more in 2023.

I don’t think I will change again this year. I like my life as it is today and decided to cut some of the activities so I can be focus on my study. New job hunting is the theme for this year, but like always, I do not push myself to get the best of it. I’ll go with freelancing again, doing consultancy and facilitating.

So, congratulation Nita for surviving 2022. And hello 2023, Bring It On!

Iklan

Sebulan Belajar Ikhlas, dan Masih Belajar

Standar
<strong>Sebulan Belajar Ikhlas, dan Masih Belajar</strong>

Sebulan lalu, tanggal 8 September, saya merasa Saga tak bisa bertahan di rahim. Tandanya sudah banyak, tak ada perkembangan besar kantung, janin tak kelihatan, suara jantung tak terdengar, semua yang normal terjadi pada janin 9 minggu itu tak ada.

Saya dan akang denial saja, masih percaya kalau saya positif, energi itu akan menguatkan Saga. Ternyata Tuhan tak begitu, Dia menuliskannya berbeda. Hari itu, dokter bilang, Saga tak ada. Tak ada tali pusar, kalau tak ada, bagaimana janin bisa ada. Begitu singkatnya.

Tanpa harus tindakan operasi kuret, tubuh ibu sudah bergerak sendiri, itu hebatnya ciptaan Tuhan, kata dokter. Dia hanya memberikan obat untuk memperlancar keluarnya kantung dan membersihkan sisa-sisa Saga.

Hari ini sebulan lalu, perut saya sakit, sangat sakit. Perut melilit, hati seperti rasa diiris.

Cepat sekali bahagia itu berganti duka

Hari yang sama, saya harus presentasi di kelas. Air mata tertahan, isi kepala teralihkan. Di depan ruang tunggu obat di R.S Limijati Bandung, saya tetap tampil di ruang virtual, mengikuti kuliah. Sepanjang pulang dari rumah sakit, rasanya seperti melayang. Nyawa saya hilang. Seperti zombie, seperti robot, air mata pun tak keluar.

Selama lebih dari dua minggu setelahnya, saya menolak “hidup”. Saya hanya berbaring di kasur dan menumpahkan semuanya, sebagian besar marah, entah pada siapa, barangkali memang sama Tuhan, lalu pada diri sendiri.

Hanya pada dua sahabat, saya bercerita. Selebihnya terasa menyakitkan tiap kali menerima respon, “emang lu ngapain?” please do not say that stupid most hurtful words to a mother who just lost her baby.

Atau kalimat lain seperti, “ikhlaskan saja, untung masih beberapa minggu” atau “you still can have another one, keep on trying” or comparing your own stories to mine and how bravely you are surviving, karena itu membuat saya merasa kecil, lemah, tidak berdaya.

Itulah sebab saya tidak merespon satu-satu pertanyaan. Mengulang cerita adalah menyakitkan.

Sudah sebulan, how am I feeling?

Menuliskan ini dengan mata basah. Menenggelamkan diri pada kuliah, karena ternyata ini yang membuat saya merasa ada, merasa punya pijakan di dunia. Diajak bicara lain oleh sekumpulan orang “asing” dengan hidup saya tanpa bertanya-tanya, tanpa merasa dihakimi.

Selebihnya, mengutip alm. Reza, menjalani bonus hidup. Saya survive dari gelombang covid 19 dua tahun, lalu diberi bahagia 9 minggu terbaik dalam hidup bersama Saga, sisanya ya jalanin aja.

Pada suatu hari, saya merasa lega, ikhlas, merasa terbebas sejenak. Saat itu saya tahu satu porsi ikhlas dalam hati sudah terbentuk. Saga, ambu ikhlas. Saga, tunggu ambu di surga. Saga, semua cinta ambu akan tersampaikan lewat semua cinta dan laku untuk Attar, Azki, Septi dan Zi dan anak-anak lainnya. Ambu punya alasan untuk tetap kuat. Semua yang ambu lakukan, pikirkan, teriring doa untuk Saga.

Hari ini mengingat Saga tentu saja dengan mata basah. Tapi tak lagi diiringi marah, hanya sedih yang tak bisa sekejap hilang, mungkin lubang akan selamanya menganga. Belajar memaafkan diri sendiri.

Terima kasih kawan-kawan untuk selalu ada, saya memang masih belajar untuk ikhlas dan terus belajar.

Angka Tanpa Cerita Penyerta Adalah Hampa. Resensi Measuring What Counts – Stiglitz, Fitoussi and Durand

Standar
Angka Tanpa Cerita Penyerta Adalah Hampa. Resensi Measuring What Counts – Stiglitz, Fitoussi and Durand

Saya sulit kagum pada data statistik dengan grafis yang cantik penuh warna warni, naik turun, melingkar, berkelok. Buat saya, tanpa cerita menyertainya, dia cuma sekedar angka. So what? Jumlah peserta, kenaikan pendapatan, penerima manfaat, tanpa cerita penyerta adalah hampa. Again, so what?

Buku ini menjawab keresahan saya tentang data-data statistic hampa tentang apa itu pertumbuhan ekonomi GDP – Pendapatan Domestik Bruto yang dikejar mati-matian oleh negara-negara di dunia. Untuk mengejar GDP, kita dibikin obesitas, diabetes, gonta ganti pakaian sampai menggunung di TPA, daratan terkikis air laut karena sabuk hijaunya ditebas tuntas, ikan sumber pangan manusia tercemar tailing tambang, anak-anak mati di lubang-lubang bekas tambang. Karena GDP dinilai dari produk yang dijual di pasaran.

Krisis ekonomi dan lingkungan menyebabkan rasa tidak aman bagi individu dan rumah tangga yang kemudian membuat mereka berhati-hati dalam spending, akhirnya berpengaruh juga pada nilai ekonomi itu. Sementara krisis ekonomi dan lingkungan adalah akibat langsung dari upaya sembrono negara mengejar angka statistic dalam GDP. Sementara ketidaksetaraan akses pada nilai ekonomi dan sosial politik juga melanggengkan kemiskinan, membuat rasa ketidakamanan ekonomi dan berujung pada tingkat kepercayaan pada pemerintah. Semua saling terkait tapi tak bisa dijelaskan dalam angka pertumbuhan ekonomi PDB 6-7% lalu horeeee. Pret.

Lalu tentang pendistribusian pendapatan, apakah setara, oh jelas tidak Mariana (karena Ferguso terlalu mainstream). Kekayaan berputar pada kelas yang sama, begitu juga kemiskinan.

Trio Stiglitz, Fitoussi dan Durand menjelaskan kenapa GDP tidak lagi bisa dijadikan sebagai patokan kesuksesan sebuah negara mengelola ekonominya. Pencapaian GDP tinggi tidak menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungannya. Sebuah pencapaian GDP dalam jangka pendek yang mengorbankan masa depan generasi mendatang adalah sebuah dosa. Dan kesenjangan dalam kesempatan lebih tidak dapat diterima ketimbang ketidaksetaraan dalam outcome atau dampak. Di sini Trio ini bicara tentang inklusivitas, tentang mengakomodasi perbedaan dalam keragaman masyarakatan, ras, gender, budaya, disabilitas, yang harus diberikan akses seimbang dan mendampingi mereka agar mendapatkan outcome semaksimal kemampuannya.

Seharusnya kata mereka, kesejahteraan itu diukur mulai dari kualitas hidup di tingkat individu dan rumah tangga. Beberapa unsur yang kemudian diajukan adalah tentang penilaian Well-Being – kesejahteraan, yang indikatornya antara lain;

  • Status kesehatan
  • Keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi / keluarga
  • Pendidikan dan keterampilan
  • Koneksi sosial
  • Keterlibatan dalam kehidupan sipil dan pemerintahan
  • Kualitas lingkungan
  • Pengamanan pribadi
  • Kesejahteraan yang bersifat subjektif

Penilaian kesejahteraan juga dihitung dari kondisi material:

  • Pendapatan dan kekayaan
  • Pekerjaan dan penghasilan
  • Rumah / tempat tinggal

Trio ini mengakui alat ukur mereka belum sempurna, dan memerlukan perbaikan terus menerus menyesuaikan kondisi dan konteks lokal setiap negara. Sejumlah negara sudah melakukan alternatif pengukuran kesejateraan di luar GDP seperti Belanda, Perancis, Australia, Bhutan, Jerman, Ekuador yang disesuaikan dalam kebijakan ekonomi dan politik pemerintahannya.

New Zealand yang belakangaan melalui Perdana Menterinya Jacinda juga mengumumkan bagaimana mereka meninggalkan GDP dan fokus pada Well-Being sebagai alat ukur kesejahteraan warganya.

Indonesia?

Kalau kamu masih mendengar Pulau Obi di Maluku Utara rusak karena mengejar target sebagai produsen terbesar Nikel dunia, kamu tahu persis jawabannya. Masih jauh ohhh Mariana.

Kamu wajib membaca buku ini sebagai referensi kerja-kerja sosialmu, dan juga pengetahuanmu.

Kesederhanaan, Empati dan Berbahasa Manusia, Kunci Sukses Sebuah Produk dan Gerakan. Review The Simplicity Playbook for Innovators – Jin Kang Moller

Standar
Kesederhanaan, Empati dan Berbahasa Manusia, Kunci Sukses Sebuah Produk dan Gerakan. Review The Simplicity Playbook for Innovators – Jin Kang Moller

Buku ini merangkum pengalaman saya selama bergaul dengan para wirausaha sosial, sosial bisnis, fasilitator, teman-teman aktivis dan juga privat. Cara kerja boleh berbeda, tapi sebenarnya kalau segalanya dikerjakan dengan empati, tentu kita tak perlu mendengar ada ketidaksetaraan kesempatan, eksploitasi, kegagalan kampanye dan memahami kebutuhan sebenarnya di lapangan – mitra kerja, penerima manfaat atau kalau bahasa swasta, konsumen.

Buku ini ditujukan Jin Kang sebagai desainer project specialist untuk dunia bisnis yang orientasinya pada profit – keuntungan. Tetapi membacanya sampai akhir, tentu saja menjadi sangat berguna untuk kita yang bekerja di dunia sosial. Ini persis yang diajari dalam profesi fasilitator, membuat segalanya mudah untuk mencapai tujuan utama.

Di tengah kerumitan, dan dunia yang bergerak sangat cepat, kita membutuhkan hal sederhana, mudah dicerna, mengena sesuai kebutuhan kita. Buku ini dibuka dengan kutipan: siapa saja yang bodoh bisa membuat sesuatu menjadi besar dan rumit, tapi butuh sentuhan seorang jenius dan banyak keberanian untuk menggerakkannya- mengubahnya ke arah berbeda – Ernst F. Schumacher.

Kata sederhana bisa diartikan mudah digunakan dan dipahami, tetapi sederhana punya makna lebih luas sebagai sebuah prinsip – perasaan tenang, focus dan percaya diri. Maka simplicity atau kesederhanaan disimpulkan Jin Kang sebagai pengalaman untuk membuat sesuatu menjadi sederhana dan meninggalkan dampak emosional bagi penggunanya. Dia percaya kesederhanaan dalam proses, penyampaian dan produk akan mengarahkan seseorang untuk berubah dan melakukan perubahan. Kesederhanaan juga menciptakan dampak yang lebih nyata.

Setelah menetapkan untuk membuat suatu produk atau gerakan atau kampanye dengan lebih sederhana dan mengena, maka kita perlu mulai dengan modal dasar manusia, rasa empati. Kenapa sebuah produk gagal di pasaran, kenapa gerakan sosial tidak juga sukses meski bertahun-tahun dilakukan dengan berdarah-darah? Karena kita sebenarnya sok tahu aja ketika menyimpulkan tentang hal yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran. Kita tidak pernah benar-benar mendengarkan, melihat, merasakan langsung apa yang dibutuhkan mereka.

Ketika sudah ketemu kebutuhan, selanjutnya mengajak mereka terlibat dalam menyusun jawabannya. Berdansa bersama dalam kerumitan, membuat kita tidak merasa sendiri dan paling tahu tentang jawaban yang dibutuhkan. Design Thinking ini nama kerennya, mulai dengan riset, merancang produk, memetakan siapa saja yang dapat membantu, prototyping dan terus memonitoring. Selama proses berlangsung, gunakan bahasa manusia.

Percuma pakai bahasa indah berbuih-buih dan menggebu-gebu kalau konsumen, kelompok sasaran kita tidak paham yang kita maksud. Membangun rasa percaya, rasa nyaman mereka juga dimulai dengan bahasa yang kita gunakan.

Selebihnya kamu baca sendiri ya, sukses berinovasi. Jangan rumit-rumit, yang penting sederhana dan berdampak.

Merangkul Perbedaan, Berbagi Kekuatan untuk Selamatkan Demokrasi. Review The New Class War – Michael Lind

Standar
Merangkul Perbedaan, Berbagi Kekuatan untuk Selamatkan Demokrasi. Review The New Class War – Michael Lind

Buku ini dibuat dalam konteks demokrasi di Amerika dan Eropa, supaya kita memahami konteks politik dan contoh-contoh yang digunakan di dalamnya. Buku ini buat saya bagus, karena mengganggu kenyamanan saya, karena mempertanyakan beberapa hal yang akan saya bagi di sini.

Tapi pertama Lind mengajak kita untuk kembali ke demokrasi pasca perang dunia I, ketika itu demokrasi merangkul kelas pekerja. Serikat Pekerja mendapatkan tempat setara dengan perusahaan dan keputusan politik dilakukan bersama. Kemudian demokrasi bergeser dikuasai teknokrat dan ideologi neoliberalisme dimulai saat Jimmy Carter memimpin Amerika – ya ternyata bukan Ronald Reagan seperti yang selama ini saya tahu – lalu diamini oleh sekutunya di Inggris Raya sana, mulai Theacher, Blair, hingga Teresa May.

Seperti juga gaung “tak ada kelas” oleh neoliberalisme, kelas pekerja semakin dipecah belah, serikat pekerja dilemahkan. Demokrasi dipercayakan pada elit yang duduk di perusahaan yang mengatur ekonomi negara berkongsi dengan pemerintahan. Di masyarakat, makin dipecahbelah, dengan ras, gender, agama, negara, dan isu imigrasi. Demokrasi mengalami pembusukan dengan masuknya politisi populis yang memanfaatkan isu ini untuk menarik suara mayoritas.

Para politisi populis memangkan suara terbanyak dalam demokrasi tanpa kemampuan untuk mengelola negara yang kemudian mereka lemparkan kembali pada anggota keluarga dan kroninya. Sebagai contoh Trump dan Boris Johnson, keduanya memanfaatkan isu imigrasi yang akan menghancurkan masa depan warga aseli karena pekerjaan akan direbut.

Tetapi bicara aspek ekonomi, knowledge economy yang digadang-gadang neoliberalis tentu saja juga hanya menguntungkan lingkaran mereka lagi. Logikanya siapa yang dapat akses pada pendidikan adalah keluarga kaya, yang ketika lulus pekerjaan dengan gaji aman sudah menanti. Lingkaran kekayaan akan bertahan selama lima generasi. Sementara bagi kelas pekerja, imigran, yang tinggal di kawasan dengan akses pendidikan berkualitas rendah akan sangat sulit bagi mereka menanjak ke kelas yang lebih tinggi.

Di bagian ini tiba-tiba saya merefleksi kebijakan zonasi dalam pendidikan di Indonesia, apakah zonasi juga tidak mengukuhkan kesenjangan kualitas pendidikan yang sudah ada sejak lama? Apa kabar anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh tapi pintar, tapi karena kualitas pendidikan di sekitarnya tidak bisa mendukungnya, maka kemiskinan akan terus melingkar dalam keluarganya.

Sementara itu, isu imigran sebenarnya menguntungkan keluarga-keluarga kaya dan para pengusaha yang membutuhkan pekerja murah, tanpa beban tunjangan sebagaimana seharusnya. Sektor pekerjaan informal menjadi kantung pendapatan bagi kelas pekerja dari imigran. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan besar itu tetap akan mencari buruh murah dengan mengalihkan pabrik mereka ke negara lain. Para konglomerat yang dipelihara dan disayangi pemerintah itu pun melarikan pajaknya ke negara bebas pajak. Lalu apa yang didapat negara dan rakyatnya?

Lind juga menceritakan bagaimana LSM juga dikuasai kaum elit yang cara pandangnya bukan mencerminkan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya tapi melayani donor yang mendanai mereka. Pendonor mereka tak lain dan tak bukan adalah para elit itu sendiri.

Di sisi lain, ini juga yang mengganggu saya. Ketika antimonopolis berinisiatif memperbanyak starts up, dan bisnis kecil seperti IKM, yang terjadi kemudian adalah perlindungan terhadap pekerja yang semakin lemah. Tidak terkontrolnya standar gaji dan hak-hak pekerja lainnya. Antimonopolis juga membuat pekerja tidak nyaman dengan mengharapkan mereka juga membangun usaha sendiri. Apa yang salah dengan hanya menerima gaji seperti pekerja lainnya? Kenapa harus punya usaha sendiri?

Inisiatif-inisiatif aspirin yang hanya meredakan sakit sesaat tapi tidak menyembuhkan sumber penyakitnya. Bahwa yang sebenarnya harus diperbaiki adalah sistem demokrasi itu sendiri. Jika demokrasi dibiarkan seperti sekarang, Lind yakin, Amerika dan Inggris Raya khususnya akan bernasib sama seperti Brasil dan Meksiko.

Lind menawarkan kembali pada demokrasi pluralism yang merangkul semua perbedaan yang ada, ras, gender, agama, kaum imigran diberikan kartu hijau setelah dua tahun berada dan bekerja di Amerika. Ada pembagian kekuasaan, memastikan setiap orang dapat memberikan pendapatnya melalui komunitas dan perkumpulan mereka, pastikan mendengarkan mereka. Kembali menguatkan serikat pekerja sebagai mitra dalam ekonomi. Memastikan tidak ada orang, warga negara yang merasa ditinggalkan dalam keputusan politik yang menentukan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka.

Selamat Datang Masa Depan yang Terbuka dan Inklusi. Review Technosocialism karya Brett King & Richard Petty

Standar
Selamat Datang Masa Depan yang Terbuka dan Inklusi. Review Technosocialism karya Brett King & Richard Petty

Kalau ada buku yang saya sangat saya anjurkan untuk dibaca di 2022 ini adalah Technosocialism. Buat saya buku yang mampu melahirkan perdebatan, percakapan dan mengganggu kenyamanan orang berpikir, itu adalah buku bagus. Perubahan-perubahan yang sudah terjadi di depan mata, tapi masih disangkal, dijadikan bahan perdebatan seperti tentang dystopia yang dimunculkan oleh kecanggihan digital, pasar bebas dalam arti sebenarnya, ketidakadilan akses dan perlakuan akibat technologi, perlu dilanjutkan. Termasuk juga membukakan mata publik tentang kegagalan kapitalisme dalam 100 tahun terakhir yang merusak bumi dan menyebarkan penyakit berbagai jenis di seluruh dunia. Covid 19 baru awal dari yang akan muncul di depan.

Buat saya yang paling menarik dari buku ini dibandingkan “menakut-nakuti” dan membuat pembacanya depresi, buku ini menawarkan sejumlah proposal Langkah yang perlu dilakukan kalau kita mau mencapai masa depan yang lebih baik. Masa depan yang tidak mengimingi suhu lebih dingin dari sekarang (saat menulis ini 32 derajat di Jakarta, saya meleleh karena kamar tak berAC), tapi tidak membuat bumi lebih buruk dari sekarang dan manusia masih bisa hidup dengan layak, belum akan punah seperti banyak perkiraan.

Technosocialism menurut kedua penulisnya bukan ideologi baru apalagi gerakan politik. Ini sesuatu yang tidak bisa dielakan seiring dengan perubahan dunia ketika semua sektor kehidupan akan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Uang tunai akan mati dan berganti dengan uang digital, bank akan sekarat jika tak mengikuti perkembangan. Pemerintah akan gagal jika cara kerjanya tidak transparan dan tidak melibatkan publik secara terbuka. Bumi akan panas dan manusia punah jika bisnis masih dilakukan seperti sekarang, mengeksploitasi alam tanpa perbaikan.

Technosocialism melihat bagaimana teknologi bisa digunakan untuk pemerataan kesempatan dalam mengakses hak-hak asasi yaitu pendidikan, rumah, pangan, sandang, kesehatan dan internet. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah berinvestasi pada pendidikan dan kesehatan berbasis teknologi. Meletakkan perempuan sebagai aktor utama dalam pasar tenaga kerja akan meningkatkan perekonomian negara. Buku ini mengingatkan rendahnya angka kelahiran dan masyarakat yang menua atau aging, maka di masa mendatang kita membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar agar roda ekonomi tetap berjalan. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka imigrasi harus dibuka, perempuan secara aktif dilibatkan dalam perekonomian dan memperpanjang masa produktif lansia, hingga 77 tahun.

Manusia tak perlu bersaing dengan robot, karena lapangan pekerjaannya akan berbeda. Jenis pekerjaan yang mengandalkan tenaga akan digantikan dengan robot, karena itu manusia perlu mengembangkan skill di luar fisik. Empati, kreativitas, seni, kemampuan berkomunikasi adalah di antara soft skill yang menjadi mata uang dalam pasar tenaga kerja ke depan, adalah yang tidak bisa ditransfer dalam coding pada robot.

Pendidikan harus disebar secara merata ke seluruh umat. Selama pandemic kita belajar bahwa sekolah jarak jauh menggunakan teknologi itu mungkin dilakukan. Pemerintah harus mengejar ketertinggalan sarana teknologi di sejumlah daerah yang membutuhkan. Anak-anak harus dipastikan mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas karena masa depan adalah milik mereka.

Kesehatan berbasis teknologi akan memperpanjang usia produktif manusia. Dari buku ini saya baru tahu urusan aging itu bukan perkara usia dan kecantikan, tapi bagaimana memastikan usia tidak membuat kemampuan metabolism tubuh tidak ikut merenta. Dengan teknologi kesehatan, aging dalam fungsi-fungsi organ tubuh bisa diperlambat sehingga manusia masih bisa produktif lebih lama.

Di masa depan, penulis melihat kita tidak lagi memperdebatkan tentang ras, gender dan perbedaan agama karena kita tak perlu hadir secara fisik dalam setiap kebutuhan, dan kita tak perlu menjembreng perbedaan di depan layar. AI bisa diformat untuk tak lagi menanyakan perbedaan itu. Pemikiran tribalisme yang hanya melihat pada kepentingan kelompok tertentu pun tak lagi berlaku karena semua sektor membutuhkan kolaborasi antar suku dan lintas batas politik kedaerahan. Masalah lingkungan hidup misalnya adalah masalah yang harus diselesaikan bersama.

Timeline untuk Technosocialism terwujud

Proses tata kelola pemerintahan dilakukan secara terbuka, seperi yang dicontohkan oleh vTaiwan, sebuah project participatory governance. Publik terlibat dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah mulai dari perencanaan hingga implementasinya, baik dari sektor ekonomi, bahkan dalam proses hukum. Kepala saya lalu memutar ulang drama korea berjudul Devil Judge, vonis ditentukan oleh publik.

Tentu saja proposal ide ini tidak sempurna, ada banyak hal yang harus diperdebatkan. Misalnya saya masih tidak teryakinkan bagaimana mencegah AI ini tidak disalahgunakan oleh kepentingan tertentu. Facial recognition sangat berbahaya bagi aktivis lingkungan, politik dan ham yang mengancam hegemoni kekuasaan. Tentang memastikan akses pada teknologi merata dan publik memiliki pengetahuan dasar dalam penggunaannya. Tentang pengaturan etik AI, siapa yang mengatur dan untuk kepentingan apa. Semua pertanyaan itu harus terus bergulir, tanpa perlu dan dapat menghalangi cepatnya perubahan yang terjadi.

Cina, Taiwan, sudah memulainya, Singapore, Jepang dan Korea Selatan juga demikian. Masa depan di tangan Asia bukan sekedar perkiraan. Penulis membandingkan dengan apa yang dilakukan Amerika yang ternyata jauh terbelakang. Perdebatannya bukan lagi perang dagang antara Cina dan Amerika, tapi yang pasti mereka yang menguasai teknologi akan menguasai dunia.

Silakan membaca.

Kemenangan Anti-feminisme Presiden di Korea Selatan; Refleksi Gerakan Feminisme dan Budaya Pop

Standar
Kemenangan Anti-feminisme Presiden di Korea Selatan; Refleksi Gerakan Feminisme dan Budaya Pop

Tahun lalu, Juni 2021, 84% laki-laki di Korea berusia 20tahunan dan 83% usia 30an mengaku mengalami “diskriminasi berbasis gender yang serius .” Sebuah peringatan sejak awal bahwa situasi ini bisa dan bakal digerakan sebagai sebuah kekuatan politik yang berujung pada pemilu presiden di Korea Selatan pekan lalu.

Menurut Exit Poll yang dilakukan tiga media broadcasting Korsel, Yoon Suk-yeol didukung oleh 59% laki-laki usia 20an dan 53% oleh laki-laki usia 30an, hanya 34% perempuan di usia 20an yang mendukungnya dan mengantarkan Yoon menang tipis 0,8% dari lawannya Lee Jae-myung.

Baca berita lengkapnya di sini: https://time.com/6156537/south-korea-president-yoon-suk-yeol-sexism/

Fakta bahwa gerakan anti-feminis menang itu sudah mengejutkan bagi gerakan feminism dunia tentu saja, dan saya. Sebagai penggemar K-Pop mulai dari musik dan sinema Korea dengan sederet judul yang mengangkat isu feminisme, kesetaraan dan keadilan gender, saya sedih berat. Film Kim Jiyoung, Born-1982 hanya satu dari sejumlah produk sinema yang mengangkat isu ini, sebut saja Weighlifting Kim Bokjoo, Start Up, yang terbaru ada Juvenile Justice dan masih banyak lagi, yang menghadirkan karakter-karakter perempuan yang kuat dan mandiri, breaking the bias and breaking the silent.

Seperti Gramsci bilang, budaya pop itu gambaran dari apa yang diharapkan oleh masyarakat umum, apa yang diperjuangkan dan dicita-citakan. Tapi kemenangan anti-feminisme di Korea Selatan membuat saya harus membaca ulang Gramsci. Atau Ariel Haryanto yang menggambarkan Kpop sebagai perbenturan budaya di Indonesia, dalam hal patriarki ini juga berlaku ternyata di Korea Selatan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan gerakan melalui budaya pop, tapi apa?

Sedih saya cuma sebentar karena saya perlu waktu buat merefleksikan dua hal, gerakan feminisme yang selama ini berjalan dan budaya pop sebagai channelnya. Apa yang terjadi di Korea Selatan sangat mungkin terjadi di Indonesia, sebagai pasarnya Kpop nomor tiga di dunia  – ini berkaca dari jumlah BTS-ARMY berdasarkan sensus 2020.

Budaya pop tak bisa berjalan sendirian tanpa gerakan massif di lapangan yang menyentuh langsung isunya. Dalam gerakan feminisme, gender itu bukan hanya tentang perempuan tapi semua gender termasuk laki-laki. Ketidakadilan berbasis gender artinya memang bisa juga dialami laki-laki seperti pengakuan dalam hasil poling itu.

Ketika 80an persen laki-laki usia muda mengaku mengalami diskriminasi berbasis gender, apa yang bisa dibaca dari sana? sebelum mengatakan bahwa laki-laki muda Korea Selatan mengalihkan masalah ekonomi mereka pada sesuatu yang harus disalahkan yaitu feminisme, saya sih merasa kita perlu merefleksikan diri dulu sebagai sebuah gerakan.

  1. Apakah pemahaman gender sudah masuk dan dilakukan secara benar dalam gerakan feminisme kita? Sudah menyentuh semua gender kah, termasuk laki-laki.
  2. Ketika yang anti feminis adalah lelaki muda, maka pertanyaannya kenapa mereka seolah merasa ditinggalkan bahkan merasa dipojokan dalam gerakan feminisme ini? Edukasi dini tentang kesetaraan gender ternyata tidak rata, tidak sampai menyentuh pada laki-laki muda.
  3. Ketika ekonomi menjadi sektor dimana mereka merasa terdiskriminasi, maka kita kembali berefleksi, isu gendernya belum sepenuhnya menyentuh ekonomi baru berkutat pada isu hukum dan kekerasan seksual. Semua isu saling terkait, harusnya kita bisa menggandeng ini.
  4. Kita memang perlu menarasikan ulang gerakan feminisme. Kalau kamu ketik feminisme, maka image pada google masih ramai dengan poster “girl power” perempuan berdaya. Bukan kawan, gerakan feminisme bukan sekedar perempuan berdaya, tapi tentang manusia yang setara dan berdaya. Kamu, saya, dan apapun pilihan orientasi seksual dan gender, kita adalah setara.

Mengubah kultur patriarki memang tidak mudah, tapi bukan berarti dipasrahkan. Kalau dibilang gerakan feminisme terlalu galak dan menyalahkan laki-laki, maka kembalikan lagi pada budaya pop yang digunakan dalam kampanye. It’s the softest campaign ever, bahkan dibandingkan dengan menggurui melalui pendidikan formal.

Saya memang tidak tahu banyak bagaimana feminisme bergerak di Korea Selatan tapi kultur patriarki di sana memang sangat kuat. Kekerasan berbasis gender terutama yang dialami perempuan sangat tinggi. Tapi yang kita tak baca adalah bagaimana patriarki juga sangat merugikan laki-laki yang menuntut mereka untuk sukses dalam ekonomi dan pendidikan.

Apa yang terjadi di Korea Selatan, sangat mungkin terjadi di Indonesia yang kultur patriarkinya juga diperkuat dengan doktrin-doktrin agama. Budaya pop kita selemah-lemahnya iman nyaris tak berbunyi tentang kesetaraan gender. Tontonan kita hari-hari masih melanggengkan posisi lemah perempuan dan laki-laki sebaliknya, harus kuat dan jadi pemenang dan ketika kalah, perempuan lagi yang dipersalahkan karena tidak memberikan dukungan yang cukup, yekan.

Sementara itu, kampanye kesetaraan gender di media sosial Indonesia menurut saya masih silo, hanya menyentuh kelas menengah perkotaan. Isu gender yang diangkat oleh gerakan, masih berkutat pada tubuh secara fisik, dan ketika bicara kesetaraan gender hanya berfokus pada perempuannya. Kita tak mungkin setara tanpa melibatkan seluruh elemen yang ada. Kita tak bisa bicara hanya tubuh perempuan tanpa memperhitungkan dengan isu lingkungan, ekonomi yang membuatnya berdaya, sikap politik untuk memengaruhi kebijakan dan keputusan bersama, pendidikan yang membuat perempuan dan laki-laki mampu berpikir kritis dan berkesenian yang mengasah empati kita.

Ketika kita bicara break the bias, harusnya bias itu juga tentang tidak kerja sendirian, berkutat dengan isu sendiri tapi melibatkan semua pihak dan menyentuh semua isu. Kita tentu tak ingin memenangkan pemimpin yang tak percaya pada kesetaraan dan keadilan gender dan lebih sedih jutaan pemuda yang membenci feminisme. Kita juga tak ingin lihat isu kesetaraan gender dianggap tak penting dibandingkan ekonomi, karena harusnya keadilan dan kesetaraan gender itu menjadi roh dari semua gerakan sosial dan kebijakan politik.

When we are social

Standar

I am in Starbuck at Ngurah Rai Airport, Bali. I have three hours before boarding and trying my best to just enjoy my time. Initially, I had a good plan. I will have a good massage at my favorite spa place but then I found out that they will not be open until 10 am, eee what? I have few other favorite spots in Kuta since I was living here for 1.5 year before. But then, too lazy to think about anything so I ended up myself, stranded at Starbuck.

This is my flight back to Bandung after 5 days of office retreat in Ubud. After 2 years of working online and meeting my team virtually, finally meet everyone in person. I almost forgot how to socialize with real people, an awkward moment at first. Who are they or we without masks? Juni said that she was wrongly recognized some people. She thought I was small and slim and I turned out the opposite. Other thought I was younger than my age.

As once a radio person, I know how the medium changed the imagination of others. People used to think of me as a charismatic person with a very soft and caring voice when I spoke through microphone while broadcasting. I like how I changed other’s theater of mind and how they are surprised when meeting me in person. They can either like me or feeling disappointed afterward, but that would not be my problem after all.

Back to the meeting in person. After two years meeting through the digital medium, it is feels different when you trying to solve a year of plan and challenge within 5 days. Did we make it for real? Yes, we did. Something just not the same when you do your work virtually. Not just your appearance being changed, your tone of voices when you talked, your reaction towards other, whether you really listening or not, especially when you turn off your video. People will get energy differently, will judge you differently. Therefore, I always said to people who knew me virtually that you do not know anything about me, you just know my social media.

I guess we are back to our nature of a social creature. We are real human when we meet others human. We can tell when someone is sincere or fake. We have real laugh, suddenly we are all comedian at some point.

Nevertheless, the pandemic is not over yet. I am very conscious about it, trying my best to keep distance if possible and never lose my mask unless I am eating and sanitizing my hands anytime. Within a week, I got 2 times PCR, 1 antigen, and will have another one in three days. Shit can happens anytime but before it happens and hopefully never, we just have to be cautions every time.

We are going back to work virtually on Tuesday, but I guess we will have a different relationship after this. We are more like a real team instead of virtually team.

Reflection on Kindness. A note on BTS-JHope Birthday

Standar
Reflection on Kindness. A note on BTS-JHope Birthday

She was arrived at my house when boxes are almost ready to sealed with her father drove a motorcycle around 1 pm. She gave me a box of her secondhand clothes as she eagerly sends me a message earlier to take a part on our event to celebrate BTS-Jhope birthday, 18 February. Nevertheless, I was touched by her father that supported her activities where mostly our fangirling activities are mocked by majority of society. He greeted and smiled to our humble messy garage full of boxes of secondhand cloths and items. Ah I should also mention she is so young, maybe less than 18 years old.

This is our second time of collecting secondhand clothes and items from BTS-AMRY or public in general to be deliver to people in need in Jakarta, and Purwokerto. Last year, we got 3000 secondhand clothes, this year we got more than 6000 clothes and secondhand items like school-bag and shoes in less than one month period.

Among those messages of ARMY on my Instagram and Twitter, they send love and pray that all good things we done will be useful for other and bring happiness to them. May all the good things become our fortune in the next life.

However, our activities are not only bringing good stories and impact. There is story that annoyed me and drive to write this post today to reflect what is kindness means to us.

Our group of ARMY – Bintang Ungu received sack of clothes but they are all garbage! Dirty under-wears, clothes with holes everywhere, one socks instead in pair. There is no way we are going to distribute garbage to the people in need. To me, it is more like an assault to our activities than a supportive donation. We are not the garbage tank, we are not responsible for your fabric waste! Oh how I wish I can send back those garbage to the sender.

It was not the first-time people are ignorance or maybe deliberately send us their waste instead of sharing kindness. Last year, I received broken books, that no longer can be read by others. Worst, some of them are really eaten by bugs.

Something is wrong with the perception of kindness. Kindness is a generous act, empathy toward others, and not expecting rewards. Therefore, if we open the donation for the unfortunate, we are knocking on your kindness heart to act generously. If you have a good empathy, you never ever send the broken items for others, you will share things you love instead. Will you wear other people dirty under-wear?

Kindness has an opposite meaning with Marry Kondo philosophy, to throw out things that no longer bring spark to you. Kindness is about sharing love, share the spark. You give second items because it no longer fits you, your have to give up your things because you don’t have space anymore. You give away things and be happy that others will use them and make them happy as well. But never ever give away your broken item for others to wear.

Kindness is not about making you feel good by what you think of doing good, it is more than that shallow feeling. It is not enough to just give your money to others then ignoring whether your money being use for good or bad thing. Same logic that is not enough to change your plastic straw with bamboo one and keep trashing the world with more other plastic products. Please feel good when you know your kindness act will sustain and bring bigger impact towards others. Be kind as a fellow human being without expecting popularity and price of power, and if there is a fortune in the next life, think of it as a bonus in life.

Today is Jung Hoseok, BTS -Jhope birthday, Hope-Day. He is ARMY’s sunshine and hope, who always brighten the room with his big smile and loud laugh. He is scare mostly with everything but never hide his scare and pretend like a strong one. He got headache with messy room. When it comes to fashion, no other member will be more stylist than he is. He looks fancy and expensive all the time but very humble at the same time. In my imagination life as an ARMY, he is my love-affair beside my love one, Kim Seokjin, or we said my bias wrecker.

Happy Birthday Jwaaeeehoope! Stay shining brightly and happy in many years to come. Love you JHope!

Menormalisasi Kalimat bahwa Hidup Perlu Batasan. Review Limit oleh Giorgos Kallis

Standar
Menormalisasi Kalimat bahwa Hidup Perlu Batasan. Review Limit oleh Giorgos Kallis

Buku ini membahas letak kesalahan teori Malthus yang menyatakan pertumbuhan populasi berlangsung secara exponensial sangat cepat sementara pertumbuhan sumber pangan mengikuti angka aritmatika. Kesimpulan Malthus adalah persediaan pangan tidak akan pernah cukup bagi semua mulut di muka bumi.

Kallis bilang, cukup! Jika secara kolektif manusia membatasi diri untuk hidup secukupnya, tidak berlebihan dan tidak mengikuti napsunya. Keinginan tanpa batas itu adalah jargonya kapitalisme yang berusaha sebesar-besarnya mendapatkan keuntungan dengan segala cara termasuk menghancurkan lingkungan. Lalu kapitalisme hanya dapat dinikmati oleh sebagian manusia, ketidaksetaraan terjadi, ketidakadilan dan kekerasan atas nama kebutuhan tanpa batas itu terjadi.

Kembali dulu kita ke Malthus.

Kallis menceritakan kepada para ekonom dan juga aktivis lingkungan salah mengartikan Malthus. Menurut Malthus napsu seks tidak dapat dikendalikan karena itulah jumlah penduduk akan terus bertambah. Saya juga baru tahu setelah membaca buku ini bahwa Malthus itu adalah pendeta yang menolak alat KB tentu saja dia tak percaya populasi dapat ditekan. Seiring dengan waktu, semakin banyak pilihan alat KB dan secara sadar laki-laki dan perempuan tidak berkeinginan untuk memiliki anak.

Tetapi kan kenyataannya meskipun populasi dapat ditekan, toh kebutuhan dasar tidak secara rata bisa dirasakan oleh semua penduduk. Bahkan ketika teknologi hijau dianggap bisa menyelesaikan masalah lingkungan, tidak semudah itu di lapangan. Orang memang meninggalkan kendaraan pribadinya, tapi bukan beralih pada transportasi umum melainkan pada ojol dan taksol. Ketika aktivis lingkungan berubah menjadi tukang ramal yang memprediksi bakal kiamat karena perusakan lingkungan yang massif, para elit konglomerat berlomba-lomba investasi pada teknologi yang bisa membawa mereka keluar dari bumi, daripada memperbaikinya.

Kallis mengingatkan betapa sains juga tidak pernah netral. Target NDC 30% pada 2030 dan Zero Emission 2050 adalah political, hasil negosiasi politik. Membacanya menjadi sampai batas mana mereka bisa merusak bumi. Seolah-olah jika masih diambang toleransi mereka bisa terus mencemari bumi, melakukan semaunya. Padahal yang perlu diubah adalah perspektif tentang batas itu. Kalau kita mau sumber air tetap bersih dan layak pakai, maka Jangan Mencemarinya! Bukan pada pertanyaan, sampai mana bisa aku cemari. Sampai sini paham ya.

Sepanjang 129 halaman, buku ini menceritakan tentang limit, atau batasan dan bagaimana kita sebaiknya memberikan batasan terhadap apa dalam hidup. Yang membatasi kemerdekaan kita adalah kemerdekaan orang lain, yang membatasi keinginan kita adalah keinginan orang lain. Seharusnya kata dia, pembatasan itu bukan datang dari luar yang memiliki banyak kepentingan, bukan tentang NDC bukan tentang batas toleransi pencemaran atau udara bersih. Juga bukan bumi yang harus diselamatkan, tapi kita, manusia yang ada di dalamnya yang harus menyelamatkan diri dan masa depan manusia. Mengutip Mahatma Ghandi, hiduplah sederhana, agar orang lain bisa sekedar hidup. Live simply so others can simply live.

Membatasi pertumbuhan ekonomi salah satu di antaranya, agar ekonomi tak melulu dihitung dengan GDP tanpa batas atas dan sampai kapan. Batasan itu kita, secara kolektif bisa membuatnya. Meski agak absurd menurut saya, tapi ide Kallis perlu dipertimbangkan. Oh satu lagi yang membuat saya tertawa, justru kita harus bisa membuat batasan buat napsu di dalam diri karena kita diberi otak untuk berpikir dan mengendalikannya.

Karena batasan yang disebut Kallis sifatnya sangat subyektif lalu mengembangkan menjadi kolektif, ini yang sulit dibayangkan. Bagaimana membangun kesadaran besama atas batasan dan terhadap apa, itu juga bagian dari negosiasi politik yang tidak mungkin memuaskan semua pihak.

Di buku lain, In Defense of DeGrowth, Kallis akan menjelaskan lebih detail kenapa kita mesti membuat batasan dalam pertumbuhan ekonomi, bukan hal yang mustahil kata dia.