
Dengan segala kelemahannya, saya masih percaya pada demokrasi yang menempatkan kekuasaan terbesarnya pada rakyat dan prinsip satu orang satu suara dan tidak ada yang ditinggalkan. Sialnya demokrasi yang berjalan menanggalkan prinsip dasar dan kekuasaan yang kemudian hanya ada pada segelintir orang dalam kelompok elit baik dalam politik, sosial maupun ekonomi. Sial betul!
Itu adalah bentuk kekuatan lama (Old Power) yang terstuktur, tersentralisasi dan dikelola top-down. Setelah pemilu, begitu jauh rakyat bisa mencampuri bagaimana negara ini berjalan. Rakyat hanya jadi domba yang digiring ke sana kemari dan penonton di sebuah konser politik. Jangan heran, jika kemudian tingkat partisipasi politik terus rendah dalam pemilu, tingkat kepercayaan publik terutama generasi muda pada institusi juga rendah termasuk pada media.
Karakter generasi muda yang hidupnya dikelilingi kemajuan teknologi informasi, digital, sudah berubah. Mereka ingin terlibat penuh dalam setiap proses kehidupan, politik, ekonomi dan sosial. Mereka berbagi, semua orang menjadi pintar, semua tahu, semua bisa. Mereka ingin diakui keberadaannya dan diapresiasi atas apa yang dilakukan, dihargai dirinya. Jiwa “founder” itu muncul di hampir setiap diri anak muda. Kamu tidak bisa membendungnya. Daripada melawan arus perubahan, kenapa tidak mencoba merangkul perubahan itu, merangkul jiwa-jiwa muda penuh gejolak dan kritis ini.
Buku #newpower ini memberikan perspektif lain dari sekedar eforia era digital dan pesimistis terhadap slacktivisme, aktivis pemalas. Buku yang dibuat oleh dua aktivis digital #GivingTuesday dan #GetUp! Ini buat saya keren banget. Keduanya meyakinkan gerakan di sosial media bisa membuat perubahan, bisa mengubah sebuah kebijakan, tapi ada syaratnya.

Gerakan digital itu harus mengikuti prinsip ACE – Actionable, Connected dan Extensible. Sebuah gerakan yang bisa membuat perubahan tidak seliat dan fleksible itu, tapi tetap harus punya struktur dalam arti jelas target sasaran dan value yang dibawa. Harus bisa dilaksanakan oleh siapa pun, terkoneksi dan dekat dengan partisipan. Struktur dalam gerakan digital itu seperti segitiga; pemilik platform atau penggagas gerakan, partisipan yaitu mereka yang tingkat partisipasinya lebih rendah dan super –partisipan, mereka yang sangat aktif berpartisipasi, baru kemudian ini bisa jalan.
Nah yang buku ini juga menjawab kritikan tentang “buble” yang jadi kelemahan gerakan digital. Menurut mereka, segitiga struktur movement itu harus nge-blend dan masuk dalam arena politik secara umum artinya tetap harus melibatkan media, NGOs yang terlibat dalam isu yang sama, institusi pemerintahan, publik secara umum dan akademisi. Segitiga itu menjadi sebuah lingkaran yang saling terkait untuk bisa mengubah sesuatu lebih nyata. Kita memang tidak bisa berteriak di gelembung yang sama untuk berubah, tapi tetap harus melibatkan pihak di luar gelembungnya.
Saya kasih contoh BTS yak, karena kebetulan sedang riset tentang mereka. Sekali pun anggota BTS tidak mau dibilang gerakannya politis, tapi dengan nilai yang dibawa, mereka bicara di media, dan di depan sidang PBB, tentu saja gerakan mereka politis. Partisipan mereka ARMY, superparticipant mereka salah satunya One in Army, ada juga Bangtan Scholars, dan di Indonesia, saya tergabung dalam Bintang Ungu, kami mengembangkan karakter di salah satu PAUD di Jakarta.

Akan sangat mudah platform digital yang dibangun dengan partisipasi massa bergeser ke arah old power, seperti Facebook dan Uber. Begitu investasi masuk dan tuntutan bisnis, gaya-gaya leadershipnya mulai top-down deh, dan melupakan super-partisipan dan sharing powernya. Selain dalam dunia bisnis, #newpower juga mengubah peta politik.
Barack Obama yang memulainya dengan mass participation movement, dengan Yes We Can, pada akhirnya kekuatannya bergeser di pemilihan keduanya. Pendukung yang tadinya relawan dijadikan sumber pemasukan lewat donasi. Donald Trump dimulai dengan membayar massa untuk kampanyenya, ketika “seolah-olah” didukung beneran dan dengan kalimat kontroversinya, malah jadi beneran memang.
Yang menarik adalah Podemos, yang dimulai dengan kemuakan akademisi di Spanyol terhadap kekuatan lama yang korup, mereka melakukan movement menolak pemerintahan. Dalam waktu dua bulan, gerakan ini menjadi partai politik, memunculkan satu tokoh, dan mampu menggerakkan massa turun ke lapangan dan dalam 2 tahun, mereka mendominasi kursi di parlemen. Macron juga dibahas dalam buku ini. Ketika politik bergeser menggunakan kekuatan baru dengan kekuatan partisipasi massa dan menjadi populer, yang perlu dijaga adalah sejauh mana mereka akan konsisten pada gerakannya dan merangkul massanya. Yang terjadi sebagian besar, massa kembali ditinggalkan.

Kekuatan baru masih sangat messy, berantakan dan perlu diperbaiki sana-sini. Bapak internet, Tim Berness Lee masih berjuang dengan proyek Solid nya untuk menjawab keresahan soal privacy. Solid akan membuat kita punya kontrol tentang data yang mau kita beri dan rahasiakan. Tetapi kekuatan baru membuat saya percaya, bahwa demokrasi itu masih bisa diperbaiki, partisipasi publik itu masih bisa dibangun. Infrastruktur digital memang masih sangat tidak adil, hanya sebagian yang bisa menikmatinya, tapi dari yang sebagian itu, tugas kita selanjutnya adalah menciptakan full-stack society. Sebuah masyarakat, komunitas, dan peradaban yang setiap orang di dalamnya berdaya, mampu mempraktikan kekuatan yang dimilikinya lewat jempol, paham pada apa yang dia lakukan dan punya keyakinan yang sama untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik. Sound utopia? Semua juga dimulai dari mimpi kan.
Buku ini membuat saya ingat betapa bahayanya 3 tahun ke depan, ketika kekuatan lama bakal memanfaatkan “kekuatan baru” cuma untuk kepentingan politik menjelang 2024, setelah itu, lagu lama lagi. Jadi kita hanya punya waktu 3 tahun ini untuk belajar lebih kritis dan berdaya agar tak mudah diperdaya politik.