
Tahun lalu, Juni 2021, 84% laki-laki di Korea berusia 20tahunan dan 83% usia 30an mengaku mengalami “diskriminasi berbasis gender yang serius .” Sebuah peringatan sejak awal bahwa situasi ini bisa dan bakal digerakan sebagai sebuah kekuatan politik yang berujung pada pemilu presiden di Korea Selatan pekan lalu.
Menurut Exit Poll yang dilakukan tiga media broadcasting Korsel, Yoon Suk-yeol didukung oleh 59% laki-laki usia 20an dan 53% oleh laki-laki usia 30an, hanya 34% perempuan di usia 20an yang mendukungnya dan mengantarkan Yoon menang tipis 0,8% dari lawannya Lee Jae-myung.
Baca berita lengkapnya di sini: https://time.com/6156537/south-korea-president-yoon-suk-yeol-sexism/
Fakta bahwa gerakan anti-feminis menang itu sudah mengejutkan bagi gerakan feminism dunia tentu saja, dan saya. Sebagai penggemar K-Pop mulai dari musik dan sinema Korea dengan sederet judul yang mengangkat isu feminisme, kesetaraan dan keadilan gender, saya sedih berat. Film Kim Jiyoung, Born-1982 hanya satu dari sejumlah produk sinema yang mengangkat isu ini, sebut saja Weighlifting Kim Bokjoo, Start Up, yang terbaru ada Juvenile Justice dan masih banyak lagi, yang menghadirkan karakter-karakter perempuan yang kuat dan mandiri, breaking the bias and breaking the silent.
Seperti Gramsci bilang, budaya pop itu gambaran dari apa yang diharapkan oleh masyarakat umum, apa yang diperjuangkan dan dicita-citakan. Tapi kemenangan anti-feminisme di Korea Selatan membuat saya harus membaca ulang Gramsci. Atau Ariel Haryanto yang menggambarkan Kpop sebagai perbenturan budaya di Indonesia, dalam hal patriarki ini juga berlaku ternyata di Korea Selatan. Ada sesuatu yang tidak beres dengan gerakan melalui budaya pop, tapi apa?
Sedih saya cuma sebentar karena saya perlu waktu buat merefleksikan dua hal, gerakan feminisme yang selama ini berjalan dan budaya pop sebagai channelnya. Apa yang terjadi di Korea Selatan sangat mungkin terjadi di Indonesia, sebagai pasarnya Kpop nomor tiga di dunia – ini berkaca dari jumlah BTS-ARMY berdasarkan sensus 2020.
Budaya pop tak bisa berjalan sendirian tanpa gerakan massif di lapangan yang menyentuh langsung isunya. Dalam gerakan feminisme, gender itu bukan hanya tentang perempuan tapi semua gender termasuk laki-laki. Ketidakadilan berbasis gender artinya memang bisa juga dialami laki-laki seperti pengakuan dalam hasil poling itu.
Ketika 80an persen laki-laki usia muda mengaku mengalami diskriminasi berbasis gender, apa yang bisa dibaca dari sana? sebelum mengatakan bahwa laki-laki muda Korea Selatan mengalihkan masalah ekonomi mereka pada sesuatu yang harus disalahkan yaitu feminisme, saya sih merasa kita perlu merefleksikan diri dulu sebagai sebuah gerakan.
- Apakah pemahaman gender sudah masuk dan dilakukan secara benar dalam gerakan feminisme kita? Sudah menyentuh semua gender kah, termasuk laki-laki.
- Ketika yang anti feminis adalah lelaki muda, maka pertanyaannya kenapa mereka seolah merasa ditinggalkan bahkan merasa dipojokan dalam gerakan feminisme ini? Edukasi dini tentang kesetaraan gender ternyata tidak rata, tidak sampai menyentuh pada laki-laki muda.
- Ketika ekonomi menjadi sektor dimana mereka merasa terdiskriminasi, maka kita kembali berefleksi, isu gendernya belum sepenuhnya menyentuh ekonomi baru berkutat pada isu hukum dan kekerasan seksual. Semua isu saling terkait, harusnya kita bisa menggandeng ini.
- Kita memang perlu menarasikan ulang gerakan feminisme. Kalau kamu ketik feminisme, maka image pada google masih ramai dengan poster “girl power” perempuan berdaya. Bukan kawan, gerakan feminisme bukan sekedar perempuan berdaya, tapi tentang manusia yang setara dan berdaya. Kamu, saya, dan apapun pilihan orientasi seksual dan gender, kita adalah setara.
Mengubah kultur patriarki memang tidak mudah, tapi bukan berarti dipasrahkan. Kalau dibilang gerakan feminisme terlalu galak dan menyalahkan laki-laki, maka kembalikan lagi pada budaya pop yang digunakan dalam kampanye. It’s the softest campaign ever, bahkan dibandingkan dengan menggurui melalui pendidikan formal.
Saya memang tidak tahu banyak bagaimana feminisme bergerak di Korea Selatan tapi kultur patriarki di sana memang sangat kuat. Kekerasan berbasis gender terutama yang dialami perempuan sangat tinggi. Tapi yang kita tak baca adalah bagaimana patriarki juga sangat merugikan laki-laki yang menuntut mereka untuk sukses dalam ekonomi dan pendidikan.
Apa yang terjadi di Korea Selatan, sangat mungkin terjadi di Indonesia yang kultur patriarkinya juga diperkuat dengan doktrin-doktrin agama. Budaya pop kita selemah-lemahnya iman nyaris tak berbunyi tentang kesetaraan gender. Tontonan kita hari-hari masih melanggengkan posisi lemah perempuan dan laki-laki sebaliknya, harus kuat dan jadi pemenang dan ketika kalah, perempuan lagi yang dipersalahkan karena tidak memberikan dukungan yang cukup, yekan.
Sementara itu, kampanye kesetaraan gender di media sosial Indonesia menurut saya masih silo, hanya menyentuh kelas menengah perkotaan. Isu gender yang diangkat oleh gerakan, masih berkutat pada tubuh secara fisik, dan ketika bicara kesetaraan gender hanya berfokus pada perempuannya. Kita tak mungkin setara tanpa melibatkan seluruh elemen yang ada. Kita tak bisa bicara hanya tubuh perempuan tanpa memperhitungkan dengan isu lingkungan, ekonomi yang membuatnya berdaya, sikap politik untuk memengaruhi kebijakan dan keputusan bersama, pendidikan yang membuat perempuan dan laki-laki mampu berpikir kritis dan berkesenian yang mengasah empati kita.
Ketika kita bicara break the bias, harusnya bias itu juga tentang tidak kerja sendirian, berkutat dengan isu sendiri tapi melibatkan semua pihak dan menyentuh semua isu. Kita tentu tak ingin memenangkan pemimpin yang tak percaya pada kesetaraan dan keadilan gender dan lebih sedih jutaan pemuda yang membenci feminisme. Kita juga tak ingin lihat isu kesetaraan gender dianggap tak penting dibandingkan ekonomi, karena harusnya keadilan dan kesetaraan gender itu menjadi roh dari semua gerakan sosial dan kebijakan politik.