Monthly Archives: Maret 2020

Belajar Lagi Fisika Tentang Realita. Review Reality Is Not What It Seems oleh Carlo Rovelli

Standar
Belajar Lagi Fisika Tentang Realita. Review Reality Is Not What It Seems oleh Carlo Rovelli

Kali ini menulis review buku Carlo Rovelli tak semudah dua bukunya yang pertama. Pertama, iya ini buku fisika. Saya pernah dapat angka bebek (2) waktu SMA kelas 1, padahal sewaktu SMP guru fisika, almarhum Pak Taryo adalah favorit saya. Kedua, selama membaca buku ini, banyak hal terjadi. Ayah mertua masuk ICU dan 8 hari kemudian meninggal dunia. Meskipun saya baca buku, hurufnya berlari-larian, tidak ada yang sempat nyangkut di kepala. Review kali ini saya singkat saja sesuai kemampuan memahami isi. Jika ada waktu baik, saya akan ulangi membacanya.

Inti buku ini ada pada gambar di bawah ini:

rovelli

Rovelli menjelaskan perjalanan fisikawan dalam menerjemahkan dunia mulai dari Newton, Faraday Maxwell, Einstein lalu ke Quantum Mekanik dan Quantum Relativity. Tapi di bab pertama, Rovelli mengajak kita kembali ke “akar” pemikiran tentang menjelajah alam semesta. Awal ketika filusuf mempertanyakan semesta. Adalah Democritus dari Abdera pada 494 BCE yang pemikirannya disederhanakan oleh Rovelli menjadi “seluruh semesta dibentuk oleh ruang yang tak terbatas yang di dalamnya adalah atom dalam jumlah tak terbatas, berlarian. Ruang tanpa batas. Tidak ada batas atas, bawah, tanpa pusat, tanpa batasan. Atom tidak punya kualitas di samping bentuknya. Tidak memiliki berat, warna atau rasa. “Dengan kesepakatan dia adalah manis, dia adalah pahit, panas, berwarna, tapi dengan jujur, atom dan kehampaan.”

Atom tidak dapat dipisahkan, atom adalah materi butiran dasar yang membentuk realitas. Tidak dapat dibagi-bagi dan semua hal terbuat dari atom.

Selanjutnya para fisikawan berangkat dari pemikiran Democritus dan mengembangkan penelitian secara fisika. Rovelli menjelaskan secara singkat perkembangan fisikawan mencari tahu tentang semesta. Newton menjadi landasan fisika modern dalam menjawab keinginantahuan tentang semesta bahwa semesta adalah ruang, waktu dan partikel. Lalu Faraday dan Maxwell melengkapi tentang partikel, bagaimana dia bergerak. Faraday dan Maxwell lah yang mengenalkan gelombang elektromagnetik yang kemudian menginspirasi penemuan radio, televisi, telepon dan lainnya yang menggunakan arus listrik. Lalu Einstein menyederhanakan ruang dan waktu menjadi ruangwaktu lalu pada perjalanan berikutnya Einstein kembali menyederhakan ruang waktu dan fields menjadi covariants fields dan partikels. Lalu seterusnya pada perkembangan fisika quantum mechanic dan quantum grativity. Pada Quantum Grativity, kemudian disebutkan kenyataan bahwa “waktu” itu tidak ada. Jika waktu tidak ada maka apa yang ada adalah quanta of field, waktu adalah quanta of field, ruang adalah quanta of field. Fields bergerak pada dirinya sendiri, tidak butuh ruang atau waktu.

Rovelli tak hanya menjelaskan perjalanan perkembangan penelitian fisika tentang semesta, tapi juga latar belakang para fisikawannya juga dan perdebatan di antara mereka. Salah satu yang menarik adalah Einstein dan seorang pastor Georges Lemaitre. Salah satu yang menjadi perdebatan mereka adalah apakah semesta berubah atau konstan? Lemaitre menyakini semesta ini mengalami pengembangan. Pada 14 juta tahun lalu, sebuah titik hitam yang disebut Lemaitre sebagai primodial atom. Titik hitam itu terus berkembang sampai akhirnya ledakan besar terjadi. Itulah yang sekarang disebut sebagai Big Bang. Einstein menolak ide Bing Bang dan semesta ini akan terus mengembang, tapi pada akhirnya Lemaitre benar.

Pertanyaan selanjutnya adalah, jika semesta ini adalah kumpulan atom yang terus bergerak dan berkembang, apa yang akan terjadi kemudian? Apa yang juga terjadi sebelum Big Bang, 14 juta tahun lalu? Rovelli menekankan fisika adalah ilmu yang akan terus berkembang. Tidak ada yang tetap dan konstan di dalam sains. Tidak perlu mencari hal baru dari data yang kosong sama sekali. Sains adalah tentang challenge atau menantang pemikiran awal seperti gambar di atas. Tidak usah ujug-ujug menciptakan hal yang benar-benar baru, kata Rovelli. Semesta ini sangat luas untuk diselami dan terus dipelajari.

Kalau situasi membaik, buku ini enak banget dibaca dan seharusnya bisa selesai dalam 3 hari saja. Rovelli membuat fisika begitu menyenangkan, meski saya skip beberapa halaman yang isinya rumus hahaha, saya menyeraaah kak. Tapi selebihnya, saya sangat menikmati buku ini. Rovelli juara lah!

Iklan

Waktu adalah Kita. Review The Order of Time by Carlo Rovelli

Standar
Waktu adalah Kita. Review The Order of Time by Carlo Rovelli

Sebelum beranjak pada bukunya, saya cerita dulu ya. Beberapa tahun lalu, saya menyimpan perasaan selama 7 tahun lamanya. Tak pernah disampaikan, sampai akhirnya dia menikah. Setiap kali ada kesempatan, saya selalu merasa “belum waktunya.” Sejak saat itu, saya tidak lagi menunda waktu ketika menyatakan perasaan pada seseorang. What is the worst thing coming after exposing your feelings? A rejection right, but the wound, the shame will shall pass through time. Tapi “waktu” itu apa? Sejak saat itu, saya bilang pada diri sendiri, saya yang menentukan waktu, kapan waktu untuk melakukan apa, kapan waktu untuk berhenti melakukan apa.

Lalu saya bertemu dengan buku ini dan seisinya mengacaukan perasaan saya. Buku yang bagus adalah buku yang menantang kepercayaan awal, dan pengetahuanmu dan ini salah satunya. Tetapi saya sepakat dengan Rovelli, waktu adalah kita!

Menurut Rovelli, waktu itu tidak pernah benar-benar ada. Waktu adalah kita sebagai being, yang dibentuk dari sekumpulan cerita, peristiwa, tersimpan dikumpulan milyaran syaraf, kumpulan entropi yang bergerak dari masa lalu. Setiap kali kita menemukan satu hal, milyaran syaraf memutar ulang ingatan masa lalu, ditambah nilai-nilai yang membentuk perspektif, lalu jadilah masa kini. Sementara masa depan, tetap akan misteri. Waktu adalah kita yang memandang sesuatu berdasarkan perspektif kita sendiri. Sementara hari, jam, detik, adalah ukuran yang dibentuk untuk menyebut waktu.

Waktu bergerak lebih cepat di dataran tinggi atau pegunungan dibandingkan pantai. Rovelli menjelaskannya dengan smurf tua di pegunungan dan smurf muda di pantai. Waktu bergerak sesuai dengan lokasinya. Aristoles bilang waktu adalah perubahan, maka jika tidak ada yang berubah, ya berarti tidak ada waktu. Masa lalu dan masa depan membentuk sebuah cone atau kerucut, dia bergerak bebas dalam spacetime, dengan demikian bukan tidak mungkin jika yang disebut masa lalu akan kembali terjadi di masa depan. Tapi masa kini adalah perspektif kita tentang sekarang.

Rivolli memeringati pembaca kalau bahasa fisikanya terlalu rumit diterima, langsung saja pada bab 11 dan seterusnya. Di bab-bab terakhir, dia lebih banyak mengajak pembacanya untuk merenung tentang hidup. Jika “waktu” itu tidak ada, terus kita ini apa? Kita adalah refleksi dari teman-teman, pasangan, keluarga, dan orang lain yang memandang kita seperti apa. Tiga hal yang harus hadir dalam menentukan identitas “kita”:

  1. Tentang bagaimana kita melihat dunia dari sejumlah informasi yang kita elaborasi sendiri.
  2. Tentang relasi kita dengan sesama. Kita mengasah ide tentang “manusia” melalui interaksi dengan orang lain, karena kita adalah mahluk sosial. Kita melihat diri sendiri dari sekitar kita, ibu, teman dan kolega.
  3. Tentang memori, kenangan-kenangan yang membentuk “kita”. Untuk memahami diri sendiri berarti kita harus merefleksi waktu, tapi untuk memahami waktu, kita perlu refleksi pada diri sendiri. Saya hari ini adalah orang yang sama dengan kemarin.

Lalu waktu akan habis. Ada waktu lahir, ada waktu untuk mati. Ketakutan akan mati menurut Rivolli adalah kesalahan evolusi. Semua ada batasnya bahkan keberadaan umat manusia dan takut mati itu seperti takut terhadap realitas. Jadi buat apa takut?

Rivolli tidak takut, “I do not fear of death. I fear life in suffering” yang dia takut adalah hidup penuh penderitaan. Penderitaan adalah harapan yang tidak sampai, duka menjadikan kita manusia, begitu juga dengan cinta. Kematian buat Rivolli adalah “the sister of sleep” saudara tidur, saat kita menutup lama dan tidur untuk selamanya.

Betul, ini seperti bukan waktu yang tepat menyelesaikan buku di tengah ketakutan dunia akan corona virus. Saya mungkin seperti Rivolli, tak ingin diberi umur panjang, dicukupkan saja. Saya tidak akan bernegosiasi dengan kematian, ketika waktunya tiba. Kita memang akan mati, kalau tidak hari ini ya mungkin besok.

Setelah krisis korona ini selesai, saya akan membaca ulang buku ini dengan penuh kegembiraan… or not. Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk kamu yang ingin tahu tentang waktu, tentang kita dalam perspektif quantum grativity dengan bahasa popular. Saya tidak seperti digurui pelajaran fisika, saya seperti sedang didongengi tentang kehidupan manusia yang fana. Mana ada buku fisika yang membuat saya menetaskan air mata karena ditulis begitu indah, seperti buku ini.

Day 5 note: Thank you for being “lazy”

Standar
Day 5 note: Thank you for being “lazy”

Back when I was in London doing my master, a friend said “we have the right to be lazy. The right of doing nothing.” Then the debate started. “That is unfair to others who work hard, and pay tax for your laziness.” The debate on and on and a friend closed it by saying, “being lazy is a personal right. Saying that is not fair would be the capitalist perspective that wants us to keep on living on a consumptive lifestyle”

Four years after the debate, I am here at home being forced to be “lazy” thanks to corona virus.

People might think that it is not that hard for me as I am being a freelancer for the past two years. But being freelancer does not mean working for home all the time. It means that could work everywhere, including in a café, where I can look for ideas while watching people talking. I like overheard people, it makes me smiling. I like watching people walking around my table, kids screaming, lovers arguing, a young shy and blushing cheek of love. I am an extrovert, I like being around people, real people. I can stay at home for like three days but then woosh… I call a motorcycle taxi and go somewhere for work, even to just read at the park, anywhere that I could see people.

Suddenly all these privilege has taken away, stay at home and please do whatever, if it means also to be lazy.

For the past 5 days, I become a cook. I cook all the time! I love cooking but it always consumed my time too much. I used to think cooking it’s like escaping from my stressful work, or complicated feelings. But now, kitchen has been taken almost like a quarter of day hour and it means less time for work.

Then the bed. It used to be so easy to just get off the bed in the morning and start my day with things and work. Now days, it holds me tightly and comfy that makes me hardly open my eyes. Then the Korean Drama, I watch Goo Yoo every day, like really every day for at least 2 hours! That is my reading hour!

Yesterday, we took our father to the hospital and his sugar blood raise to 900, meaning we being forced to meet the dangerous zone. Everything there might be infected, everyone there might be the carrier. But to be honest, for once, I was surrounded by people, and I feel relieve, yet to be said, I was happy. Then I feel bad again! Feeling bad for being happy.

This is the fifth day and I realized how hard it is for being lazy! It is a hard work for being lazy! But, if being “lazy” means saving people’s life, then I am so please to do so. I just need to pull myself together and keep productive. It is hard not seeing people, and not having people to talk. I don’t think social media can ever replace real life, real touch, real smile. But I have to keep myself isolated for other’s life, I might carry the virus for being such an active person, meeting lots of people on previous weeks.

Next week, I can be lazier as lesser work to do. All the clients had postponed the event and the deadline. No work to do means more Gong Yoo time (although I almost finish all of his movies and serial), more cooking, and reading time and I still have unfinished crochet.

At this moment my dear capitalist friends, being lazy could also means preparing a healthy labour assets for your next business, and saving more of health-insurance. You might lose some today, but you’ll gain more later, please think about it! people first, economy second.

Pencuri Buku Mencuri Kebahagian. The Book Thief oleh Markus Zusak

Standar
Pencuri Buku Mencuri Kebahagian. The Book Thief oleh Markus Zusak

Ada buku yang bisa membuat saya marah, kecewa, sedih, tertawa, secara parsial. Tapi buku ini bisa membuat emosi bercampur aduk dalam setiap babnya. Di bagian akhir, saya menangis tersedu-sedu seperti layaknya kehilangan orang dekat, dada sesak. Saya bisa merasakan apa yang dirasakan oleh Liesel si tokoh utama ketika dia melihat mayat Rudi. Liesel mencium bibir Rudi yang hambar bercampur debu sisa bangunan yang hancur oleh bom.

Sejujurnya ketika saya menerima buku ini sebagai hadiah dari kawan sewaktu bertemu di London, dan dia bilang ini setingnya masa Nazi dimulai di Jerman, saya sungkan membacanya. Cerita perang itu selalu menakutkan, potongan-potongan gambar di kepala saya tidak menyenangkan. Empat tahun setelah hari itu, saya membaca buku ini. Hanya seminggu, 553 halaman itu selesai dibaca dengan penuh tawa, marah, dan tangis tersedu-sedu.

Buku ini bercerita tentang Liesel si pencuri buku dan dinarasikan oleh “Kematian” yang menjumpai Liesel sebanyak tiga kali sepanjang kehidupan anak ini. Liesel berusia 11 tahun ketika adiknya meninggal di gerbong kereta, lalu ibunya dan dia berakhir di rumah orang tua asuh, Hans dan Rosa Huberman. Saat pemakaman adiknya itu dia pertama kali mendapatkan buku, petunjuk untuk melakukan pemakaman. Liesel tidak bisa membaca, tapi dia senang sekali buku. Ayah angkatnya Hans, perokok berat dan pemain arcodion yang mengajarinya membaca dengan sabar. Liesel si pencuri buku, menyembunyikan buku di tempat tidurnya dan setiap jam 3 pagi, ayah angkatnya akan menemaninya membaca. Membaca buku membuatnya bahagia, bahkan saat memeluknya erat.

Bagian paling membuat saya terkesan ketika Liesel masuk ke dalam perpustakaan milik Mayor Hermann (if I am not mistaken), itu seperti membawa saya terkesima di antara rak-rak buku. Jutaan kata berhamburan, bermain dan bersembunyi di balik buku. Persis seperti Liesel, saya drooling aka ngeces. Ketika harus memilih antara biscuit dan buku, Liesel memilih buku dan membiarkan perutnya lapar. Saat menuliskan ceritanya di jurnal di ruang bawah tanah, bom menghujani Himmel Strasse dan merenggut semua yang dikasihinya. Hans dan Rosa Hubermann, keluarga Steiner termasuk sahabatnya Rudi, dan para tentangnya.  Liesel selamat, dan hidup lama untuk melihat cucunya. Kematian menjumpainya di Sydney dan membawakan jurnal yang ditulisnya, The Book Thief.

Buku ini menceritakan 4 tahun perjalanan Liesel, si pencuri buku di Himmel Strase di masa-masa Hitler membangun kekuatan Nazi dan menyebarkan propaganda lewat Mein Kampf. Tentang Hans yang menyembunyikan Max, seorang Yahudi di basement mereka. Persahabatan Liesel dengan Max lewat buku sketsa yang dibuat Max dari lembaran Mein Kampf yang dicat putih menjadi lembaran baru. Tentang persahabatan abadi Rudi si rambut oranye dan Liesel. Perang dan kebencian yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang Jerman. Terlebih, ini tentang Malaikat Pencabut Nyawa yang kewalahan untuk mengerti tentang manusia yang mendekati kematian lewat perang. Malaikat Pencabut Nyawa tak punya waktu istirahat, bahkan dia sendiri merasa dihantui oleh manusia.

Memilih Malaikat Pencabut Nyawa sebagai narrator saja sudah sangat menarik buat saya. Dia melihat semua yang terjadi di berbagai tempat para karakter berada, melintasi waktu. Bagaimana rasanya jadi pencabut nyawa yang bisa merasakan sedih ketika harus mengambil nyawa manusia. Orang baik, ringan rohnya saat dibawa malaikat, begitu kirakira yang disampaikan Kematian ketika membawa Hans, Rosa dan Rudi bersamanya.

Haish, saya mulai berkaca-kaca lagi.

Buku ini ditulis 2005. Iyes 15 tahun kemudian saya baru membacanya dan menjadi salah satu buku favorit. You need to find it yourself, the thrill and adventure of this book. I highly recommend it and it’s a must to read.