Gosh, I don’t know where to start this review. There are lots of things that I love about it, that make me confuse, where should I begin?
Buku ini mengungkapkan hal-hal yang selama ini kita asumsikan ‘salah’ menjadi ‘benar’ the ugly truth about ourselves. Seth adalah analisis di Google Search, backgroundnya psikologi, tapi untuk PhD nya, dia melakukan penelitian lewat Google Search tentang perilaku manusia yang sensitive, yang sangat mungkin tidak akan terbuka diakui lewat penelitian konvensional. Penelitian konvensional itu ya kuantitatif melalui survey – yang dibandingkan dengan data di Google Search, ini Cuma data kecil, Small Data – dan atau Kualitatif, karena sebenarnya kamu sangat mungkin mengombinasikan dua jenis penelitian ini.
Seth membagi buku ini dalam tiga bagian. Bagian pertama, apakah intuisi kita benar? dalam sebuah penelitian, tendesi membenarkan intiusi atau asumsi itu besar sekali. Ketika berhadapan dengan Big Data, apakah kamu siap menghadapi kenyataan di luar asumsi dan intuisimu? Sebagai peneliti, seharusnya siap dan bisa.
Bagian kedua tentang kekuatan Big Data untuk membuktikan teori-teori yang selama ini kita percaya. Benarkah teori Freud tentang seks itu terjadi, bahwa fantasi anak laki-laki adalah bersenggama dengan ibunya? Tentang insest kakak dan adik, tentang symbol seks yang identic dengan buah seperti pisang. Tentang kecemasan laki-laki terhadap ukuran penisnya, sementara perempuan mengeluhkan tentang rasa sakit karena ukuran penis terlalu besar. Buat perempuan yang mencemaskan mereka adalah bau vaginanya. Semua itu dilihat dari apa yang dicari dalam ‘Google Search’ dengan kata kunci misalnya ‘How it feels like….’ Lalu jawabannya akan muncul, yang paling tertinggi adalah making love with my mom. Ngeri kan. Banget!
Saat sekarang, sebelum orang pergi ke dokter, mereka mencari tahu gejalanya dari Google Search dan jenis obat yang diberikan oleh dokter, tidak serta merta diterima. Orang menjadi lebih kritis. Itulah gunanya Big Data. Karena itu juga, jangan heran bagaimana Trump bisa menang. Karena barangkali, dia yang personafikasi dari segala ‘keburukan’ yang kita takuti.
Bagi mereka yang bekerja di dunia sosial, Big Data membantu kita mengumpulkan informasi pada hal apa kita bisa melakukan lebih. Bahwa di suatu daerah, ternyata angka pengaduan kekerasan di dalam rumah tangga, child abuse lebih besar, anak-anak mengadu pada Google lebih banyak angkanya daripada mengadu pada kepolisian. Dari sana gerakan sosial bisa dimulai.
Yang membedakan Google Search dan Facebook adalah, di Google Search orang bisa menjadi dirinya sendiri, menanyakan sesuatu yang tidak mungkin dia ungkapkan pada orang lain karena sensitive seperti seks. Di Facebook, yang ada sebagian besar adalah kepalsuan, bahwa hidup orang terlihat bahagia, sementara di belakangnya tidak.
Aaah, I wish I can have a quite moment to gather my thoughts on this book.
Look anyway, Seth di sisi lain mewanti agar Big Data ini diperlakukan secara hati-hati. Big Data dimanfaatkan dengan korporasi seperti perbankan untuk menentukan kepada siapa mereka memberikan pinjaman hanya berdasarkan umur, status sosial dan tentang apa yang diposting di Facebook misalnya. Judgmental, itu adalah dampak buruk dari Big Data yang ditambang dari dunia maya. Ada masalah etika tentang privasi mereka yang menggunakan dunia maya.
Sebagai seorang peneliti, Seth menyarankan agar Big Data dan Small Data tetap digabungkan untuk menghasilkan sebuah penelitian yang lebih baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Seth bingung menyimpulkan tulisannya sendiri
Sementara buat saya, di dunia yang mengagukan ‘data driven’ di jurnalisme dan di sector lain, tanyakan, tentang etikanya, tentang dampak menampilkan data itu, tentang judgmental yang terjadi. Tanyakan ‘then what? What next?’
Gatel aja sik sama tampilan grafis info data tanpa cerita, tanpa ada yang menjelaskan ‘terus kenapa’? dari data-data yang terpampang tanpa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Setelah jurnalis youtube, muncul kemudian jurnalisme google 😛 lalu lupa pada etika jurnalisme dasarnya 5w1h…
Damn Seth, I just love your book… I wish I can tell you more about it, but you just have to read it! Seth ini perpaduan Malcom Gadwell, Freakonomics and himself 😉 bahasanya sederhana, lucu… apalagi yang dibutuhkan daripada seorang penulis yang bisa menyederhanakan bahasa langit.