Monthly Archives: Agustus 2018

Setan Membela Diri

Standar
Setan Membela Diri

Malam tadi ada pocong kata ibukku. Orang-orang berteriak sepanjang gang di depan rumah, “ada pocong, ada pocong.” Kata ibuk, “kamu salah lihat kali? Siapa tahu itu ibu-ibu keluar pakai mukena.” Seorang dari mereka dengan air muka kesal menjawab, “terserah ibuk kalau tak percaya. Saya lihat juga pocong itu.”

Manusia itu memang egois. Sudah diberi semesta siang buat beraktivitas, diambilnya juga jatah setan gembira di malam hari. Kenapa manusia harus bekerja 24 jam? Kenapa toko-toko ini harus buka 24 jam? Seolah tak ada kesempatan buat otak-otak manusia beristirahat, merebah lelah, bercinta kek, kalau tak dengan pasangan, barangkali dengan jari tangan. Apa saja asal tak mengganggu jatah setan beraktivitas di malam hari.

Jika suatu saat, jodoh mempertemukan setan dan manusia di satu masa, kenapa manusia merasa yang paling patut untuk takut? Kamu pikir setan tak takut pada manusia yang paling sering menjarah rumah-rumah mereka. Pohon besar tempat uncang uncang kaki ditebang manusia untuk kantor, untuk rumah, dan apartemen. Tempat-tempat lembab dan gelap, malah sengaja diberi terang, jumpa jampi matra gosip hingga tengah malam. Kamu pikir siapa yang paling dirugikan di dunia ini? Setan, bukan manusia. Padahal keduanya diciptakan dengan dunianya masing-masing. Siapa yang paling merugi… aku… aku… kata setan.

Ketika hal buruk terjadi, setan yang selalu disalahkan. Dasar setan kau! Hatimu setan, otakmu setan. Ini perbuatan setan. Manusia tidak adil! Dialah makluk yang kata semesta paling mulia karena diberi akal. Ketika akal gagal dipakai, kenapa setan yang disalahkan? Kenapa tak sadar mengakui otaknya telah berpindah dari batok kepala, entah kemana, paling sering pindah ke selangkangan dan ke perut. Salahkan lah diri sendiri yang tak mampu menjadi makhluk mulia sebagaimana seharusnya, tanpa harus menyalahkan ciptaan semesta lainnya, binatang dan sebangsaku, setan.

Kemana lalu aku dan sebangsaku harus menepi dan berumah, tanpa diganggu manusia yang selalu merasa paling manja harus dilindungi semesta, yang merasa paling menderita untuk dikasihani dan ditolong padahal sengsara mereka buat sendiri.

Jampi-jampi harupat, pergilah pergilah manusia dari hadapan kami, berkacalah, siapa lebih buruk setan atau kamu, manusia.

 

*ditulis saat seharusnya bekerja 😛

Iklan

Berani Berkata Benar. Review Parrhesia by Michel Foucault #22

Standar
Berani Berkata Benar. Review Parrhesia by Michel Foucault #22

Pertama-tama, saya merasa sangat perlu mengapresiasi Haryanto Cahyadi yang menerjemahkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia yang mudah dipahami dan mengalir, padahal ini buku tentang filsafat dan kesusastraan Yunani antik.

Demokrasi didirikan oleh politea, konstitusi dimana demos, rakyat, menjalankan kekuasaan dan semua orang setara di hadapan hukum. Namun, konsitutusi seperti itu dikutuk karena memberikan tempat yang setara kepada semua bentuk parrhesia, bahkan yang paling buruk. Karena parrhesia diberikan kepada warga yang paling buruk, pengaruh berlimpah pada pembicara yang buruk, tidak bermoral, atau dungu, justru dapat membimbing warga ke dalam tirani dan membahayakan polis. Karena itu parrhesia mungkin berbahaya bagi demokrasi itu sendiri (p. 84-85)

Parrhesia dalam artian sederhana adalah kebebasan berbicara, seperti yang dianut sebagai prinsip utama dalam demokrasi. Parrhesia muncul dalam kesusastraan Yunani antik di masa 484-407 SM dalam karya-karya Euripides. Parrhesiates adalah orang yang menyatakan sesuatu yang dia pikirkan dan membuka pikiran sepenuhnya kepada lawan bicara untuk mengerti wacana yang dia sampaikan. Artinya dalah Parrhesia, lawan bicara harus paham wacana yang disampaikan oleh Parrhesiates.

Unsur berikutnya adalah, pada kebenaran. Parrhesia adalah pengungkapan kebenaran. Tapi kemudian pertanyaannya, kebenaran menurut siapa? Siapa Parrhesiates yang kita pahami sebagai penyampai kebenaran itu? Bagaimana menguji wacana dan buah pikiran Parrhesiates sebagai sebuah kebenaran?

Dan yang terpenting seorang Parrhesiates mempertaruhkan nyawanya untuk menyampaikan sebuah kebenaran. Menentang tirani pemerintahan dan menentang mayoritas yang ‘dungu’ demi sebuah kebenaran. Contohnya seorang filusuf yang berani berbicara di depan pemimpin tiran bahwa pemerintahannya tidak sejalan dengan keadilan.

Dalam buku ini, Foucault juga menyajikan bagaimana cara-cara Parrhesiates menyampaikan wacananya. Parrhesia adalah bentuk lain dari sebuah kritik. Tetapi bagaimana kritikan itu disampaikan? Salah satunya dicontohkan oleh Sokrates. Dia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan memutar sampai lawan bicara menemukan sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang sebuah kebenaran. Sokrates membuat lawan bicaranya percaya diri dan membuat dampak positif dari kritikan yang sebenarnya dia ingin sampaikan tapi dengan jalan yang memutar. Beda dengan kritik yang disampaikan oleh Kaum Sinis.

Sinis dalam bahasa Yunani antik berarti seperti anjing (kynikoi), salah satu tokohnya yang diceritakan dalam buku ini adalah Diogenes yang hidup di masa kaisar Alexander. Dalam menyampaikan kritikannya, Diogenes bahkan berani menghina dan merendahkan Alexander, tetapi kaisar urung menghukumnya karena Diogenes dianggap sebagai pengungkap kebenaran. Dia membuat Alexander sang Kaisar sakit hati untuk menemukan sesuatu yang salah dalam pemerintahannya. Bahwa raja bukan keturunan dari matahari, bahwa raja adalah sebuah peran yang seharusnya diperankan sebagai raja. Dalam penyampaiannya, Diogenes akan lebih banyak bicara ketimbang lawan bicaranya, berbeda yang Sokrates yang membiarkan lawannya menemukan jawabannya sendiri lewat pertanyaan-pertanyaan.

Lalu bagaimana menguji sebuah kebenaran? Pilih Parrhesiates dari kalangan yang bukan lingkaran terdekat, bukan sahabat yang dapat berubah menjadi penjilat. Lihat konsistensi dari ucapan dan tindakan Parrhesiates ini. Meski yang dua ini, diperdebatkan oleh Foucault karena kita tidak pernah bisa lepas dari godaan iblis, akan sangat sulit untuk menjadi pribadi yang konsisten antara ucapan dan tindakan.

Lalu bagaimana Parrhesiates menjaga dirinya agar tetap berkata benar? Salah satunya dengan terus menerus melakukan pengadilan diri, semisal mengevaluasi diri setiap malam, apa ‘kesalahan’ yang sudah dilakukan hari ini dan bagaimana agar hal itu tidak terulang? Ada diagnosis diri, menakar kendali diri, seperti orang nahkoda yang tidak mungkin disebut nahkoda jika tak tahu arah kemudi, atau dokter yang gagal mengobati.

Dalam kesimpulannya, yang ingin ditunjukan oleh Foucault adalah problematik dalam praktik Parrhesia dalam demokrasi, jika setiap orang bebas untuk melakukan parrhesia, itu akan membahayakan demokrasi itu sendiri. Problematisasi kebenaran ini mencerminkan berarkhirnya filsapat Pra Sokratik sekaligus awal dari sejenis filsafat yang masih berlangsung saat ini yang mempunyai dua sisi utama. Sissi untuk memastikan bahwa proses penalaran yang tepat dalam menentukan apakah sebuah pernyataan itu benar (atau kaitannya dengan kemampuan kita memperoleh akses pada kebenaran)disi lain berkaitan pada pernyataan; apa pentingnya bagi seseorang dan bagi masyarakat untuk mengatakan kebenaran, mengetahui kebenaran, punya orang yang dapat mengatakan kebenaran serta mengetahui cara mengenali mereka? Ini adalah akar yang dia sebut sebagai kritis dalam filsafat Barat (pg 198)

Dalam situasi politik saat ini, membaca Parrhesia buat saya membuka isi kepala dan mencoba kritis terhadap kebebasan berpendapat. Semua orang bebas berpendapat, tapi pendapat mana yang bermanfaat positif dan memiliki nilai kebenaran?

Para Pemegang Kekuasaan Sesungguhnya – Review #21 The Establishment by Owen Jones

Standar
Para Pemegang Kekuasaan Sesungguhnya – Review #21 The Establishment by Owen Jones

Ini adalah buku kedua dari Owen Jones yang saya baca setelah Chavs. Yang menarik dari tulisan pengamat politik lulusan Oxford adalah tulisan dengan bahasa yang sederhana tidak sok pintar dengan teori-teori yang bikin pusing, diambil dari hal-hal yang “dekat” dengan pembaca dengan wawancara orang biasa sampai anggota Parlemen. Sebagian disebut dengan menggunakan nama aseli, sebagian besar memilih anonimus, apalagi yang masih dekat dengan kekuasaan. Sebagai catatan, buku ini dibuat dalam konteks Inggris Raya ya, tapi yang terjadi bisa juga dekat dengan kita di Indonesia. Uhuk

Buku ini bicara tentang siapa pemegang kekuasaan sebenarnya dalam sebuah sistem politik demokratis? Apakah pemimpin pemerintahan kalau di Inggris bernama Perdana Menteri? Atau parlemen? Atau siapa?

Buku ini menyebut beberapa pihak yang sebenarnya kuda-kuda yang berkuasa mengangkangi kekuasan yang dipegang secara resmi oleh Perdana Menteri. Di antara mereka adalah Media! Sebagai bekas jurnalis, tentu ini yang akan saya sebut pertama. Bagaimana pemilik media menguasai kekuasaan, mepet terus dalam lingkaran pemerintahan, bertindak sebagai spin doctor mengalihkan isu, dan membuat isu. Seperti Chomsky bilang, pabriknya pembentuk opini ya media. Contoh yang dimunculkan oleh Owen jelas kerajaan media milik Rupert Murdoch, baik yang ada di Inggris maupun di Amerika. Kasus penyadapan telepon oleh News of the World, milik Murdoch membuktikan hal ini. Buat yang ingin tahu kasus di Fleet Street ini, bisa tengok artikel lawas milik Guardian

https://www.telegraph.co.uk/news/uknews/phone-hacking/8641775/Phone-hacking-scandal-the-rise-and-fall-of-Rebekah-Brooks-Rupert-Murdochs-protegee.html

Di Amerika, Rupert Murdoch memainkan keahliannya sebagai spin doctor lewat Fox News yang membesarkan nama Donald Trump mulai dari awal pemilu hingga hari ini.

Lalu penguasa sebenarnya dalam alam demokrasi adalah para penguasa finansial. Kutipan Owen “Finance will always find a way to secure themselves”. Jargon neoliberalisme itulah yang dikupas panjang lebar oleh Owen di buku ini. Mereka yang ingin merdeka dari urusan politik pemerintahan, tidak mau diatur, tapi ketika krisis terjadi, merekalah yang pertama berlindung di ketiak pemerintah. Mereka yang akan misu-misu minta dibantu untuk bangkit. Apa saja dilakukan untuk bisa menyelamatkan diri dan perusahaannya dari kebangkrutan. Kalau di London, ada satu tempat bernama CITY yang imun terhadap pemerintahan. Mereka seperti negara di dalam negara, berisi kaum-kaum berdasi yang mengatur perdagangan dan moneter inggris dan dunia.

Owen juga bercerita tentang romantisme hubungan Amerika dan Inggris, Ronald Reagan dan Margaret Thatcher the iron lady yang sama-sama menggolkan kampanye Neo Liberalisme, ada bromance Tony Blair dan George Bush, yang kompak menyerang Irak atas tuduhan senjata pembunuh massal nuklir, yang akhir terbukti tidak pernah ada! Dan sekarang, Teressa May dan Trump, meski ribuan orang turun ke jalan menolak kedatangan Trump, toh mereka tetap gandengan. Jadi Owen mempertanyakan, apakah Sovereignity Inggris itu benar-benar ada? Selama ini, Inggris tak berani melangkah sendiri tanpa persetujuan Amerika, padahal dalam sejarah, Inggris lah yang menguasai Amerika di masa awal. Kenapa berbalik?

Lalu penunggang-penunggang luar, para perusahaan public relation yang melacur demi kepentingan pribadi. Mereka yang mengatur bagaimana seorang politisi bicara, dan mana yang perlu dikutip oleh media. Jangan heran kalau yang muncul di media, sudah sangat bisa diatur oleh Public Relation sesuai pesanan para politisi, penguasa finansial bahkan untuk kepentingan penguasa media.

Sedikit tambahan, Owen adalah anggota partai buruh, tentu berpandangan kiri, dan dia seorang gay. Latar ini tentu mempengaruhi bagaimana dia membahasakan pandangannya tentang politik Inggris Raya. Buku Chavs dan The Establishment belum ada di Indonesia, jadi terpaksa pesan dari luar sana. Tapi ini perlu dibaca, sebagai pengetahuan, sebagai bahan pengamatan politik di dalam negeri sendiri.

Pembaca Kematian

Standar
Pembaca Kematian

Aku ini membawa kematian. Ya kalau tidak membawa kematian, paling tidak aku membaca kematian yang datang menjemput seseorang, seekor binatang bahkan sebuah restoran. Sejak kematian bapak belasan tahun lalu, Malaikat Kematian jatuh hati pada diriku yang tabah, melepas bapak tanpa setetes airmata yang jatuh. Aku sudah siap melepasnya pergi, Malaikat Kematian melambai-lambaikan lengannya padaku. “Tidakkah kau ingin ikut bersama bapakmu meninggalkan dunia yang tak lagi ramah pada hidup?.” Aku tersenyum, “laksanakan saja tugasmu mencabut nyawanya, membawanya pergi. Aku sudah pasrah, karena hidup hanya akan menyiksanya. Aku, aku akan melaksanakan tugasku untuk hidup.”

Tapi sejak itu, Malaikat Kematian mengintili kemana pun aku pergi. Ketika aku menjenguk kawan yang sakit, dia akan berbisik padaku, “waktunya dia akan tiba. Beberapa saat lagi. Pergilah jika tak ingin melihatnya kejang-kejang melepaskan nyawa.” Lalu akan pergi, memeluk keluarga terdekatnya, sambil berbisik, “semesta tahu apa yang terbaik untuknya. Bersabar, bertabahlah.” Aku berlalu, dan tak lama kemudian, telepon pintarku menyampaikan pesan, “dia sudah pergi.” Dan aku sudah tahu, karena Malaikat Kematian sudah berada di sisiku lagi. “Beres,” katanya.

Lain kesempatan aku menjenguk kawan yang terbaring lemah di rumah sakit. Dia di kelilingi keluarga yang sudah pasrah, ada yang menangis, ada yang mengaji. “Aku belum dapat tugas mengambil nyawanya. Dia belum pantas mati. Dia masih dihukum untuk terus hidup,” Malaikat Kematian berbisik padaku. Aku mendekati kawanku yang berbaring dan membisikkan padanya, “kamu akan sehat, bangunlah. Hidupmu belum lagi usai.” Tiga minggu kemudian dia keluar dari rumah sakit, tapi hidup segan matipun tak bisa. Dia tak ingin hidup, dia ingin mati, tapi mati belum mau membukakan pintu untuknya. Hidupnya bergantung pada obat yang kian hari kian mahal, asuransi kesehatan memotong jatah obatnya, tabungan menipis, isterinya hanya penjual pakaian online yang makin banyak saingan.

“Kenapa manusia tak dibiarkan memilih kapan dia meneruskan hidup, kapan dia ingin menuntaskan hidupnya,”tanyaku pada Malaikat Kematian yang sudah uncang-uncang kaki di atas balkon kamarku

“Manusia punya garisnya masing-masing. Kalau belum waktunya ya belum,” jawab Malaikat Kematian menggigit kukunya yang panjang, hitam dan kotor.

“Coba kau pikir, kami tak minta dilahirkan, dari rahim siapa, di keluarga mana. Lalu kami dipaksa menjalani hidup yang tak banyak pilihan. Cuma orang-orang terpilih yang hidup dengan banyak pilihan enak. Sebagian miskin dan menderita tujuh turunan. Kalau kami tak memilih dilahirkan, kenapa kami juga tak dibiarkan memilih mati?”

“Aku tak berpikir, aku hanya menjalankan tugas.” Jawabnya enteng lalu menghilang.

Aku dan Malaikat Kematian tidak berteman, dia menempeliku dan pergi sesuka hatinya. Aku tak bisa mengusirnya, dan tak bisa membicarakan dia pada siapapun. Siapa mau percaya. Bisikannya tentang siapa yang akan mati dan hidup membuatku dikenal sebagai Pembaca Kematian. Orang menghubungiku untuk membaca apakah keluarganya akan pergi atau tetap tinggal di dunia. Orang membenciku karena aku membaca saat tak diminta, aku berusaha keras menahan omongan, tapi Malaikat Kematian terus bicara. Beritahu agar mereka bersiap. Setiap manusia memang mestinya bersiap pada Kematian. Tapi betapa pun siapnya menghadapi berita kematian, selalu ada airmata yang jatuh menderas. “Kecuali kamu di hari Bapakmu pergi.”

Restoran takut didatangiku, aku dianggap pembawa sial. Beberapa restoran yang aku datangi memang bangkrut, tapi itu bukan salahku. Persaingan memang sedang ketat, tanpa hal istimewa, mana yang bisa bertahan. Bukan salahku!

Sore itu Malaikat Kematian memandangiku dengan wajah serupa sedih. Dia tak pernah menunjukkan emosi, dia tak seharusnya memiliki emosi. Dadaku bergetar. “Apakah tiba waktuku untuk pergi?” Malaikat Kematian tidak menjawab. Tapi itu buatku adalah jawaban. “Apakah aku tak bisa memilih untuk hidup?” Sekali lagi dia terdiam. Aku menghela napas dalam-dalam. “Kapan?” dia masih diam. “Kamu tahu aku mencintai hidup lebih dari manusia manapun. Aku rasa aku yang meminta semesta melahirkanku di dunia. Aku satu-satunya yang meminta dilahirkan, untuk hidup. Aku belum ingin mati.”

Malaikat Kematian menyentuh pipiku, tapi aku tak bisa merasakan sentuhannya. Dia pergi.

Aku tahu waktuku sudah tiba, tak perlu sebab, tak sempat berpesan.

Malam itu, Malaikat Kematian datang dalam tidurku, mengulurkan tangannya. “Sudah saatnya pulang.”

Day 18 of Self-healing. Saatnya Berbagi

Standar
Day 18 of Self-healing. Saatnya Berbagi

Butuh 18 hari untuk saya akhirnya bisa bilang, OK lah dibagikan saja pengalaman ini di blog. Semua memang harus selesai di diri sendiri dulu sebelum dibagi kepada orang di luar lingkaran persahabatan.

Saya memutuskan dari keluar dari zona “nyaman,” kerja dengan gaji terbesar dalam catatan pribadi, duduk di ruangan ber-ac, tinggal di tengah Jakarta. Nyaman versi orang lain. Tapi buat saya harus ada yang dikorbankan supaya saya tetap waras.

Mei lalu dokter minta supaya saya melupakan keinginan untuk punya anak, karena jika saya ngotot berkeinginan itu, akan memperbesar peluang saya kena kanker rahim. Saat ini, aman, justru itu yang dijaga. Saya harus meminum obat hormon yang menghentikan menstruasi, setiap hari, pukul sepuluh malam. Eh kenapa jam segitu? Waktu yang aman buat orang yang aktif macam saya. Sebelum pukul sepuluh bisa jadi masih ada di luar rumah, apalagi waktu di jakarta.

Anyhow, yang paling berat adalah proses menerima itu, menerima kenyataan bahwa saya tidak bisa punya anak. Kalau keinginan tidak punya anak itu datang dari keinginan sendiri, tidak akan jadi berat, tapi saya ingin. Iya betul, punya anak tidak harus dari kandungan sendiri…itu nanti saya juga paham. Tapi saat itu, sampai hampir bulan ke tiga ini, saya masih suka sedih tiba-tiba kalau ingat vonis itu. Saya juga sempet berpikir, apa saya calon ibu yang buruk sampai tidak diberi kepercayaan untuk punya keturunan? Semua yang buruk-buruk itu muncul di kepala dan bikin saya makin terpuruk.

Hal paling berat berikutnya adalah mendengarkan nasihat-nasihat yang sebenarnya tidak perlu dikeluarkan oleh siapa pun. Untuk seseorang yang secara mental sedang drop seperti saya, yang dibutuhkan hanyalah kuping yang mendengar dan bahu buat bersandar, mewek.

Bicara soal sedih. Berdasarkan literatur yang saya baca, obat hormon itu berdampak pada mood yang turun naik. Pada saya, sedih terus. Kesedihan, dan kesadaraan bahwa saya harus membenahi diri sendiri, saya izin untuk berhenti dari semua aktivitas kerja. Mundur untuk bersama akang, suami saya dan keluarga, terutama mami.

Di hari kedelapan belas ini, saya sudah tidak sedih lagi. Buktinya bisa nulis ini tanpa bercucuran airmata. Sejak minggu lalu tepatnya, saya alihkan sedih menjadi booster, doping apapun lah namanya untuk mempekerjakan otak saya lebih aktif supaya tidak ada waktu buat melamun dan mewek.

Apa saja yang saya lakukan?

  1. Ikut kegiatan yang melibatkan orang dan kelompok baru. Pergi ke Panti Asuhan (ini bikin mewek sih), mendengarkan cerita menarik dari Panti. Berkunjung ke lokasi baru, ngobrol sama kawankawan baru.
  2. Otak kiri saya harus dipaksa untuk terus menganalisa hal lain di luar penyakit ini. Jadi membaca sambil ditulis, dan diingat itu mengobati kesedihan
  3. Fokus membereskan administrasi kelompok Kait Nusantara. Dua minggu terakhir saya menyiapkan dokumen yang dibutuhkan agar kait segera diakui secara hukum. Mulai dari business plan, ad/art, sampai ke proposal. Apa saja, yang penting otaknya ga dibiarkan menganggur dan mengkhayal lalu kembali sedih
  4. Saya biarkan otak kanan saya berkreasi, dengan ide-ide baru, tanpa batas. Hasilnya dua ide proyek penulisan baru muncul
  5. Saya tibatiba aktif olahraga dan mengurusi rumah tangga, ya masak dan cuci pakaian. Waktu sibuk kemarin, jiah, mana kepikiran.
  6. Saya menulis apa saja yang ada di kepala, ga pakai disensor
  7. Bermain dan ngobrol panjang lebar ngalur ngidul dengan Septi dan Zi, dua ponakan saya yang jadi bagian penting dari proses trauma healing. Semua cinta saya alirkan kepada mereka.

Dibilang bed-rest ya tidak, mana bisa saya rebahan dan istirahat sementara kepala saya terus bekerja. Harus ditumpahkan. Kalau diam, saya malah kembali sedih.

Yang paling penting dari semua ini adalah punya pasangan yang pengertian dan sabar menghadapi saya yang sedang bermasalah, mentally break. Saya sedang berusaha bangkit, tertatih-tatih untuk kembali lari. Tapi paling tidak di hari kedelapan belas ini, saya sudah bisa berbagi. Saya beruntung punya akang yang selalu ada dan mendukung saya.

Buat kamu yang sedang membaca ini, suatu saat sahabat perempuanmu, atau pasanganmu sedang down, mental breakdown, jangan dinasehati kecuali diminta, apalagi menghakimi, izinkan dia untuk bicara apa saja yang ingin dia bebaskan dari kepalanya, dengarkan dan sediakan bahu untuknya bersandar. Kamu cukup bilang, i am here for you!

(pic by google, dreamstime.com)