Monthly Archives: November 2014

Cinderella Sorong – Catatan Perjalanan ke Sorong, Papua

Standar

Di lokasi ini ada 32 wisma yang setiap papannya tercatat tiga hal :

Sutra – merek kondom

Daerah wajib kondom

Wisma xxx

 

20141114_095851

Lalu ada logo bundar bir bintang menyertainya, setiap wisma. Ini adalah daerah lokalisasi di kota Sorong. Tanpa perlu saya sebut namanya, gampang saja dicari jika kamu ingin melihatnya langsung. Entah kenapa saya selalu berkesempatan sengaja maupun tidak, berkunjung ke daerah lokalisasi. Tanpa sedikit pun punya rasa menghakimi, saya menghormati siapa pun yang ada di sana. Butuh keberanian untuk ada di wilayah ini menyambung nyawa, entah karena terpaksa atau pilihan pribadi. Para perempuan yang ada di sana adalah saudara saya, punya hak yang sama untuk menyuarakan pendapat, mendapatkan akses pendidikan dan keterampilan juga pelayanan kesehatan. Sudah beberapa kali saya berkesempatan berkunjung ke daerah lokalisasi, tapi baru kali ini saya duduk berhadapan dan ngobrol dengan Mba Ella yang bekerja sebagai pekerja seks di sana.

Mba Ella menempati kamar paling depan berukuran 3×4 meter, tanpa kamar mandi di dalam. Kamarnya menjadi lebih sempit oleh barang-barang miliknya. Wisma yang menjadi tempatnya bernaung temaram, entah ada berapa kamar di sana. Pintu kamar ditutupi gorden dan pintu kayu. Di sisi tempat tidur ada meja kecil, dua bungkus rokok a-mild yang meski kotaknya bergambar mengerikan, tak kunjung membuat perokok jera, satu kotak plastic dengan tutup berwarna biru berisi persediaan kondom dan pelican atau lubricant.

“Setiap pelanggan harus menggunakan kondom. Ini hanya persediaan saja kalau-kalau mereka tidak bawa, mungkin karena tidak berencana kemari sebelumnya. Tapi kalau yang sudah rutin, sudah tahu mereka harus bawa kondom sendiri,” kata Mba Ella, yang sejak awal dikenalkan, saya mengagumi kecantikannya. Perempuan asal Jawa Timur itu kulitnya putih dan bersih dan wajahnya mungil sekali.

“Dulu waktu awal-awal kampanye soal penggunaan kondom di wilayah ini, pernah saya dimarah-marahi pelanggan. Ya pinter-pinter nya kita saja lah merayu mereka, toh ini untuk kebaikan aku dan si pelanggan toh. Aku tidak mau sakit mba.” Lanjut Mba Ella.

Hari itu Mba Ella sedang sibuk membenahi persiapan untuk test kesehatan bagi kawan-kawannya, yang dilakukan oleh puskesmas terdekat. Ini agenda rutin untuk menjaga agar mereka tetap sehat, hak yang sama yang dipunya pekerja di mana pun. Hanya di sini tak ada asuransi kesehatan, bpjs karyawan pun tak ada, perlindungan keselamatan kerja tak punya. Harusnya kawan-kawan saya ini berhak dilindungi oleh serikat pekerja karena mereka adalah pekerja, yang harusnya diakui oleh pemerintah. Uang pajak dari bisnis ini besaarr sekali menambal APBD, tapi mereka yang bekerja di dalamnya tidak diakui. Hayolah jangan bicara sekedar hak TKI, di sini pun sama.

20141114_105303

Di pos keamanan setempat ada ruang pertemuan, berjejer tiga baris x 10 bangku terisi oleh para perempuan yang berasal dari Sulawesi dan paling banyak dari tanah Jawa. Usia tertua perempuan pekerja seks di wilayah ini adalah 64 tahun dan masih aktif. Mereka menunggu giliran untuk tes penyakit sesual menular dan rapid test untuk HIV.

Kawan saya dari Yayasan Sosial Agustinus mengajak pindah tempat, kebetulan hari ini adalah jadwal kunjungan puskesmas untuk test HIV di sebuah tempat beresiko tinggi, di lokalisasi dan bar juga panti pijat. Saya diajak melihat proses tersebut di bar paling murah di dekat Tembok Berlin Sorong sampai ke sebuah executive club mewah yang mengingatkan saya pada almarhum Stadium di Kawasan Kota Jakarta.

Perempuan yang bekerja di sana sebagian besar masih sangat muda, barangkali sekitar usia 18 tahun sampai akhir 20-an, mungkin ada yang lebih muda dari itu. Mereka tak datang dari tanah papua, tapi didatangkan dari Sulawesi dan Jawa. Sebagian dari mereka saya yakin akan menarik di foto karena keunikan wajahnya, bisa jadi foto model, peragawati dengan kaki-kaki panjang nan jenjang. Lalu saya melihat perut menggelumbung di tubuh sendiri dan nyengir… duilah *tepukperut*

Begitu mendengar hasil test negative, mereka tersenyum..”asiiik negative … yuk lanjut tidur..” iya lah siklus tubuh mereka tak sama dengan saya. Mereka harus siap bekerja dari jam enam sore dan baru kembali tidur dinihari. Siang adalah waktu mereka istirahat.

“Ini kerja mafia nit. Mereka diiming imingi kerja di perusahaan, di rumah tangga, dengan gaji sekian. Dibekali tiket, lalu sampai di sini harus melayani om-om gendut dari Jakarta, pejabat tinggi, orang berdasi sampai pekerja perusahan minyak, juga turis yang mampir di sini. Mereka tak bisa kabur, ini jatuhnya sudah perkara trafficking. Kasian” Kata salah satu dari kawan

“Yang rumit bagi kami, kalau salah satu dari mereka HIV positif, lalu dipecat, bagaimana kami bisa memantau mereka. Apalagi kalau sampai lokalisasi dibubarkan, siapa yang tanggungjawab kalau penyebaran HIV/AIDS jadi semakin meluas? Pada ga mikir ke sana sih.” Geram kawan yang lain.

Dengan mata setengah melek, baju piyama, rambut digelung ke atas, mereka mengantri untuk test kesehatan. Sesekali terdengar jeritan kaget ketika jarum menusuk jari lentik mereka. Sebagian terjebak dalam situasi seperti ini dibohongi janji pekerjaan dengan gaji lumayan buat bantu orang tua di kampung. Sebagian lagi sudah memilih jalan pintas ini dengan kesadaran penuh.

“Suami saya pulang kampung dengan istri pertamanya, saya memilih tinggal di tempat ini. Bulan depan saya akan liburan mengunjungi anak dan orang tua di jawa.” Kata salah satu dari mereka.

20141114_120517

Iklan

Ketika Ave Maria dan Adzan melantun harmonis – Perjalanan ke Sorong

Standar

Perjalanan ini tidak direncanakan jadi pencarian arti diri atau spiritual journey, beneran. Tapi setiap perjalanan yang saya lakukan selalu berkesan dan memberikan pelajaran penting yang membuat saya merasa kecil sebagai manusia di antara manusia lain dengan jutaan cerita. Termasuk dalam perjalanan ke Sorong untuk pertama kalinya ini.

Beberapa minggu sebelum berangkat saya menghubungi narasumber yang ingin saya wawancara untuk pekerjaan, Suster Zita, seorang biarawati dan juga perawat di sebuah klinik di kota Sorong. Saya minta bantuan beliau untuk dicarikan penginapan yang sederhana saja. Beliau menawarkan tinggal di rumahnya, di kesusteran, milik kepasturan. Tanpa pikir panjang, saya bilang… mauuu dooong…

Saya memang selalu tertarik mengetahui tentang agama yang berbeda, dan semuanya sama, memuji pada hal yang sama, Tuhan dalam ragam nama. Saya selalu merasa dekat dengan Tuhan ketika menjadi minoritas, mendapati diri saya lebih menghargai kawan-kawan baru saya yang berbeda dalam agama, budaya dan cara pandang. Saya kecil, kecil sekali… biar lebay, da say amah apa atuh, Cuma butiran debu… tssaaah…

20141114_212340

Tempat saya tinggal itu sebuah rumah sederhana, di depannya ada gereja protestan dan di samping kanan pintu masuk adalah gereja katolik. Dalam komplek yang sama ada tiga masjid. Saya belum berkeliling, tapi begitu kata suster zita.

20141114_070643

Saya masuk ke dalam ruangan yang disambut Tuhan Yesus dalam bentuk patung dan poster, berbagai pesan mengutip al kitab terpampang di dinding, dan note “Selamat datang di Papua” ada di setiap sudut. Saya sungguh terharu. Tempat ini punya banyak kamar, kata suster zita karena suka kedatangan banyak tamu, para biarawati dari tempat lain yang mau belajar suka singgah di sini. Di kamar saya sendiri, tak ada salib, mungkin disesuaikan dengan agama saya, yang sudah suster tanya sebelumnya.

“Apakah kamu tidak keberatan sholat di tempat kami?,” tanya suster

“Tentu tidak Suster, saya tetap ibadah, insya Allah, dan biarkan Allah yang menilai.”

Lalu dia menunjukan arah kiblat.

Kedatangan saya persis masuk waktu Ashar, diawali dengan sedikit doa dari tiga masjid di sekeliling saya, sementara di dalam rumah, melantun lagu Ave Maria, entah siapa yang setel…. Allah terasa dekat, Tuhan itu ada…

Di meja makan malam, Suster Zita dan Suster Rena berdoa, “Terima kasih Tuhan atas hidangan yang Engkau berikan pada kami. Terima kasih telah mempertemukan kami dengan nak Nita, berikan kemurahanMu dan segala kebaikan untuknya….”

Sebelum pergi tidur, Suster Zita cerita,”besok pagi jangan kaget ya, jam 3 ada lonceng, kami doa pagi. Lalu sekitar jam 4 ada pengajian di masjid sebelum adzan Subuh. Tidurmu semoga tak terganggu.”

Hidup ini damai kalau kita saling menghargai perbedaan…. Adem….

Waktunya pulang adalah saat menyedihkan, Suster Zita menuliskan ini di ruang makan

20141115_064109

dan inilah keluarga baru saya di Kota Sorong

20141115_063844

Katong Orang Saudara – Catatan Perjalanan ke Kota Ambon

Standar

Perjalanan saya kali ini lebih mirip perjalanan spiritual, bukan mencari Tuhan, sesuatu yang ghaib sifatnya, tapi mencari manusia yang nyata adanya. Kota Ambon yang cantik, rumah-rumah berdiri di atas tebing yang menghadap ke Teluk Ambon, sedikit banyak mirip lah seperti permukiman warga di Yunani atau Itali. Kalau dari arah Bandara ke kota Ambon, sebelah kiri bukit, sebelah kanan laut. Jalan mendatar di kota ini sedikit saja, persis yang dekat laut, selebihnya naik turun seperti di puncak Jawa Barat.

Saya tidak sempat melihat banyak tempat wisata dalam perjalanan tiga hari di Ambon. Tapi saya berkesempatan luar biasa berkunjung ke tempat-tempat yang dulu terbakar karena konflik dan bertemu para penyintas. Kota cantik ini menderita karena konflik agama sebanyak tiga kali, 1999, 2005 dan 2011. Kalau terlihat aman, manalah aman, kalau kau tinggal di kampung yang terpisah satu sama lain oleh agama. Kampung A, mayoritas Kristen, kampung B mayoritas Islam. Kampung C yang berada di perbatasan antara A dan B dan masyarakatnya mencoba hidup bersama dalam perbedaan, adalah yang paling menderita ketika konflik terjadi. Diserang kiri dan kanan, dibakar rumah-rumah dan tempat ibadah juga sekolah, lalu dibunuhi orang-orang dengan kejam. Sama saja, orang islam dan Kristen menjadi korban, padahal mereka satu suku, satu keluarga. Dalam perang tak ada yang menang, semua kalah dan menderita, terutama anak-anak. Bukit-bukit digerus untuk pemukiman baru, merelokasi para penyintas akibat konflik.

20141113_100524

Kamu yang sibuk menolak penghilangan kolom agama dalam KTP, kemarilah, kemari ke Ambon, biar kuceritakan tentang pengalaman orang-orang yang dibunuh karena agama yang tertulis dalam secarik kertas sialan itu. Sweeping KTP terjadi dimana-mana saat konflik, kamu tidak bisa melintasi daerah yang berbeda dengan kepercayaanmu, itu konyol, iya betul! Tapi sungguh terjadi. Bahkan hari ini, sulit berdamai dengan kenyataan pahit, bahwa anak-anak harus memilih sekolah pun berdasarkan agama, wilayah desa dengan mayoritas agama tertentu…

Pak Onggoh supir saya di Ambon bercerita dengan tangan yang sibuk menunjuk kiri dan kanan… “kamu lihat nak, batas kampung muslim dan Kristen adalah gang kecil ini.” Tanda nya adalah Mesjid dan Gereja yang berseberangan. Kata Pak Onggoh, kami ini bahkan satu marga pun berbeda agama itu tidak masalah, kita ini kakak beradik, bersaudara. Kenapa sekarang harus terpisah?

20141113_101654

Saya bertemu dengan para ibu di kampung yang heterogen, mereka saling melindungi, tapi apakah mereka merasa aman?, salah satunya menjawab “sekarang ada pos tentara kak di depan dan belakang kampung, kami merasa sedikit aman.”

Tidak ada yang mau bertengkar dengan saudaranya, tidak ada yang mau kehilangan kakak atau adik karena perbedaan kepercayaan. Semua bersaudara. Lalu kenapa harus terpisah, desa A Kristen, desa B muslim. Aman, tapi ini seperti api dalam sekam, menunggu kapan semua hangus bersamaan.

Seperti kawan-kawan di Ambon bercerita, kalau menteri dalam negeri dan kementerian agama bersepakat menghilangkan kolom agama dalam KTP, paling tidak satu harapan baik buat mencegah konflik dan sweeping KTP terulang. Mencegah orang-orang tak berdosa mati di ujung parang orang-orang gila yang mengatasnamakan agama dan meniadakan nyawa saudara.

Katong orang saudara – pesan Pak Onggoh, selamanya saudara.

Perjalanan ke Pulau Tanakeke : Meski Belang, Saya Senang

Standar

Sudah sejak awal Oktober, kawan mengajak saya ikut sebuah kegiatan di Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan. “Lu harus ikut, ini pulau keren banget. Bukan tempat wisata, tapi keren banget,” kata Mba Ai. Okeh lah, selama gratisan semua tawaran diterima. Oh iya, untuk liburan, saya memang murahan, eh gampangan.

Sebulan kemudian, tiket di tangan, terbang jam lima pagi dari Jakarta. Sampai di terminal 1C, barulah tahu, barengan saya itu para lelaki kinyis kinyis dari yang berambut gimbal, berperut buncit, dari yang baru lulus sma kemarin sampai yang sedang ngitung umur kapan pensiun #eh. Selama gratisan, nikmatin aja, gitu deh prinsip saya. Lagian bocah paling kinyis itu berbekal tongsis, ini perjalanan pasti cihuy. Tongsis sudah pasti akan mencairkan kami semua, orangorang yang sebagian baru bertemu untuk pertama kalinya. Di Makasar, kami bertemu satu anggota lagi yang terbang dari Surabaya. Sudah lengkap, foto dulu.

P1070475

Perjalanan ke Pulau Tanakeke itu harus pagi buta, ketika ombak tenang, jadilah kami bermalam dahulu di Makasar. Ceritanya hotel yang kami inginkan penuh, karena Cuma kepikiran tidur semalam saja, akhirnya hotel kosong yang ternyata hotel transit jam-jam itu pun dipilih. Ya namanya juga hotel jam-jaman yang lumayan beken, sementara saya perempuan sendirian di antara 7 lelaki, bikin ngeri ga sih huehehe. Percayalah kenyataan pahit ini baru kami sadari setelah sampai di pulau Tanakeke keesokan harinya.

Malam itu tetua kelompok mas Wandi mengajak kami makan ke jl. Nusantara, yang ternyata juga beken dengan prostitusi… bagus… eh ini sampai sekarang sih saya ngga tahu apakah dia sengaja atau beneran ga tahu. Doh!

Pagi jam 4, saya ditugasi sebagai alarm hidup, mas wandi menyebut saya sebagai radio rusak karena berisik. Tiga kamar mereka digedor. Jelas lah keluar dan siap-siap ga pake acara mandi. Berangkaaat…

Perjalanan darat sekitar 45 menit sampai 1 jam dari Makasar melintasi kabupaten Gowa ke Kabupaten Takalar. Di pelabuhan lama Takalar, Daeng Haris sudah siap dengan perahu “Cahaya Irna” untuk mengangkut kami ke Pulau Tanakeke. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menitan ke Tanakeke.

P1070505

Mendekati daratan pulau Tanakeke, kami sudah berdecak kagum. Bagus yaaa, rumahnya warna-warni. Kiri-kanan banyak mengapung botol plastic, sampah ini jadi pelampung buat lahan rumput laut. Perahu merapat di dermaga Dusun TompoTanah yang akan menjadi rumah kami dalam beberapa hari ke depan. Rumah kami menginap dua lantai, kami menempati lantai atas yang beralaskan kayu, jadi kalau berjalan akan berderit kayu-kayu itu. Sekali pun tersedia dua kamar, tiga kasur, toh kawan-kawan memilih tidur di atas papan kayu. Saya punya kavling sendiri, sebuah kasur single di belakang sofa ditutupi juga barang-barang kami.

Tidak mau membuang waktu, taruh barang, istirahat sebentar, berangkat lagi kami dengan perahu lebih kecil disebut Jalapa. Kami pakai dua kapal isi masingmasing empat orang, padahal sehari-hari dipakai mengangkut anak sekolah smp – sma sampai 15 orang. Wuidih kebayang padatnya. Tujuan kami, hutan bakau..

P1070516

Jalan-jalan ke hutan bakau bukan pertama kali ini. Bersama kawan-kawan Transformasi Hijau, udah beberapa kali nengokin bakau di Suaka Margasatwa Angke di Jakarta Utara dan di Pulau Rambut di Kepulauan Seribu. Selalu excited untuk bisa nengok bakau lagi. Buat saya pribadi, pohon bakau itu misteri, dia ga berhenti tumbuh, akarnya terus menancap kokoh di dasar pesisir, dia gagah memecah ombak.

P1070540

tanakeke_hutan bakau_01

Pulau Tanakeke ini panasnya lewat dari biasa, luar binasa! 36 derajat siang hari, sementara kalau tidur siang, rumah kami itu dinding dan atap terbuat dari seng. Kami seperti kue lebaran yang dipanggang dalam oven. Datang dengan wajah bersih, baru dua hari di Tanakeke, sudah belang. Perih-perih terasa di muka dan punggung. Mau ngeluh? Ga ada cerita, malu sama para lelaki itu… ntar dikatain manja.

Suatu kali para lelaki tidur siang sambil berangin angina di beranda rumah sementara saya ambil posisi di ruang tengah. Begitu terbangun, mereka semua sudah tersebar di sekitar saya. Ternyata seiring dengan pergerakan matahari, kaki mereka perlahan terbakar, bergesergeser menghindari matahari, sampai akhirnya menyerah dan kembali ke dalam rumah 😉

Wajah itu asset, sungguh kami sadari itu. Bedak dingin jadi obatnya. Biar ga gosong-gosong banget lah, dan juga meredakan perih akibat terbakar. Percaya lah, sun block yang saya bawa dari rumah itu SPF 50, ga ngaruh blas! Ya ngaruh dikit lah.. tetep aja kebakar… hari kedua, kami begini

tanakeke_bedak dingin

Petualangan itu bukan sekedar menikmati alam, tapi juga berbincang dengan manusia di dalamnya. Belajar bagaimana mereka bisa bertahan dari melaut yang bergantung pada musim yang tak lagi menentu, pada rumput laut yang kotorannya tak jarang bikin mereka gatal-gatal sampai harus diberi antibiotic, atau pada arang bakau yang terpaksa dibikin untuk menyambung hidup. Anak-anak yang disekolahkan setinggi-tingginya lalu enggan kembali, melaut seperti bapak ibu tidak lagi masuk dalam agenda hidup mereka yang sekolah hingga SMA. Tentang anak-anak berambut pirang yang malam hari hanya mengandalkan lilin untuk belajar, mereka tak tahu masha and the bear yang pasti. Ketika Ucup, kawan kami si tukang sulap menunjukan keahliannya, dia bagai bintang di kelilingi sekitar seraturan anak usia 5-12 tahun yang datang dari tiga dusun. Para UCUPERS ini menyambangi rumah kami saban sore mengajak main. Saban kami mengeluarkan kamera foto, anakanak berbaris rapi serapi gigi mereka yang menyeringai dan tawa yang berderai seusainya. Ini tentang pulau yang dibangun di atas karang dan tumpukan sampah yang di atasnya dibangun rumah masa depan para pasangan muda. Tentang para bidan yang berbagi waktu antara melayangi kesehatan warga dan merumput laut. Tentang para pencari kepiting dato dan rajungan. Tentang air bersih yang jumlahnya terbatas dan didatangkan dari kabupaten sebrang di Takalar.

Kulit lengket karena udara laut, rambut lengket, tapi kami sadar betul, air bersih sangat berharga. Biar saja lah lima hari di sana, kami sudah mahfum dengan bau kawan-kawan sendiri. Sesekali dapat air bersih buat basuh kulit muka sudah sukur. Perut saja tahu diri, tak memaksa saban hari minta dikeluarkan.

Padahal, Pulau Tanakeke ini punya potensi luar biasa yang bisa bikin ibu Susi Pudjiastuti, menteri kelautan yang pengusaha ikan itu meneteskan liur. Baronang, Kerapu, Teripang sudah biasa mereka dapat. Lobster dan mutiara yang bernilai jutaan itu ada di sana. Gurita dan bulu babi yang tersebar itu bisa bikin pengusaha sushi mandi liur!

Kami mencicipi ikan pari yang disate dan lebih enak dari sate kelatak yang selalu bikin saya kangen Yogya. Makan gurita, kepiting rajungan bahkan bulu babi yang ditonton warga sekampung sambil menyengir geli dan takut.

tanakeke_bulubabi

Pulau Tanakeke ga cocok buat yang pengen snorkeling, kecuali jagoan banget ngadepin bulu babi huhehe. Kami belum menemukan spot yang cocok bahkan untuk berenang sekali pun. Kami memang bertualang dengan hutan bakau dan hidup bersama warga dusun sambil menggendutkan perut dengan makanan laut.

Saat Jalapa tersangkut tali bentangan rumput laut, sejenak kami terdiam sementara langit mulai gelap. Hujan rintik turun pertama kali sejak lebaran, itu pun sebentar banget. Jika terjadi sesuatu dengan kapal ini, kami pasrah, berenang pun percuma, kiri kanan ditunggu bulu babi. Akhirnya Jalapa kembali jalan, sepanjang perjalanan nyanyian tak jelas diteriakan, saya tahu kami sedang berusaha menghibur diri, menenangkan hati. Perjalanan menegangkan itu jadi yang terakhir buat saya bersama tim kecil lelaki kinyis kinyis yang sudah pada belang itu.

P1070959

P1070999

5 November subuh sudah dipanggil lagi untuk kembali ke Makasar, terbang ke Jakarta lalu lanjut ke Bandung. Kerja! Aaaahhh… Pulau Tanakeke tetap di hati, kapan-kapan kembali lagi…

tanakeke_pagi

terima kasih buat Yusuf Garuda untuk foto-fotonya terutama yang pake tongsis tea, makasih buat kawan seperjalanan yang menyenangkan dan seru ini, Mas Luluk, Kaka, Daniel (didoakan segera ketemu jodohnya), dan mas Roim (yang ternyata jauh beda sama image yang ditanamkan pada saya dan ucup sebelumnya) … makasih buat semua keseruan ini yo…. keep in touch kakak kakak sekalian…

 

Purnama

Standar

Ceritakan pada bulan tentang gadis yang saban malam menatap langit dan menghitung hari kapan bulan setampah datang,

Tentang rasa yang tandang sesaat dan sesat yang bersemayam di hati

Tentang kenangan yang tak mungkin lagi sama saat purnama tiba nanti

Dan ketika purnama, sepasang mata yang sama akan hujan rindu pada masa saat segalanya tak pernah lagi serupa. Lalu kami akan menatapmu bersamaan di tempat berbeda dengan kepala penuh tanya, bagaimana jika….

 

Bandung, 6 November 2014