Di lokasi ini ada 32 wisma yang setiap papannya tercatat tiga hal :
Sutra – merek kondom
Daerah wajib kondom
Wisma xxx
Lalu ada logo bundar bir bintang menyertainya, setiap wisma. Ini adalah daerah lokalisasi di kota Sorong. Tanpa perlu saya sebut namanya, gampang saja dicari jika kamu ingin melihatnya langsung. Entah kenapa saya selalu berkesempatan sengaja maupun tidak, berkunjung ke daerah lokalisasi. Tanpa sedikit pun punya rasa menghakimi, saya menghormati siapa pun yang ada di sana. Butuh keberanian untuk ada di wilayah ini menyambung nyawa, entah karena terpaksa atau pilihan pribadi. Para perempuan yang ada di sana adalah saudara saya, punya hak yang sama untuk menyuarakan pendapat, mendapatkan akses pendidikan dan keterampilan juga pelayanan kesehatan. Sudah beberapa kali saya berkesempatan berkunjung ke daerah lokalisasi, tapi baru kali ini saya duduk berhadapan dan ngobrol dengan Mba Ella yang bekerja sebagai pekerja seks di sana.
Mba Ella menempati kamar paling depan berukuran 3×4 meter, tanpa kamar mandi di dalam. Kamarnya menjadi lebih sempit oleh barang-barang miliknya. Wisma yang menjadi tempatnya bernaung temaram, entah ada berapa kamar di sana. Pintu kamar ditutupi gorden dan pintu kayu. Di sisi tempat tidur ada meja kecil, dua bungkus rokok a-mild yang meski kotaknya bergambar mengerikan, tak kunjung membuat perokok jera, satu kotak plastic dengan tutup berwarna biru berisi persediaan kondom dan pelican atau lubricant.
“Setiap pelanggan harus menggunakan kondom. Ini hanya persediaan saja kalau-kalau mereka tidak bawa, mungkin karena tidak berencana kemari sebelumnya. Tapi kalau yang sudah rutin, sudah tahu mereka harus bawa kondom sendiri,” kata Mba Ella, yang sejak awal dikenalkan, saya mengagumi kecantikannya. Perempuan asal Jawa Timur itu kulitnya putih dan bersih dan wajahnya mungil sekali.
“Dulu waktu awal-awal kampanye soal penggunaan kondom di wilayah ini, pernah saya dimarah-marahi pelanggan. Ya pinter-pinter nya kita saja lah merayu mereka, toh ini untuk kebaikan aku dan si pelanggan toh. Aku tidak mau sakit mba.” Lanjut Mba Ella.
Hari itu Mba Ella sedang sibuk membenahi persiapan untuk test kesehatan bagi kawan-kawannya, yang dilakukan oleh puskesmas terdekat. Ini agenda rutin untuk menjaga agar mereka tetap sehat, hak yang sama yang dipunya pekerja di mana pun. Hanya di sini tak ada asuransi kesehatan, bpjs karyawan pun tak ada, perlindungan keselamatan kerja tak punya. Harusnya kawan-kawan saya ini berhak dilindungi oleh serikat pekerja karena mereka adalah pekerja, yang harusnya diakui oleh pemerintah. Uang pajak dari bisnis ini besaarr sekali menambal APBD, tapi mereka yang bekerja di dalamnya tidak diakui. Hayolah jangan bicara sekedar hak TKI, di sini pun sama.
Di pos keamanan setempat ada ruang pertemuan, berjejer tiga baris x 10 bangku terisi oleh para perempuan yang berasal dari Sulawesi dan paling banyak dari tanah Jawa. Usia tertua perempuan pekerja seks di wilayah ini adalah 64 tahun dan masih aktif. Mereka menunggu giliran untuk tes penyakit sesual menular dan rapid test untuk HIV.
Kawan saya dari Yayasan Sosial Agustinus mengajak pindah tempat, kebetulan hari ini adalah jadwal kunjungan puskesmas untuk test HIV di sebuah tempat beresiko tinggi, di lokalisasi dan bar juga panti pijat. Saya diajak melihat proses tersebut di bar paling murah di dekat Tembok Berlin Sorong sampai ke sebuah executive club mewah yang mengingatkan saya pada almarhum Stadium di Kawasan Kota Jakarta.
Perempuan yang bekerja di sana sebagian besar masih sangat muda, barangkali sekitar usia 18 tahun sampai akhir 20-an, mungkin ada yang lebih muda dari itu. Mereka tak datang dari tanah papua, tapi didatangkan dari Sulawesi dan Jawa. Sebagian dari mereka saya yakin akan menarik di foto karena keunikan wajahnya, bisa jadi foto model, peragawati dengan kaki-kaki panjang nan jenjang. Lalu saya melihat perut menggelumbung di tubuh sendiri dan nyengir… duilah *tepukperut*
Begitu mendengar hasil test negative, mereka tersenyum..”asiiik negative … yuk lanjut tidur..” iya lah siklus tubuh mereka tak sama dengan saya. Mereka harus siap bekerja dari jam enam sore dan baru kembali tidur dinihari. Siang adalah waktu mereka istirahat.
“Ini kerja mafia nit. Mereka diiming imingi kerja di perusahaan, di rumah tangga, dengan gaji sekian. Dibekali tiket, lalu sampai di sini harus melayani om-om gendut dari Jakarta, pejabat tinggi, orang berdasi sampai pekerja perusahan minyak, juga turis yang mampir di sini. Mereka tak bisa kabur, ini jatuhnya sudah perkara trafficking. Kasian” Kata salah satu dari kawan
“Yang rumit bagi kami, kalau salah satu dari mereka HIV positif, lalu dipecat, bagaimana kami bisa memantau mereka. Apalagi kalau sampai lokalisasi dibubarkan, siapa yang tanggungjawab kalau penyebaran HIV/AIDS jadi semakin meluas? Pada ga mikir ke sana sih.” Geram kawan yang lain.
Dengan mata setengah melek, baju piyama, rambut digelung ke atas, mereka mengantri untuk test kesehatan. Sesekali terdengar jeritan kaget ketika jarum menusuk jari lentik mereka. Sebagian terjebak dalam situasi seperti ini dibohongi janji pekerjaan dengan gaji lumayan buat bantu orang tua di kampung. Sebagian lagi sudah memilih jalan pintas ini dengan kesadaran penuh.
“Suami saya pulang kampung dengan istri pertamanya, saya memilih tinggal di tempat ini. Bulan depan saya akan liburan mengunjungi anak dan orang tua di jawa.” Kata salah satu dari mereka.