Category Archives: cerpen

sekedar cerita

Pembaca Kematian

Standar
Pembaca Kematian

Aku ini membawa kematian. Ya kalau tidak membawa kematian, paling tidak aku membaca kematian yang datang menjemput seseorang, seekor binatang bahkan sebuah restoran. Sejak kematian bapak belasan tahun lalu, Malaikat Kematian jatuh hati pada diriku yang tabah, melepas bapak tanpa setetes airmata yang jatuh. Aku sudah siap melepasnya pergi, Malaikat Kematian melambai-lambaikan lengannya padaku. “Tidakkah kau ingin ikut bersama bapakmu meninggalkan dunia yang tak lagi ramah pada hidup?.” Aku tersenyum, “laksanakan saja tugasmu mencabut nyawanya, membawanya pergi. Aku sudah pasrah, karena hidup hanya akan menyiksanya. Aku, aku akan melaksanakan tugasku untuk hidup.”

Tapi sejak itu, Malaikat Kematian mengintili kemana pun aku pergi. Ketika aku menjenguk kawan yang sakit, dia akan berbisik padaku, “waktunya dia akan tiba. Beberapa saat lagi. Pergilah jika tak ingin melihatnya kejang-kejang melepaskan nyawa.” Lalu akan pergi, memeluk keluarga terdekatnya, sambil berbisik, “semesta tahu apa yang terbaik untuknya. Bersabar, bertabahlah.” Aku berlalu, dan tak lama kemudian, telepon pintarku menyampaikan pesan, “dia sudah pergi.” Dan aku sudah tahu, karena Malaikat Kematian sudah berada di sisiku lagi. “Beres,” katanya.

Lain kesempatan aku menjenguk kawan yang terbaring lemah di rumah sakit. Dia di kelilingi keluarga yang sudah pasrah, ada yang menangis, ada yang mengaji. “Aku belum dapat tugas mengambil nyawanya. Dia belum pantas mati. Dia masih dihukum untuk terus hidup,” Malaikat Kematian berbisik padaku. Aku mendekati kawanku yang berbaring dan membisikkan padanya, “kamu akan sehat, bangunlah. Hidupmu belum lagi usai.” Tiga minggu kemudian dia keluar dari rumah sakit, tapi hidup segan matipun tak bisa. Dia tak ingin hidup, dia ingin mati, tapi mati belum mau membukakan pintu untuknya. Hidupnya bergantung pada obat yang kian hari kian mahal, asuransi kesehatan memotong jatah obatnya, tabungan menipis, isterinya hanya penjual pakaian online yang makin banyak saingan.

“Kenapa manusia tak dibiarkan memilih kapan dia meneruskan hidup, kapan dia ingin menuntaskan hidupnya,”tanyaku pada Malaikat Kematian yang sudah uncang-uncang kaki di atas balkon kamarku

“Manusia punya garisnya masing-masing. Kalau belum waktunya ya belum,” jawab Malaikat Kematian menggigit kukunya yang panjang, hitam dan kotor.

“Coba kau pikir, kami tak minta dilahirkan, dari rahim siapa, di keluarga mana. Lalu kami dipaksa menjalani hidup yang tak banyak pilihan. Cuma orang-orang terpilih yang hidup dengan banyak pilihan enak. Sebagian miskin dan menderita tujuh turunan. Kalau kami tak memilih dilahirkan, kenapa kami juga tak dibiarkan memilih mati?”

“Aku tak berpikir, aku hanya menjalankan tugas.” Jawabnya enteng lalu menghilang.

Aku dan Malaikat Kematian tidak berteman, dia menempeliku dan pergi sesuka hatinya. Aku tak bisa mengusirnya, dan tak bisa membicarakan dia pada siapapun. Siapa mau percaya. Bisikannya tentang siapa yang akan mati dan hidup membuatku dikenal sebagai Pembaca Kematian. Orang menghubungiku untuk membaca apakah keluarganya akan pergi atau tetap tinggal di dunia. Orang membenciku karena aku membaca saat tak diminta, aku berusaha keras menahan omongan, tapi Malaikat Kematian terus bicara. Beritahu agar mereka bersiap. Setiap manusia memang mestinya bersiap pada Kematian. Tapi betapa pun siapnya menghadapi berita kematian, selalu ada airmata yang jatuh menderas. “Kecuali kamu di hari Bapakmu pergi.”

Restoran takut didatangiku, aku dianggap pembawa sial. Beberapa restoran yang aku datangi memang bangkrut, tapi itu bukan salahku. Persaingan memang sedang ketat, tanpa hal istimewa, mana yang bisa bertahan. Bukan salahku!

Sore itu Malaikat Kematian memandangiku dengan wajah serupa sedih. Dia tak pernah menunjukkan emosi, dia tak seharusnya memiliki emosi. Dadaku bergetar. “Apakah tiba waktuku untuk pergi?” Malaikat Kematian tidak menjawab. Tapi itu buatku adalah jawaban. “Apakah aku tak bisa memilih untuk hidup?” Sekali lagi dia terdiam. Aku menghela napas dalam-dalam. “Kapan?” dia masih diam. “Kamu tahu aku mencintai hidup lebih dari manusia manapun. Aku rasa aku yang meminta semesta melahirkanku di dunia. Aku satu-satunya yang meminta dilahirkan, untuk hidup. Aku belum ingin mati.”

Malaikat Kematian menyentuh pipiku, tapi aku tak bisa merasakan sentuhannya. Dia pergi.

Aku tahu waktuku sudah tiba, tak perlu sebab, tak sempat berpesan.

Malam itu, Malaikat Kematian datang dalam tidurku, mengulurkan tangannya. “Sudah saatnya pulang.”

Iklan

Perempuan Yang Selalu Bertanya ‘Kenapa?’

Standar

Tidak ada yang istimewa hari itu bagi Jimmy. Seperti hari-hari sebelumnya, membosankan. Di depan layar 13 inci dengan pekerjaan yang sama, gunting, sambung potongan film yang dibuatnya berbulan-bulan lalu. Pekerjaan yang tak kunjung tuntas, satu dan lain perkara selalu datang bersamaan.

‘Kamu bahagia?’

Sebuah pesan masuk di aplikasi Whatsapp nya. Lagi-lagi perempuan yang sama, yang menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan aneh yang sering datang tiba-tiba. Pertanyaan yang membuatnya sontak bingung dan berhenti sejenak dari kegiatannya. Barangkali cuma itu hiburan yang dia miliki, dipaksa berpikir untuk hal yang tidak terduga. Beberapa hari lalu pertanyaan perempuan itu adalah, ‘Bagaimana cara melukiskan malam dengan bulan separuh dan lampu-lampu gedung yang berpendar dari kejauhan?’. Lain hari sewaktu dia menggambar untuk tugas akhir, perempuan itu di sampingnya, menatapi gambarnya dengan mulut yang tak berhenti bertanya, ‘kenapa tangannya di situ, kenapa wajahnya cuma setengah, kenapa perempuan itu berbuntut?’. Dia terus menggambar sementara perempuan itu terus bertanya. Barangkali dia memang tak butuh jawaban.

‘Kamu habis minum? Kenapa tanya soal aku bahagia? Bahagia atas apa?’, jawab Jimmy dalam teks whatsappnya

‘Enggak abis minum. Cuma pertanyaan acak aja.’

‘Kalau gitu, boleh engga dijawab dong?’

‘Ya sudah, engga papa juga.’

Berbeda dengan rentetan pertanyaan sebelumnya yang Jimmy jawab kadang cuma dengan senyum dan dibalas senyum tanpa protes oleh perempuan itu, kali ini dia tak tenang.

‘Ada apa?,’ Jimmy melemparkan khawatirnya

‘Engga ada apa-apa.’

‘Kamu selalu bertanya hal-hal aneh tanpa menjelaskan kenapa. Sekarang ada apa?’

‘Engga ada apa-apa. Cuma hormone aja. Lagi mens neh.’

‘Hahahaha okay. Baik-baik ya.’ Teks terakhir Jimmy hari itu sebelum dia kembali meneruskan pekerjaannya.

Mereka bertemu di kampus, sama-sama mengejar gelar dengan harapan sama, barangkali gelar bisa membukakan jalan untuk masa depan yang lebih baik. Bukan pasangan kekasih, hanya teman istimewa. Berbagi mimpi, berbagi rahasia… Jimmy kepadanya dan tidak sebaliknya. Perempuan itu menyimpan semua misterinya sendiri dan Jimmy merasa tak perlu bertanya banyak untuk menghormati privasinya. Dia hanya menyediakan bahu ketika perempuan itu tetiba menggedor pintu kos nya dan menangis tanpa menjelaskan apapun yang terjadi. Jimmy hanya tahu sangat sedikit tentang perempuan itu yang selalu pasang wajah gembira dan tersenyum pada siapa pun. Tentang perempuan yang usianya lima tahun lebih tua, memiliki pekerjaan yang tetap di kampung halamannya, seorang akuntan dan studi ini semacam liburan panjang dengan harapan setelah kembali promosi menanti. Perempuan mandiri yang sedikit gila dengan mimpinya tentang negara tanpa pemerintahan, bagaimana menciptakan bahagia tanpa harus diperbudak materi.

‘Tidak mungkin lah hidup bebas materi. Kita bisa bahagia kalau semua kebutuhan material terpenuhi,’ Jimmy berargumen

‘Bisa kok. Kebutuhanku cuma untuk makan tiga kali sehari, aku engga butuh baju baru karena masih ada. Pun kalau butuh beli barang loakan aja.’

‘Aku engga bisa. Aku butuh hiburan, aku mau nonton opera, pameran seni, pergi nonton pertandingan langsung sepakbola, liburan ke sana sini, aku perlu wiski. Semua itu perlu uang. Karena itu aku kerja lebih keras daripada kamu yang habiskan waktu dengan buku.’

‘Kalau dengan buku aku bisa bahagia kenapa tidak.’

‘Well, Congratulation. There you go, you have found your happiness and I haven’t.’

Padahal selalu begitu, percakapan mereka selalu berakhir dengan argumentasi, ketidaksepahaman untuk banyak hal. Tapi itu tak pernah menghentikan percakapan yang berlangsung saban hari, dari pagi sampai menjelang pagi lagi. Lewat whatsapp atau bertatap muka. Kalau pun berjeda berjam-jam tanpa balas, keduanya tahu itu karena kesibukan, entah kerja, kuliah atau ketika Jimmy sedang kencan.

‘Aku jatuh cinta’. Kata perempuan itu sambil tengkurap di lapangan rumput kampus.

‘Entar juga hilang.’ Jawab Jimmy sambil lalu, di sebelahnya menikmati matahari siang yang tumben terik dan lapangan dipenuhi mahasiswa bertelanjang dada atau dengan tank top saja. Biar matahari membakar kulit, gelap itu eksotis.

‘Gimana kalau perasaannya engga hilang?’

‘Gimana kalau hilang?,’Jawab Jimmy yang dibalas dengan tendangan kecil. ‘Es krim yuk?’

Sebelum keduanya berubah pikiran, mereka terbirit-birit membereskan buku dan jaket yang berubah jadi alas tidur di atas rumput. Mereka berlari menuju stasiun kereta, berganti lagi dengan kereta lain.

‘Kita mau kemana sih sebenarnya?’, perempuan itu akhirnya bertanya

‘Hahaha ke Camden.’

Camden itu jauhnya hampir satu jam dari kampus mereka, dan kelas dimulai setengah jam dari keberangkatan mereka. Siapa peduli. Bukan soal es krim dua setengah poundsterling yang sebenarnya bisa dibeli di truk yang mangkal di depan kampus, mereka hanya ingin meneruskan percakapan mulai dari hal sederhana sampai seperti biasanya, pertanyaanpertanyaan ajaib perempuan yang membuat Jimmy harus berpikir keras menjawabnya. Pertanyaan-pertanyaan ajaib yang bakal dirindunya setelah kuliah ini berakhir dan mereka kembali ke hidup di kampung halaman masing-masing. Jimmy menikmati pertanyaan-pertanyaan itu, menikmati perempuan gila yang selalu bisa diculiknya untuk kabur sejenak dari layar 13 inci dan tugas-tugas kuliah yang menumpuk.

Camden yang tak pernah sepi dari turis, mereka berdesak-desakan mengantri makan siang, berjejer di tengah gerimis untuk es krim, mengitari Camden Market yang menjual barang antic. Cekikikan di dalam Cyberdog Store yang menjejerkan semua pakaian dan perlengkapan futuristic dengan music trence yang membuat badan dan kepala bergodek. Seperti diskotek berbalut toko, atau toko dengan sentuhan diskotek, music, lampu berkelapkelip dan dua penari di sudut lantai dua mengikuti music yang berdentum. Di lantai bawah menjajakan semua perlengkapan permainan di atas kasur, semua yang biasanya dilihat di film dewasa. Mereka tertawa…

Petualangan tak berhenti di sana, batal kembali ke kampus, lompat ke atas bus yang pertama mereka lihat, Hampstead Heath, salah satu taman dengan keanekaragaman hayati terbesar di London. Jimmy membawanya kesana karena perempuan itu penggemar Chris Martin dari Coldplay, dan musisi itu sering terlihat jogging di Hampstead Heath. Perempuan itu berlari ke sana kemari seperti kijang yang melompat-lompat bahagia.

Jimmy merasa tak perlu mengenal perempuan itu lebih dalam hanya untuk membuat perempuan itu tersenyum dan tertawa bahagia.

‘Hey guys, ada yang terjun dari atas gedung kampus malam ini?’ pesan yang sampai di grup Whatsapp Jimmy

What? Siapa? Kenapa? Kok bisa? Ada apa? Stresskah? Masa sih engga bisa diomongin sama temen kalau stres karena tugas kampus. Jangan pada bunuh diri yaa…. Dan lain-lain…. Pesan bertubi-tubi datang. Jimmy mulai tak enak hati.

‘Nicky, are you there? Are you okay?’ Jimmy mengirimkan pesan. Tanpa balas. Dia menelpon hape perempuan itu, tak diangkat.

Pesan elektronik baru dia periksa beberapa jam kemudian, dari Nicky.

‘Hey Jimmy…. Terima kasih sudah membuatku tertawa selama ini. Terima kasih sudah menjadi teman yang sangat baik. Pertanyaan tadi sebenarnya untukku, dan semua pertanyaan yang seringkali aku sampaikan sebenarnya untukku sendiri. Barangkali aku ingin hidup lewat hidupmu, lewat mimpimu, lewat semangatmu. Tapi aku sampai pada kesimpulan, itu hidupmu, bukan aku. Lalu aku bertanya, kenapa harus cara ini yang aku ambil? Jawaban terakhirku, Kenapa Tidak. No worries Jimmy, I am happy.’

Perpustakaan Goldsmiths, London, 14 Juni 2016

Cyberdog

Sepatu Lars Bapak

Standar

Bapakku polisi. Sejak kecil aku selalu bangga dengan bapakku yang polisi itu. Setiap kali ditanya akan jadi apa aku besar nanti? Jawabku dengan mapan, jadi polwan biar bisa gantikan bapak.

Setiap pagi sebelum diminta, aku sudah berlari ke dapur mengambil sepatu bapak dan semir berwarna hitam. Aku ingin begitu bapak selesai berpatut dengan seragamnya dan celana coklat yang dia sendiri setrika karena tidak percaya pada siapa pun, karena kata bapak, tidak ada yang bisa serapi dia mempertahankan garis di celana tugasnya, dia akan mendapati sepatunya yang mengilap setiap saat.

Sepatu lars bapak itu adalah hal lain yang aku sayang dari bapak. Di atas sepatu lars itu, aku pernah berdansa dengan bapak yang tinggi tegap dan sangat tampan. Aku menginjak sepatu lars bapak agar bapak bisa menggenggam tanganku sambil kami menari. Lagunya bisa apa saja, bahkan dengan dangdut kesukaan bapak.

1998, awal ketegangan kami. Bapak adalah petugas negara dan aku mahasiswa yang meletup-letup mengikuti perkembangan reformasi. Di rumah kami berdebat tanpa henti. Aku lebih senang kami tidak bertemu agar ibu tak ikutan pusing dengan debat panjang kami yang berakhir biasanya dengan bapak melempar asbak karena kalah berdebat denganku. Sebelum ini bapak tak pernah marah padaku, dan aku tak pernah melawannya, karena tidak ada yang perlu didebat. Sampai aku merasa besar, dewasa dan bisa menentukan pendapatku sendiri, entah benar atau tidak, kala itu, aku merasa sangat perlu berada di barisan mahasiswa yang menentang Soeharto. Bapak panik.

“Tidak perlu kamu ikut-ikutan mahasiswa lain. Uang kuliahmu itu pakai uang negara, bapakmu ini masih digaji negara. Ga usah macem-macem. Awas, ga usah ikutan demo.”
“Bapak dibayar negara, pakai uang pajak rakyat. Bukan oleh Soeharto pak. Kalau perlu bapak ikut sama aku berdemo.”

Kesal kusahuti omongannya, bapak berlalu sambil meninju pintu dapur hingga bolong.

Lalu kekerasan terjadi, mahasiswa terbunuh. Apakah bapakku ikut-ikutan mengusir kawan-kawanku di lapangan? Apakah bapakku ikut menginjak kawan-kawan dengan sepatu larsnya yang aku semir saban pagi itu?
Aku tidak berani bertanya, lebih tidak berani lagi mendengar jawabannya. Bagaimana jika semua itu benar, sepatu lars itu menyakiti temanku. Aku tidak lagi berani bilang, bapakku polisi, takut kawan-kawanku bertemu dengannya dan tahu apa yang dilakukan bapakku dengan sepatu larsnya.

Aku diam, kami tak lagi sedekat dulu. Sepatu lars itu menakutkan bagiku. Dia telah mengikuti bapakku kemanapun dia pergi. Sepatu itu menjadi saksi apa yang dilakukan oleh bapakku. Aku menolak menyemir sepatu lars itu.
2003, bapak pensiun dan jatuh sakit. Kata orang kena post power syndrome, biasanya bapak tidak punya waktu istirahat karena sibuk, kali itu bapak punya waktu istirahat dan bingung karena tidak punya kesibukan. Sakit mendekatkan aku kembali padanya. Bapak hanya mau ditemani aku saat dokter menyelipkan infus di balik kulit tipisnya. Bapak menggenggam erat tanganku ketika selang makan ditanam paksa lewat hidungnya. Sakit kata bapak.
Sepatu larsnya dekil. Tidak ada yang sempat menyemirnya karena ibu berbulan-bulan di rumah sakit dan aku sibuk mencari uang untuk menutupi biaya rumah sakit dan kebutuhan sehari-hari. Sepatu lars itu membisu di dapur ditemani semir hitam pasangannya.

“Bapakmu itu polisi yang baik, teramat jujur. Itulah yang membuatnya susah naik pangkat. Selamanya cuma jadi polisi lalu lintas tua yang ada berdiri di perempatan jalan, sampai paru-parunya bolong karena polusi. Siapa peduli.” Om Budi sahabat bapak sejak kecil menemaniku makan siang usai menjenguk bapak siang itu.
Aku hanya menarik napas mendengarkan ceritanya.

“Pernah sesekali kamu mengintip bagaimana bapakmu bekerja? Apa kamu tahu dia adalah polisi lalu lintas yang paling terkenal di wilayah ini? Wajahnya yang garang tidak sama dengan hatinya yang lembut. Bapakmu itu sahabat supir angkot karena tidak pernah menerima suap, tidak iseng menilang orang, dan dia melakukan apa yang mestinya dilakukan. Kamu boleh meragukan bapakmu yang polisi itu karena di luar sana lebih banyak polisi yang tidak benar. Barangkali bapakmu memang satu polisi yang jujur dari ratusan yang tidak. Harusnya kamu tidak meragukan integritas bapakmu sendiri. Kalau bapakmu tidak jujur, sudah kaya lah kau sejak kecil, bukan tinggal blusukan di petakan kumuh seumur hidupmu.”

Sejak hari itu sepatu lars bapak kembali mengilap. Dalam tidurnya, aku berbisik di kuping bapak, “cepatlah sembuh pak, aku mau menginjak sepatu bapak lagi dan kita berdansa pakai lagu Mansyur S.”

Bapak tersenyum, aku tahu dia mendengar suaraku.

Tapi pagi itu aku panic sepatu lars bapak hilang, hilang tanpa jejak. Dari semua barang di rumah sempit kami, hanya sepatu bapak yang hilang, lengkap dengan semirnya. Aku cari dari mulai dapur, ruang tengah, kamar tidur, sampai kamar mandi sampai ibu telpon.
“Bapakmu sudah pergi Yan.”

(Terinspirasi cerita akang tentang Pak Magrib, polisi di Cimahi, sahabat supir angkot dan terkenal di salah satu jalan. Mendahului tugas akang menulis artikel tentangnya :-))

Cinta Mati

Standar

Perempuan itu terjaga dari tidurnya. Yang pertama dia lakukan, seperti juga kebanyakan manusia yang tergantung pada teknologi adalah mengecek isi tablet dan telepon pintarnya. Belakangan dia sangat sibuk memantau perkembangan persiapan pemilu di Indonesia lewat sosial media, setiap menit selalu ada hal baru menghiasi dindingnya.

Tapi matanya terlalu lelah untuk bertahan terbuka, telunjuknya berhenti pada sebuah foto. Seorang lelaki berwajah bulat dan berambut jarum tersenyum dengan gigi putih rata sambil menggendong anak berusia tak lebih dari lima tahun.

Perempuan itu tertarik untuk ikut tersenyum lalu matanya tertutup, kantuk mengalahkannya, kesadarannya kembali menghilang. Tablet dalam pelukkannya.

**

“Fotonya bagus banget, mau sekalian kuunggah ke facebook?,” perempuan itu menunjukkan hasil jepretannya pada lelaki berwajah bulat dan berambut jarum yang masih menggendong keponakannya yang berusia tak lebih dari lima tahun. Jarak begitu dekat. Lelaki itu bisa menyesap wangi dari rambut ikal perempuan yang selama ini menemaninya berbincang hingga pagi menjelang lewat dunia maya. Tapi kini dia hadir di hadapannya.

“Kirim lewat Bluetooth aja ke teleponku ya, biar aku yang unggah.” Lelaki itu mencium pipi keponakannya yang berpipi gembil merah jambu yang buru-buru menghapus jejak ciuman sang paman. Lelaki itu menurunkan anak itu dari gendongannya,”ke ayah gih, aku mau pergi sebentar ya. Nanti kita main lagi.”

“Yuks jalan-jalan,” lelaki itu merangkul pundak perempuan yang tingginya tak lebih ukuran dada lebarnya.

Perempuan itu menahan napas sejenak.

Mereka meninggalkan rumah yang terletak di antara perkebunan teh, berjingkat melewati jalan setapak yang becek akibat hujan semalam.

“Kamu mencintainya?,” lelaki itu melontarkan pertanyaan yang membuat si perempuan kaget dan terpeleset ke kubangan air.

“Duh, bisa nanti ngga ya bertanyanya, jadi aja kotor deh,” perempuan itu memilih tepian jalan yang kering untuk membenahi sandal jepitnya yang kotor.

Lelaki itu mengeluarkan sapu tangan dari kantong celana jeans nya , dia menunduk dan membersihkan jemari kaki perempuan dengan sapu tangannya. Lagi-lagi perempuan itu menahan napas, menahan jantungnya tak pecah.

“Sudah bersih. Yuk lanjut,” lelaki itu menyodorkan lengannya yang disambut si perempuan yang segera berdiri. Buru-buru perempuan itu melepaskan genggamannya dari lelaki berambut jarum itu yang membalasnya dengan senyuman.

“How’s your love life by the way?,” perempuan itu bertanya tanpa berani menatap wajah lelaki tinggi besar yang berjalan di sampingnya.

“Seberapa banyak yang ingin kamu tahu?,”katanya sambil melirik ke arah perempuan yang membuang pandangannya jauh ke depan, menatap dua gunung yang saling mengampit dan menjejakkan udara sejuk di sekitar mereka.

“Aku tahu kamu sudah lama bersamanya, kenapa tidak pernah pasang foto bersamannya di lamanmu? Ingin tetap terlihat sendirian?,” perempuan itu menyambar daun teh terdekat dan menciumi baunya yang segar. Kali ini dia menunggu reaksi muka lelaki yang mengusap hidung mancungnya dengan jemari. Tarikan napas yang dalam dan dikeluarkan bersama dengan asap saking dinginnya udara di sekitar.

“Karena aku lebih senang menyimpan hal pribadi dari sosial media. Giliranku. Jawab pertanyaan yang tadi, kamu mencintainya?,” lelaki itu mencari jawaban dari mata perempuan di sampingnya.

“Tak semudah itu menjawab iya atau tidak. Semuanya sudah terlambat karena ini bukan cuma urusanku dan dia. Ada dua keluarga besar yang terlibat. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun,”perempuan itu menjawabnya tanpa berani menatap balik mata besar lelaki berambut jarum itu.

“You know what Ruby, yang diinginkan ibumu adalah kebahagianmu, bukan dirinya. Ini murni soal kamu dan masa depanmu, kebahagiaanmu. Kalau ibumu sedih itu cuma akan hitungan hari, kalau kamu tidak bahagia karena pernikahan itu, ribuan hari ke depan kamu akan merasakannya bersama dia.” Lelaki itu menggaruk kasar rambut jarumnya dan melangkah menjauh.

“I don’t even know what love is?,” perempuan itu setengah menjerit…

Lelaki itu berlari menghampirinya..

“I’ll show you what love is…” dia mencium perempuan itu, memagutnya lembut bibirnya, menghangatkan udara di sekitar mereka dan jantungnya luruh..

“Tetaplah di sini, jangan lagi berlari By,”Lelaki itu memeluknya erat.

“Jika ini mimpi, jangan bangunkan aku semesta,”perempuan itu membatin.

***

Kamar perempuan itu terkunci dari dalam. Pukul 5 pagi, semua bersiap berias, sang ibu panik menggedor pintu tanpa sahutan. Di dalam, gaun pengantin, kebaya brokat putih gading itu menggantung kaku di balik pintu.

Bandung, 080714

Meja Makan

Standar

Aku adalah hadiah perkawinan buat Joko dan Marni di tahun 1976, diangkut jauh-jauh dari Jepara menuju Jakarta. Almarhum Eyang Kusumo memberikanku kepada Joko dengan sebuah pesan,”rawat meja makan ini baik-baik. Kamu itu dibesarkan dengan kasih sayang yang nyata di meja makan ini. Ibumu memasakan makanan bergizi agar kamu pintar dan disajikan ya di meja makan ini. Kamu belajar demokrasi, menyatakan pendapatmu yang kadang mengjengkelkanku ya di meja makan ini. Kita jadi keluarga karena meja makan ini. Sekarang ini milikmu, jaga baik-baik dan semoga keluargamu rukun dan bahagia, seperti kita.”

Jangan tanya perasaanku soal lungsur melungsurkan barang, wong aku benda mati. Aku hanya akan bercerita tentang masa-masa aku menemani Joko dan Marni dan ketiga anak mereka.

Anak mereka lahir saban dua tahun, 1978, 1980 dan 1982, selang seling lelaki, perempuan dan lelaki. Marni mengurusi mereka dengan sangat baik, memastikan makanan yang disajikan di atasku adalah yang bergizi, sesuai anjuran pemerintah, empat sehat, lima sempurna. Daging tak selalu ada, karena keluarga ini tidak kaya, tapi kan kebutuhan protein bisa datang dari tahu dan tempe toh. Yang bungsu bernama Razak malah memutuskan menjadi vegetarian. Sejak kecil dia selalu muntah saban daging menempel di indra pencecapnya, hoek… badanku bau seketika.

Agenda sarapan dan makan malam hukumnya wajib di keluarga ini. Mereka tiba pagi hari dengan pakaian siap aktivitas sekolah dan bekerja pada jam enam pagi. Pertanyaan utama pagi hari keluar dari Joko, “bagaimana anak-anak, pe er sudah dikerjakan? Ada kegiatan apa hari ini? Tidak boleh ada agenda dadakan ya, beritahu bapak dan ibu sehari sebelumnya, agar kami tak sibuk mencari kalian.”

Jam tujuh malam, usai mandi sore dan sholat magrib berjamaah, mereka berkumpul lagi. Kali ini Marni membuka percakapan, “bagaimana hari ini? Di sekolah baik-baik saja? Habis makan jangan lupa kerjakan pe ermu ya.”

Ketiga anak mereka menurut, sampai salah satu dari mereka masuk sekolah menengah pertama. Kegiatan luar sekolah menjadi salah satu agenda yang harus disampaikan kepada orang tuanya.

“Bu, besok aku pulang telat ya. Ada latihan paskibra dulu,”kata Rinto si anak sulung.

“Tapi pulangnya jangan lewat magrib ya nak.” Begitu pesan Marni

Saat mereka masih di sekolah dasar, Marni dan Joko adalah tong sampah, tempat curhatan anak-anak mereka. Apa pun mereka ceritakan. Joko pandai membuka mulut anak-anak untuk bisa menceritakan segala hal, termasuk kisah cinta monyet mereka. Tidak boleh menghakimi anak-anak, begitu aturan main yang disepakati Marni dan Joko, kecuali mereka terbukti bersalah dan menyakiti orang lain.

Tapi ketika satu persatu beranjak remaja, cerita yang mereka sampaikan semakin selektif. Kisah cinta yang tak lagi monyet itu menghilang. Marni sempat memancing,”Rinto, pacar kecilmu dulu si Fika, apa kabar? Ibu kok ngga pernah dengar ceritanya lagi.”

Rinto akan menjawab,”Ya ampun Ibu. Udah ngga lagi. Malu ah, ngga usah disebut nama itu lagi ya.”

Suatu hari Rinka malah tak keluar kamar untuk makan malam. Joko, Marni dan kedua anak lelaki mereka saling bertatapan, sesuatu yang buruk pasti terjadi pada putrinya. Marni menatap Rinto,”kenapa adikmu? Ada yang terjadi di sekolah tadi? Kamu itu gimana sih, kan satu sekolah, mestinya saling jaga?”

Rinto langsung membela diri,”Ibu, kok jadi aku yang salah sih. Aku ngga tahu apa-apa bu. Dia kan perempuan, ya mainnya sama perempuan. Masa aku harus gabung sama geng mereka sih. Aku ini lelaki bu. Sibuk.”

“Sudah, sudah, kita tidak akan memulai perdebatan di meja makan ini. Marni, aku atau kamu yang akan ke kamar Rinka?,” Joko menengahi.

Malam itu menjadi malam tersingkat pertama dari yang berikutnya di meja makan ini, di tubuhku.

Anak-anak beranjak dewasa, kegiatan luar rumah mereka semakin banyak. Antara kegiatan ekstrakurikuler, kehidupan percintaan remaja. Tapi yang tidak berubah adalah jam makan malam.  Di pukul lima sore, Marni akan mengirimkan pesan lewat PAGER kepada semua anggota keluarga. Tidak ada yang membantah dan dengan tertib mereka kembali ke rumah. Sedikit telat, alasan jalan macet.

Tahun berganti, kota beralih rupa, semakin banyak penduduk, semakin ria kendaraan, semakin sibuk. Rinto mulai bekerja, Rinka di semester akhir dan Razak masuk semester empat. Sedangkan Joko, mendekati pensiun yang bukan membuatnya semakin sedikit bekerja, tapi semakin sibuk. Pegawai negeri itu sedang mempersiapkan bisnis kecil-kecilan sebagai bekal pensiunnya nanti, dia tak ingin diam, tua dan menunggu ajal.

Sedangkan Marni semakin kesepian. Dia lebih sering duduk sendirian di meja makan, bersamamu, meratapi makanan yang semakin hari semakin menipis jumlahnya. Mereka memang sudah kaya sekarang, mampu membeli makanan apapun sebanyak apa pun. Tapi siapa yang akan makan?

Setiap hari, anggota keluarga bangun lebih pagi daripada ayam jantan dan mereka berkokok lebih berisik darinya. Jam lima lewat tiga puluh menit, mereka kompak keluar rumah, menyalami Marni, membawa bekal roti untuk sarapan di jalan. Kalau tidak begitu, mereka akan sangat terlambat sampai di tujuan. Jakarta luar binasa macetnya, tak pakai toleransi.

Jam enam seperti kebiasan bertahun-tahun sebelumnya, Marni duduk manis di meja makan untuk sarapan, sendirian.

Sore hari, Marni seperti biasa juga menyampaikan pesan kali ini lewat pesan pendek SMS kepada semua anggota keluarga, “malam ini makan di rumah ya, Ibu sudah masak makanan kesukaan kalian.”

Lalu sms balasan beruntun datang.

“Ibu maaf, aku tak bisa ikut makan malam. Di kantor ada gala dinner, penyambutan bos baru,” pesan dari Rinto
“Ah ibu pasti lupa, aku kan harus menyelesaikan skripsiku bu. Malam ini sudah janjian bimbingan sama dosenku.” Begitu pesan Rinka.

“Ibu cantik, jangan marah ya. Razak ga bisa malam ini, mau latihan band.” Razak membalas.

“Marni, aku lupa bilang. Aku pulang terlambat, ada meeting malam ini. Demi masa depan kita sayang. Simpan dulu jatahku, nanti pulang dihangatkan. Tapi kamu makan duluan saja ya sayang.” Begitu Joko membalas.

Marni menangis….. dia kesepian. Air matanya membasahi meja makan. Serasa sia-sia ia seharian ini menghabiskan waktu di dapur. “Semua sudah lupa aturan agenda harus disampaikan satu hari sebelumnya. Semua sibuk sendiri dan aku tak butuh tambah kaya,”Marni membatin.

Pada suatu akhir pekan, keluarga berkumpul di meja makan. Mereka tahu telah menyakiti Marni secara tidak sengaja. Mereka sangat menghormati kebiasaan keluarga untuk makan malam bersama, tapi tuntutan keadaan sudah tidak memungkinkan mereka untuk bersama di jam yang telah ditentukan. Dan karena esensi dari makan malam adalah kebersamaan, dimana anggota keluarga menyampaikan situasi hari dan hatinya, maka diputuskan untuk memundurkan jam makan malam. Mulai Senin pada pekan berikutnya, makan malam berlangsung pukul dua puluh satu atau jam sembilan malam.

Keputusan itu dijalankan. Tapi makanan yang masuk ke perut mereka, makin sedikit. Tidak ada lagi makan besar, hanya cemilan menjelang waktu tidur. Sebab mereka sudah makan malam sebelum sampai di rumah.

Rinto menikah, Rinka bekerja sebagai jurnalis yang kena jam kerja bergantian, kadang masuk pagi, siang bahkan tengah malam. Razak, sibuk dengan dunia entertainmentnya, mulai dari main band, audisi sinetron remaja, sampai jadi foto model. Dia yang paling menarik penampilannya dibandingkan kedua kakaknya.

Keluarga kemudian berdiskusi kembali. Untuk menjaga tradisi kebersamaan di meja makan, mereka memutuskan bahwa pada akhir pekan antara Sabtu atau Minggu harus makan malam bersama. Rinka dan Razak yang jam kerjanya tak tentu seperti Rinto yang kantoran awalnya menentang habis-habisan. Mereka akan sulit berkompromi dengan tim kerjanya kalau harus rutin meninggalkan tugas untuk makan malam keluarga. Seperti biasa, Joko angkat bicara,”Bapak mengerti masalah kalian. Tapi ini untuk kepentingan keluarga ini. Sudah ya, tidak usah diperdebatkan lagi. Keputusan terakhir ada di kepala keluarga toh, yaitu aku. Maka dengan ini, aku putuskan setiap akhir pekan, kalian harus menyempatkan diri pulang ke rumah dan makan malam bersama. Titik!”

Kursi di meja ini ditambah karena Rinto membawa istri dan anaknya, kadang-kadang Razak membawa temannya untuk meyakinkan bahwa makan malam adalah tradisi keluarganya yang tidak bisa dihapus sama sekali. Sesekali Razak dan Rinka melongok jam tangan, sudah saatnya untuk pergi dan bertugas. Makanan pun tak lahap disantap. Joko akan melotot, dan Marni kemudian melambaikan tangan, “Ya sudah sana kalian pergi kalau memang harus pergi. Tapi hati-hati di jalan ya. Bawa sisa makanan.”

Suatu akhir pekan, Razak datang dengan muka kusut setelah tiga hari tak pulang, alasannya ada syuting di luar kota. Marni yang sudah kehilangan sebagian besar kabar anak-anaknya langsung merasa sesuatu tak beres terjadi pada Razak. Sepanjang makan malam yang dihadiri segenap keluarga, Joko, Rinka, Rinto, Mili istrinya dan kedua anak mereka. Razak diam sepanjang malam. Pada saat makanan penutup dihidangkan, Razak buka suara.

“Bapak, Ibu, ada yang mau Razak sampaikan.”

Semua menatap ke arah Razak. Dia merasa beruntung besar di keluarga yang terbuka dan bebas menyampaikan suara, sekalipun mata menatap dirinya, tak ada sorot penghakiman.

“Razak sudah pikirkan masak-masak soal ini, setelah bertahun-tahun menyimpannya. Maafkan kalau akhirnya nanti Razak akan mengecewakan semua yang ada di sini, termasuk bapak dan ibu. Razak akan terima semua konsekuensi yang akan diberikan oleh bapak dan ibu. Razak sangat sayang bapak sama ibu.”

Razak terdiam, senyap, semua berhenti mendentingkan garpu dan sendok pada piring. Marni mendekat pada Razak dan mengelus kepalanya.

“Razak mau bilang, kalau Razak ini gay bu. Razak menyukai lelaki.”

Razak menyembunyikan kepala pada perut ibunya yang mendekap sangat kuat. Di seberang meja, bapak tersedak makanan yang belum sempat dia telan. Dia tersungkur jatuh. Semua panic, Mili menjauhkan anak-anak dari meja makan. Rinka menelpon ambulance. Ibu dan Rinto menangkap bapak. Razak menangis di pojokan dan pergi terburu-buru.

Joko meninggal. Malam itu dia kena serangan jantung dan bukan karena makanan yang tersangkut di tenggorokan. Razak tak pernah lagi kembali ke rumah. Rinto dan Rinka mencarinya ke segala penjuru, dia hilang ditelan bumi. Marni tak pernah berhenti menangis. 40 hari setelah kematian Joko, Marni menyusulnya ke alam baka. Kantong air matanya selesai tugas di hari itu.

Di meja makan, Rinto membuka percakapan di hadapan Rinka dan Mili, istrinya.

“Harusnya ibu dan bapak menjual rumah ini dan pindah ke tengah kota, supaya kita tetap bisa makan malam bersama tanpa harus kehabisan waktu di jalan.”

Tidak ada yang menyahut.

“Harusnya ibu dan bapak tidak sekolot itu mengharuskan kita pulang hanya untuk makan malam. Kan kita bisa ketemu di tengah, seandainya saja ibu ngga mabok perjalanan.”

Masih tidak ada yang menyahut.

“Kita jual saja rumah ini beserta isinya. Kamu juga toh sudah punya apartemen, siapa yang akan mengurus rumah ini?”

Rinka angkat bicara,”jangan mas. Bagaimana kalau sewaktu-waktu Razak kembali? Ini akan selalu menjadi rumahnya. Menurutku kamu dan Mili bisa menempati rumah ini, toh cukup luas dan besar untuk anak-anak kalian nantinya.”

Mili memegang lengan Rinto, dalam batin dia menyetujui usul Rinka. Saat masih berdua, tinggal di apartemen adalah yang paling nyaman. Tapi anak-anak butuh ruangan yang cukup untuk bermain dan begitu besar mereka butuh kamar masing-masing. Rinto diam sejenak.

“Tapi aku tak sudi menyimpan meja makan itu! Semua hal terjadi di sana. Aku tak mau melihatnya lagi. Dan aku tidak akan seperti bapak yang memaksakan tradisi makan malam tanpa melihat situasi yang sudah berbeda.”

Seminggu dari percakapan itu, badanku yang terbuat dari jati sejak 1950, dibandrol dengan harga lima ratus ribu rupiah saja.

 

 

 

Waktuku

Standar

14.00

Beberapa tahun lalu tempat ini menjadi pelarian yang nyaman buatku dari keriuhan rumah dengan dua balita yang acap kali menjerit satu sama lain. Sesekali aku ingin menikmati secangkir kopi hitam panas dan menikmati salah satu novel yang tak sempat lagi kubaca karena dua puluh empat jam sehari secara tak cukup untuk mengurusi segala tetek bengek dalam kehidupanku. Sebatang dua batang rokok masih sempat kubakar untuk meracuni paru-paruku dengan sadar, saat yang pas adalah ketika menjemur pakaian di atas loteng, saat anak-anak tidur siang. Cuma 10 menit satu hari rata-rata yang kupunya untuk diriku sendiri.

Hari ini entah kenapa, aku punya kekuatan dan kesempatan untuk meninggalkan anak-anak di rumah. Aku meminta Awan mengizinkanku untuk pergi ke pusat perbelanjaan sendiri. Aku  bilang aku ingin liburan. Bukannya tidak pernah Awam memberikan waktu untukku menikmati kesendirian. Tapi selalu aku tolak karena ada rasa bersalah yang mengikutiku saban kali meninggalkan anak-anak di rumah bersama pengasuhnya atau bahkan dengan ayahnya sendiri. Aku selalu takut hal buruk terjadi pada mereka saat aku tak bersamanya.

Tapi hari ini, aku ingin kembali ke tempat ini. Segalanya berubah. Music jazz yang biasanya mengalun merdu kalah nyaring dengan lagu techno yang diputar dari booth pameran tempat kebugaran para pesohor. Lelaki dengan badan tegap, kaos ketat yang sengaja dipakai untuk memperlihatkan otot-otot kering yang menggemaskan sibuk menyebarkan flyer potongan harga bagi anggota baru yang bergabung dengan mereka. Waktunya terbatas, selalu begitu kata kuncinya. Salah satu dari mereka yang boleh dibilang paling tampan menawariku flyer. Barangkali dia lihat badanku yang perlu dibentuk setelah turun mesin dua kali. Pada suatu waktu aku pernah merasa jijik pada tubuhku yang menggelambir di bagian perut, bekas sayatan pisau operasi tak hilang karena kulitku berbakat keloid. Aku pernah menolak permintaan Awam bercinta karena aku malu pada tubuhku sendiri, bahkan kepalaku dipenuhi curiga, hal yang wajar kalau Awam akan mencari perempuan dengan kulit perut yang mulus.

Awam tersenyum ketika kuceritakan alasan itu, dia menyerbuku, menelanjangi dan menciumi bekas operasi itu. “Dari sini lahir kehidupan baru, darah daging aku dan kamu, masa depan kita. Aku mencintaimu bukan perutmu, selamanya akan begitu.”

Lelaki dengan flyer potongan harga itu menggodaku dengan tatapan matanya dan senyumannya dan bilang hanya dalam waktu tiga bulan dengan latihan ketat dibawah bimbingannya, tubuhku akan langsing dan lebih menarik. Terima kasih, aku tidak tertarik mengubah bentukku hanya untuk memuaskan orang lain.

Pernah tidak kamu menghitung berapa banyak waktumu dicuri para penjaja yang ingin membuat kualitas hidup versi kekinian menjadi lebih baik. Dan aku sangat baik hati mendengarkan mereka barang lima menit, alasannya sederhana, aku tahu persis betapa lelahnya menjaga stand dan kesal ketika bertemu orang-orang yang bahkan tidak mau mendengarkanmu. Dengan gaji tujuh puluh lima ribu sehari, pasang muka manis, menarik mereka yang sesuai segmen dagangan dan keringkan kerongkongan dengan penjelasan panjang lebar. Dari puluhan yang kamu undang ke standmu, hanya belasan yang bersedia mendengarkan, dan hanya hitungan jari yang bersedia membeli.

Di sebuah pameran otomotif lah aku bertemu dengan Awam. Aku penjaga stand dan dia seorang eksekutif muda yang sedang mencari mobil. Tuntutan gaya hidup metropolitan memang seperti itu menurut seorang perencana keuangan yang berkoar-koar saban pagi di radio, mencekoki anak-anak muda yang kaget dengan gaji bulanan membuncah melebihi kebutuhan utama. Makin besar penghasilan, tentu biaya gaya hidup makin besar dong, harus disiapkan dana untuk liburan sekian persen, entertainment seperti hang out dan nonton sekian persen, cicilan mobil, apartement, kartu kredit, tabungan, asuransi dan jangan lupa, investasi.

Waduh banyak sekali tuntutan hidup mereka. Aku cukup bahagia dengan gaji tujuh puluh lima ribu rupiah perhari saban kali ada pameran, ditambah membantu terjemahan bebas karena belum tersumpah, menjadi penyiar radio, menulis puisi dan kadang-kadang cerpen untuk dimuat di Koran. Tidak ada gaji tetap, tapi kalau sedang kaya, penghasilanku luar biasa. Investasiku masih konvensional, beli emas saban kali ada uang lebih, tidak banyak, sampai saat menikah dengan Awam jumlahnya hanya dua puluh gram. Itu tabunganku selama lima tahun bekerja lepas.

Sejak awal kami bertemu, Awam sudah mencuri kekagumanku. Sekalipun dia mengikuti tuntutan gaya hidup eksekutif muda, sebenarnya Awam sangat sederhana. Dia tidak punya catatan buruk dalam percintaan, bukan jenis yang gonta ganti pasangan, dia percaya cinta pada pandangan pertama. Seminggu kami bersama, dia memintaku menjadi istrinya. Aku mengiyakan tanpa berpikir panjang bahkan lupa dengan cita-citaku untuk melanjutkan sekolah, mengejar gelar master supaya dapat surat izin mengajar di perguruan tinggi. Atau bekerja dan mengejar karir di perusahaan internasional supaya aku tak perlu lagi berbaju ketat, rok di atas dengkul, wajah didempul dan senyum simpul. Aku mengiyakan ketika Awam bilang “aku ingin kamu di rumah, menjadi ibu rumah tangga, profesi paling mulia yang bisa dilakukan seorang perempuan. Aku akan menggajimu sebanyak yang bisa kamu dapat dari sebuah perusahaan dengan level manajer.”

Tapi Awam lupa, menjadi ibu tidak sama dengan menjadi karyawan. Bekerja penuh dua puluh empat jam sehari, tanpa cuti haid, lebaran atau libur nasional. Menjadi ibu tidak sama dengan manejer perusahaan dengan job description tunggal, aku harus mengurus semua hal, divisi purchasing, keuangan, personalia, operasional bahkan menjadi teknisi. Aku menjadi supir buat anak-anak, menjadi guru, pendongeng dan juru masak. Rumah tangga tidak sama sekali berbeda dengan perusahaan dan aku bukan pegawai juga kamu bukan direktur. Aku lelah.

 

14.30

“Air mineralnya empat belas ribu rupiah ya bu, seharga orange juice,” kata kasir menatapku, memastikan pilihanku tak salah. Aku mengangguk dan dia memberikan air mineral botol plastic ukuran 600ml dengan bonus donut.

Kalau tanpa bonus donut, apakah harganya berkurang?, pertanyaanku membatin saja, malas berdebat karena kutahu akan dijawab dengan senyuman.

Pantas angka diabetes tinggi, bayangkan, air tawar sama mahal dengan minuman olahan. Buat ibu-ibu sepertiku, empat belas ribu rupiah untuk air minuman tawar tentu mahal sekali, bisa dapat tiga botol mineral di luar kafe. Di eropa, kita punya pilihan, membeli air tawar sparkling yang harganya lebih mahal dari segelas bir atau gratisan dari kran yang sudah dijamin kebersihannya dan layak minum. Di sini, kecuali kau mau diabet silah saja menghindari pesanan air minum tawar yang harganya menjulang.

Aku kembali ke kursiku sambil mengutuki harga, padahal ibuku pernah pesan pamali mengutuki sesuatu yang akan jadi tai. Jangan Tanya kenapa begitu, karena dia akan menjawab, tidak usah banyak Tanya, turuti saja apa kata orang tua. Lalu begitu menikah, kamu tidak bisa berbuat apa pun tanpa seizin suami. Oh betapa dirimu tak pernah menjadi milikmu seutuhnya.

Novel Lalita karangan Ayu Utami tak banyak bergeser, aku terlalu banyak melamun ternyata. Membayangkan Awam mengurusi Langit dan Puisi Pagi yang selalu ribut memperebutkan segala hal, remote televisi, bantal, mainan, buku bahkan kursi. Jarak mereka terlalu dekat, Langit baru berusia sembilan bulan ketiga Puisi hadir di perutku. Barangkali dia kesal karena belum puas mendapatkan perhatian dari kami dan kini harus berbagi segalanya dengan sang adik, bahkan ketika air susuku lebih banyak disedot Puisi. Aku kehilangan kebebasan sejak menikahi Awam karena Langit muncul di rahimku hanya satu bulan berselang sejak pesta digelar. Awam begitu bahagia, aku…

Kenapa aku tak bisa mengaku bahwa aku lelah tanpa merasa bersalah, tanpa takut orang lain akan menghakimiku dengan segala nasihat. Kalau kamu ikhlas, tak akan menjadi beban. Menjadi ibu adalah anugerah terbesar bagi perempuan, sebuah kesempurnaan. Mengasuh dan mendidik anak adalah kewajiban. Dan ketika menjadi kewajiban bukankah beranak beban? Kenapa aku tidak bisa menjadi Lena, seorang Lena, individu yang bisa merasakan lelah dan jenuh. Aku butuh bertemu dengan diriku sendiri, bercakap tentang aku dan hanya aku, tentang mauku. Kenapa aku tak bisa menjadi aku?

Karena aku seorang istri dan ibu maka aku tak bisa menjadi Lena?

“Sayang, kalau sudah istirahatnya, segera pulang ya. Langit demam,” pesan pendek dari Awam.

“Langit demam? Aku segera pulang,”

…”Ibu hanya butuh menyetorkan dana awal satu juta lima ratus ribu rupiah saja di awal dan biarkan dana itu bekerja untuk ibu. Ibu tinggal duduk manis di rumah, bisa gajian sehari tujuh ratus lima puluh ribu rupiah…” makelar multi level marketing mengiringiku pulang..

Ya aku pulang…..

 

tol Cipularang, 31 Mei 2014

Cerita Dari Kenaikan BBM

Standar

Hmm yank, aku ga bisa sering-sering ketemu kamu. #bbm kan naik.

Sebaiknya kita putus. Kamu tinggal di utara, aku di selatan. Hubungan kita berat di ongkos. #bbm

Bikin perjanjian yuk. Aku bayar tiket bioskop, kamu bayar makan yaa. #bbm

Mulai sekarang jangan kebanyakan nongkrong di cafe ah. Biaya hidupmu terlalu mahal tau. #bbm

Mantap. Aku mau berhenti dari kantor ini. Apaan, #bbm naik uang makan tetap sama.

Baru ada kenaikan gaji awal tahun krn inflasi. Masa kita mesti menaikan lagi gaji karyawan krn #bbm. Masih tengah tahun belum ada untung.

Ongkos angkot naik, penumpang jumlahnya terus berkurang. Lalu bagaimana kita bertahan kang? Kata supir pada kenek. #bbm

Jangan dinaikkan harganya, kurangi saja jumlahnya. Kata ibu warteg menuang sayur pakai sendok teh. #bbm

Ga usah ngayal sahur pertama pakai daging ya. Mulai ramadhan ini, kita belajar jadi vegetarian. #bbm

Gaji bulan ini sisanya berapa untuk ditabung? Listrik, transport, makan sudah pasti dinaikan 10-20%. #bbm

#bbm naik, semua serba naik. Pusing aku- kata lelaki sambil membuka bungkus rokok dji samsoe -nya.

Berapa lagi kusiapkan bulan ini? #bbm naik, pajak tetap harus dibayar, cicilan mobil dan maintenance.-kata dia di belakang setir honda brio.

Mak, ongkos tambahin ngapa? Pan angkot naek| udah kaga ada duit lagi gue. Udeh bolos aje hari ini, bilang ame guru lu kl lu sakit! #bbm

Masa becak ikutan naik bang?| situ pikir saya makan pake kaki? #eh #bbm

Selamat Ulang Tahun

Standar

Lelaki itu menghilang belasan tahun lalu tanpa ada kabar sama sekali, kecuali sebuah pesan “selamat ulang tahun” yang kadang datang tepat waktu, kadang terlambat satu bulan. Dengan cara yang sama lewat selembar kartu pos, dia akan sempatkan berkirim pesan satu kali dalam setahun untuk mengingatkan betapa hidup terus berjalan, keriput terus bertambah sementara kenangan tak juga beranjak dari satu hati, satu cinta yang abadi, di antara keduanya.

Kemana pun perempuan itu berpindah lokasi, dia akan kembali ke tempat yang sama hanya untuk menanti sebuah pesan “selamat ulang tahun” yang dikirimkan lelaki itu. Pesan di atas selembar kartu pos dengan stempel dan perangko dari negara berbeda setiap tahunnya, bawah langit adalah rumahnya dimana pun dia berada, masih lelaki yang sama. Lelaki yang karena profesinya tak bisa berada di satu tempat dalam waktu yang lama. Lelaki yang karena profesinya tak punya identitas ajeg, barangkali namanya pun bukan yang sebenarnya, latar belakang yang berbeda setiap kali perempuan itu pernah bertanya. Dia hanya akan menatap dalam-dalam pada bola mata hitam yang menenggelamkanya milik perempuan itu dan berkata,”satu-satunya yang jujur dari diriku hanya cinta padamu. Pegang saja itu. Selebihnya aku tak akan pernah bisa cerita.”

Zaman berubah, teknologi memperkenalkan perempuan itu pada telpon genggam, jejaring sosial media dan google yang bisa menjawab semua pertanyaan kecuali tentang lelaki itu, nama dan wajahnya selalu muncul berbeda, bukan dia. Lelaki itu menghilang ditelan bumi, tak terjangkau teknologi. Selalu dengan cara tradisional untuk menyampaikan kalimat “Selamat Ulang Tahun” yang sesekali dihias manis dengan gambar hati dan dilengkapi Hug and Kiss… Chris… nama singkat yang sangat umum di negara mana pun. Dia bisa jadi Christian, Christopher atau memang hanya Chris… ada jutaan lelaki bernama Chris yang muncul di google, facebook atau twitter. Tak ada jejak terlacak untuk mencarinya. Yang dipunya perempuan itu hanya kenangan dan selembar foto yang mengabadikan kebersamaan mereka, tak lebih. Bagaimana mencarinya, haruskah mencarinya?

Segalanya berubah. Perempuan itu sudah berkeluarga, memenuhi tuntutan makhluk hidup untuk berkembangbiak dan meneruskan keturunan. Perempuan itu memiliki suami untuk memenuhi kebutuhan purbanya. Sementara hatinya tak pernah pergi pada lelaki yang sama belasan tahun silam ketika semuanya berjalan singkat dalam hitungan hari. Lelaki itu berjanji seterusnya sepanjang hidupnya akan mengirimkan kabar saat perempuan itu mengulangi tanggal kelahirannya, waktu yang sama sejak mereka bertemu untuk pertama kalinya. Tanggal itu menjadi keramat untuk mengingat tentang cinta dengan kepedihan dan kesenangannya yang hanya datang sekali.

Perempuan itu menanti di beranda sambil menggenggam belasan kartu pos terdahulu. Lehernya terasa sakit melongok ke pagar menanti pak pos yang kian jarang datang ke lingkungan ini. Siapa lagi yang membutuhkan pak pos ketika semuanya bisa disampaikan lewat segenggam telpon pintar. Hentakan jempol pada keypad lebih cepat menyampaikan pesan daripada harus meluangkan waktu dan tenaga beranjak ke kantor pos untuk mengirimkan pesan lewat selembar surat. Hidup kini serba dimudahkan, semudah kita melupakan kenangan yang tersimpan dalam kertas surat usang dan tulisan tangan yang kian hari kian tak berbentuk. Cuma lelaki itu yang setia pada selembar kartu pos dan tulisan tangan untuk mengucapkan “selamat ulang tahun,” kepada kekasih abadinya.

Perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ada kursi rotan, hatinya berdebar tiba-tiba dan terdiam dalam kehampaan. Angin semilir menerpa lembut daun telinganya dan berbisik,”selamat ulang tahun sayang.” Tak akan ada lagi kartu pos untuk dinanti.

Bandung, 12 Februari 2012.. untukmu yang akan berulang tahun esok hari….

birthday002_sedonadpsbaki

Perempuan dan Hujan

Standar

Apa yang menarik dari hujan, mendungnya, airnya yang menggedor kaca dan membasahi tanah, bau tanah, bau comberan sampai anyir yang dibawa bersamanya atau sambaran kilat di langit yang mirip blitz kamera fotoku? Apa yang menarik dari hujan?

Pertanyaan itu selalu muncul saban kali aku lihat perempuan berkepang dua, kolega di kantorku yang selalu sibuk membuat kopi hitam dengan takaran satu sendok makan penuh, ditambah setengah sendok makan gula dan seperempat kreamer, dibawanya gelas kopi di bawah air panas dispenser lalu dengan sedikit terbirit-birit dia akan mengambil posisi duduk di sofa yang menempel pada jendela. Untuk apa? Ya untuk menikmati hujan. Dia menggenggam gelas kopi panasnya dekat dengan dada, menghirup bau kopi yang semerbak di ruang tamu sambil mata yang tak berpaling dari jendela kaca. Sesekali matanya terpejam mendengarkan lebih jernih pada suara air yang jatuh dari langit, kadang pelan tapi belakang lebih sering berbunyi kencang memecah air yang jatuh ke tanah, jumlahnya terlalu banyak. Jangan tanya padaku, mana mengerti aku soal debit air hujan. Pokoknya yang kutahu, belakangan hujannya lebih deras dari yang biasa. Buatku mengkhawatirkan tapi tidak untuk perempuan itu.  Dia justru akan menghentikan semua kegiatannya hanya demi hujan…

Sementara aku, akan mengeryitkan dahi menahan agar tak kaget begitu dengar suara petir, meski tak pernah berhasil. Tetap saja aku akan loncat dari posisiku berdiri mau pun duduk begitu bunyi agung itu membahana di angkasa. Spontan aku akan menutup kedua kupingku rapat-rapat lalu aku merapat pada tembok atau kasur atau apa pun agar ruang di sekitarku menyempit. Begitu aku lihat kilatan cahaya petir dari balik jendela, aku akan kabur sembunyi dimana pun aku bisa, berkejar-kejaran dengan suara petir yang menyertai cahaya sepersekian detik, jelas aku kalah telak dan selalu terkaget-kaget.

Aku tak suka pada hujan yang selalu airnya selalu membuatku demam dan kepala pening serta kaki dikerumuni kutu air. Aku tak suka pada hujan yang membuat jalanan menuju rumah dan kantor ini banjir. Meski saban tahun ada penambalan jalan di sana-sini tetap saja hanya bertahan sekian bulan, begitu musim hujan tiba, jalanan seperti wajah bekas cacar besi, bopeng dimana-mana, membuat kubangan dan banjir. Belum lagi baunya… sepertinya semua bau yang disembunyikan manusia, keluar saat banjir, ya bau bangkai, anyir darah sampai bau busuk sampah yang menumpuk pada saluran air.

Tapi perempuan itu, tetap akan duduk manis sambil mendekap gelas kopi dan mata yang menatap keluar jendela menikmati hujan. Sekali waktu aku pernah melihat perempuan itu menyeka air mata persis ketika dia menikmati hujan. Sekali waktu lain, teman sekantor bercerita kalau perempuan itu pernah berlari ke halaman belakang dan main hujan sambil merentangkan tangan dan menari-nari. Dia mengajak kami semua untuk bergabung bersamanya bermain di bawah derasnya hujan. Gila!

Dia melirikku…. Aku segera bersembunyi di balik rak buku….

“Dio, kemari…. Hujan Di… syahdu deh,” dia memanggilku sambil melambaikan tangannya. Dia bergeser untuk memberikan ruang untukku duduk di dekatnya.

Aku menggeleng dan berkata,”Aku tak suka hujan bu, apalagi bunyi geledeknya, bikin jantungan.”

Dia kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela. Jemarinya kini menempel pada dinding kaca yang basah karena kanopi teras tak mampu menghadang air hujan yang terbawa angin kencang. Aku yakin telah melihatnya menangisi hujan. Ingin rasanya aku bertanya kenapa hujan begitu berarti untuknya, tapi pertanyaan itu tak pernah sanggup aku luncurkan di hadapannya. Dia bosku dan aku baru dua bulan di sini. Pertanyaanku terlalu pribadi.

Hujan mereda, dia beranjak dari duduknya dan menghampiriku di meja makan merangkap meja rapat kami. Kantor ini adalah rumah besar peninggalan keluarga perempuan itu. Dia mengambil posisi tepat di depanku.

“Ayahku meninggal disambar petir di lapangan golf, beliau kalah cepat berlari menghindari petir. Anakku meninggal kesentrum kabel tiang listrik yang putus karena disambar petir. Suamiku pergi meninggalkanku saat hujan deras persis setelah penguburan anakku. Aku tak sedang mencintai hujan, aku merayakan duka bersamanya.”

Perempuan itu pergi dan menutup pintu ruang kerjanya.

Heavy Downpour

Bandung, 05 Februari 2013

Sepatu

Standar

Ada setumpuk lembaran foto perempuan di mejanya bersama dengan curriculum vitae yang bercerita tentang latar belakang pendidikan, pekerjaan dan organisasi sampai hobi dan kegiatan sosial. Tumpukan surat lamaran itu bukan untuk pekerjaan, tapi melamar dirinya sebagai seorang calon suami dengan masa depan luar biasa. Apakah perempuan-perempuan itu secara sadar mengirimkan surat lamaran kepadanya? Sebagian ternyata iya, karena tim comblang yang pimpinan ibunya memasukkan nama dan curriculum vitae dia penuh bumbu ke dalam sebuah kolom kotak jodoh di majalah dan berbagai situs perjodohan. Sebagian lagi tidak, merasa tak cukup menjual dirinya pada biro jodoh, sang ibu menjual dirinya pada kyai di berbagai pesantren dan pengajian, taaruf, perjodohan secara islami dilakukan sang ibu dengan memberikan sedekah sebanyak yang diminta. Entah berapa rupiah sudah dikeluarkan sang ibu untuk mempertemukannya dengan perempuan terbaik versi ibu yang layak mendampinginya sampai mati nanti.

Sang ibu sudah kehabisan daftar perempuan dalam keluarga besar mereka yang dijodohkan padanya dan selalu ditolak secara halus. Ratusan kali dia ditenteng ibu untuk menemaninya ke pesta pernikahan, pesta kematian, undangan seminar, seremoni pengukuhan doctoral, wisuda, peresmian gedung baru sampai acara arisan RT. Dia tak pernah menolak permintaan ibu kecuali soal jodoh. Dengan senyum tulus dia akan menjabat tangan semua perempuan yang dikenalkan sang ibu padanya. Bercakap-cakap serius setiap perempuan yang didatangkan ke rumah untuk makan malam bersama. Tapi tetap saja, hatinya belum lagi tersentuh dengan perempuan mana pun dalam lima tahun terakhir sejak perempuan bersepatu gunung meninggalkannya di atas bukit belakang rumahnya.

Lelaki itu memandangi perempuan bersepatu gunung itu dalam laman facebook-nya. Tak ada perkembangan status sejak tiga bulan lalu ketika perempuan itu menuliskan,”sejauh kaki ini melangkah, tak akan pernah jauh dari hatimu.” Lelaki itu memandangi profil picture perempuan bersepatu gunung yang hanya memajang foto kaki mulai dari lutut dibalut celana kargo berwarna hijau lumut dan tentu saja sepatu gunungnya dengan model boot berwarna hitam dan cover picture laman itu adalah foto bukit di belakang rumah lelaki itu. Dia yakin sekali itu foto bukit di belakang rumahnya, tempat mereka pernah mengukir kisah tiga hari.

Sesekali ujung bibirnya tertarik bersamaan ke kiri dan kanan memandangi foto itu dan membaca berkali-kali status yang sempat dituliskan perempuan itu juga belasan tanggapan dari kawan-kawannya. Belasan foto yang men-tag perempuan itu dibukanya dan dia akan meng-klik kanan “save image” memindahkan dari facebook pada folder laptopnya berjudul “sepatu gunungmu”. Kecuali foto yang di-tag kawan, rekan dan keluarganya, perempuan itu tak pernah memajang foto dengan wajahnya terpampang, dia hanya menampilkan kaki dengan sepatu gunung model boot hitamnya dengan caption lokasi dia melangkah.

“Sepatu ini adalah sepatu gunungku yang pertama, tercinta yang aku beli dengan susah payah. Bermimpi tahunan untuk bisa beli sepatu ini. Gajiku tak pernah cukup. Jadi aku janji sama diri sendiri, kalau uangnya terkumpul, aku mau beli sepatu ini dan bersamanya akan berkelilingi dunia, kemanapun dia suka,”kata perempuan itu sambil mengelus boot hitamnya yang sudah berlubang kecil sana-sini.

Lelaki itu masih ingat sekali penjelasan perempuan dengan sepatu gunung itu tentang lubang-lubang kecil itu,”oh ini lubang semut, kayaknya sih. Mungkin karena jarang aku cuci. Hahaha.” Tawanya meledak tengah malam di luar tenda di bukit belakang rumahnya.

Lelaki tersenyum lebih lebar dengan jajaran gigi putihnya terpantul dari layar laptop. Senyumnya bercampur setitik air mata yang jatuh dan buru-buru dia usap dengan tangan dan melepas pandangan keluar kaca jendela kamar yang terbuka lebar. Di luar hujan menggedor jendela, airnya pecah berpencar begitu sampai di atas kaca, sebagian merembes lewat pinggir kusen sebagian menjadi gerimis dan membasahi meja dan laptop juga wajahnya. Angin berhembus kencang menerbangkan tumpukan foto dan curriculum vitae perempuan-perempuan pilihan sang ibu. Kamar itu menjadi gelap karena mendung hujan dan angin, tak sedikit pun dia berniat beranjak dari kursinya untuk menyalakan lampu.

Film-film pendek kenangan terputar sambung menyambung pada layar di dalam kepalanya, tentang perempuan bersepatu gunung warna hitam dengan lubang-lubang kecil pada solnya yang berlari lincah meloncati batu-batu di atas sungai yang airnya kian jarang di bukit belakang rumahnya. Tentang pertemuan kebetulan berkali-kali dengannya dalam berbagai kesempatan saat perempuan itu memberikan materi tentang penyelamatan diri dari bencana alam, pada seminar dan workshop tentang penyelamatan bumi. Lelaki itu penyandang dana pada organisasi yang mengundang perempuan bersepatu gunung itu. Mata lelaki itu tak pernah jauh dari sepatu gunung yang dikenakan perempuan itu.

“Kenapa melihat terus sepatuku?,”kata perempuan itu sambil menyerahkan segelas air putih pada saat coffee break di sebuah seminar.

“Aku iri pada sepatumu. Berapa sering dia ikut denganmu berpetualang?,”kata Lelaki itu dengan muka memerah seperti koruptor tertangkap tangan, hanya saja dia tak berusaha menutupi kelakuannya dengan ceramah.

“Dia ikut kemana pun aku pergi, kecuali tidur dan mandi barangkali. Aku punya beberapa pasang sepatu hiking tapi cuma sepatu ini yang aku suka, mungkin karena kenyamanannya, mungkin juga karena kenangannya. Sesuatu yang ngga mungkin dapat terganti dan terbeli adalah memori,”kata perempuan itu sambil berlalu meninggalkan lelaki yang tak juga melepas pandangannya pada sepatu gunung berwarna hitam yang membalut telapak kaki perempuan itu.

Lelaki itu bertekad menghentikan kebetulan yang terus terjadi di antara dia dan perempuan bersepatu gunung itu. Usai acara dia memberanikan diri menemui perempuan itu dan mengenalkan dirinya. Perempuan itu tersenyum ramah.

“Aku tahu siapa anda Tuan Ardi. Anda yang penyandang dana terbesar organisasi kami, bagaimana mungkin saya tidak mengenali Anda. Saya Lita.” Dia menyodorkan tangannya.

Hari-hari selanjutnya begitu mudah bagi mereka untuk dilewati bersama; di café dan di depan laptop, bercakap melalui skype karena jarak seringkali memisahkan mereka. Ardi pada pertemuan-pertemuan bisnis, Lita di wilayah-wilayah yang menjadi korban bencana alam, di kamp-kamp pengungsian.

“Suatu hari kamu harus meninggalkan sepatu pantofelmu dan ikut bersamamu menengok orang-orang yang menerima sumbanganmu secara langsung. Apa kamu ngga ingin tahu bagaimana kamu menyalurkan danamu?,” tulis perempuan itu dalam percakapannya di skype.

Tapi lelaki itu tak pernah bisa mencuri waktu untuk menanggalkan dasi dan sepatu pantofelnya, hidupnya untuk bekerja. Dia lupa kapan terakhir menikmati liburan. Sampai suatu hari perempuan bersepatu gunung itu datang ke rumahnya.

“Aku tahu dari teman-teman rumahmu di kaki bukit. Yuk kita berkemah. Aku yakin seumur hidupmu tak pernah sekali pun kamu merasakan tidur di bawah langit kan?”

Ibu tentu tak mengizinkan, tapi tidak juga bisa menolak keinginan lelaki itu dengan senyum tulus dan suara bernada rendah dan tegas itu. Di balik tirai rumah, Ibu memandangi tubuh anaknya yang hilang di balik pagar tinggi rumah mereka.

Tiga hari dua malam mereka habiskan di atas bukit perumahan mewah, persis seperti perkemahan Sabtu Minggu yang biasa diadakan masa sekolah yang juga tak pernah diikuti lelaki itu. Dua malam mereka tidur dalam kantong masing-masing dengan wajah berdekatan. Lelaki itu tak tertidur karena takut mengorok terlalu keras dan mengganggu perempuan yang kini bersemayam indah di hatinya, yang tertidur dengan suara mendengkur yang sangat halus. Tutup kepala kantong tidur itu menutup sebagian besar wajah si perempuan meninggalkan bibir tebal berwarna merah jambu yang lembut. Ingin sekali lelaki itu menyentuhnya, sekedar menyentuhnya tapi tertahan entah oleh apa. Mereka berbagi cerita tentang cita-cita untuk dunia yang lebih baik, bermimpi tak ada yang berlebihan.

Cahaya kilat memancar dari luar jendela diiringi suara petir tak lama kemudian, membangunkannya dari lamunan. Meja dan laptop basah air hujan, foto-foto perempuan dan surat lamaran berserakan di lantai tertiup angin. Lelaki itu hendak melangkah keluar kamar ketika kakinya tersandung paket bersampul coklat. Barangkali Mba Inah yang menaruhnya di sana setelah lelaki itu dipanggil tanpa menyahut. Paket itu dibukanya. Sepatu gunung berwarna hitam dengan lubang-lubang semut pada sol karetnya datang bersama selembar surat.

Dear Ardi

Semoga sepatu ini sampai dengan selamat ke tanganmu. Aku memberikan sepatu ini padamu, kurasa ukuran kaki kita sama, ya aku yakin sama. Kalau pun kesempitan, simpan saja ya. Petualanganku sudah selesai dan aku harap kamu mau memulai petualanganmu. Syukur-syukur bersama sepatu ini, dia akan lebih awet kalau dikenakan terus, tidak disimpan. Solnya baru aku ganti beberapa bulan lalu, jadi aman lah untuk beberapa waktu ke depan.

Ada banyak yang ingin aku ceritakan, tapi aku terlalu lelah. Seberapa besar pun semangat untuk melanjutkan petualangan, badanku sudah menolak. Aku rasa harus tahu diri. Aku harus istirahat.

Cheers

Lita

Pada lembar pos pengirim tercantum nama kota Berlin, tertanggal pengiriman satu bulan lalu.

Lelaki itu kembali ke bangkunya dengan kotak sepatu di pangkuan. Dia kembali ke laman facebook perempuan dengan sepatu gunung hitam, sebuah pesan dari seorang masuk ke time-line laman itu.

RIP Lita… we are going to miss you a lot…. 😥

Dan dia tak sempat menyampaikan rasa cintanya…..

 

Bandung, 1 Februari 2013

IMG-20121029-00197