‘Kopinya buruan diminum, nanti kalau dingin ga enak.’
‘Kalau panas, bagaimana bisa diminum, nanti terbakar lidahku,’ matanya memandang sinis perempuan di depannya. Selalu dalam jumlah yang sama, tiga sachet brown sugar yang diaduk dalam gelas kopi panasnya.
‘Tapi kopi memang harus begitu minumnya. Sepanas mungkin. Lagian di kedai kopi begini, mana ada kopi yang benar-benar panas. Kopi dingin itu akal-akalan manusia modern. Lagian itu gula jangan kebanyakan kenapa, nanti kamu diabetes.’
‘Astaga cerewetnya perempuan ini.’
Sebelum dia minum, gelas kopi perempuan itu sudah kosong.
‘Bagaimana bisa kamu minum kopi secepat itu? Ini kopi panas, bukan air putih.’
‘Terus kenapa? Aku ceritakan tentang kopi ya.’
Ini bukan pertama kalinya mereka pergi berdua minum kopi, tapi selalu hal yang sama yang mereka debat, tentang kopi yang tidak pernah terlalu panas buat perempuan itu, atau gula yang terlalu banyak bagi lelaki itu. Tentang kopi, perempuan ini punya banyak cerita, tentang sejarah yang nyata atau rekayasa, lelaki itu selalu menjadi pendengar yang baik. Barangkali bukan isi ceritanya yang dia simak, tapi dia senang mendengar perempuan ini bercerita dengan wajahnya yang serius, berapi-api. Dia hanya akan menanggapi dengan senyum dan anggukan.
‘Mau dengar ceritaku ga?’
‘Tumben nanya, biasanya tanpa permisi kamu juga langsung nyerocos.’
Jadi, kata perempuan itu, kopi itu tanaman liar di Abyssina, Ethopia. Suatu kali musafir Arab kelaparan di gurun, mereka mencari buah berry dan melihat kambing juga onta memakan buah ini. Mereka mengambil, mengupas buah, wanginya menyengat lembut. Karena tak bisa dikunyah, mereka tumbuk lalu direbus bersama air. Rasanya pahit, tapi enak, perasaan mereka berubah gembira, semangat terpacu dan tumbuh mereka menjadi hangat setelah minum rebusan buah berry yang kemudian oleh orang Arab disebut sebagai Qawah.
Biji kopi ini dibawa ke Arab dan diolah di sana. Tabib sekelas Ibnu Sina bahkan merekomendasikan minuman kopi untuk menyehatkan tubuh terutama pencernaan dan juga buat kesehatan kulit, menghilangkan bau badan.
Lelaki tiba-tiba menyodorkan ketiaknya ke hadapan perempuan itu yang menjerit kaget.
‘Bau ga?’
‘Bau! Mandi dulu lah sebelum keluar rumah kenapa?’
Anyway, lanjutnya. Lewat Jemaah haji yang rutin datang ke Arab lah kemudian minuman kopi terdengar di seluruh dunia. Di Turki mereka disebut Kahva, lalu lidah Inggris menyebutnya Coffee dan kita menyebutnya Kopi. Lalu terkenalah Coffee Arabica, meskipun asalnya dari Ethiopia. Bangsa Eropa yang kemudian mencoba menanam kopi di negara-negara jajahan mereka, apalagi kalau bukan dengan model kerja paksa. Belanda yang pertama berhasil kembangkan perkebunan kopinya di Jawa tahun 1696. Kebun pertamanya di Kedaung, Jakarta tapi sempat hancur karena banjir bandang. Beberapa tahun kemudian baru mereka bisa betulan sukses menanam tak Cuma di Jawa, tapi juga di Sumatra, Sulawesi, Timor dan Bali.
Inggris menemukan kopi pertamanya di tanah jajahan di India dan menyebarkannya ke Jamaica, Perancis dan Spanyol membawa kopi ke Amerika Selatan, ke wilayah Brasil, Venezuela, Cuba dan Meksiko.
‘Jadi kopi pertama itu justru di Arab?’
‘Iya. Jadi ya kebiasaan minum kopi nyambung dengan kegiatan ibadah. Kan sembahyang malam biasanya dilanjut dengan berzikir sampai subuh. Kopilah yang membuat mereka tetap segar sepanjang malam.’
‘Yang ga ibadah?’
‘Nah itu, bentar aku menuju kesana.’
Tentu saja ini peluang bisnis dong, karena ternyata kopi dikonsumsi semua orang, lelaki dan perempuan. Ingat LELAKI DAN PEREMPUAN. Dalam sejarah yang kubaca, tidak ada tuh cerita bahwa kopi hitam itu lambang keperkasaan lelaki! Di Turki, kalau seorang suami tak sanggup memberikan kopi pada si istri, bisa jadi bahan perceraian tahu gak.
‘Yaaah, kok marahnya ke aku. Kan aku enggak pernah mengasosiasikan kopi dengan jenis kelamin. Buktinya kita berdua di sini, sama – sama minum kopi hitam.’
‘Kesel habisnya. Ada aja orang yang suka bilang minum kopi pake susu itu cemen, perempuan banget, sementara kopi hitam itu miliknya lelaki.’
‘Aku juga kadang-kadang minum kopi susu, kamu lihat aku kurang perkasa apa coba?’
Perempuan itu terbahak-bahak
‘Eh tapi yak, dokter di tahun 1600-an bilang, minum kopi pake susu itu justru berbahaya memang, karena bikin resiko kena kusta. Tapi boleh didebat sih, kan ilmu kesehatan juga terus berkembang.’
Lanjut ya, tadi sampai komersialisasi kopi. Kedai kopi pertama itu adanya di Mekkah. Tempatnya ramai, lelaki dan perempuan jadi satu, mereka ngobrol, nyanyi-nyanyi dan berdansa. Tahu kan yang kayak gini kadang bikin alergi muslim fanatic, apalagi setelah ketahuan mereka meninggalkan ibadah buat nongkrong nongkrong. Akhirnya Gubernur Mekkah mengundang ulama dan tabib untuk diskusi soal ini. Ujung ujungnya mereka menyatakan kopi itu haram dan kedai kopi harus tutup.
Waktu itu Mekkah ada di bawah kesultanan Mesir yang di Kairo, kopi bukan barang haram. Sultan marah dong, ‘Eits berani-beraninya dia melarang kopi yang di kotaku saja tidak ada larangan itu.’
‘Emang begitu gaya dia bicara?’
‘Aaaah kamu ini, ya begitu ceritanya.’
Jadi Gubernur Mekkah menarik kembali larangannya, kedai kopi dibuka, semua gembira.
‘Ooh gitu. Terus bisa sampai ke Eropa gimana ceritanya?’
Jadi selain hubungan diplomati, misalnya Sultan Turki dalam lawatannya ke negara eropa, mereka suka bawa kopi dan menyajikannya langsung pada para tamu, kopi juga dibawa oleh para petualang eropa. Tapi ternyata tidak gampang buat orang Eropa menerima invasi kopi ke wilayah mereka.
Lagi-lagi urusannya sama agam neh. Karena kopi berasal dari Arab, negaranya orang Muslim, mereka melarang kopi masuk, ini buatan setan, kopinya orang jahat kata mereka. Tapi kan kopi sudah kadung terkenal dan tanpa sepengetahuan gereja, orang eropa sudah menjajal ini. Paus Clemency VIII penasaran ingin tahu rasanya kopi dan akhirnya mencoba. ‘Wah ternyata enak minuman buatan Setan ini. Sayang kalau hanya dikuasai Muslim, mari kita baptis agar menjadi minuman resmi umat Kristiani.’
Kali ini lelaki itu yang terbahak-bahak …. ‘Cerita itu benaran?’
‘Lah iya beneran, aku baca bukunya kok, All About Coffee, The Evolution of a Cup of Coffee’
Lelaki itu masih tertawa. Bukan ceritanya yang selalu menghibur buat dia, tapi bagaimana perempuan itu bercerita, benarkan, dia selalu bisa membuatnya tertawa.
‘Aku pesan kopi lagi ya, sebentar.’
‘Open bill aja, nanti aku yang bayar.’
‘Nggak lah, aku bayar sendiri.’
‘Kenapa sih? Aku kan ingin bayarin kopimu, ini cuma 30 ribu rupiah kok.’
‘Ih justru karena cuma 30 ribu rupiah, kalau segini doang sih aku masih sanggup bayar sendiri.’
Lelaki itu tahu perempuan itu tidak pernah mau dibayarinya, kecuali sekali waktu dia memberikan kejutan, secangkir kopi panas untuk perempuan itu saat dia di depan meja kerjanya.
‘Aku lanjutkan ceritanya ya. Eh tapi kalau membosankan, boleh kamu sela, nanti kita bahas yang lain.’
‘No problem, keep talking. I like to hear all the story.’
Selama masih bisa memandangi dan mendengarkannya cerita, lelaki itu bersedia sampai berapa lama pun. Sudah dia batalkan janji dengan dokter gigi, dan rapat dengan klien. Semua menjadi tak penting, karena waktu bisa saja terhenti untuknya kapan pun semesta berkehendak.
Sampai mana tadi? Oh iya, sampai pembaptisan kopi.
Setelah kopi menjadi ‘Kristen’ tak ada lagi masalah di eropa untuk menikmati kopi. Kedai kopi pertama di Eropa adanya di Venesia, Italia Florian Caffe.
‘Loh bukan di Belanda justru?’
‘Eh bukan. Kan masuknya ke Eropa kan sebelum Belanda kembangkan di Jawa. Jadi setelah yang di Jawa sukses, Belanda kemudian jadi pedagang kopi terkenal di daratan Eropa. Mereka memberikan bibit kopi ke seluruh taman botanical di Eropa, semacam pamer gitu deh.’
‘Ah okay. Tapi sebelum kopi kan Eropa cuma minum bir dan anggur.’
Nah itu yang menarik. Jadi Raja Frederik di Jerman, melihat kebiasaan minum kopi ini bakal mengancam perdagangan bir di negara itu. Tahu kan di setiap wilayah di Jerman, mereka kembangkan bir nya sendiri. Wajar kalau Raja khawatir soal nasib perdagangan dan eksistensi bir terancam oleh kopi. Jadi dia bikin kebijakan untuk hanya mengimpor biji kopi, tapi mesin penggiling, pembuat kopi sampai cangkir harus diproduksi sendiri oleh Jerman!
‘Wooohhooo, that’s a great move thou. Am I right?’
‘I guess you are right on that one.’
‘No. I am always right’
‘Yeah, and I am always LEFT’
Mereka berdua tertawa.
‘So then? Carry on?
‘Aku belum selesai membacanya. Nanti lagi ya aku lanjut kalau sudah ada yang bisa aku bagi lagi sama kamu.’
‘Why are you telling all the story?’
‘Karena aku takut lupa. Bercerita ulang adalah caraku mengingat dan kamu bisa mengingatkanku kalau suatu hari aku lupa dengan ceritaku ini.’
‘Bagaimana kalau suatu hari itu tidak pernah datang?’
‘Hah? Maksudmu apaan?’
‘Nothing. Beli kopi dibawa pulang yuk. Aku mau istirahat, badan rasanya rontok gini.’
Perempuan itu tahu, dia tak salah dengar soal suatu hari itu…. Waktu mereka memang tak banyak. Buku itu harus segera selesai dibacanya.

(D’Joglo, Double Six, Seminyak, Bali)