Saya menemukan kembali buku The Shock Doctrine karya Naomi Klein yang sudah hampir setahun tersimpan dalam boks plastic. Pas banget momentnya saat di negara yang semuanya serba lebay ini, ada sebagian orang yang bernostalgia tentang indahnya zaman Orde Baru dan menginginkannya kembali. Ah kamu ini, buta sejarah, malas membaca, atau mungkin harga dirimu terbayar sudah?
Buku ini diawali tentang Milton Friedman, bapake Chicago School (yang selama saya membacanya selalu kepeleset dengan Chicago Bulls-tim basket asal Chicago xixixi) yang ingin sekali ideologi pasar bebasnya bisa hidup. Saya bukan ekonom dan tidak bisa menjelaskan secara detail apa yang dia teorikan dalam Neoliberalism. Yang saya bisa ringkaskan adalah Pasar dibuka secara bebas untuk swasta dan pemerintah tak bisa memasuki atau mengaturnya. Segala sesuatu biar pasar yang menentukan, penguasa berkuasa, bahkan atas negara (bikin saya keselek) bahkan apa-apa yang semula diatur negara harus diserahkan pada swasta dalam istilah privatisasi… ahai… inget ya masa-masa kita ribut tentang air yang diprivatisasi di Jakarta dengan dua operatornya, mata air yang dikuasai oleh perusahaan sementara warga sekelilingnya kekeringan… ah … masa itu belum lewat, kamu hanya perlu membaca koran pagi ini.
Ekonomi adalah science karena itu teorinya harus dipraktekkan, diujicoba. Maka negara pertama yang jadi laboratorium bagi Friedman adalah Chille, yang saat itu dipimpin dictator Augusto Pinochet ditahun 70-an. Ketika negara dalam krisis ekonomi, Friedman menawarkan sejumlah proposal rencana perbaikan, persis seperti dibicarakan di atas, apa-apa yang dimiliki negara harus diprivatisasi, dilelang dan swasta masuk. Siapa yang menghalangi rencana ini akan diculik, disiksa atau langsung dihilangkan.
Bab kedua dalam buku ini bicara tentang Penyiksaan (Torture) dengan sengatan listrik yang dimaksudkan agar si penderita jera, dan mengakui ‘kebenaran’ yang didoktrinkan padanya. Seorang psikiatri (saya lupa namanya – Cameron kalau nda salah) juga berperan mengujicoba teorinya tentang brainwashing, pencucian otak dengan sengatan listrik. Bagian ini terus terang mengerikan buat saya, persis yang digambarkan George Orwell 1984 yang juga dikutip dalam pembukaan bab ‘Kami akan menghabisi ‘kamu’ mengosongkan ‘kamu’ lalu mengisimu dengan yang baru.’
Apa yang terjadi di Chile, merambat ke Bolivia (yang ketika shock doctrine pasar bebas tidak berhasil dan mereka terpuruk secara ekonomi, Friedman dengan gampangnya mengusulkan – Ya sudah, jual Coca saja atau Kokain, pasanya di Amerika, dan yes,itu mendongkrak perekonomian Bolivia, yang pada tahun-tahun berikutnya Amerika datang seperti pahlawan melawan peredaran narkotika – war on drug) lalu ke Argentina, Brasil, Ekuador, Venezuela, yang kawasan ini disebut sebagai Southern Cone. Lalu mereka ke Asia.
Di Indonesia, penentang teori pasar bebas ini adalah Soekarno. Amerika melihat Soekarno sebagai ancaman yang harus disingkirkan… Voila, Soeharto muncul. Didukung CIA, Soeharto menyingkirkan Soekarno dan ketakutan terhadap Komunisme dilancarkan, hingga sekarang. Soeharto dapat pelajaran khusus tentang neoliberalisme, didikte langsung lewat rekaman kaset oleh ekonom ekonom UI dalan jaringan Barkeley Mafia. Satu-satu perusahaan asing muncul, Freeport lah yang paling besar mendapat porsi, hingga sekarang. Lagi-lagi mereka yang menentang pun dihilangkan…
Setelah Asia, lalu Eropa. Inggris mendapatkan angin untuk menerapkan neoliberalisme di masa Margaret Theacher berkuasa. Tapi tak semudah itu langkahnya, butuh musuh bersama untuk mendapatkan dukungan dari rakyat, Perang Falkland adalah jawabannya. Setelah Teacher mendapat kepercayaan dari rakyatnya, paham itu mulai masuk. Bahwa seseorang bertanggungjawab penuh pada dirinya sendiri, bukan negara. Harga-harga property mulai naik, serikat buruh memulai dipangkas perannya. Lalu Polandia, lalu Rusia di masa Yeltsin sampai Putin berkuasa.
Bagaimana teori ini bisa bergerak?
Diawali dengan pendidikan. Iyes. Pendidikan adalah bentuk doktrinisasi yang sebenarnya. Pengikut teori pasar bebas adalah murid-murid Milton Friedman yang berasal dari negara-negara yang disebut di atas. Mereka menjadi penasihat-penasihat ekonomi di negaranya.
Kemudian setelah negara dalam krisis ekonomi, muncullah dua organisasi penyelamat dunia, IMF dan World Bank yang siap mengucurkan pinjaman dengan SYARAT dan KETENTUAN berlaku, yaitu melepaskan kuasa negara pada sector-sektor yang mereka tahu persis menguntungkan seperti pertambangan dan energi, subsidi kesehatan dan pendidikan harus dipangkas karena dianggap membebani anggaran negara…. Sounds familiar sekarang ya? Oh iya, IMF dan World Bank tidak akan membantu negara yang mereka nilai tidak punya sumber daya menguntungkan.
Di Asia, hanya Malaysia yang saat itu dipimpin Mahathir Muhammad yang berani menolak ‘kebaikan’ IMF. Selebihnya terjebak dalam hutang yang diwariskan pada generasi berikutnya.
Apakah investasi IMF dan World Bank berhasil? Tidak selalu. Di negara-negara yang mereka kucurkan dananya itu malah bermasalah, korupsi besar-besaran seperti di Rusia dan Indonesia. Dananya dialirkan pada kroni-kroni mereka sendiri, bukan perusahaan multinasional seperti niatan semula. Sementara di dalam negara-negara dengan menerapkan teori ini, jurang pemisah antara kaya dan miskin ini luar biasa besar, penikmat kekayaan negara adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan, rakyatnya tetap melarat, tingkat pengangguran tinggi dan pelanggaran ham tak terbilang.
Chicago Boys – penganut Chicago School butuh laboratorium baru untuk menerapkan langkah baru. Sebuah negara yang bisa di’bersihkan’ dan dibentuk baru. 11 September 2001 seperti sebuah jawaban. Amerika butuh musuh baru untuk kembali mendapatkan dukungan rakyatnya. War on Teror digadang-gadang. Adalah Donald Rusmfeld yang berhasil menjadikan ini sebagai ladang dagangan baru. Bisnis militer tak lagi berpusat pada penambahan jumlah manusia, tapi pada teknologi. Semua diprivatisasi. Kenapa negara harus merekrut sendiri tentaranya kalau ada outsource yang bisa menyediakan dan melatih mereka, perbandingannya ada 1 tentara ‘bayaran’ di antara 4 tentara pemerintah. Teknologi surveillance ditingkatkan. Di bab terakhir sebelum kesimpulan Naomi Klein bilang yang mendapatkan untung besar dalam pasar teknologi surveillance ini adalah Israel. Jargon Israel adalah ‘kita tak butuh perdamaian, tapi kita butuh pengamanan’. ‘Terorism’ jadi musuh utama dunia.
Iraq menjadi laboratorium berikutnya, seperti dibersihkan dari akar budaya mereka, Amerika dan sekutunya datang dengan tudingan membersikan senjata pembunuh massal yang dikemudian hari Tony Blair bekas Perdana Menteri Inggris mengakuinya sebagai kesalahan. Di Iraq, mereka menghancurkan warisan budaya dan museum-museum. Di dalam penjara Abu Gharaib, cendikia Irak diculik, dihinakan. Mereka dipaksa mengencingi al Quran, lalu diberi waktu makan ‘enak’ dengan Mc.Donald, menonton film-film Hollywood dan mengenalkan demokrasi sebagai sebuah ideologi yang jauh lebih baik daripada Islam. Sebagian yang dikeluarkan dari penjara dengan bilang, ‘penangkapanmu adalah kesalahan.’
Yup… saya menyebut WHAT THE FUCK berkali-kali selama membaca buku ini…
Tidak cukup dengan perang, Chicago Boys datang dalam bentuk ‘AID’ atau bantuan kemanusiaan ketika Shock dalam bentuk bencana alam datang, Tsunami 2005. Contoh yang diberikan oleh Naomi adalah Bangladesh. Ketika USAID datang dengan bantuan kemanusiaan, yang dimaksudkan adalah memindahkan para nelayan dari sebuah tempat yang kemudian disulap menjadi resort dan dikuasai kapitalis wisata. Bali adalah benchmark mereka… ya ya… saya juga terkesima…
Satu bagian yang perlu juga saya bagi adalah tentang Israel. Kenapa Amerika tidak mungkin memberikan tekanan pada Israel sementara dunia menuntut mereka untuk menghentikan genosida pada bangsa Palestina? Penjelasan Naomi Klein mungkin menjadi jawabannya.
Salah Yeltsin yang membom parlemen Rusia tahun 1990an, dan membuat ribuan Yahudi di negara itu kabur ke Israel untuk mencari aman. Di antara pengungsi Yahudi ini adalah mereka orang-orang penting dan pintar semasa perang dingin dan dikemudian hari berguna untuk membangun Israel sebagai negara pengekspor teknologi keamanan terbesar di dunia dan Amerika sangat bergantung padanya. Sementara dengan banyaknya pengungsi ini tentu saja menimbulkan masalah social dan urusan tempat tinggal, mulailah urusan perebutan wilayah Palestina oleh Israel ini muncul. Tidak Cuma tanah yang direbut, tapi mereka juga menuntup akses ekonomi orang-orang Palestina di Israel dan karena mereka sudah merasa ‘dilindungi’ Amerika dan tidak bergantung pada negara-negara Arab lainnya, Israel tak merasa perlu membina hubungan baik dengan semenanjung Arab. Paham yak… boleh didebat… jadi selama Amerika punya pertalian pasar dengan Israel, selama itu pulak, siapa pun yang memimpin negara itu, tak bisa diharapkan untuk menuntaskan masalah Israel – Palestina.
Pada kesimpulannya Naomi bilang, yang bisa menyelamatkan sebuah negara adalah kekuatan dari dalam, kekuatan dan solidaritas rakyatnya sendiri. Di Thailand, kapitalisme pariwisata tak sukses menyingkirkan korban tsunami karena negaranya bergerak cepat, rakyatnya saling membantu dan tak mengandalkan bantuan asing. (naomi tak mencontohkan Aceh sayangnya). Lalu di Southern Cone, negara-negara Amerika Selatan bersatu, mereka membuka pasar untuk wilayahnya sendiri. Menolak kehadiran IMF dan World Bank di kawasan ini dan mereka tidak lagi mengirimkan anak mudanya belajar ekonomi di Amerika. Mereka berdaulat.
Tidak semua hal jelek kan dari pasar bebas, tentu saja tidak, semua bisa didebatkan. Tanpa control pemerintah sama sekali, Pasar Bebas itu macam hutan belantara, yang besar yang berkuasa, keuntungan hanya milik sebagian orang. Lalu muncullah istilah Democrat Socialism, hanya sayangnya dibahas sedikit oleh Naomi Klein. Negara tetap berkuasa dan berdaulat sementara pasar tetap dibuka untuk investasi asing tapi tidak untung menguasai hal-hal yang berimplikasi pada kemaslahatan orang banyak terutama pendidikan dan kesehatan.
Sebagai penuntup, saya kutipkan Naomi Klein, ‘bahwa penikmat dan pengambil keuntungan sesungguhnya tak pernah benar-benar ada dalam medan perang’
btw, seperti rekomendasi dalam sampul belakang, buku ini memang seru dibaca di mana aja dan kapan saja. Terpengaruh oleh latar belakang Naomi yang jurnalis itu, bahasa yang dia gunakan juga sederhana dan sangat mudah dicerna.
