
Suatu hari saya menyampaikan kekesalan kepada mami setelah diputusin pacar, bukan soal diputusinnya tapi karena lelaki itu bilang, “orang Sunda cuma bisa dandan dan boros,” betulkah begitu mam? Sambil tetap menggoreskan pensil alis di alisnya yang tipis, mami saya tersenyum, “terus kenapa kalau suka dandan? Orang berdandan itu untuk menyenangkan diri sendiri kok repot, terus orang mau apa kalau tahu kita punya masalah? Bisa bantu?”
Soal stereotype tentang orang Sunda, biarlah dibahas orang lain, tapi kata-kata mami itu nyangkut sampai hari ini. Saya bukan orang yang suka dandan, karena merasa tak perlu, cukup pelembab muka biar ga kering, ditambah bedak dan lipstick, selesai. Karena tak suka dandan, dan merasa tak perlu, maka saya tak peduli para merk make up semahal apapun. Buat saya, yang penting cocok dan nyaman untuk dipakai.
Saya paham ada perempuan-perempuan yang menjadi korban “beauty made by capitalist” beauty made by commercial” memutihkan kulit sampai mengorbankan diri kena kanker kulit karena ingin cantik sesuai standard iklan di televisi dan majalah kecantikan. Saya tahu mereka yang rela mengeluarkan delapan puluh persen penghasilannya hanya untuk make up karena memang tuntutan pekerjaan mereka. Saya pernah bertengkar dengan salah satunya, “lu tuh mestinya dandan waktu ketemu klien, biar mereka senang,” lalu saya menjawab, “the product is not ME! But my work” itu saja. Saya gagal jualan salah satu produk make up multi-level marketing karena tidak bisa menyakinkan orang dengan tampilan saya yang polos-polos saja. Kalau tentang perawatan badannya saya bisa, kalau make up nya saya nyerah.
Cukup lama saya ingin bertemu dengan perempuan lain yang berdandan karena memang untuk dirinya sendiri, bukan karena tuntutan pekerjaan atau karena ingin memenuhi kriteria cantik buatan agency marketing dan para kapitalis make up, selain ibu saya tentu saja. Sampai saya berjumpa dengan beberapa kawan baru. Terlepas dari lima belas lapis perawatan dan make up yang dia lakukan setiap hari, yang membuat saya menganga, saya paham, make up is part of her self-defense mechanism dari kehidupan di luar dirinya yang dia anggap mengancam, self-trauma healing dari kesedihan yang dialaminya. Make up memang membantunya bersembunyi dari masalah and she does not want to be found! Ya udah, terima saja tanpa menghakimi.
Setelah hampir setahun bertemu dan berkawan dengan perempuan-perempuan di lapas perempuan Bandung, saya semakin paham, make up membantu mereka beradaptasi dengan situasi. “Kalau waktu di luar gue dandan karena pengen terlihat menarik, sekarang di sini gue dandan ya karena gue pengen dandan.” Begitu saja.
Mami mengajari saya untuk memahami make up sebagai topeng menutupi masalah dan itu soal pilihan, termasuk saya yang memilih untuk polos-polos saja. Berhentilah menghakimi penampilan orang lain, berhentilah untuk kepoin perempuan di balik make up nya, terima itu sebagai pilihan hidupnya. Yang boleh dilakukan adalah memberikan pilihan-pilihan tentang kesehatan agar tak termakan jargon produk alami padahal tidak, agar tak mengorbankan kesehatannya sendiri.
Lewat tulisan ini, saya ingin berterima kasih untuk para donator yang memberikan make up sisa dan yang tak terpakai kepada kawankawan warga binaan di lapas perempuan Bandung. Sumbangan make up ini sangat berarti buat teman-teman di sana, lebih dari sekedar untuk tampil cantik saat naik pentas, tapi untuk hari-hari berhadapan dengan sepi.