Category Archives: opini

tentang apa pun

Review The Shock Therapy – Naomi Klein_’Pasar Bebas dan Shock Therapy Yang Mengerikan’

Standar

Saya menemukan kembali buku The Shock Doctrine karya Naomi Klein yang sudah hampir setahun tersimpan dalam boks plastic. Pas banget momentnya saat di negara yang semuanya serba lebay ini, ada sebagian orang yang bernostalgia tentang indahnya zaman Orde Baru dan menginginkannya kembali. Ah kamu ini, buta sejarah, malas membaca, atau mungkin harga dirimu terbayar sudah?

Buku ini diawali tentang Milton Friedman, bapake Chicago School (yang selama saya membacanya selalu kepeleset dengan Chicago Bulls-tim basket asal Chicago xixixi) yang ingin sekali ideologi pasar bebasnya bisa hidup. Saya bukan ekonom dan tidak bisa menjelaskan secara detail apa yang dia teorikan dalam Neoliberalism. Yang saya bisa ringkaskan adalah Pasar dibuka secara bebas untuk swasta dan pemerintah tak bisa memasuki atau mengaturnya. Segala sesuatu biar pasar yang menentukan, penguasa berkuasa, bahkan atas negara (bikin saya keselek) bahkan apa-apa yang semula diatur negara harus diserahkan pada swasta dalam istilah privatisasi… ahai… inget ya masa-masa kita ribut tentang air yang diprivatisasi di Jakarta dengan dua operatornya, mata air yang dikuasai oleh perusahaan sementara warga sekelilingnya kekeringan… ah … masa itu belum lewat, kamu hanya perlu membaca koran pagi ini.

Ekonomi adalah science karena itu teorinya harus dipraktekkan, diujicoba. Maka negara pertama yang jadi laboratorium bagi Friedman adalah Chille, yang saat itu dipimpin dictator Augusto Pinochet ditahun 70-an. Ketika negara dalam krisis ekonomi, Friedman menawarkan sejumlah proposal rencana perbaikan, persis seperti dibicarakan di atas, apa-apa yang dimiliki negara harus diprivatisasi, dilelang dan swasta masuk. Siapa yang menghalangi rencana ini akan diculik, disiksa atau langsung dihilangkan.

Bab kedua dalam buku ini bicara tentang Penyiksaan (Torture) dengan sengatan listrik yang dimaksudkan agar si penderita jera, dan mengakui ‘kebenaran’ yang didoktrinkan padanya. Seorang psikiatri (saya lupa namanya – Cameron kalau nda salah) juga berperan mengujicoba teorinya tentang brainwashing, pencucian otak dengan sengatan listrik. Bagian ini terus terang mengerikan buat saya, persis yang digambarkan George Orwell 1984 yang juga dikutip dalam pembukaan bab ‘Kami akan menghabisi ‘kamu’ mengosongkan ‘kamu’ lalu mengisimu dengan yang baru.’

Apa yang terjadi di Chile, merambat ke Bolivia (yang ketika shock doctrine pasar bebas tidak berhasil dan mereka terpuruk secara ekonomi, Friedman dengan gampangnya mengusulkan – Ya sudah, jual Coca saja atau Kokain, pasanya di Amerika, dan yes,itu mendongkrak perekonomian Bolivia, yang pada tahun-tahun berikutnya Amerika datang seperti pahlawan melawan peredaran narkotika – war on drug) lalu ke Argentina, Brasil, Ekuador, Venezuela, yang kawasan ini disebut sebagai Southern Cone. Lalu mereka ke Asia.

Di Indonesia, penentang teori pasar bebas ini adalah Soekarno. Amerika melihat Soekarno sebagai ancaman yang harus disingkirkan… Voila, Soeharto muncul. Didukung CIA, Soeharto menyingkirkan Soekarno dan ketakutan terhadap Komunisme dilancarkan, hingga sekarang. Soeharto dapat pelajaran khusus tentang neoliberalisme, didikte langsung lewat rekaman kaset oleh ekonom ekonom UI dalan jaringan Barkeley Mafia. Satu-satu perusahaan asing muncul, Freeport lah yang paling besar mendapat porsi, hingga sekarang. Lagi-lagi mereka yang menentang pun dihilangkan…

Setelah Asia, lalu Eropa. Inggris mendapatkan angin untuk menerapkan neoliberalisme di masa Margaret Theacher berkuasa. Tapi tak semudah itu langkahnya, butuh musuh bersama untuk mendapatkan dukungan dari rakyat, Perang Falkland adalah jawabannya. Setelah Teacher mendapat kepercayaan dari rakyatnya, paham itu mulai masuk. Bahwa seseorang bertanggungjawab penuh pada dirinya sendiri, bukan negara. Harga-harga property mulai naik, serikat buruh memulai dipangkas perannya. Lalu Polandia, lalu Rusia di masa Yeltsin sampai Putin berkuasa.

Bagaimana teori ini bisa bergerak?

Diawali dengan pendidikan. Iyes. Pendidikan adalah bentuk doktrinisasi yang sebenarnya. Pengikut teori pasar bebas adalah murid-murid Milton Friedman yang berasal dari negara-negara yang disebut di atas. Mereka menjadi penasihat-penasihat ekonomi di negaranya.

Kemudian setelah negara dalam krisis ekonomi, muncullah dua organisasi penyelamat dunia, IMF dan World Bank yang siap mengucurkan pinjaman dengan SYARAT dan KETENTUAN berlaku, yaitu melepaskan kuasa negara pada sector-sektor yang mereka tahu persis menguntungkan seperti pertambangan dan energi, subsidi kesehatan dan pendidikan harus dipangkas karena dianggap membebani anggaran negara…. Sounds familiar sekarang ya? Oh iya, IMF dan World Bank tidak akan membantu negara yang mereka nilai tidak punya sumber daya menguntungkan.

Di Asia, hanya Malaysia yang saat itu dipimpin Mahathir Muhammad yang berani menolak ‘kebaikan’ IMF. Selebihnya terjebak dalam hutang yang diwariskan pada generasi berikutnya.

Apakah investasi IMF dan World Bank berhasil? Tidak selalu. Di negara-negara yang mereka kucurkan dananya itu malah bermasalah, korupsi besar-besaran seperti di Rusia dan Indonesia. Dananya dialirkan pada kroni-kroni mereka sendiri, bukan perusahaan multinasional seperti niatan semula. Sementara di dalam negara-negara dengan menerapkan teori ini, jurang pemisah antara kaya dan miskin ini luar biasa besar, penikmat kekayaan negara adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan, rakyatnya tetap melarat, tingkat pengangguran tinggi dan pelanggaran ham tak terbilang.

Chicago Boys – penganut Chicago School butuh laboratorium baru untuk menerapkan langkah baru. Sebuah negara yang bisa di’bersihkan’ dan dibentuk baru. 11 September 2001 seperti sebuah jawaban. Amerika butuh musuh baru untuk kembali mendapatkan dukungan rakyatnya. War on Teror digadang-gadang. Adalah Donald Rusmfeld yang berhasil menjadikan ini sebagai ladang dagangan baru. Bisnis militer tak lagi berpusat pada penambahan jumlah manusia, tapi pada teknologi. Semua diprivatisasi. Kenapa negara harus merekrut sendiri tentaranya kalau ada outsource yang bisa menyediakan dan melatih mereka, perbandingannya ada 1 tentara ‘bayaran’ di antara 4 tentara pemerintah. Teknologi surveillance ditingkatkan. Di bab terakhir sebelum kesimpulan Naomi Klein bilang yang mendapatkan untung besar dalam pasar teknologi surveillance ini adalah Israel. Jargon Israel adalah ‘kita tak butuh perdamaian, tapi kita butuh pengamanan’. ‘Terorism’ jadi musuh utama dunia.

Iraq menjadi laboratorium berikutnya, seperti dibersihkan dari akar budaya mereka, Amerika dan sekutunya datang dengan tudingan membersikan senjata pembunuh massal yang dikemudian hari Tony Blair bekas Perdana Menteri Inggris mengakuinya sebagai kesalahan. Di Iraq, mereka menghancurkan warisan budaya dan museum-museum. Di dalam penjara Abu Gharaib, cendikia Irak diculik, dihinakan. Mereka dipaksa mengencingi al Quran, lalu diberi waktu makan ‘enak’ dengan Mc.Donald, menonton film-film Hollywood dan mengenalkan demokrasi sebagai sebuah ideologi yang jauh lebih baik daripada Islam. Sebagian yang dikeluarkan dari penjara dengan bilang, ‘penangkapanmu adalah kesalahan.’

Yup… saya menyebut WHAT THE FUCK berkali-kali selama membaca buku ini…

Tidak cukup dengan perang, Chicago Boys datang dalam bentuk ‘AID’ atau bantuan kemanusiaan ketika Shock dalam bentuk bencana alam datang, Tsunami 2005. Contoh yang diberikan oleh Naomi adalah Bangladesh. Ketika USAID datang dengan bantuan kemanusiaan, yang dimaksudkan adalah memindahkan para nelayan dari sebuah tempat yang kemudian disulap menjadi resort dan dikuasai kapitalis wisata. Bali adalah benchmark mereka… ya  ya… saya juga terkesima…

Satu bagian yang perlu juga saya bagi adalah tentang Israel. Kenapa Amerika tidak mungkin memberikan tekanan pada Israel sementara dunia menuntut mereka untuk menghentikan genosida pada bangsa Palestina? Penjelasan Naomi Klein mungkin menjadi jawabannya.

Salah Yeltsin yang membom parlemen Rusia tahun 1990an, dan membuat ribuan Yahudi di negara itu kabur ke Israel untuk mencari aman. Di antara pengungsi Yahudi ini adalah mereka orang-orang penting dan pintar semasa perang dingin dan dikemudian hari berguna untuk membangun Israel sebagai negara pengekspor teknologi keamanan terbesar di dunia dan Amerika sangat bergantung padanya. Sementara dengan banyaknya pengungsi ini tentu saja menimbulkan masalah social dan urusan tempat tinggal, mulailah urusan perebutan wilayah Palestina oleh Israel ini muncul. Tidak Cuma tanah yang direbut, tapi mereka juga menuntup akses ekonomi orang-orang Palestina di Israel dan karena mereka sudah merasa ‘dilindungi’ Amerika dan tidak bergantung pada negara-negara Arab lainnya, Israel tak merasa perlu membina hubungan baik dengan semenanjung Arab. Paham yak… boleh didebat… jadi selama Amerika punya pertalian pasar dengan Israel, selama itu pulak, siapa pun yang memimpin negara itu, tak bisa diharapkan untuk menuntaskan masalah Israel – Palestina.

Pada kesimpulannya Naomi bilang, yang bisa menyelamatkan sebuah negara adalah kekuatan dari dalam, kekuatan dan solidaritas rakyatnya sendiri.  Di Thailand, kapitalisme pariwisata tak sukses menyingkirkan korban tsunami karena negaranya bergerak cepat, rakyatnya saling membantu dan tak mengandalkan bantuan asing. (naomi tak mencontohkan Aceh sayangnya). Lalu di Southern Cone, negara-negara Amerika Selatan bersatu, mereka membuka pasar untuk wilayahnya sendiri. Menolak kehadiran IMF dan World Bank di kawasan ini dan mereka tidak lagi mengirimkan anak mudanya belajar ekonomi di Amerika. Mereka berdaulat.

Tidak semua hal jelek kan dari pasar bebas, tentu saja tidak, semua bisa didebatkan. Tanpa control pemerintah sama sekali, Pasar Bebas itu macam hutan belantara, yang besar yang berkuasa, keuntungan hanya milik sebagian orang. Lalu muncullah istilah Democrat Socialism, hanya sayangnya dibahas sedikit oleh Naomi Klein. Negara tetap berkuasa dan berdaulat sementara pasar tetap dibuka untuk investasi asing tapi tidak untung menguasai hal-hal yang berimplikasi pada kemaslahatan orang banyak terutama pendidikan dan kesehatan.

Sebagai penuntup, saya kutipkan Naomi Klein, ‘bahwa penikmat dan pengambil keuntungan sesungguhnya tak pernah benar-benar ada dalam medan perang’

btw, seperti rekomendasi dalam sampul belakang, buku ini memang seru dibaca di mana aja dan kapan saja. Terpengaruh oleh latar belakang Naomi yang jurnalis itu, bahasa yang dia gunakan juga sederhana dan sangat mudah dicerna.

 

the shock doctrine

 

 

Iklan

Why people still vote for Trump? (part of my essay)

Standar

I can’t focus on my work since Trump and Clinton is on the highlight. This is US, whatever happen there, will somehow affect our world… I wrote an essay for my Promotional Culture module last April 2016 to analyze how Trump mediated his campaign and here it is:

 

It is true that Trump does not need much of an infrastructure for professional marketing in his campaign. Trump being a controversial figure is one of the advantages for news coverage. Nevertheless, the Trump phenomenon has brought fear to Noam Chomsky, along with the breakdown of society during the neoliberal period. Chomsky notes that ‘people feel isolated, helpless, victim of powerful forces that they do not understand and cannot influence…. There was a sense of hope that is lacking now, in large part because of the growth of a militant labor movement and also the existence of political organizations outside the mainstream’ (Chomsky, N. 2016).

While the positivist scholar claimed the role political marketing or mediatization is to reshape the democracy, Chomsky believes the opposite to be true. Democracy simply persuades people to trust a certain party/individual to vote for them in an election, simply to be controlled by them. The power drifted to the business community, the specialized class, to analyze, execute, make decisions, and run things in political, economic, and ideological system. Then they are massification the policies, the propaganda with help from public relation. The art of democracy for Chomsky is the manufacture of consent where public relations work hard to instill the values (meaning political party and politician’s values) and it will works with help of media. In Chomsky words, “the people who are able to engineer consent are the ones who have the resources and the power to do it – the business community and that’s who you work for’ (Chomsky, N. 2002: 29).

However, if we put the citizen as the customer in case of Trump, we might want also to ask why people are still voting for him, given that he presents himself as racist and controversial. The citizen, as the audiences of the media that covered so much of Trump, is not a passive audience as they can decode the message that the media encoded. As Stuart Hall argues that we do not passively receive the meaning – we have to create it ourselves… processing the signs, sounds and images as meaningful text before the audience embrace or reject the message (Davis, H. 2004: 62) and how the audience processes the messages depends on their habitus, in Bourdieu’s terms, a process of active self-creation that influence by their social and cultural background, which is also reluctant to be played by the political actor as social upbringing can be restructured. Once the social is restructured, the individual might feel anxiety and bring to affection, although a critic of Bourdieu works may mention that Bourdieu blurs distinctions between cognition and affect (knowledge and feeling) (Wetherell, M. 2012: 106-107). Natalie Fenton, in a speech (18 March 2016) mentioned that politics is always involve passion, desire, antagonism, contestation and conflict and being political often operates under severe constraints that are multiple – time, money and cultural capital are unequally distributed. Trump’s slogan, “Make America Great Again,” seems like nostalgia, restructuring the notion that America needs “help” to bring back the glorious days of America in the days of old, touching the citizen and often playing with the politics of fear, frequently using the terms “terrorism” and “immigrant”.

Trump’s massification messages on the media, using Gramsci’s term of ‘common-sense,’ is seen when Trump’s idea become internalize by people and come to understand it as shared concerns (Davis, H. 2004: 65). People decode Trump’s words as it was intended, by voting for him, despite all his controversial statements, somehow accepting his so-called ‘facts’ as ‘truth’. People are being political by giving vote for him because they feel passionate, moved by Trump’s presentation.

…….

trump-vs-clinton

 

Welcome New Student – Things That They Might Missed to Tell You is How Stress Can Actually Kill You!

Standar

Being a new student in a foreign country is not easy. You need to adapt the whole new things and yet won’t have much time to do it, since everything comes in one package, one time. You will have to face new weather, new culture, rules, friends from various background, and most of all, your study. Your study requires your focus in 20 weeks of class, thousands of words of essays, projects, exams and or dissertations.

I am not saying this to frighten you. It is the fact that you need to face over the year and people handle their stress in their own way. No one have a right to say that you are weaker than other; you are too spoiled or less independent. People need different time to adapt everything and a year is too short to really adapt everything. However, embracing each moment as much as you can help.

Students that committed suicide are not surprising news. Each campus has their own psychologist to help you to face your stress, use them! Make friends, and talk to them. They might not help you physically, but by talking and sharing your worries might also help. Find a friend who ready to listen and not just them who talk J not easy.. tell ya.. hahaha and if you need more time to finish your task in study, ask one!!

Don’t play strong, please. Cry if you want, angry if you wish, shout if you please. Just don’t hide your emotion and keep them to yourself. Write a blog to shout your thoughts. Do anything that you wish to reduce your stress.

I know how different it is from our culture – especially if you are from Asia, where you are not you,  how you used being controlled by your society. Here you just have to be yourself! Enjoy your freedom, embrace it, find the new or the real YOU!

I just lost my best friend who worried so much about life and I have tried my best to help him, maybe not tried enough. It really hurts to find someone you care passed away and one of the reason was because of their stress.

I am here, as a friend, ready with my ear to listen to you. But I guess, no one can help you from your stress but yourself. Take your time!

stress

Review: Harry Potter and The Cursed Child – The Play

Standar

I would not spoil anything, promise. That is why I am going to write my review in Bahasa Indonesia as my readers mostly in Indonesia and we don’t have the play there… fair enough right?!

Sederet penonton perempuan di belakang saya berisik sekali mengomentari bagian pertama The Play dari Harry Potter and The Cursed Child. Mereka bilang karakternya berbeda dengan buku Harry Potter terakhir, seharusnya si A begini dan begitu.

Harry Potter hadir dalam tiga medium berbeda, buku, film dan sekarang teater atau kami menyebutnya di sini dengan The Play. Tiga medium ini punya keleluasaan untuk menintepretasikan isi buku- sebagai induknya dengan cara yang berbeda. Bayangkan kalau 500 halaman buku harus diterjemahkan dalam 3 jam film dan 6 jam teater yang dibagi dalam dua bagian. Tentu ada bagian yang harus dibuang dan yang didahulukan. Buat saya yang membaca semua edisi buku Harry Potter – kecuali yang terakhir ini, menonton semua film Harry Potter dan puncaknya malam ini adalah nonton the play Harry Potter, semuanya menarik dengan caranya masing-masing. Kalau saya boleh merunutkan mana yang lebih enjoyable, maka pertama tetap buku (karena itu merasa harus beli edisi terakhir), the play dan terakhir filmnya.

Harry Potter and The Cursed Child masih seperti edisi sebelumnya, bicara tentang persahabatan tapi kali ini lebih kompleks karena Harry Potter ada di usia 40 yang ketakutan menghadapi kenyataan sebagai ayah bagi anak tengahnya yang ‘pembangkang.’ Albus Severus Potter, berada di belakang bayang-bayang nama besar Harry Potter yang terkenal sebagai penyelamat, pahlawan yang berhasil mengalahkan Voldemort.

‘We can’t choose our relatives,’ kata gadis berambut perak kepada Albus, yang merasa tidak akan pernah bisa mengikuti jejak ayahnya sebagai penyihir hebat. Albus tidak pandai berkawan dibanding kakaknya James Potter atau adiknya Lily Potter. Lalu bertemulah Albus dengan Scorpius Malfoy yang kemudian menjadi sahabat. Seperti Albus, Scorpius juga bermasalah dengan nama buruk Malfoy yang disandangnya, karena ayahnya Draco Malfoy dekat dengan kekuatan jahat Voldemort.

Cerita kemudian berkembang ketika Albus ingin menulis ulang sejarah, membebaskan ayahnya dari rasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan Cedric yang mati di tangan Voldemort. Albus jatuh cinta pada gadis berambut perak yang mengaku sebagai keponakan Cedric yang kemudian berhasil membujuk Albus untuk mencuri mesin waktu, menyelamatkan Cedric. Albus mengajak Scorpius dalam petualangan menjelajah mesin waktu saat Cedric bertanding menghadapi Harry belasan tahun sebelumnya. Menulis ulang sejarah sama artinya dengan mengubah masa kini dan masa depan. Beberapa kali mendapati kenyataan penyelamatan Cedric mengakibatkan Harry Potter mati, Scorpius Malfoy menjadi raja Scorpion dan Draco Malfoy sebagai Perdana Menteri, kekuatan hitam menang.

Ini cerita reuni ketika para karakter yang telah meninggal dihidupkan kembali, Scorpius bertemu Severus Snape yang membantunya menyelamatkan Albus dan Harry Potter bercakap dengan Prof.Dambeldore lewat lukisan. Ibunda Lily dan Harry Potter dihidupkan kembali.

Cerita tentu berakhir bahagia dan saya tidak akan secara rinci menggambarkan kejadiannya. Bagian ketika Harry Potter dan Draco Malfoy akhirnya berkawan karena anak-anak mereka bersahabat juga menarik. Harry bilang, ‘look at us, while we are so busy rewriting the past, we forget to give present to our children.’ Perseteruan orang tua tak bisa memisahkan persahabatan anak-anak mereka, bahkan ketika Harry mengancam Minerva yang menjadi kepala sekolah Hogwarts untuk mengawasi Albus dan Scorpius agar tidak bersama.

Kamu bisa membaca isi buku untuk cerita lengkapnya karena saya akan pindah tema untuk mengomentari tata panggung dan para pemain di atasnya.

Telegraph bilang, ini adalah sihir yang menjadi kenyataan. Lah iya, seperti nonton sulap di atas panggung, kami dibuat terkagum-kagum. Ingat lift khusus menuju kementerian sihir yang berupa telepon umum? Harry Potter menghilang di dalam telepon umum itu, di depan penonton! Lalu mesin waktu bergerak, cahaya berubah, jam berubah dan penonton merasa seperti ikut pindah ke waktu berbeda. Ketika the Death Eater melayang-layang di atas panggung, salah satunya terbang ke arah penonton di atas balkon tempat saya duduk dan disambut dengan jeritan. Atau ketika prophecy atau ramalam tentang kebangkitan Voldemort diproyeksi ke seluruh ruangan teater dan penonton bisa ikut membacanya keras-keras. Belum lagi kilatan cahaya dari tongkat ketika mereka mengucap mantra. Ketika pollyjouice mengubah seseorang menjadi orang yang berbeda, pergantian pemain terjadi begitu cepat, seperti berubah sungguhan di depan mata. Sempurna! Tata panggung yang luar biasa membuat cerita sihir ini beneran hidup.

Lalu soal pemain teaternya. Buat saya tiga karakter yang stunning aka juara adalah Harry Potter yang dimainkan oleh James Parker, Scorpius Malfoy yang diperankan oleh Anthony Boyle dan Albus Severus Potter oleh Sam Clemett. Ketiganya berhasil menampilkan permainan yang luar biasa. Harry dan Albus yang penuh emosi dan penuh penjiwaan, Scorpius yang gugup, cerdas dan saat bersamaan juga humoris. Saya sih merasa Anthony Boyle akan menjadi Benedict Cumberbatch berikutnya, cara dia menguasai karakter, melanturkan percakapan dengan intonasi naik turun dan suara yang berbeda tone dalam satu kali kesempatan yang kadang dalam tempo yang sangat cepat adalah luar biasa.

Musik dan kostum… sudahlah ya… empat jempol…

Tapi yang bikin saya bingung, JK Rowling sebenarnya menyasar siapakah dengan cerita Harry Potter kali ini? sebagai pembaca setia Harry Potter, saya tidak bisa bilang sama ponakan saya Zi yang baru delapan tahun bahwa Harry Potter adalah cerita anak-anak yang luar biasa. It was, di edisi tiga pertama saat Harry baru masuk Hogwarts. Tapi mengikuti Harry di usia remaja, belum bisa jadi konsumsi Zi. Apalagi di edisi terakhir ini, Harry Potter usianya 40 tahun, bahkan lebih tua dari saya  hari ini, anaknya aja udah remaja, cuma orang tua yang mengerti betapa galaunya Harry menghadapi Albus. Maka tidak aneh juga kalau hari ini teman nonton saya lebih banyak yang seumuran, yang mengikuti Harry Potter sejak 1997. Ketika Ron dan Hermione bercanda buat bikin anak lagi, dua remaja tanggung di sebelah saya boro-boro senyum, salah satunya malah menguap.

Harry Potter and The Cursed Child ini adalah salah satu play- teater yang tiketnya sudah ludes sejak tahun lalu. Tiket saya dibeli dengan harga 30 poundsterling, Oktober 2015 oleh Fadilah kawan saya di Goldsmiths. Tadinya sempet terpikir untuk dijual, lumayan duitnya buat tambahan kirim paket barang pulang ke Indonesia. Untungnya tidak jadi dijual, bagaimana pun pengalaman menonton teater di London apalagi untuk cerita yang ditunggu banyak orang kayak begini, adalah pengalaman yang luar biasa, tak terlupakan dan tidak tergantikan dengan uang. Bahkan kalau rezeki masih milik saya, bolehlah kiranya mengirimkan doa, pengen nonton sekali lagi. Amiiin

harry-potter

Nikah Yuk, how hard it can be to be my wife (for political reason)

Standar

Marriage is a political matter. Foucault bilang, salah satu cara mengendalikan rakyat adalah dengan mengendalikan alat reproduksi, dan seks. Keluarga Berencana di Indonesia untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang bakal membuat pemerintah kewalahan memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya untuk sandang, pangan dan papan. Sementara Jepang mulai panic karena jumlah orang tua lebih banyak daripada generasi produktif dan anak muda makin enggan menikah apalagi punya anak, padahal pembangunan dan roda ekonomi harus ada yang menjalankan. Serbia pun demikian. Ide-ide pemurnian darah, menikah hanya dengan suku sendiri dan seiman. Atau ide untuk menyelamatkan harta warisan pun bukan sekedar gambaran di sinetron. It did happen, it is political.

‘Nikah yuk Nit. Kamu bisa jadi ibu yang baik buat anak-anak kita.’ Kata sahabat saya dari Brasil. Tapi saya tahu itu becanda. Dia tidak mau kembali ke Brasil yang sedang kacau. Menikahi saya dan ikut pindah ke Indonesia bisa jadi salah satu cara untuk menghindar ketidakpastian hidup di Brasil. Tidak ada ruginya sih menikahi dia, ganteng bak Lanny Kravitz, pintar… mungkin ga rasa tumbuh belakangan? Mungkin saja… saya menjawab dengan tawa terbahak-bahak… menikah belum masuk dalam prioritas hidup saat ini.

Minggu pertama di London, kawan saya bilang begini

‘Pacar saya cuma dapat dua tahun visa di Inggris, sementara saya dapat lima. Saya akan menikahinya supaya dia bisa ikut terus sama saya.’

Awalnya saya melongo, gampang betul menikah ya. Sementara saya tunangan hampir lima tahun, selalu saja terbentur alasan yang menunda kami bersama. Satu dan lain hal. Lalu teman saya bilang, itu rasanya yang disebut jodoh, tidak perlu overthinking, jalanin aja. Tapi kan menikah bukan seperti bungee jumping, terjun aja. Bahkan bungee jumping butuh alat pengaman yang memenuhi standar international. Begitu juga dengan menikah. Teman saya memang akhirnya menikahi pacarnya dan mereka tak lagi punya isu soal visa sampai lima tahun ke depan, paling tidak.

‘Menikah saja, nanti kalau tidak cocok, ya cerai.’ Kata sahabat saya yang lain.

Kalau Cuma untuk bercerai, ngapain repot menikah, menyatukan dua keluarga, buang-buang waktu, tenaga dan perasaan.

Lalu bertemu lah saya dengan pasangan sempurna ala telenovela, macam Justin Trudeau dan Sophie istrinya, atau Barack dan Michelle Obama. Sempurna untuk tampil di media dengan kemesraan yang dicetak public relation dan konsultan komunikasinya. Dalam politik, penokohan politikus yang cinta keluarga, ayah dan suami sempurna bagi istrinya adalah penting, seperti digambarkan Niccolo Machiavelli dalam buku The Prince.

Maka jika ingin terjun ke dalam dunia politik, kamu membutuhkan pasangan yang tidak sekedar berlandaskan cinta, tapi butuh kerja tim. Pasanganmu harus sama bisa memainkan peran dan karakter penyeimbang, mendukung satu sama lain, sempurna di mata publik baik tampilan fisik maupun isi kepala. Itulah politik.

London adalah kota yang romantis, pasangan bergandengan tangan dan menunjukkan rasa di depan publik dengan mesra menjadi sesuatu yang biasa. Tapi di balik itu semua, saya jadi meragu tentang cinta, cerita dan citra…. Semua macam politik, yang kata teman saya, di dalamnya tak perlu pake rasa, ini hanya politik, bisnis, dan cinta bukan lagi sekedar rasa.

Jadi besok kita ke Paris untuk jalan-jalan romantic okay? Kamu kan bakal jadi istri aku….

Lalu saya tertawa lebih kencang…

marriage

Kita perlu jurnalis yang bekerja dengan hati

Standar

Salah satu hal yang paling saya ingat dari buku CHAVS yang ditulis oleh Owen Jones adalah saat dia bilang bagaimana berharap jurnalis punya empati terhadap masalah kelas pekerja kalau mereka tidak pernah berada di posisi yang sama. Mereka berasal dari kelas menengah ke atas, sekolah di sekolah terbaik dan dapat pendidikan dari kampus tanpa bergaul dengan masyarakat. Mereka keluar dari kampus, melamar di media lalu menulis sesuai pesanan editor yang tercemari oleh kepentingan bisnis pemilik media. Maka selesai. Media hanya akan begitu-begitu saja.

Owen tidak berlebihan ketika dia mencela profesi jurnalis yang cuma jadi juru tulis tanpa hati dan empati. Bourdieu bilang setiap orang punya Cultural Capital yang akan mempengaruhi mereka dalam berinteraksi sehari-hari, latar belakang budaya, sosial, ekonomi dan pendidikan.

Begitu juga dengan jurnalis, apa yang mereka tulis bergantung pada bagaimana cara mereka memandang dunia dan sekitarnya. Satu sisi, jurnalis dituntut untuk menulis berita atau cerita saga, ficer panjang, sambil tetap menjaga obyektivitasnya. Nah untuk menjaga tetap obyektivitasnya, mereka tidak boleh terlalu ‘dekat’ dengan narasumber, subject cerita. Tapi, mungkinkah kamu pergi begitu saja setelah menulis tentang kemalangan mereka, bukankah itu mirip ‘eksploitasi’ mereka demi rating, demi gaji bulananmu?

Suatu ketika teman kuliah saya memposting, tonton film documenter kami tentang #homeless ya… kerja bagus tim…. Terus apa? apa sebenarnya tujuanmu menulis cerita tentang mereka? Explorasi, exploitasi atau apa? kalau kamu dapat nilai A untuk tugas akhir itu, para homeless itu dapat apa?

Setelah lebih dari 10 tahun jadi jurnalis, pertanyaan itu mengganggu saya. Buat apa sih gue nulis? Dampaknya apa? Bagaimana nasib narasumber saya yang ‘off the record’ itu? bagaimana saya bisa melindungi dia, sampai kapan? Apakah tulisan saya membawa ‘kebaikan’? Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi salah satu alasan untuk mencoba dunia lain, activism.

Pertanyaan itu sedang mengganggu teman saya yang memulai karir jurnalisme nya barengan di 2002. Untuk menjahit apa yang ditulis oleh Owen Jones dan pengalaman pribadi saya, begini jawaban saya.

Jangan berhenti jadi jurnalis, jangan berhenti menulis, jangan berhenti berempati.

Saya, in a way, tidak sepakat dengan Owen Jones bahkan Bourdieu sekalipun. Adalah sebuah keistimewaan untuk bisa mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, dan lahir dari keluarga yang memiliki perhatian bahwa pendidikan adalah modal utama dalam hidup, lalu ‘berbudaya’ dan ‘beradab’. Saya beri kutip karena dua kata itu tergantung dari sudut mana kamu melihatnya. Tapi Cultural Capital bukan harga mati. Seperti keahlianmu menulis dan jurnalistik adalah kecakapan yang bisa dilatih, begitu juga dengan empati!

Ashoka membuat saya percaya, setiap orang bisa dilatih untuk punya empati terhadap orang lain. Termasuk jurnalis sekalipun, asalkan mereka tetap mempertanyakan dalam diri sendiri, apa sih dampak dari tulisannya di media? dan bukan bekerja hanya untuk laboring, bertahan hidup, bayar tagihan dan menjadi robot bagi pemilik modal, atau politisi dan jadi jurnalis rilis.

Jurnalis itu punya kekuatan yang luar biasa untuk mengubah dunia, didengar orang, mengubah pendapat orang. Kalau tidak hari ini, mungkin besok baru terasa. Tapi itu terjadi. Dengan alasan yang sama, maka dibutuhkan jurnalis yang punya empati, yang menulis dengan hati. Mereka yang tidak sekedar datang ke lapangan, menulis lalu pergi. Menjaga kontak, menjaga hubungan, konsisten pada isu, mengikuti perkembangan yang terjadi, dan tetap menulis, itu adalah yang terbaik. Menulis buat kepentingan kemanusian dan bukan sekedar bisnis, itu yang terbaik. Jurnalis punya kekuataan pada mikropon, laptop dan semua medium untuk menyampaikan pesan. Kalau tulisanmu tak laku di media, menulislah untuk blogmu sendiri.

Untuk hal yang sama juga, sangat butuh jurnalis yang punya nilai  atau value dalam hidupnya. Saya bangga pernah bergabung dengan KBR yang punya nilai luar biasa; pluralis, demokrasi, toleransi secara institusi. Tapi sekelas BBC yang kita percaya punya nilai yang sama, secara pribadi masih ada saja jurnalis yang seksis sepanjang olimpiade misalnya. Untuk inilah perlu sekali menyaring jurnalis yang sudah punya landasan nilai yang kuat dalam hal toleransi, pluralisme dan demokrasi satu lagi yang harus masuk dalam proses seleksi adalah nilai kesetaraan gender, feminisme! Jangan terima karyawan yang sejak awal tak percaya bahwa perempuan adalah individu dengan hak dan kewajiban yang sama hanya kebetulan diberkahi vagina dan rahim.

Menulis itu keahlian yang bisa dipelajari, mudah. Empati juga hal yang bisa dipelajari, bergaulah dengan lebih banyak orang di luar zona nyamanmu. Nilai? Itu yang dibawa sejak awal, tapi bukan saya sama saja… bukan harga mati. Paparkanlah dirimu dengan lebih banyak orang yang berada di luar duniamu sendiri, bacalah, ngobrollah. Kita pernah sama-sama telanjang ketika lahir, lalu orang tua membentuk kita, lalu masyarakat mengenalkan kita pada norma sosial yang lebih besar. Tapi kunyah semua itu agar pencernaan membaik, jangan telan mentah-mentah semua hal yang akan membuatmu sakit dan muntah.

Jangan berhenti jadi jurnalis, tetaplah bersuara dengan hati.

empati

Anak Tetap Anak, Berikan Haknya

Standar

Akhirnya kepincut juga untuk menulis ini. Beberapa kali mendapati netizen yang membela guru habis-habisan dan nyinyir pada orang tua untuk mengajar anaknya yang ‘badung’ di rumah. Bapak ibu sekalian, saya memang belum pernah brojolin anak sendiri, tapi bukan berarti saya lahir dari batu lalu mendadak besar seperti ini. Proses 38 tahun jadi manusia membuat saya percaya bahwa saya sampai di sini hari ini berkat orang tua yang luar biasa dan didukung bapak ibu guru saya yang juga sama luar biasanya. Bahwa pendidikan bukan tanggungjawab cuma guru di sekolah atau orang tua di rumah. Ini kan pengetahuan umum yang paling mendasar, pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama… knock knock…

Lalu kenapa orang tua merasa paling berjasa dan juga sebaliknya. Ga lah… pendidikan itu hak anak yang wajib diberikan oleh orang tua, guru dan difasilitasi negara. Kalau anak-anak bandel itu mesti dilihat dari hal yang paling holistic, sudahkah kita mengenali alasannya? Pernah ga sih sesekali mendengarkan mereka, belajar mendengar bukan komentar. Cobain deh latihan mendengarkan anakanak dan remaja itu tanpa sekalipun menyelak ucapan mereka, barang 5 menit saja, lalu naik tingkat 10 menit dan seterusnya.

Anak-anak tetap anak-anak yang penuh rasa penasaran soal banyak hal, tentang dirinya sendiri secara fisik, tentang lawan jenis, tentang sahabatnya. Penasaran apakah kalau terjun bisa langsung mati, kalau jatuh pasti sakit, kalau main api pasti terbakar?

Kalau tak sempat menemani mereka berkembang, jangan menghakimi bagaimana cara mereka mengembangkan diri sendiri. Kalau terlalu banyak waktu bersama mereka, lepaskan sedikit kekangan. Saya tak sedang mengajari bagaimana jadi orang tua, karena pasti kamu akan bilang, tau apa saya soal mendidik anak. Saya sedang mengajak kamu untuk menjadi sahabat mereka. Sahabat paling dekat saya adalah mami, di rumah, di Jakarta. Semua hal saya ceritakan padanya dan itu membuat saya nyaman.

Saya bergaul dengan anak-anak sejak lama, di kantor dengan kawan kerja yang usianya 10 tahun di bawah saya, memfasilitasi ratusan anak-anak luar biasa bersama Ashoka, bergaul bersama petani muda di sarongge sejak 2008, dan hari ini, saya tetap yang paling tua di kelompok pertemanan di kampus. Saya ngobrol asik dengan Herbie 4 tahun, Luih 14 tahun dan Ella 16 tahun, tanpa  kesulitan bahan bicara. Cuma dengan bergaul dengan mereka, kamu akan  tahu apa yang mereka resahkan dalam hidup dan bagaimana mereka ingin dibantu.

Jangan jadi orang tua yang so toy di depan mereka, dengan merasa paling tahu dunia. Bagaimana bisa kamu kasih tahu anakmu jangan naik sepeda nanti jatuh dan sakit, sementara kamu tahu tanpa babak belur besut di kaki kiri kanan, kamu ga akan bisa mengayuh puluhan kilometer dengan sepedamu itu. Biarkan dia jatuh, dengan kamu di sisinya, menepuk bahunya, sakit adalah proses menjalani hidup, termasuk di dalamnya menangis, tertawa dan jatuh cinta.

Kalau anak ‘nakal’ lalu dihakimi masyarakat, netizen dan dikeluarkan dari sekolah, lalu masa depannya tanggungjawab siapa sekarang? Rrrr pengen ngamuk rasanya. Tidak semudah itu mengeluarkan anak-anak dari sekolah karena dia nakal atau  hamil misalnya. Mereka tetap anak-anak, punya hak mendapatkan pendidikan yang terbaik, sekolah tidak bisa lepas tangan begitu saja dan menyerahkan pada orang tua. Begitu juga orang tua yang tidak bisa begitu saja memperlakukan sekolah seperti penitipan anak. Kalau orang tua dan guru bermasalah, selesaikan layaknya orang dewasa, tapi berhenti menjadikan anakanak sebagai objek! Pause! Berhenti sejenak untuk saling menyalahkan, kembali ke titik awal, bahwa semua yang ingin dilakukan bersama adalah untuk kepentingan anak, tolong dengarkan mereka, have a little empathy for them will you… be a kid for a moment, see the world through their eyes…

Review: No God but GOD by Reza Aslan… Belajar Lagi Tentang Islam Yang Damai

Standar

Sejak serangan terorisme 9/11 di Amerika, perang terhadap terror menjadi pembenaran untuk mendiskrimasi Islam dari berbagai sudut. Tidak perlu menyangkal bahwa di antara kita sesame penganut ajaran agama Islam ada yang memang radikal, jangankan terhadap non-muslim, bahkan terhadap saudara sendiri saja bisa gelap mata dengan dalih ajaran mereka adalah yang paling benar.

Buku ini diberi subjudul The Origin, Evolution and Future of Islam, yup, spectrum yang sangat luas yang ingin digambarkan oleh Reza Aslan, seorang sejarahwan asal Iran yang tinggal di Amerika, dalam 292 halaman. Apakah kumplit penjelasannya? Tidak ada yang sempurna dan selalu bisa dibantah isinya. Tapi yang Reza berikan dalam buku ini sungguh membuat saya justru merasa lebih bangga dengan Islam yang sesungguhnya. Bahwa Islam adalah agama yang sungguh damai, memanusiakan manusia, mengakui demokrasi, pluralisme, menjunjung tinggi derajat perempuan, dan melindungi orang miskin dan yatim piatu.

Buku diawali dengan beberapa inovasi yang dilakukan Muhammad setelah mendapatkan wahyu dari Allah SWT, diantaranya mendirikan zakat, yang wajib untuk semua umat yang mampu untuk membantu mereka yang tidak mampu. Dengan zakat, masyarakat saling membantu, istilah sekarang adalah subsidi silang. Lalu tentang pernikahan, Muhammad mengambil sistem patrilineal dengan beberapa perubahan. Dengan pengalamannya bersama Khadijah, istri pertama beliau, Muhammad memperbolehkan seorang istri mengelola harta pribadinya sendiri selama pernikahan. Muhammad melarang seorang suami menyentuh harta istri bahkan memintanya menghidupi keluarga. Jika suami meninggal, istri mewarisi seluruh hartanya; jika suami menceraikan istri, seluruh harta menjadi milik sang istri untuk dibawa pulang ke rumah keluarganya. Tapi salah satu yang masih diperdebatkan hingga kini adalah lelaki boleh memperistri beberapa perempuan, sementara perempuan dilarang memiliki suami lebih dari satu (hal: 61-63)

Soal jilbab, di awal Islam, menggunakan jilbab karena mengikuti apa yang dilakukan para istri nabi sebagai ibu dari semua umat. Kapankah itu mulai jadi wajib, para sejarahwan dan feminist masih berdebat. Jilbab dianggap sebagai bentuk perlawanan perempuan muslim terhadap hegemoni kekuasaan budaya arab. Tapi jilbab juga dianggap sebagai bentuk pengekangan hidup perempuan, bahkan dianggap sebagai symbol property suami. Apa pun alasan menggunakan jilbab, Reza bilang, sebaiknya dikembali kepada si penggunanya, perempuan.

‘The veil may be neither or both of these things, but that is solely up to Muslim women to decide for themselves. Whatever sartorial choices a woman makes are hers and hers alone. It is neither a man’s nor the state’s place to define proper “womanhood” in Islam. Those who treat the Muslim woman not as an individual but as a symbol either of Islamic chastity or secular liberalism are guity of the same sin: the objectification of women.” (hal. 75)

Islam mengakui pluralisme, bahwa ada agama Kristen dan Yahudi yang mendahului Islam di semenanjung Arab. Dalam Al Quran mereka disebut People of Book, atau Ahli Kitab dan mereka wajib dilindungi sebagai bagian dari umat. Ajaran Islam lebih dekat dengan Yahudi karena kepercayaan pada satu Tuhan atau Monoteisme, bukan berarti Islam ‘membenci’ Kristen. Dalam Al Quran menyebut nama Isa di banyak surat. Yang kemudian tidak disepakati oleh Islam adalah konsep Triniti dalam Christianity yang mengakui Jesus sebagai Tuhan. Sementara Quran jelas menulis kalimat Syahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah SWT tapi Muhammad tidak pernah mengklaim dirinya diutus untuk memberikan kebenaran baru adalah umat Yahudi yang menuding Kristen salah dan juga sebaliknya dan mereka mengatakan tidak ada yang ditempatkan ke surga kecuali Yahudi dan Kristen. Lalu perseteruan 1400 tahun ini belum lagi usai (p. 103-105)

Sejarah berganti ke masa menjelang Muhammad meninggal dan Reza Aslan membuat saya menangis. Jumat siang 632 masehi, Muhammad datang menghadiri solat jumat yang khotbahnya dipimpin sahabat Abu bakar. Sudah tersiar kabar Muhmmad sedang sakit, beliau datang lunglai dan dipapah oleh Abu Bakr. Tak sampai selesai ibadah selesai, Muhammad bergeser perlahan meninggalkan umat dan pulang menuju kamar Aisha – istrinya dan langsung lunglai. Beliau memanggil Aisah yang langsung mendekap Muhammad dan meletakkan kepala beliau ke atas pangkuannya sambil mengusap rambut beliau yng panjang dan membisikan doa hingga Nabi menutup mata untuk terakhir kalinya (p.110-111). Bahasa saya tak seindah Reza Ashlan menggambarkan dalam bahasa inggris, tapi cerita ini entah kenapa bikin saya menangis. Tuh kan sekarang juga meleleh deh huhuhu… bentar…. Mellow abis *shalawat nabi

Masalah kemudian dimulai ketika muncul pertanyaan, siapa yang akan menggantikan Muhammad sebagai pemimpin umat? Beliau tidak memberikan pesan wasiat apa pun pada siapa pun. Salah satu kesepakatan adalah bahwa Muhammad ingin agama dan politik terpisah. Beliau tidak ingin serta merta jabatan pemimpin umat dipindahkan kepada keturunannya atau keluarganya, melainkan harus diputuskan bersama melalui musyarawah di dalam masyarakat. Bukankah jelas sudah bahwa Islam menjunjung demokrasi. Berdasarkan musyawarah dan pertimbangan umat, maka kalifah atau pemimpin umat diputuskan milik Abu Bakar. Apakah memberikan kepuasan kepada semua anggota masyarakat? Tidak tentu saja. Sebagian menginginkan agar sepupu Muhammad yang juga sahabat terdekatnya, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah sementara beliau sendiri menerima keputusan musyawarah dan lalu bertugas menjadi pelindung keluarga Muhammad. Ini adalah masalah politik pertama sepeninggal Muhammad yang terus bergulir hingga kalifah terakhir Usman bin Affan. Lalu umat terpecah menjadi dua, Sunni yang disebut sebagai Islam ortodok dan Syiah atau Shi’atu Ali atau Partai Ali. Cerita Ali yang memilih Baghdad sebagai pertama dan kematian Husyain di Karbala juga diceritakan oleh Reza dalam bukunya ini.

Dalam perjalanan sejarah Islam, dikenal juga Kharijites, faksi dari Syiah yang bertanggungjawab atas kematian Khalifah Usman bin Affan. Kharijites ini memandang siapapun yang melanggar surat dalam Al Quran adalah kafir dan harus diusir dari umat. Kharijites adalah kelompok Islam radikal pertama dalam sejarah. Meski jumlahnya tidak bisa mewakili umat, tapi radikalisasi dalam Islam ada dan selalu ada hingga kini.

Reza juga bercerita tentang lima rukun Islam dan lima ketentuan dalam hukum Syariah. Tapi yang menurut saya menarik untuk diceritakan adalah bagaimana Islam dipraktekan oleh umat. Cerita tentang sufisme diawali dengan Laila dan Majnun, yang ditulis dengan indah oleh Reza. Terlalu panjang kalau saya ceritakan di sini. Lalu tentang politik, perjalanan Islam tak cuma berhadapan dengan pengaruh barat di masa kolonialisasi tapi juga friksi di dalam Islam sendiri yang membuat umat terpecah. Dalam bagian ini Reza memberikan gambaran bahwa politik tidak bisa dipisahkan hitam putih dari agama. Ketika Eropa menguasai dunia dengan imperialismenya, Gospel, atau kristenisasi menjadi salah satu tujuannya.

Tentang demokrasi, semenanjung Arab bergejolak sejak 2009 di Iran, lalu di Mesir dan seterusnya. Tapi yang dilupa bahwa demokrasi bukan sekularisasi, bukan meniadakan agama dari urusan politik atau melarang agama di satu negara.

‘It is pluralism not secularism, that defines democracy. A democratic state can be established upon any normative moral framework as long as pluralism remains the source of its legitimacy’ (p. 270)

Dalam hal ini Reza menunjuk Indonesia bersama dengan Malaysia, Bangladesh, Senegal dan Turki sebagai contoh sukses dari rekonsiliasi politik dan agama, meski tak bisa disebut sederhana sebagai Islam yang pluralism sekalipun dalam sejarah Islam menghargai keberagaman. Sementara soal penegakan hak asasi manusia dalam Islam, ini masih perlu didebat karena sesungguhnya Islam mengajarkan tentang kestabilan hidup bersama dalam sebuah komunitas, kepentingan kelompok di atas kepentingan individual (p.272-273)

Salah satu yang menjadi catatan dari buku Reza adalah kita berhak untuk bertanya tentang fatwa, fiqih dan segala yang diterjemahkan dan interprestasikan oleh kaum Ulama, karena mereka adalah manusia yang rentan salah menerjemahkan. Kembalikan semuanya pada keyakinan pribadi.

‘What must be recognized, however, is that the peaceful, tolerant, and forward-leaning Islam of an Amr Khaled and the violent, intolerant and backward-looking Islam of Osama bin Landen are two competing and contradictory sides of the same reformation phenomenon, because both are founded upon the argument that the power to speak for Islam no longer belongs solely to the Ulama. For better or worse, that power now belongs to every single Muslim in the world’(p. 286)

Tulisan ini merangkum apa yang menurut saya pribadi menarik dari buku yang ditulis Reza Aslan yang sekalilagi berlatarbelakang sejarahwan dari Iran. Mempelajari Islam tentu menarik dari segala sudut dan tetap berpikir kritis untuk mempertanyakan isinya, tidak serta merta menerima segalanya sebagai sebuah kebenaran.

Happy reading

No God but GOD

Referensi:

Reza, A. 2011. No God But GOD. The Origins, Evolution and Future of Islam. London: Arrow Books

Jumat pagi, 24 Juni 2016. Sejarah dibuat, Kerajaan Inggis Minggat Dari Uni Eropa #mycheveningjourney

Standar

Rasanya aneh, terbangun dengan sinar matahari terang menderang sejak jam lima pagi setelah berhari-hari dirundung mendung, hujan dan badai. Tapi matahari hari ini tidak ada sama seperti hari-hari sebelumnya disambut gembira. Ada yang hilang hari ini, Kerajaan Inggris meninggalkan Uni Eropa dan Perdana Menteri, David Cameron pun mengundurkan diri dan Poundsterling jatuh, terpuruk terburuk dalam 35 tahun terakhir.

Rasanya tidak ada yang tidur tenang semalam. Sampai  jam tiga pagi, grup whatsapp masih berisik berdiskusi apa yang terjadi kalau Leave menang? Pagi ini terbangun jam lima pagi, timeline Facebook saya masih penuh dengan status panic, sedih dan marah karena Leave terus mendapat angka lebih dari Remain. Sampai akhirnya penghitungan ditutup dan Leave menang…. Tidak ada yang tidur malam tadi sampai pagi ini.

Seseorang beneran bernyanyi di jalanan depan rumah. Entah itu selebrasi atau kesedihan. Muka-muka lelah mungkin habis begadang pantengin penghitungan suara semalam terlihat di bus. Diam, sunyi… seorang perempuan menerima telepon dan terkaget-kaget, setengah berteriak di dalam bus, di dek atas.

‘What? We are leaving EU? Tell me it didn’t happen? I am really piss right now. Fuck!’

Sepanjang jalan membaca status kawan-kawan yang punya hak suara dan isinya menyedihkan. Frustasi karena engga tahu lagi musti apa. Sesuatu yang sulit diterima akal sehat mereka. Beberapa di antaranya:

London should be a country on its own…

HOW AGES VOTED
(YouGov poll)
18-24: 75% Remain
25-49: 56% Remain
50-64: 44% Remain
65+: 39% Remain

Cheers now (no offence mum and dad)

Good morning splendid isolated Britain

I feel genuinely devastated. Won’t be returning to whatever remains of the “United” Kingdom any time soon.

Saya tidak punya suara, tapi ikutan memantau yang terjadi dan berharap sangat sebenarnya UK Remain in EU. Dari banyak newspaper yang dibaca barangkali ini yang perlu dibagi, nanti saya akan kasih list referensi bacaan ya.

  1. Leave memainkan isu tentang nasionalisme, NHS dan pensiun. Bahwa kesejahteraan Inggris sudah dicaplok oleh imigran, lapangan pekerjaan dan hak NHS (kesehatan). Bahwa dignity mereka sebagai sebuah bangsa sedang tercabik cabik karena EU tidak mampu memberikan mereka jaminan apa pun.
  2. Leave didukung oleh generasi nostalgia. Dalam kampanyenya mereka mengeluarkan lagi gambar-gambar semasa perang dunia kedua. Dignity.
  3. Leave or Remain ini soal perang antar generasi. Dalam statistic YouGov misalnya ditulis anak muda 18-25 pilih Remain, dan angka yang pilih Leave ada di usia di atas 50an. Mereka yang memilih Leave ga Cuma generasi tua, tapi juga dianggap nasionalis berlebihan dan sebagian tidak berpendidikan tinggi. Sebaliknya Remain dalam demografi dari the Guardian ditulis adalah anakanak muda yang ingin bebas berimigrasi kemanapun mereka mau, berpendidikan tinggi. Data terakhir di media menyebut hampir 75% anak muda Inggris memilih Remain…
  4. Seorang pengamat bilang, kemenangan Leave adalah kegagalan Partai Buruh untuk meyakinkan anggota buruh di seluruh Kerajaan Inggris bahwa isu lapangan pekerjaan dan kesejahteraan buruh masih bisa diselesaikan tanpa keluar EU. Selain juga mencerminkan kemarahan terhadap Jeremy Corbyn yang untuk pertama kalinya satu panggung dengan Cameron untuk Remain!
  5. Media terpecah antara yang pro Brexit atau Remain. Jahatnya yang Brexit memainkan isu imigrasi yang sangat diskriminatif terhadap imigran, menyebut mereka invader (Daily Express) misalnya. Michael Falon harus membayar mahal karena menyebut seorang ulama sebagai pendukung Isis yang kemudian menang dalam pengadilan atas pencemaran nama baik, atau defamation law.
  6. Raja media, Rupert Murdoch punya dua surat kabar – the SUN dan The Times yang keduanya ada di pihak berbeda. Jadi sebenarnya dia tetap menang, antara Leave atau Remain. The SUN bersegmen, kelas menengah bawah, kurang berpendidikan dan berkampanye LEAVE berminggu terakhir. Terakhir mendapatkan teguran karena menggunakan wajah Ratu Elizabeth II di halaman depan, bahwa Ratu mendukung Inggris ke luar EU. The Times di sisi lain, adalah koran untuk kaum terpelajar, memilih Remain. Ketika ditanya salah satu surat kabar, Evening Standard, Rupert Murdoch secara pribadi memilih Leave:

“I once asked Rupert Murdoch why he was so opposed to the European Union. ‘That’s easy,’ he replied. ‘When I go into Downing Street they do what I say; when I go to Brussels they take no notice.” (http://indy100.independent.co.uk/article/this-terrifying-rupert-murdoch-quote-is-possibly-the-best-reason-to-stay-in-the-eu-yet–WyMaFTE890x)

  1. Kematian Jo Cox pekan lalu sebenarnya cukup menggambarkan betapa mengerikannya Inggris sekarang. Jo Cox berpesan bahwa yang diperlukan Inggris adalah penghargaan tertinggi pada nilai kemanusiaan dan keberagaman. Lalu dia mati di tangan orang yang berteriak ‘British First’. Semoga saya salah, bahwa rasisme tidak seharusnya terinstitusionalisasi dan dijustifikasi dalam balutan isu nasionalime!
  2. Isu perubahan iklim yang cross border ga bisa ditackle sendirian oleh Kerajaan Inggris. Begitu kata kawan saya yang seorang environmentalist.
  3. Efek domino dari minggatnya Kerajaan Inggris adalah Belanda juga berencana referendum, lalu Irlandia dan Skotlandia tetap ingin bergabung di EU. Maka tambah rumitlah persekutan uni eropa ini.

Seorang teman menulis statusnya tentang orang-orang yang kaget karena David Cameron mundur dari kursi Perdana Menteri padahal dia merasa Cameron masih melakukan tugasnya dengan baik, sementara orangorang ini memilih LEAVE. Apa yang bisa dipetik dari sana?

  1. Pendidikan politik adalah hal yang wajib. Suka tidak suka, belajar tentang politik, hukum dan hak sebagai warga negara adalah kewajiban bersama. Semua kudu mengerti apa konsekuensi dari pilihan politik mereka.
  2. Media alternative yang independen harus ada. Selama media dikuasai pemilik modal yang berelasi kuat dengan politisi, selamanya ruang redaksi tidak akan bisa netral menjalankan fungsinya memberikan edukasi pada publik.
  3. Mewajibkan warga untuk memberikan suaranya di hari pemungutan suara. Ini ide yang disampaikan teman saya dari Argentina, dia seorang konsultan politik untuk presiden Argentina. Dia bilang dengan mewajibkan itu paling tidak mengurangi angka abstain dan menjadikan hasil pemilihan menjadi lebih representative dan legitimize. Kesannya opresiff, tapi bayangkan ini sebagai kewajiban bayar pajak misalnya, kita membayar tanpa bertanya, tapi berhak murka ketika di korupsi. Maka dengan logika yang sama, kita bisa bilang, dengan memilih, memberikan suara, kita punya hak yang lebih besar untuk murka jika mereka politisi melanggar amanat yang kita berikan. Fakta bahwa angka Turnout 72% dari EU referendum ini adalah yang terburuk sejak 1992. Maka rekomendasi (3) barangkali layak dipertimbangkan, bukan cuma di Inggris tapi juga di Indonesia.

Kampus saya ini dikuasai partai buruh, cobynomics adalah salah satu kajian utama di sini. Beberapa kali mengikuti kuliah dan sedikit banyak memahami bahwa Kerajaan Inggris tak sedang berjaya, isu soal lapangan kerja, jaminan kesehatan, dana pendidikan dan riset, serta tempat tinggal sudah berat sebelum ditambah dengan isu imigrasi. Tapi keluar dari EU dari banyak referensi bilang, bukan jawabannya.

Untuk mengakhiri catatan sejarah hari ini, saya mau mengutip Owen Jones, pengamat politik idola saya yang masih muda dan sangat cerdas menggambarkan perspektifnya.

“If the left has a future in Britain, it must confront its own cultural and political disconnect with the lives and communities of working-class people. It must prepare for how it responds to a renewed offensive by an ascendant Tory right. On the continent, movements championing a more democratic and just Europe are more important than ever. None of this is easy – but it is necessary. Grieve now if you must, but prepare for the great challenges ahead.” (https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/jun/24/eu-referendum-working-class-revolt-grieve)

Selamat menempuh hidup baru Kerajaan Inggris, wishing you all the best. Saya merasa beruntung berada di sini ketika sejarah baru dimulai 🙂

Inggris Thames

Referensi tambahan layak baca:

http://www.theguardian.com/politics/commentisfree/2016/jun/23/how-can-we-heal-a-nation-divided-by-the-referendum?CMP=fb_gu

http://www.theguardian.com/profile/owen-jones

https://yougov.co.uk/news/2016/06/24/brexit-follows-close-run-campaign/

 

 

Review: Bream gives me hiccups – Jesse Eisenberg … Menertawakan ironi

Standar

Selesai membaca bagian pertama buku ini, saya langsung bertanya sama diri sendiri, tentu saja, ‘is Jesse has an issue with his mom?’ karena setiap penulis selalu punya pengalaman pribadi di balik cerita yang ditulisnya. But who doesn’t? it doesn’t mean we hate our parents, we love them in our special way J

Bagian pertama buku ini bercerita tentang hubungan anak 9 tahun dengan ibunya yang ditinggal suaminya untuk perempuan lain. Tapi hubungan ibu anak itu dibalut cerita review restaurant yang dibuat si anak setiap kali dia dan ibunya pergi makan. Namanya juga cerita dari sisi anak kecil, cerita ini bikin ngikik sejak halaman pertama, tapi saban menjelang akhir cerita, Jesse menyelipkan kalimat yang selalu bikin saya tertampar.

‘Setiap kali orang dewasa mengatakan sesuatu, mereka pikir itu terbaik untuk kita. Padahal mereka hidup lebih lama dan bergaul dengan lebih banyak orang yang membuat mereka berpikir sama, seperti orang lain. Sementara saya, anak-anak, manusia baru, kami berpikir normal.’

Atau ketika dia bercerita bagaimana sejak ibunya ditinggal selingkuh oleh ayahnya, si ibu tidak lagi mau bergaul dengan sahabat-sahabatnya, apalagi mereka yang berpasangan. Ga mau jadi obat nyamuk, atau kalau istilahnya third wheel. Si anak kepikiran membawa ke atas sepeda roda tiganya ke kamar ibunya dengan menyelipkan pesan,’ini sepeda roda tiga dan kami menyayangimu.’ Ibunya menangis terharu tapi dalam hitungan menit dia berteriak… bawa keluar sepedanya, kotor tahu.

Mom….

Dalam beberapa cerita, si anak dipaksa berdusta oleh ibunya, untuk menjaga reputasi bahwa keluarga mereka baik-baik saja. Dia bilang, orang dewasa terlalu banyak dusta, kami tidak.

Di bagian akhir bab pertama si anak mulai mempertanyakan apakah ibunya benarbenar menyayanginya atau hanya ingin uang sang ayah, karena dalam perjanjian perceraian mereka, ayah akan membiayai semua kegiatan yang mereka lakukan bersama. Tapi ketika ibunya untuk pertama kalinya tersenyum tulus – dari banyak dusta- si anak yakin ibunya membutuhkan dia. Jesse menuliskannya dengan baik

‘Melewati masa susah berdua jauh lebih baik daripada menikmati hidup senang sendirian.’

Buku ini juga bercerita tentang hubungan kakak-adik, ayah-anak dan sahabat yang dikemas penuh humor. Dari cerita yang disampaikan dalam buku ini, saya makin jatuh cinta dengan Jesse Eisenberg, dia bisa tuh bercanda soal Marxist-Socialist, bahwa sebenarnya ga bisa lah semua hal dilakukan bersama-sama, apa mau mati juga kudu bareng?, panjang lebar Jesse bercerita tentang sejarah Serbia-Bosnia yang dibuat canda yang ringan. Dan yang paling seru adalah tentang sunat perempuan, dengan tokohnya adalah Harper, anak tingkat pertama kuliahan yang kaget dengan semua perubahan dalam hidupnya Harper bilang, kalau sunat perempuan Cuma untuk menyenangkan hasrat seksual lelaki, pengen rasanya dia kebiri semua lelaki, potong penisnya, biar tahu rasa! Kenapa harus perempuan yang menderita untuk kepuasan lelaki?

Harper mengajak kita sebagai orang dewasa untuk mengerti remaja putri yang mengalami masa puber, berhadapan dengan cinta pertama, seksualitas sampai emosi yang jumpalitan belum stabil. Orang dewasa akan mudah mengira dia gila, tapi dia bilang, yang dibutuhkannya cuma sebuah kebebasan untuk menjalani hidup dengan caranya, tanpa harus dihakimi. Bahwa yang dibutuhkan seseorang adalah sahabat yang mendengar bukan orang yang menghakimi perbuatannya.

Jesse bisa membuat saya tertawa dalam getir, menertawakan tragedy yang kalau saya membayangkan saya yang menulis pasti dengan cucuran air mata yang lebay. Salah satu yang membuat saya terkesan adalah ketika dia bercerita tentang ‘Self-Healing,’ begini singkatnya

‘Ibu bilang kalau kita sedih, tersenyumlah. Itu akan menstimulus otak untuk berpikir kita bahagia. Maka ketika saya  di phk, kemudian diusir dari apartemen karena tak sanggup membayar lalu ditinggal kekasih demi bos saya, saya tersenyum, saya bahagia. Ketika saya membunuh bekas pacar saya dan pacarnya, dan polisi menangkap saya lalu hakim menjatuhkan hukuman mati, saya tersenyum. Ketika listrik ratusan volt menyengat tubuh saya, saya bahagia, pasti saya akan berada di tempat yang paling membahagiakan.’

Bagaimana bisa tertawa untuk cerita seperti itu?

Membaca buku dengan 272 halaman dan habis dalam waktu satu hari (potong malam) saya dibuat tertawa terbahak-bahak dalam ironi. Bagaimana dia menaruh tragedy tak terduga di antara rentetan cerita lucu itu, luar biasa!

Jesse Eisenberg, di luar dugaan saya sebelumnya, humor yang luar biasa cerdas dengan range pengetahuannya yang luas… he must be a nerd! A very funny nerd!…

ps. a very good choice to break from dissertation!

jesse eisenberg