Tulisan ini buat kamu anak-anak Teluk Sumbang, Merabu dan Long Beliu. Saya tulis karena terus terang saya iri pada kalian yang lahir, besar dan hidup di Kampung.
Saya lahir dan besar di Jakarta, dari keluarga menengah. Barangkali kalau bapak tidak berbini tiga, hidup keluarga kami bisa berharta lebih. Tak harus banting tulang siang malam bekerja untuk biaya kuliah sendiri, si bungsu ga perlu ngosek WC di rumah sakit dan mal pusat perbelanjaan untuk bisa selesaikan kuliah D3 nya. Terlebih, barangkali kami tak perlu gotong sana-sini perlengkapan rumah, dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, yang penting ada atap berlindung dari hujan dan panas, juga ada karpet buat selonjoran tidur.
Tapi kalau waktu berbalik dan semua terjadi seperti di atas, barangkali saya tidak bersama kalian sepanjang setahun ini. Barangkali saya jadi orang songong seperti si Budiman yang melempar sampah dari mobilnya lalu nonjok orang yang menegurnya. Barangkali juga saya hanya jadi anggota kelas menengah ngehek yang cuma bisa teriak kritik, nyinyir dari sosial media sambil minum kopi di kafe mewah, dan merasa paling pintar lewat jempolnya. Atau saat ini barangkali saya jadi orang kaya yang frustasi dengan sistem Pendidikan di Indonesia lalu mengirimkan anak-anak saya sekolah dan hidup di luar negeri. Kalau semua menjadi seperti ‘saya,’ lalu bagaimana kita bisa manfaat jadi manusia? Kata sahabat saya, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberi manfaat pada sekitarnya.
Maka dari itu, saya berterima kasih buat bapak dan ibu yang membesarkan saya dengan segala keprihatinan. Kata bapak, tidak ada warisan yang bisa diberikan kecuali bertumpuktumpuk buku dan kesempatan sekolah yang tinggi. Tapi ya itu tidak mudah, dulu ibuk bernada tinggi dan meyakinkan bapak untuk memberikan kesempatan saya sekolah, karena awalnya bapak seperti kebanyakan orang tua lain yang besar di dunia di mana lelaki punya derajat lebih tinggi, saya dicukupkan sampai SMA lalu menikah dan sibuk di dapur. Untunglah ibuk pasang badan buat saya. Dia bilang, perempuan harus sekolah tinggi, berpendidikan dan mandiri, supaya tak bergantung pada laki-laki.
Tarrraaa, jadilah saya hari ini.
Saya hanya beruntung hidup dan besar di Jakarta dan punya kesempatan untuk sekolah lebih tinggi, meski itu harus dilalui berdarah-darah pula (lebaaayy). Tapi percayalah kota tak seindah yang kalian lihat di sinetron. Kejam! Bahkan urusan sendal jepit yang selalu hilang terutama saat sholat Jumat, bisa bikin emosi terpancing dan berantem dengan teman sendiri. Iyalah, barang murah tapi kok ya ga pada mau beli sendiri. Yang saya mau bilang, kami di kota selalu hidup penuh curiga satu sama lain. Ga santai.
Saya iri dengan kalian yang bisa meninggalkan motor dan kuncinya di pinggir jalan. Bejo naik motor pak Boy ke mushola untuk ambil motornya, lalu pulang dengan motornya sendiri lalu meninggalkan punya pak Boy di sana.
Saya iri dengan kalian yang makan dari kebun sendiri. Pohon kelor yang jadi pagar rumah dan daunnya jadi sayur bening. Mau makan ikan tinggal mancing di sungai dan laut. Mau makan telur ayam, tinggal kejar kejaran sama ayam di kolong rumah.
Bisa bangun pagi jam berapa pun, tanpa diburu-buru jadwal kereta, atau jam kantor. Punya rumah yang sampai lelah membersihkannya karena besaaar. Sementara kami di kota, ngepel saja mentok sana sini saking sempitnya. Harus cicil rumah 15-20 tahun, bahkan kalau mau tren macam apartemen, sudah bayar mahal, kamar itu Cuma bisa ditempati selama 30 tahun.
Jangan setel tv yang penuh tawaran jajanan. Tas Hermes itu sampah, tas rotan kalian itu kehidupan, ada cerita tentang manusia, budaya dan alam di balik tas rotan yang dianyam ibu-ibu sambil menunggu anaknya pulang sekolah atau sambil merumpi.
Gaji yang dinanti saban akhir bulan, Cuma melambaikan salam selamat tinggal. Dia pindah ke rekening lain untuk bayar utang. Sampai mati, anak kota selalu diikuti hutang.
Hutan baja di Jakarta itu lebih menyeramkan daripada hutan penuh pohon, lintah dan binatang lainnya di Kampungmu. Binatang berakal bernama manusia itu bisa lebih jahat daripada macan pohon sekali pun. Licik, yang langkahnya susah ditebak. Iya betul, masih banyak orang baik di kota, tapi kehidupan keras di kota kadang membuat kami lupa bahwa kami manusia. Hidup kami seperti robot yang disetel dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang ‘diada-adakan’. Bayangkan betapa bodohnya orang kota kawan. Sudah tahu macet di jalan, mereka tak berhenti beli mobil. Marah-marah karena macet yang mereka bikin sendiri. Bodok bodok lah.
Saya akan kembali ke Jakarta beberapa bulan dari sekarang. Saya dimasa galau penuh pertanyaan, sanggup ga ya kembali ke kehidupan yang keras itu? Tapi tak seperti kamu yang masih ada pilihan, pilihlah untuk tetap di kampung, berkarya dan bermanfaat untuk kampung. Itu rumahmu, akarmu di sana. Jangan mudah percaya pada mereka yang datang dari antah berantah dengan janji membawa kesejahteraan versi mereka. Kalian sudah sejahtera! Ambil saja ilmunya, tapi jangan menjual diri, tanah dan rumahmu pada siapa pun.
Banggalah Jadi Anak Kampung, seperti saya bangga sekali pada kalian. Terima kasih untuk semua pelajaran hidup yang kalian berikan pada saya, untuk jadi orang yang tahu bersyukur pada apa yang kita dapat hari ini, saat ini.![IMG-20170930-WA0027[1]](https://nroshita.files.wordpress.com/2017/10/img-20170930-wa00271.jpg?w=652)
![IMG-20171010-WA0016[1]](https://nroshita.files.wordpress.com/2017/10/img-20171010-wa00161.jpg?w=652)