Monthly Archives: Oktober 2017

Bekerja dari Kafe atau dari Kamar? #lifeaftermarriage

Standar

Diskusi pendek lewat whatsapp dengan suami pagi ini menggelitik. Ini hari Minggu, tapi saya memilih untuk mulai menyicil laporan bulanan, enaknya dimana ya? Di kafe atau di kamar kosan aja? Saya dan suami tinggal berjauhan,saya di Bali dan suami di Cimahi. Pertanyaan itu tidak pernah muncul ketika masih berstatus lajang, tapi sekarang cerita berbeda. Bukan karena harus minta izin, tapi lebih riil dari itu, perhitungan tentang anggaran. Kan sekarang segala sesuatu yang berimplikasi pada anggaran keluarga harus dipertimbangkan toh. Artikel ini, sekaligus menjawab, apa yang beda setelah menikah? Apalagi saya baru menikah di usia 39 tahun, segalanya menjadi penuh perhitungan matang.

‘Bah, mending di Starbak atau di kafe langgananku? Kalau di starbak, sudah ketebaklah aku mau apa. Seselepetan dari pantai dan bisa makan siang di resto ayam selimutan aka fried chicken terdekat.’

‘Di kamar aja, kalau mau terkontrol.’

‘Kalau di kamar, berarti makan lewat gofood, yang pilihannya lebih banyak dan aku bisa lebih kalap. Jatuhnya sama dengan makan di café. Terus, rugi di koneksi internet, lalu godaan boboknya lebih banyak.’

‘Lah ya udah, bobok aja. Minggu ini.’

‘Kalau bobok, tugasku ga selesai dong.’

Mau pergi kemana pun hari ini, saya sempatkan sarapan di kamar untuk berhemat minimal di pos sarapan. Naik gojek kemanapun hari ini, jatuhnya 15 ribu rupiah. Beruntung karena tinggal di tengah, kearah pantai manapun kisarannya 15-20 ribu rupiah, sekali jalan, ya 40 ribu PP lah paling mahal. Kalau di café setarbak itu palingan terbaca, Americano 35K, kue 35K dan bisa duduk sampai bego, ya palingan nambah satu minuman lagi (biasanya teh) jadinya total sekitar 150K. Kalau di café langganan yang harganya lumayan dan pilihannya banyak itu, kirakira habis 200 – 300K. Sama-sama dengan internet koneksi lancar tapi makanan lebih enak, pemandangan manusianya lebih asik, tempatnya lebih cozy. Daan akhirnya saya memutuskan ke sini.

Suami membalas dengan ikon *sigh

Budget bagian mana neh yang harus dihemat setelah pulang ke rumah? 😉

resize

Iklan

Banggalah Jadi Anak Kampung

Standar

Tulisan ini buat kamu anak-anak Teluk Sumbang, Merabu dan Long Beliu. Saya tulis karena terus terang saya iri pada kalian yang lahir, besar dan hidup di Kampung.

Saya lahir dan besar di Jakarta, dari keluarga menengah. Barangkali kalau bapak tidak berbini tiga, hidup keluarga kami bisa berharta lebih. Tak harus banting tulang siang malam bekerja untuk biaya kuliah sendiri, si bungsu ga perlu ngosek WC di rumah sakit dan mal pusat perbelanjaan untuk bisa selesaikan kuliah D3 nya. Terlebih, barangkali kami tak perlu gotong sana-sini perlengkapan rumah, dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, yang penting ada atap berlindung dari hujan dan panas, juga ada karpet buat selonjoran tidur.

Tapi kalau waktu berbalik dan semua terjadi seperti di atas, barangkali saya tidak bersama kalian sepanjang setahun ini. Barangkali saya jadi orang songong seperti si Budiman yang melempar sampah dari mobilnya lalu nonjok orang yang menegurnya. Barangkali juga saya hanya jadi anggota kelas menengah ngehek yang cuma bisa teriak kritik, nyinyir dari sosial media sambil minum kopi di kafe mewah, dan merasa paling pintar lewat jempolnya. Atau saat ini barangkali saya jadi orang kaya yang frustasi dengan sistem Pendidikan di Indonesia lalu mengirimkan anak-anak saya sekolah dan hidup di luar negeri. Kalau semua menjadi seperti ‘saya,’ lalu bagaimana kita bisa manfaat jadi manusia? Kata sahabat saya, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberi manfaat pada sekitarnya.

Maka dari itu, saya berterima kasih buat bapak dan ibu yang membesarkan saya dengan segala keprihatinan. Kata bapak, tidak ada warisan yang bisa diberikan kecuali bertumpuktumpuk buku dan kesempatan sekolah yang tinggi. Tapi ya itu tidak mudah, dulu ibuk bernada tinggi dan meyakinkan bapak untuk memberikan kesempatan saya sekolah, karena awalnya bapak seperti kebanyakan orang tua lain yang besar di dunia di mana lelaki punya derajat lebih tinggi, saya dicukupkan sampai SMA lalu menikah dan sibuk di dapur. Untunglah ibuk pasang badan buat saya. Dia bilang, perempuan harus sekolah tinggi, berpendidikan dan mandiri, supaya tak bergantung pada laki-laki.

Tarrraaa, jadilah saya hari ini.

Saya hanya beruntung hidup dan besar di Jakarta dan punya kesempatan untuk sekolah lebih tinggi, meski itu harus dilalui berdarah-darah pula (lebaaayy). Tapi percayalah kota tak seindah yang kalian lihat di sinetron. Kejam! Bahkan urusan sendal jepit yang selalu hilang terutama saat sholat Jumat, bisa bikin emosi terpancing dan berantem dengan teman sendiri. Iyalah, barang murah tapi kok ya ga pada mau beli sendiri. Yang saya mau bilang, kami di kota selalu hidup penuh curiga satu sama lain. Ga santai.

Saya iri dengan kalian yang bisa meninggalkan motor dan kuncinya di pinggir jalan. Bejo naik motor pak Boy ke mushola untuk ambil motornya, lalu pulang dengan motornya sendiri lalu meninggalkan punya pak Boy di sana.

Saya iri dengan kalian yang makan dari kebun sendiri. Pohon kelor yang jadi pagar rumah dan daunnya jadi sayur bening. Mau makan ikan tinggal mancing di sungai dan laut. Mau makan telur ayam, tinggal kejar kejaran sama ayam di kolong rumah.

Bisa bangun pagi jam berapa pun, tanpa diburu-buru jadwal kereta, atau jam kantor. Punya rumah yang sampai lelah membersihkannya karena besaaar. Sementara kami di kota, ngepel saja mentok sana sini saking sempitnya. Harus cicil rumah 15-20 tahun, bahkan kalau mau tren macam apartemen, sudah bayar mahal, kamar itu Cuma bisa ditempati selama 30 tahun.

Jangan setel tv yang penuh tawaran jajanan. Tas Hermes itu sampah, tas rotan kalian itu kehidupan, ada cerita tentang manusia, budaya dan alam di balik tas rotan yang dianyam ibu-ibu sambil menunggu anaknya pulang sekolah atau sambil merumpi.

Gaji yang dinanti saban akhir bulan, Cuma melambaikan salam selamat tinggal. Dia pindah ke rekening lain untuk bayar utang. Sampai mati, anak kota selalu diikuti hutang.

Hutan baja di Jakarta itu lebih menyeramkan daripada hutan penuh pohon, lintah dan binatang lainnya di Kampungmu. Binatang berakal bernama manusia itu bisa lebih jahat daripada macan pohon sekali pun. Licik, yang langkahnya susah ditebak. Iya betul, masih banyak orang baik di kota, tapi kehidupan keras di kota kadang membuat kami lupa bahwa kami manusia. Hidup kami seperti robot yang disetel dari waktu ke waktu untuk memenuhi kebutuhan hidup yang ‘diada-adakan’. Bayangkan betapa bodohnya orang kota kawan. Sudah tahu macet di jalan, mereka tak berhenti beli mobil. Marah-marah karena macet yang mereka bikin sendiri. Bodok bodok lah.

Saya akan kembali ke Jakarta beberapa bulan dari sekarang. Saya dimasa galau penuh pertanyaan, sanggup ga ya kembali ke kehidupan yang keras itu? Tapi tak seperti kamu yang masih ada pilihan, pilihlah untuk tetap di kampung, berkarya dan bermanfaat untuk kampung. Itu rumahmu, akarmu di sana. Jangan mudah percaya pada mereka yang datang dari antah berantah dengan janji membawa kesejahteraan versi mereka. Kalian sudah sejahtera! Ambil saja ilmunya, tapi jangan menjual diri, tanah dan rumahmu pada siapa pun.

Banggalah Jadi Anak Kampung, seperti saya bangga sekali pada kalian. Terima kasih untuk semua pelajaran hidup yang kalian berikan pada saya, untuk jadi orang yang tahu bersyukur pada apa yang kita dapat hari ini, saat ini.IMG-20170930-WA0027[1]

 

IMG-20171010-WA0016[1]

Sihir Arundhati Roy Dalam Kisah Pencarian Kebahagian. Review The Ministry of Utmost Happiness by Arundhati Roy #27

Standar

Tilo masih memakai cincin perak yang diberikan Musa setelah bertahun-tahun mereka berpisah. Pada satu pertemuan, Musa menceritakan kisah isteri dan anaknya yang mati ditembak tentara India. Kisah yang tak pernah diketahui Tilo sebelumnya. Percakapan yang sangat mungkin terjadi di antara mereka, sebagai kekasih dan bekas kekasih, pernah sedekat saudara, bekas teman sekelas. Jadi sekalipun salah satu terluka, itu karena dia sangat pantas dicintai. Soal hati, keduanya seperti memiliki hutan, sarang mereka yang penuh kedamaian.

 

Tapi tentu saja, Arundhati Roy tak semudah itu membuat kita terlena dengan kisah cintah Tilo dan Musa. Butuh 7 bab, 200 an halaman sebelum masuk ke dalam kisah mereka yang dipenuhi ketegangan, ikutan marah dan sedih. Musa adalah pejuang pembebasan Khasmir yang ingin berdiri sendiri dari Pemerintah India, sementara Tilo adalah orang India tulen. Musa adalah buronan tentara India, dengan tuduhan sebagai teroris. Musa yang memegang kendali jadwal dan jalan bagaimana mereka bisa bertemu. Di antara mereka ada Naga dan Bipta, bekas kawan sekelas dan sepermainan yang sama-sama mencintai Tilo. Sampai akhir cerita, cinta Tilo hanya pada Musa.

Buku setebal 447 halaman ini  harus dihabiskan dalam satu kali masa membaca, sebab kalau tidak, akan sangat mudah untuk tersesat dalam alur maju mundur yang dibuat Roy dan banyaknya tokoh yang terlibat dalam cerita. Focus saja pada Tilo, Musa, Naga, lalu Anjum, Zainab dan Sadam. Di awali dengan kisah Anjum atau yang semula Aftab, cerita tentang Hijrah, atau LGBT sebagai gender ketiga yang diakui di India. Sepanjang Roy bercerita tentang Anjum, saya tertawa dalam ironi. Dia lahir saat lampu padam, dan si dukun memberitahukan bahwa jenis kelamin dia adalah laki-laki, seperti yang diinginkan oleh ayah dan ibunya. Beberapa minggu kemudian, ibunya menemukan fakta bahwa anaknya memiliki vagina. Pada usia belasan tahun, ibunya baru membuka rahasia pada ayahnya kalau Aftab bukan laki-laki tulen, dia memiliki vagina. Aftab berganti Anjum saat dia bergabung dengan kelompok waria di sudut kumuh kota Delhi. Hijrah adalah sebutan untuk Anjum dan kawan-kawan. Mereka bisa hidup tenang karena kepercayaan di India, mengganggu Hijrah hanya akan membawa nasib sial.

Roy berhasil membuat saya tersihir dengan cerita ini dan membuat saya tak bergeser darinya sepanjang akhir pekan ini. Luasnya jangkauan cerita yang ingin disampaikan oleh Roy, tentang gentrifikasi di India, pemukiman kumuh di Delhi, tentang kehidupan waria, tentang pemisahan India dan Pakistan yang di lapangan tak juga selesai, memisahkan keluarga besar dalam dua agama, Hindu dan Islam. Tentang kasta yang menghalangi Bipta memperjuangkan cinta untuk Tilo. Tentang sekutu antara Jurnalis dan Penguasa, bagaimana Naga menjadi jurnalis kenaamaan dengan berita ekslusif yang disiapkan oleh Bipta sebagai agen intelejen pemerintah India.

Seperti sihir Roy di God of Small Thing, sihir kali ini mampu menyudahi penantian saya atas karya fiksinya selama bertahun-tahun. You did it again Arundhati Roy, such a great story teller.

Saya sudahi dengan mantra Gayatri yang worth to share dan perlu diamini:

Om bhur bhuvah svaha

Tat savitur varenyam

Bhargo devasya dhimahi

Dhiyo ya nah procadayat

O God, thou art the giver of life / Remover of pain and sorrow/ Bestower of Happiness/ O Creator of universe/ May we receive thy supreme sin-destroying light/ May thou guide our intellect in the right direction

resize

Kota Itu Dibangun Untuk Siapa? Review buku Happy City oleh Charles Montgomery

Standar

Saya lahir dan dibesarkan di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, persis melipir dari wilayah pemukiman orang berada Pondok Indah. Saya lihat bagaimana Pondok Pinang dan Pondok Indah berubah. Dulu kami selevel, kampung gebruk namanya, tapi gebruk digusur, berubah jadi kawasan elit Pondok Indah.  Semakin besar, keterikatan saya dengan kota Jakarta memudar, karena kota ini semakin padat, semakin besar, tapi juga semakin tak membuat hidup saya nyaman. Lebih banyak terjebak di jalan karena macet, yang harusnya bisa ditempuh dalam 1 jam, kadang bisa sampai 3 jam. Buang waktu, buang tenaga, lebih lagi buang uang. Seringkali saya harus menunggu sampai ‘jalanan sepi’ supaya tak terjebak macet, tapi nunggunya di kafe, tarraaa ya habislah berapa pun besar gaji saya tiap bulannya. Biaya hidup tinggi. Ketidakbahagiaan saya ini by design! Karena untuk kesekian kalinya saya mempertanyakan, Jakarta ini buat siapa sih sebenarnya?

Happy City, buku dengan 327 halaman karya Charles Montgomery mengajak saya mengenal kembali tentang Kota, tempat saya lahir dan dibesarkan, bahkan mengajak lagi untuk mempertanyakan bahagia itu apa?

Tinggal di kota yang cantik, semuanya serba dipermudah, fasilitas lengkap, tapi tak murah. Polusi bikin kita sering sakit, sering check-in di dokter. Menunggu sepi di kafe, bukan satu dua gelas habis. Commute atau pergi dari rumah ke lokasi aktivitas di tengah kota bikin stress, commuting lebih dari 45 menit berdampak pada tekanan darah tinggi, sakit kepala, stress dan begitu sampai di lokasi aktivitas semangat langsung drop. Mau tinggal di tengah kota? Ya bukan level semua orang. Hanya mereka yang berduit yang bisa menikmati kota.

Kota yang bikin bahagia menurut Enrique Penalosa adalah kota yang bisa memperlakukan penghuninya sebagai manusia, menghargai mereka sebagai manusia. Bahagia adalah keadilan atau equality, tidak ada kelompok yang merasa ditinggalkan karena pembangunan. Bahagia adalah kebebasan bergerak kata Montgomery, semua keperluan ada dalam jangkauan berjalan kaki atau paling tidak naik sepeda. Bahagia bisa diintervensi melalui penataan kota, urban design. Bahagia itu bukan ditentukan oleh status sosial tapi nilai dari keakraban hubungan antar tetangga, kerabat dan kolega. Kapan terakhir berkumpul untuk rapat RT membahas kerja bakti? Apakah kamu tahu nama tetangga di sebelah rumah? Apakah kalian saling mencurigai dalam lingkungan bertetangga? Apakah anak-anakmu bebas bermain dan berlari di sekitar rumah tanpa khawatir tertabrak motor atau mobil? Kalau iya, sebaiknya pindah.

Montgomery mencontoh perubahan radikal yang dilakukan oleh Penalosa untuk kota yang dipimpinnya Bogota, Colombia. Dia menyingkirkan mobil yang hanya bermanfaat untuk kalangan tertentu dan memperbanyak jalur sepeda dan ruang terbuka hijau yang membuat semua orang bisa berinteraksi. Mengubah pandangan bahwa sepeda adalah ikon orang miskin menjadi sebuah trend dan kebutuhan. Hasilnya nyata, angka kecelakaan lalu lintas turun drastis begitu juga tingkat kejahatan di jalanan. Penalosa bilang rasa adil itu itu bukan soal pendapatan yang sama, tapi perlakukan yang sama bisa dinikmati semua penghuni kota lainnya. Selama ini pejalan kaki dan pesepeda membayar pajak yang digunakan untuk memperlebar jalan, yang hanya dinikmati oleh pemilik kendaraan bermotor. Sepeda dan pejalan kaki selalu terpinggirkan. Ketidakadilan akan berbuntut pada kejahatan.

Buku ini juga mencontohkan bahwa tidak memiliki kendaraan bermotor adalah sebuah kebebasan. Bebas dari beban pajak, biaya perawatan, sampai urusan parkir. Kalau kendaraannya kredit, pusing lagi mikirin cicilannya. Saya jadi ingat perkataan kawan saat kami bersama menikmati layanan Go-Car, ‘orang yang masih ada di belakang setir itu miskin, apalagi belinya dengan kredit. Yang orang kaya itu ya kami, bisa gonta-ganti mobil, dijemput dan diantar ke tempat tujuan.’

Mau mengubah kehidupan kota menjadi lebih baik? Ga usah nunggu kebijakan dari pemerintah yang seringkali ingkar pada janji politiknya. Mengutip Filusuf Perancis, Henri Lefebvre, kalau kamu tinggal dan berbagi lingkungan dengan orang lain, secara alami kamu punya hak untuk berpartisipasi untuk mengubah masa depannya. Montgomery memberikan beberapa contoh di bab terakhirnya, Save Your City, Save Yourself, salah satunya mencat kota di Portland Oregon. Sederhana ya, tapi bagaimana aksi itu dilakukan bersama dan membangun kebersamaan itulah yang paling penting.

Intinya sih, Montgomery mengingat kembali pentingnya gotong royong dan silaturahmi dalam kehidupan perkotaan untuk meningkatkan kebahagian individu di dalamnya dan itu semua bisa ‘dipaksakan’ lewat tata kota yang dibangun untuk manusia, bukan kepentingan pasar / kapitalis.

Happy City