
Permintaan maaf itu sebenarnya menyenangkan siapa? Tentu menyenangkan bagi yang terluka, atau yang tersakiti, lalu apa? Berapa kali seseorang melakukan kesalahan berulang dan selalu merasa selesai dengan minta maaf? Akan jauh lebih penting jika orang atau kita melakukan kesalahan adalah mengakui kesalahan (tanpa perlu mengucapkan maaf) dan menawarkan solusi dengan menggunakan kalimat masa depan, atau Future Tense. “Saya melakukan kesalahan, dan saya punya beberapa hal yang akan saya lakukan untuk A – Z.” Membaca buku ini, saya merasa tertohok. Saya tipikal yang akan meminta maaf dahulu ketika melakukan kesalahan, dan iya betul, akan menawarkan solusi perbaikan. Lebih jauh dari itu, saya jadi merasa memang tidak perlu berharap orang minta maaf atas kesalahannya, tapi yang penting, bagaimana dia bisa meyakinkan saya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kesalahannya. Tentang minta maaf atau tidak, ada di bagian Recover from Screw-Up (268)
Buku ini mengajak saya menyelami isi kepala para orator yang biasa manggung termasuk para politisi. Panggung, artinya ada audiens, dan sebagai audiens, sudah seharusnnya saya kritis terhadap apa yang diucapkan. Orator yang baik, dia akan menyiapkan materinya sebaik mungkin. Dalam teori Aristoteles, ada ethos (ethic/values), phatos (emotion) and logos (logic/facts), dan untuk memengaruhi audiens, orasi harus mengandung cause (sebab), caring (simpati/ nilai-nilai) dan craft (kemasan dalam figure, data, logika). Jadi ketika seorang bicara di depan umum, anda bisa menilai kapan dia akan menyebutkan sebab atau tujuan dia ada di atas dan bicara, simpati apa yang ditunjukan, betapa dia merasa menjadi bagian dari anda, lalu apa yang dia inginkan dari anda lewat data dan logika yang meyakinkan. Teori ini kata Jay biasanya akan bekerja dengan baik di tengah audiens yang tidak punya idealism kuat. Percuma meyakinkan tentang sosialisme kepada penganut kapitalisme, begitu juga sebaiknya. Atau saat pemilu, akan sulit menggeser keyakinan satu kubu yang sudah terlanjur jadi fanboy kandidat tertentu.
Teori ini bukan hanya untuk politisi tapi buat siapa saja yang berusaha meyakinkan orang lain untuk mengikuti maunya kita. Pahami betul audiens yang dihadapi, nilai umum apa yang dianut, lalu cari apa yang mereka inginkan atau desire, dan kemas dengan baik hal yang anda tawarkan agar sesuai dengan mereka. Kalau tidak berhasil, pastikan anda ada di posisi sedekat mungkin dengan mereka, agar mereka percaya anda adalah bagian dari mereka. Orasi itu fake, indeed hahaha. Tapi ini berhasil jika anda ingin agar pesan itu sampai, dipahami dan dinternalisasi.
Teori berikutnya dari Cicero, ada bagaimana menyiapkan bahan presentasi atau dalam tulisan. Outlinenya begini: ada pengantar (introduction) – hal baik yang ingin anda sampaikan, narasi – penyataan tentang fakta yang terjadi, lalu division – atau bagian mana yang anda tidak sepakati dari lawan argumentasi anda, lalu proof – bantah dengan bukti, data dan fakta, lalu refutation – bantai lawan di bagian ini, lalu conclusion – kesimpulan, penegasan ulang dari poin yang ingin disampaikan, pakai bumbu emosi biar tambah meyakinkan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan jika orasi atau public speaking, pertama, timing – pastikan waktunya pas untuk menyampaikan pesan. Kedua, gunakan bahasa yang dipahami audiens. Ketiga, style, jangan sampai salah kostum, atau terlihat terlalu elitis di tengah umum. Keempat, gunakan media yang sesuai untuk menyampaikan pesan. Blog seperti ini hanya akan berguna untuk mereka yang memang mencari pengetahuan baru dan hanya satu arah, saya ke kamu. Tidak hanya satu media, gunakan semua media yang cocok untuk menyampaikan pesan.
Nah, bagian yang menurut saya paling menarik dari buku ini selain soal minta maaf dan tidak di atas, adalah tentang bagaimana menghadapi bullying atau perundungan. Jika hanya ada anda dan lawan bicara, tanpa audiens, bully tidak perlu diladeni. Pergi dari lokasi dan anggap tidak ada, karena menjadi tidak penting menanggapi si perundung yang punya nilai berbeda dengan anda dan tujuannya hanya ingin menyakiti. Lagian tidak ada audiens atau orang lain yang menonton berdebatan anda, do not waste your time.
Jika ada ada di panggung dan bully terjadi di sana oleh penonton, Jay memberikan beberapa cara, tapi yang terbaik menurut saya adalah gaya comedian tunggal, “The Amy Schumer Takedown.” Tetap kendalikan suasana, fokus pada tujuan utama yaitu untuk menghibur audiens yang bayar untuk mendengarkan komedi anda dan bukan untuk memuaskan si bully. Buat si bully bagian dari hiburan itu, jadikan obyek candaan, anda punya bahan baru. Jay bilang, “ketika anda di bully, coba temukan spot atau titik dari penonton yang akan bersimpati pada situasi anda. Merekalah audiens utama anda”
Jika berhadapan dengan debat kusir tentang politik, Jay menyarankan untuk melakukan Aggressive Interest, yaitu tunjukkan simpati dan keingintahuan dengan terus menerus mengajukan pertanyaan tentang definisi, details, data, dan sumber data, terus dan terus, sampai lawan anda kehabisan bahan untuk menjawab. Kenapa ini penting? Pertama untuk memuaskan anda sebenarnya dengan mengganggu atau annoyed si bully. Kedua, pertanyaan-pertanyaan itu justru akan membuat si bully memikirkan ulang pendapatnya sendiri.
“When people try to improve the world by bullying their enemies, the only practical response is to get them to challenge their own assumption. Don’t strike back. Undermine their opinion by getting them to think about how they define their terms.” (page 213 – 214)
Orator terbaik menurut Jay adalah Obama, dan yang terburuk adalah Trump. Tapi keduanya memberikan hal penting untuk dipelajari dalam teknik orasi.
Yang mengganggu dari buku ini adalah side bar di sisi kanan dan kiri halaman, sebuah distraksi. Saya juga lost in translation karena banyak istilah baru terutama dari literature Yunani kuno yang digunakan. Tapi dari banyak buku yang saya baca 2019, rasanya buku ini yang akan sering saya kunjungi ulang di tahun depan. Pekerjaan saya memang mengharuskan untuk tampil di depan umum, menguasai panggung dan audiens agar pesan tersampaikan dan buku ini jadi bahan rujukan yang pas.