Monthly Archives: April 2022

Selamat Datang Masa Depan yang Terbuka dan Inklusi. Review Technosocialism karya Brett King & Richard Petty

Standar
Selamat Datang Masa Depan yang Terbuka dan Inklusi. Review Technosocialism karya Brett King & Richard Petty

Kalau ada buku yang saya sangat saya anjurkan untuk dibaca di 2022 ini adalah Technosocialism. Buat saya buku yang mampu melahirkan perdebatan, percakapan dan mengganggu kenyamanan orang berpikir, itu adalah buku bagus. Perubahan-perubahan yang sudah terjadi di depan mata, tapi masih disangkal, dijadikan bahan perdebatan seperti tentang dystopia yang dimunculkan oleh kecanggihan digital, pasar bebas dalam arti sebenarnya, ketidakadilan akses dan perlakuan akibat technologi, perlu dilanjutkan. Termasuk juga membukakan mata publik tentang kegagalan kapitalisme dalam 100 tahun terakhir yang merusak bumi dan menyebarkan penyakit berbagai jenis di seluruh dunia. Covid 19 baru awal dari yang akan muncul di depan.

Buat saya yang paling menarik dari buku ini dibandingkan “menakut-nakuti” dan membuat pembacanya depresi, buku ini menawarkan sejumlah proposal Langkah yang perlu dilakukan kalau kita mau mencapai masa depan yang lebih baik. Masa depan yang tidak mengimingi suhu lebih dingin dari sekarang (saat menulis ini 32 derajat di Jakarta, saya meleleh karena kamar tak berAC), tapi tidak membuat bumi lebih buruk dari sekarang dan manusia masih bisa hidup dengan layak, belum akan punah seperti banyak perkiraan.

Technosocialism menurut kedua penulisnya bukan ideologi baru apalagi gerakan politik. Ini sesuatu yang tidak bisa dielakan seiring dengan perubahan dunia ketika semua sektor kehidupan akan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Uang tunai akan mati dan berganti dengan uang digital, bank akan sekarat jika tak mengikuti perkembangan. Pemerintah akan gagal jika cara kerjanya tidak transparan dan tidak melibatkan publik secara terbuka. Bumi akan panas dan manusia punah jika bisnis masih dilakukan seperti sekarang, mengeksploitasi alam tanpa perbaikan.

Technosocialism melihat bagaimana teknologi bisa digunakan untuk pemerataan kesempatan dalam mengakses hak-hak asasi yaitu pendidikan, rumah, pangan, sandang, kesehatan dan internet. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah berinvestasi pada pendidikan dan kesehatan berbasis teknologi. Meletakkan perempuan sebagai aktor utama dalam pasar tenaga kerja akan meningkatkan perekonomian negara. Buku ini mengingatkan rendahnya angka kelahiran dan masyarakat yang menua atau aging, maka di masa mendatang kita membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar agar roda ekonomi tetap berjalan. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka imigrasi harus dibuka, perempuan secara aktif dilibatkan dalam perekonomian dan memperpanjang masa produktif lansia, hingga 77 tahun.

Manusia tak perlu bersaing dengan robot, karena lapangan pekerjaannya akan berbeda. Jenis pekerjaan yang mengandalkan tenaga akan digantikan dengan robot, karena itu manusia perlu mengembangkan skill di luar fisik. Empati, kreativitas, seni, kemampuan berkomunikasi adalah di antara soft skill yang menjadi mata uang dalam pasar tenaga kerja ke depan, adalah yang tidak bisa ditransfer dalam coding pada robot.

Pendidikan harus disebar secara merata ke seluruh umat. Selama pandemic kita belajar bahwa sekolah jarak jauh menggunakan teknologi itu mungkin dilakukan. Pemerintah harus mengejar ketertinggalan sarana teknologi di sejumlah daerah yang membutuhkan. Anak-anak harus dipastikan mendapatkan akses pendidikan yang berkualitas karena masa depan adalah milik mereka.

Kesehatan berbasis teknologi akan memperpanjang usia produktif manusia. Dari buku ini saya baru tahu urusan aging itu bukan perkara usia dan kecantikan, tapi bagaimana memastikan usia tidak membuat kemampuan metabolism tubuh tidak ikut merenta. Dengan teknologi kesehatan, aging dalam fungsi-fungsi organ tubuh bisa diperlambat sehingga manusia masih bisa produktif lebih lama.

Di masa depan, penulis melihat kita tidak lagi memperdebatkan tentang ras, gender dan perbedaan agama karena kita tak perlu hadir secara fisik dalam setiap kebutuhan, dan kita tak perlu menjembreng perbedaan di depan layar. AI bisa diformat untuk tak lagi menanyakan perbedaan itu. Pemikiran tribalisme yang hanya melihat pada kepentingan kelompok tertentu pun tak lagi berlaku karena semua sektor membutuhkan kolaborasi antar suku dan lintas batas politik kedaerahan. Masalah lingkungan hidup misalnya adalah masalah yang harus diselesaikan bersama.

Timeline untuk Technosocialism terwujud

Proses tata kelola pemerintahan dilakukan secara terbuka, seperi yang dicontohkan oleh vTaiwan, sebuah project participatory governance. Publik terlibat dalam setiap kebijakan yang diambil pemerintah mulai dari perencanaan hingga implementasinya, baik dari sektor ekonomi, bahkan dalam proses hukum. Kepala saya lalu memutar ulang drama korea berjudul Devil Judge, vonis ditentukan oleh publik.

Tentu saja proposal ide ini tidak sempurna, ada banyak hal yang harus diperdebatkan. Misalnya saya masih tidak teryakinkan bagaimana mencegah AI ini tidak disalahgunakan oleh kepentingan tertentu. Facial recognition sangat berbahaya bagi aktivis lingkungan, politik dan ham yang mengancam hegemoni kekuasaan. Tentang memastikan akses pada teknologi merata dan publik memiliki pengetahuan dasar dalam penggunaannya. Tentang pengaturan etik AI, siapa yang mengatur dan untuk kepentingan apa. Semua pertanyaan itu harus terus bergulir, tanpa perlu dan dapat menghalangi cepatnya perubahan yang terjadi.

Cina, Taiwan, sudah memulainya, Singapore, Jepang dan Korea Selatan juga demikian. Masa depan di tangan Asia bukan sekedar perkiraan. Penulis membandingkan dengan apa yang dilakukan Amerika yang ternyata jauh terbelakang. Perdebatannya bukan lagi perang dagang antara Cina dan Amerika, tapi yang pasti mereka yang menguasai teknologi akan menguasai dunia.

Silakan membaca.

Iklan