Monthly Archives: Januari 2019

Memahami dan Bagaimana Berhadapan Dengan Kekuasaan Ala Chomsky. Understanding Power: The Indispensable Chomsky. Review #4

Standar
Memahami dan Bagaimana Berhadapan Dengan Kekuasaan Ala Chomsky. Understanding Power: The Indispensable Chomsky. Review #4

Chomsky pemikir yang luar biasa. Latar belakangnya ilmu bahasa atau Linguistik, tapi wawasannya melampaui itu semua, politik, media, ekonomi politik, semua dipahami dan disampaikannya dalam bahasa yang sederhana. Kekuatan Chomsky menjelaskan perihal tentang kekuasaan disampaikannya dalam bentuk contoh peristiwa yang dianalisa. Tapi dalam buku ini pula, Chomsky bilang “jangan pernah percaya penuh pada siapa pun dan apapun, bahkan saya. Kamu harus bisa menerima informasi dengan skeptis, teruslah bertanya dan bertanya. Apakah saya bisa percaya kamu? Darimana kamu mendapatkan informasi itu? Akuratkah?”

Semua pertanyaan dan diskusi, seminar, kuliah umum dan wawancara sepanjang tahun 1989-1999 yang kemudian ditranskrip, dikumpulkan dan diedit oleh Peter R. Mitchell dan John Schoeffell. Keduanya adalah pembela umum yang bekerja di New York, Amerika Serikat.

Yes, opa Chomsky, begitu panggilan sayang saya pada orang keren ini, memberikan pandangannya dari sudut kehidupan politik di Amerika Serikat. Seperti Chomsky pesankan, saya memang hanya mengambil contoh yang relevan dan dekat dengan Indonesia, misalnya pandangan Chomsky pada kasus invasi dan pembunuhan massal oleh tentara Indonesia terhadap orang Timor Timur,1975. Tak ada satu pun media di Amerika Serikat yang memberitakan tentang ini, tak ada. Dan bagaimana media Amerika mempengaruhi media dunia, maka begitulah yang terjadi, berita tentang ini tak ada, sampai ketika Aditjondro mempublikasi penelitian selama 20 tahunnya tentang peristiwa ini. Amerika baru bersikap. Yang terjadi adalah tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam pemerintahan Indonesia di masa orde baru, betapa Indonesia begitu takluk pada perintah Amerika Serikat. Chomsky bahkan mengatakan “we can almost told me to do anything we like” wuiiih…. Apakah itu masih berlaku pada pemerintahan pasca orde baru? Hmm….

Dalam menjawab bagaimana media membentuk demokrasi, Chomsky kembali mengingatkan lima filter ketika media memberitakan sebuah berita (pembaca bisa menengok pada Review #3). Media itu pabrik yang membentuk bagaimana kita “sepakat” pada satu isu. Mereka yang berkepentingan seperti pemerintah mengguyur informasi di kepala kita melalui media dengan banyak kutipan, rilis, untuk membuat kita percaya bahwa yang mereka lakukan adalah “benar”. Apalagi yang dibutuhkan dalam sebuah system pemerintahan, kecuali masyarakat yang patuh.

Lalu bagaimana kita sebagai individu bersikap? Chomsky menggarisbawahi bahwa setiap kita, individu adalah makhluk yang harus mampu berpikir dengan caranya sendiri. Pendidikan harusnya melibatkan siswanya untuk berpikir dengan caranya sendiri, berpikir kritis. Tugasnya pendidikan adalah menawarkan bahan bacaan tanpa harus bersikap bahwa inilah yang terbaik. Biarkan siswa mencernanya sendiri. Begitu juga dengan orang dewasa. Baca, baca sebanyak mungkin. Bukan tentang buku apa yang kalian baca, kata Chomsky, tapi bagaimana kalian membacanya. Bacalah dengan sikap skeptic. Jangan mudah percaya. Biasakan kritis.

Tentang aktivisme sesuatu yang menurut saya menarik. Chomsky bilang, aktivisme bukan sekedar membangun kesadaran, bukan tentang penyadartahuan terhadap suatu isu. Tapi bagaimana bisa melakukan sesuatu perubahan yang nyata. Penyadartahuan bukan hanya dengan menyodorkan banyak materi, tapi sebuah pengalaman akan mengasah lebih tajam pengetahuan orang. Termasuk juga tentang kekuasaan. Tak perlu membaca buku tentang politik dan kekuasan, cobalah terjun, berhadapan langsung dengan sebuah masalah yang melibatkan para penguasa, kamu akan tahu, paham dan bisa bereaksi. Untuk melakukan sebuah perubahan, kamu harus melintasi batasmu … “Push yourself to the limit, then you will find your own limit and why it becomes your limit and how to handle it,” begitu pesannya.

Ada orang-orang yang memilih untuk tetap berada di zona nyamannya meski hati kecilnya sadar ada sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki. Chomsky bilang, biarkan saja. Mereka mungkin memilih beraksi dalam bentuk berbeda misalnya dengan memberikan dana pada sebuah pergerakan aktivis, itu juga sebagai sebuah aksi yang baik.

“Anda punya dua pilihan. Satu berasusmsi yang terburuk, dan lalu anda bisa jamin itu bakal kejadian. Kedua, asumsikan ada sebuah harapan untuk perubahan, yang mungkin bisa terjadi kalau anda membantu mewujudkan harapan untuk perubahan itu. Berikan pilihan ini pada orang baik yang masih bingung mau melakukan aktivisme seperti apa.” Kata Chomsky soal aktivisme.

Tapi yang terjadi di lapangan aktivis bergerak sendiri-sendiri, apakah ini akan melakukan perubahan sistemik? Kata Chomsky, meski kecil, iya! Untuk membuat sebuah perubahan yang lebih besar, perlu sebuah momentum politik. Perlu orang-orang yang ditunjuk bersama sebagai “tokoh” yang menggerakkan massa lebih besar, karena itulah muncul Malcom X salah satunya. Dia bukan tokoh yang bergerak sendirian, ada tim di belakang layar yang sering sekali tidak pernah tercatat dalam sejarah. Dan terpenting dalam melakukan sebuah perubahan, mengerti kekuasaan itu ada di mana? Tidak cukup dengan berteriak di jalanan, tapi harus ada tim khusus yang melobi mereka pemegang kekuasaan, seperti anggota parlemen, media, bahkan pejabat. Memang tidak mudah, tapi pelajari dimana letak kekuasaan itu berada.

Chomsky juga ditanya, lantas anda ini dosen, peneliti atau aktivis? Chomsky bilang, semuanya saling bertalian. Dia merasa sebagai aktivis melalui penelitiaannya. Seorang akademisi tidak boleh menghabiskan hidupnya berhadapan dengan riset saja tanpa pergi ke lapangan, berbicara dengan banyak orang, dan melakukan aktivisme.

Kira-kira begitulah yang disampaikan Chomsky di dalam buku yang lumayan tebal ini. Ada banyak cerita menarik bagaimana Amerika ada di belakang pemerintahan Amerika Selatan, Rusia, Palestina – Israel dan juga perang Timur Tengah hingga perang tariff dagang.

Chomsky berulang kali mengatakan, kekuasaan itu ada untuk kepentingan elit, siapa itu? Mereka yang menguasai ekonomi, membuat ekonomi sebagai isu yang lebih penting dari apapun, termasuk Hak Asasi Manusia. Untuk melihat bagaimana keberpihakan penguasa pada pengusaha, rajin-rajinlah membaca lembar ekonomi dan bisnis di koran atau menyimak di televise. Membosankan! Sengaja, kata Chomsky. Begitulah Bahasa kekuasaan dibuat agar rakyatnya tetap bodoh.

Haiya jangan bodoh, yuk rajin baca… dengan skeptis.

Iklan

Media Sebagai Pabrik “Kesepahaman” – Review #3 Manufacturing Consent by Noam Chomsky and Edward S. Herman

Standar
Media Sebagai Pabrik “Kesepahaman” – Review #3 Manufacturing Consent by Noam Chomsky and Edward S. Herman

Sebelum kita mengulas isi, saya bagikan informasi umum tentang buku ini. Buku Manufacturing Consent diterbitkan pertama kali tahun 1988, lalu terbit lagi di 2008. Setelah usianya 31 tahun pun, ternyata buku ini justru semakin relevan untuk menganalisa apa yang sebenarnya terjadi dengan Media. Herman dan Chomsky menyusun buku ini sebagai analisa terhadap media di Amerika pasca perang dunia pertama, hingga masa perang Vietnam, menyebut juga tentang bagaimana posisi media Amerika terhadap pemberitaan penjajahan Indonesia terhadap Timor Timur 1975.

Buku ini kemudian menjadi penting untuk dibaca ulang, terutama sejak pemenangan Donald Trump 2016, dan juga pemilu di Indonesia akhir-akhir ini yang dibanjiri berita palsu dan hoax. Tapi saya justru membaca buku ini ketika membaca sebuah artikel yang ditulis jurnalis Israel tentang bagaimana media Israel memoles berita tentang Palestina.

Perjuangan media untuk independen dalam menyebarkan informasi tidak pernah mudah, dan tidak juga bebas nilai. Media sangat boleh untuk mengambil nilai-nilai yang dipercayainya, tapi tetap harus mengikuti koridor aturan baku dalam jurnalisme, ada etika, ada kewajiban untuk hanya menyiarkan informasi dengan data yang akurat dan dapat diverifikasi juga seimbang.

Yang public perlu tahu adalah Media tidak bergerak sendiri sebagai sebuah institusi. Ada kepentingan yang bermain di sebuah perusahaan media, yang kemudian menyaring berita untuk memenuhi kepentingan atau tidak melanggar kepentingan tertentu. Apakah anda sebagai pembaca berita pernah bertanya bagaimana sebuah berita bisa menjadi headline sementara yang lain tidak? Siapa yang menentukan berita ini penting atau tidak? Siapa yang menentukan penempatan posisi berita dalam sebuah majalah cetak maupun udara? Atas dasar apa itu dilakukan?

Ada lima filter atau saringan dalam organisasi media sebagai sebuah perusahaan dalam menentukan berita:

  1. Size, Ownership and Profit Orientation (Ukuran, Kepemilikan, dan Orientasi Keuntungan). Media mainstream biasanya berbentuk perusahaan yang digerakan untuk memperoleh keuntungan. Mereka harus memerhatikan kepentingan pemilik modal yang ingin investasinya kembali. Karena itu di masa saat ini yang dikejar adalah rating, click bait, jumlah pembaca dan pemirsa yang bisa mendatangkan iklan sebesar-besarnya untuk memperoleh keuntungan. Di Indonesia, media mainstream dikuasai para mogul media yang jumlah sebenarnya hanya kirakira lima orang – contohnya saja MNC Group, CTCorp, Media Indonesia yang mengusai konvergensi media di Indonesia. Apakah para pemilik modal ini tidak berkepentingan dalam pemberitaan? Coba pikirkan lagi.
  2. The Advertising License to Do Business: revenue stream atau sumber pendapatan utama media sebagai perusahaan berasal dari iklan. Nah langsung ataupun tidak langsung, para pengiklan ini memiliki otoritas untuk mengatur sebuah berita. Ketika sebuah media memberitakan tentang bahaya MSG misalnya sementara mereka menerima iklan dari perusahaan kaldu buatan, apakah itu tidak akan kontradiktif dan menjadi perdebatan internal? Atau perusahaan media yang menerima iklan dari perusahaan tambang, apakah masih akan memberitakan berita tentang kerusakan lingkungan akibat perusahaan tambang?
  3. Sourcing Mass Media News – Sumber berita media massa: menurut Herman dan Chomsky, birokrasi – birokrasi pemerintahan adalah supplier berita, menyiapkan materi berita dan mengatur bagaimana sebuah isu menjadi berita. Tidak Cuma dalam bentuk rilis pers, tapi juga potongan video, suara dan sebagainya. Mengatur temu pers, kunjungan pers adalah bagian dari ini. Di radio tempat saya bekerja dulu kami menyebut berita yang disupplai ini sebagai berita cangkeum. Diundang dalam sebuah konferensi pers dan wawancara dengan narasumber untuk tidak Cuma satu berita tapi bisa jadi sekian potongan berita yang sumber dia-dia lagi, itulah kenapa kami sebut sebagai berita cangkeum. Yang perlu dikritisi juga, apakah setiap hal yang keluar dan disiapkan oleh pejabat pemerintahan adalah sebuah berita? Apakah umum berkepentingan di dalamnya?
  4. Flak and the Enforcers: Flak itu respon negative atas pemberitaan sebuah media, seperti gugatan masyarakat, keluhan. Flak ini bisa berdampak mahal bagi media karena kehilangan iklan belum lagi dana yang keluar kalau harus menempuh jalur hukum. Flak bisa diorganisir oleh sekelompok orang berpengaruh atau Think Thank.
  5. Anti-Komunisme, adalah ketika media digunakan sebagai alat propaganda pemerintah menolak komunisme dan terus menerus digaungkan. Chomsky menulis ini untuk menjelaskan media saat perang dingin berlangsung (1945 – 1991). Anti komunisme kemudian berganti dengan jargon “Perang melawan Teror” pasca serangan WTC September 2001. Di Indonesia gaung anti komunisme tak pernah berhenti, lihat bagaimana pemberitaan besar-besaran tentang rampasan buku yang dianggap menyebar paham komunisme dan PKI oleh TNI. Selain Perang melawan Teror juga terus dibunyikan.

 

Dalam bagian kesimpulan, Herman dan Chomsky mengatakan komersialisasi gelombang udara milik public harus ditentang. Dalam masa mendatang, tatanan politik demokratis akan merasuki dan mengendalikan media. Organisasi dan kelompok dalam masyarakat, jejaring aktivis menjadi elemen penting untuk menjaga demokrasi dalam tatanan kehidupan sosial dan untuk melakukan perubahan sosial. Salah satunya untuk memastikan kita membangun dan mendapati sebuah media yang bebas dan independen.

Ada satu yang juga menarik untuk dicatat, ketika sebuah berita disebut sebagai sebuah skandal besar, Chomsky menilainya itu karena berita tersebut tentang hal melanggar kepentingan salah satu pihak.

31 tahun lalu buku ini dan kita masih berjuang untuk itu. Entah lah disebut beruntung atau tidak dengan kemunculan digital dimana seharusnya kita punya alternative cukup banyak untuk memilah berita yang baik, benar dan relevan dengan kebutuhan kita sebagai warga negara. Tapi di sisi lain, keterbukaan dan kebebasan mencari sumber berita membuat public terjebak pada masalah berita bohong atau hoax, mana yang perlu dipercaya menjadi kabur. Bahkan kebenaran itu sendiri menjadi kabur, untuk kepentingan siapa?

Publik perlu paham bagaimana media bekerja, apa yang dimaksud dengan berita, bagaimana dia didapat dan direpresentasikan. Public harus kritis terhadap semua informasi yang diterima, pintarlah menyaring sebelum berbagi. Sharing is not caring, sharing without self-filtering is dangerous..

Kisah Klasik Kafka Dalam Metamorphosis, Ketika Manusia Berubah Menjadi Serangga. Review #2 Metamorphosis by Franz Kafka (1915)

Standar
Kisah Klasik Kafka Dalam Metamorphosis, Ketika Manusia Berubah Menjadi Serangga. Review #2 Metamorphosis by Franz Kafka (1915)

Gregor terbangun dan mendapati dirinya berubah menjadi serangga. Dalam resensi di Wikipedia disebut dia menjadi Kecoa Raksasa, tapi dalam buku disebut Dung-Beetle atau serangga yang suka guling-gulingin taik, semacam kumbang. Dia anak laki satu-satunya dalam keluarga yang menjadi harapan untuk membantu ayah menghidupi keluarga. Situasi ekonomi sedang tidak membaik, ditambah kondisi Gregor yang berubah menjadi serangga, keluarga ini menjadi bertambah sulit.

Grete adalah adik Gregor yang sejak awal perubahannya merawat Gregor, membersihkan kamarnya, mengeluarkan isi furniture agar Gregor punya cukup ruang untuk meloncat kesana dan kemari. Grete yang menyediakan makanan untuk Gregor, awalnya sama seperti makanan manusia tapi tak disentuh Gregor, akhirnya bergeser pada sisa makanan dan sampah.

Gregor sangat yakin adiknya adalah orang baik yang akan menjaganya, sebagaimana dia selalu menjaga adiknya. Cita-cita Gregor dengan bekerja sangat giat agar bisa mengirim adiknya ke sekolah music untuk belajar violin. Sampai suatu hari, Grete berkata pada ayahnya bahwa semua ini adalah kesia-siaan. Gregor bukan lagi manusia, dia bukan lagi kakaknya. Pekerjaan Grete sehari-hari untuk membantu keuangan keluarga sudah berat dan bertambah berat karena hanya dia yang mengurus Gregor, karena ibu hanya bisa menangisi nasib anak laki-lakinya. Ayah setuju, Grete membunuh Gregor, serangga itu mati dan dibuang pembantunya.

Selepas kematian Gregor, untuk pertama kalinya, keluarga itu meninggalkan rumah dan menikmati liburan.

Ini adalah perjumpaan pertama saya dengan Kafka. Seorang kawan meninggalkan pesan di Facebook, ini barangkali satu-satunya karena Kafka yang bisa dia mengerti dari banyak karyanya yang lain. Kalau begitu saya beruntung bukan. Membaca satu kisah klasik yang mudah dicerna dan mengena. Siapa ingin menjadi beban bagi keluarga, tapi kalau situasi tak dapat dielak, haruskah kita menyingkirkan anggota keluarga yang sedang membutuhkan bantuan? Di sisi lain menjadi Care Givers atau perawat, bukan hal yang mudah, berat, berkali-kali lipat. Salahkah Grete mengeluhkan lelahnya mengurus Gregor sambil juga mencari uang? Susah senang ditanggung bersama, makan ora makan sing penting kumpul, itulah keluarga.

Kafka menulis cerita ini tahun 1917, sebuah novella – lebih pendek dari novel, dan menjadikan Kafka sebagai salah satu penulis berpengaruh di abad keduapuluh. Berlatar belakang Yahudi, banyak yang mengaitkan Kafka sebagai penulis dengan pemikiran zionisme. Tapi sampai akhir hayatnya tetap menjadi perdebatan, apakah Kafka memang mengalirkan idealism politiknya dalam tulisan atau sebenarnya tidak sama sekali.

Metamorphosis mungkin tak lagi dicetak dalam bentuk buku, tapi bisa dicari di internet untuk versi e-booknya ya.

Killing Commendatore, Lukisan Sebagai Portal Magis Sampai Cerita Seks yang Memuakkan. Review #1 Killing Commendatore by Haruki Murakami

Standar
Killing Commendatore, Lukisan Sebagai Portal Magis Sampai Cerita Seks yang Memuakkan. Review #1 Killing Commendatore by Haruki Murakami

Sebuah sumur tanpa air dibongkar, batu yang menutupnya diangkat pakai alat berat, tapi yang ditemukan di dalamnya hanya sebuah lonceng tua. Lonceng ini yang biasa digunakan oleh biksu budha yang ingin dekat dengan nirvana dengan mengubur hiduphidup dirinya di dalam sumur. Lalu siapa yang membuat sumur di daerah penggunungan tempat Tomoshiko Amada, seorang pelukis gaya kuno Jepang ini tinggal?

Ceritanya berawal dari penemuan si narrator cerita, pelukis potret berusia 36 tahun yang menempati rumah Amada pasca berpisah dengan isterinya, atas lukisan Amada bertajuk “Killing Commendatore.” Lukisan yang dia temukan di atap rumah Amada itu dibungkus rapi seolah tak ingin dilihat oleh siapapun. Membuka bungkus lukisan itu lah yang membuka perjalanan cerita ini.

Pertemuan si narrator dengan Commendatore, tokoh yang ada dalam lukisan itu hidup dan hanya dilihat oleh dua orang, si narrator dan seorang anak berusia 12 tahun, murid narrator dalam kelas melukis. Tiga tokoh dalam lukisan itu hidup kembali.  Lewat lukisan, Haruki menceritakan ulang kisah-kisah Alice in the Wonderland, perjalanan menuju “pulang” dalam labirin fiksi yang magical. Tokoh-tokoh dalam lukisan menjadi hidup, sumur itu pintu masuk dan keluar dari alam magis. Ada kutipan menarik dari si anak perempuan itu, “kenapa tak kau biarkan semua seperti apa adanya? Jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu.” Buku ini mengajak kita kembali ke cerita Nazi di Vienna Austria, dan bagaimana hubungan politik internasional Nazi dengan para pendatang di luar eropa, termasuk orang jepang.

Seperti biasa saya tersihir oleh cerita sihir dan penuh keajaiban dari Haruki Murakami. Tapi di sisi lain, saya capek dengan cerita seksualitas yang dihadirkan oleh Murakami. Dalam buku ini separuh dari 681 halaman barangkali setengahnya bercerita hubungan badan di narrator dan fantasinya. Ada adegan “memperkosa” isterinya dalam mimpi, apakah itu etis ditampilkan, mungkin, mungkin saya saja yang baper. Jengah jujur saja. Murakami pernah menampilkan tokoh yang “cool” dan menjadi simpanan aka pacar para perempuan bersuami, seperti di IQ84 dan di the wind bird chronicle, is this part of his obsession? Lalu dia membahas payudara adiknya sendiri dan si anak 12 tahun itu, does not it weird to you? Or is it normal for an adult man talking about young girls’ breast? Saya tidak melihat adanya relevansi antara cerita seks itu dengan keseluruhan isi novel, beneran, seperti hanya menambahi halaman cerita.

Murakami masih setia dengan hujan, sumur yang gelap, music jazz dan klasik. Tapi ini bukan favorit saya dari Murakami. Oh iya, buku hardcopy 681 halaman ini bikin pergelangan tangan saya sakit, susah dibawa untuk membaca santai sambil tiduran, berat dan tidak praktis.