
Chomsky pemikir yang luar biasa. Latar belakangnya ilmu bahasa atau Linguistik, tapi wawasannya melampaui itu semua, politik, media, ekonomi politik, semua dipahami dan disampaikannya dalam bahasa yang sederhana. Kekuatan Chomsky menjelaskan perihal tentang kekuasaan disampaikannya dalam bentuk contoh peristiwa yang dianalisa. Tapi dalam buku ini pula, Chomsky bilang “jangan pernah percaya penuh pada siapa pun dan apapun, bahkan saya. Kamu harus bisa menerima informasi dengan skeptis, teruslah bertanya dan bertanya. Apakah saya bisa percaya kamu? Darimana kamu mendapatkan informasi itu? Akuratkah?”
Semua pertanyaan dan diskusi, seminar, kuliah umum dan wawancara sepanjang tahun 1989-1999 yang kemudian ditranskrip, dikumpulkan dan diedit oleh Peter R. Mitchell dan John Schoeffell. Keduanya adalah pembela umum yang bekerja di New York, Amerika Serikat.
Yes, opa Chomsky, begitu panggilan sayang saya pada orang keren ini, memberikan pandangannya dari sudut kehidupan politik di Amerika Serikat. Seperti Chomsky pesankan, saya memang hanya mengambil contoh yang relevan dan dekat dengan Indonesia, misalnya pandangan Chomsky pada kasus invasi dan pembunuhan massal oleh tentara Indonesia terhadap orang Timor Timur,1975. Tak ada satu pun media di Amerika Serikat yang memberitakan tentang ini, tak ada. Dan bagaimana media Amerika mempengaruhi media dunia, maka begitulah yang terjadi, berita tentang ini tak ada, sampai ketika Aditjondro mempublikasi penelitian selama 20 tahunnya tentang peristiwa ini. Amerika baru bersikap. Yang terjadi adalah tentang keterlibatan Amerika Serikat dalam pemerintahan Indonesia di masa orde baru, betapa Indonesia begitu takluk pada perintah Amerika Serikat. Chomsky bahkan mengatakan “we can almost told me to do anything we like” wuiiih…. Apakah itu masih berlaku pada pemerintahan pasca orde baru? Hmm….
Dalam menjawab bagaimana media membentuk demokrasi, Chomsky kembali mengingatkan lima filter ketika media memberitakan sebuah berita (pembaca bisa menengok pada Review #3). Media itu pabrik yang membentuk bagaimana kita “sepakat” pada satu isu. Mereka yang berkepentingan seperti pemerintah mengguyur informasi di kepala kita melalui media dengan banyak kutipan, rilis, untuk membuat kita percaya bahwa yang mereka lakukan adalah “benar”. Apalagi yang dibutuhkan dalam sebuah system pemerintahan, kecuali masyarakat yang patuh.
Lalu bagaimana kita sebagai individu bersikap? Chomsky menggarisbawahi bahwa setiap kita, individu adalah makhluk yang harus mampu berpikir dengan caranya sendiri. Pendidikan harusnya melibatkan siswanya untuk berpikir dengan caranya sendiri, berpikir kritis. Tugasnya pendidikan adalah menawarkan bahan bacaan tanpa harus bersikap bahwa inilah yang terbaik. Biarkan siswa mencernanya sendiri. Begitu juga dengan orang dewasa. Baca, baca sebanyak mungkin. Bukan tentang buku apa yang kalian baca, kata Chomsky, tapi bagaimana kalian membacanya. Bacalah dengan sikap skeptic. Jangan mudah percaya. Biasakan kritis.
Tentang aktivisme sesuatu yang menurut saya menarik. Chomsky bilang, aktivisme bukan sekedar membangun kesadaran, bukan tentang penyadartahuan terhadap suatu isu. Tapi bagaimana bisa melakukan sesuatu perubahan yang nyata. Penyadartahuan bukan hanya dengan menyodorkan banyak materi, tapi sebuah pengalaman akan mengasah lebih tajam pengetahuan orang. Termasuk juga tentang kekuasaan. Tak perlu membaca buku tentang politik dan kekuasan, cobalah terjun, berhadapan langsung dengan sebuah masalah yang melibatkan para penguasa, kamu akan tahu, paham dan bisa bereaksi. Untuk melakukan sebuah perubahan, kamu harus melintasi batasmu … “Push yourself to the limit, then you will find your own limit and why it becomes your limit and how to handle it,” begitu pesannya.
Ada orang-orang yang memilih untuk tetap berada di zona nyamannya meski hati kecilnya sadar ada sesuatu yang salah dan perlu diperbaiki. Chomsky bilang, biarkan saja. Mereka mungkin memilih beraksi dalam bentuk berbeda misalnya dengan memberikan dana pada sebuah pergerakan aktivis, itu juga sebagai sebuah aksi yang baik.
“Anda punya dua pilihan. Satu berasusmsi yang terburuk, dan lalu anda bisa jamin itu bakal kejadian. Kedua, asumsikan ada sebuah harapan untuk perubahan, yang mungkin bisa terjadi kalau anda membantu mewujudkan harapan untuk perubahan itu. Berikan pilihan ini pada orang baik yang masih bingung mau melakukan aktivisme seperti apa.” Kata Chomsky soal aktivisme.
Tapi yang terjadi di lapangan aktivis bergerak sendiri-sendiri, apakah ini akan melakukan perubahan sistemik? Kata Chomsky, meski kecil, iya! Untuk membuat sebuah perubahan yang lebih besar, perlu sebuah momentum politik. Perlu orang-orang yang ditunjuk bersama sebagai “tokoh” yang menggerakkan massa lebih besar, karena itulah muncul Malcom X salah satunya. Dia bukan tokoh yang bergerak sendirian, ada tim di belakang layar yang sering sekali tidak pernah tercatat dalam sejarah. Dan terpenting dalam melakukan sebuah perubahan, mengerti kekuasaan itu ada di mana? Tidak cukup dengan berteriak di jalanan, tapi harus ada tim khusus yang melobi mereka pemegang kekuasaan, seperti anggota parlemen, media, bahkan pejabat. Memang tidak mudah, tapi pelajari dimana letak kekuasaan itu berada.
Chomsky juga ditanya, lantas anda ini dosen, peneliti atau aktivis? Chomsky bilang, semuanya saling bertalian. Dia merasa sebagai aktivis melalui penelitiaannya. Seorang akademisi tidak boleh menghabiskan hidupnya berhadapan dengan riset saja tanpa pergi ke lapangan, berbicara dengan banyak orang, dan melakukan aktivisme.
Kira-kira begitulah yang disampaikan Chomsky di dalam buku yang lumayan tebal ini. Ada banyak cerita menarik bagaimana Amerika ada di belakang pemerintahan Amerika Selatan, Rusia, Palestina – Israel dan juga perang Timur Tengah hingga perang tariff dagang.
Chomsky berulang kali mengatakan, kekuasaan itu ada untuk kepentingan elit, siapa itu? Mereka yang menguasai ekonomi, membuat ekonomi sebagai isu yang lebih penting dari apapun, termasuk Hak Asasi Manusia. Untuk melihat bagaimana keberpihakan penguasa pada pengusaha, rajin-rajinlah membaca lembar ekonomi dan bisnis di koran atau menyimak di televise. Membosankan! Sengaja, kata Chomsky. Begitulah Bahasa kekuasaan dibuat agar rakyatnya tetap bodoh.
Haiya jangan bodoh, yuk rajin baca… dengan skeptis.