Dalam sebuah rapat tentang program pengembangan ekonomi.
‘Ibu A sudah belajar bahwa bekerja dalam kelompok lebih baik. Suami penyedia bahan baku, lalu tetangganya yang janda membantu menyiapkan materi lain. Tapi kadang suaminya ingkar, lalu si Ibu menegur, karena ini masalah bisnis, ada target yang harus dicapai.’ Cerita saya dalam sebuah presentasi.
Tanggapan peserta rapat. ‘Wah jangan sampai program ini bikin suami isteri ribut dan bercerai.’
Kalau situasinya terbalik, apakah pertanyaan itu akan muncul? Besar kemungkinan tidak, dengan alasan, isteri kan sifatnya membantu pekerjaan suami. Mereka tak melihat dalam kasus tersebut bahwa posisi ibu A dan suaminya adalah partner bisnis yang setara. Keterlambatan suplay bahan baku akan mengakibatkan produksi juga terhambat, tenggat waktu tak tercapai. Selesai.
—–
Dalam kesempatan lain.
‘Perempuan sebagai penerima manfaat atau subyek dalam programme?’
‘Oh dia menempatkan perempuan sebagai target pengembangan ekonomi, 50% malah. Bikin saya khawatir laki-lakinya tak dapat perhatian.’ Jawab peserta rapat lain
Lagi, kalau lelaki yang saya tempatkan sebagai subyek dalam program pengembangan ekonomi, apakah ada pertanyaan di atas? Dimana perempuannya? Barangkali tidak… program pengembangan ekonomi biasanya maskulin. Seperti saat pembangunan konstruksi, apakah perempuannya bisa ikut? Tetiba semua bilang, janganlah ini kan pekerjaan berat, angkut-angkut, kasian nanti ibuk-ibuknya cape.
Kata saya, ‘kalau perempuannya mau dan mampu, kenapa tidak? Belum pernah lihat perempuan mengangkut hasil panen berat berkarung-karung di punggungnya ya? Kalau dia mau dan merasa mampu, kasih kesempatan itu.’
————
Dalam undangan rapat
‘Kenapa undangan hanya ditulis nama lelaki saja?’ tanya saya
‘Kepala keluarga mbak, kalau bapaknya tidak bisa, kan ibunya bisa menggantikan.’
Lalu dalam kesempatan lain, saya hanya mengundang ibuknya
‘Mbak, kami kok tidak diikutsertakan. Diskriminasi neh.’ Kata seorang bapak.
Saya menjawab, ‘bapak sudah teramat sering dapat kesempatan bicara. Sekarang saya hanya mau mendengarkan suara perempuan. Nanti ada waktunya lagi saya melibatkan bapak yo.’
—-
Dalam 10 bulan terakhir, saya mendapatkan jabatan baru sebagai Gender Specialist dalam sebuah proyek pembangunan listrik dengan energy terbarukan, merangkap sebagai manejer untuk pengembangan masyarakat. Pekerjaan yang tidak mudah, to be honest, terutama pada bagian memastikan perempuan punya ruang untuk terlibat dalam pembangunan.
Tanggapan ‘ga asik’ di atas itu ga cuma datang dari lelaki, tapi juga perempuan sendiri. Tak Cuma dari warga desa yang rata-rata lulus SMP saja tidak, tapi mereka yang sudah bolak-balik bekeliling dunia dan lulusan luar negeri. Then when it comes to talk about gender equality, semua jadi seragam. Ini bukan lagi soal latar belakang Pendidikan, tapi soal budaya dimana mereka dibesarkan, budaya patriaki.
Saya tak belajar gender secara khusus, feminisme saya muncul berdasarkan pengalaman. Buat saya perempuan punya kesempatan yang sama dalam semua bidang, semua hal. Berdasarkan pengalaman di lapangan, kesempatan itu kadang tak ada kecuali diadakan. Ini bukan karena tak mau, tapi karena tak pernah ada peluang untuk maju dan berperan. Soal kemampuan, ah itu sih encer, semua bisa dipelajari dan diasah, asal kesempatan itu ada.
Kenapa harus ada 30% perempuan dalam sebuah organisasi? Karena harus ada perempuan yang duduk di sana, kalau tidak dipaksakan, maka selamanya kesempatan itu tertutup. Pasti adalah selama perempuannya berkualitas, kata orang. oh iya?
Kalau ada dua lulusan Sarjana, laki-laki dan perempuan, which one is most likely to be recruited?
Bekas bos saya dulu pernah bilang, laki-laki. Karena tidak akan ada permintaan cuti melahirkan 3 bulan pas saat pekerjaan lagi numpuk. Tak ada cuti haid (oh ini ada loh aturan dalam UU Ketenagakerjaan). Tak ada kerja yang dipengaruhi hormone, dan lain-lain….
Saya pernah menjadi bagian 30% itu, ditempatkan karena keharusan. Awalnya menyakitkan, karena hanya dianggap sebagai pelengkap, tapi kalau kesempatan itu tak pernah diberikan pada saya, barangkali saya tak jadi saya hari ini. Dengan kesempatan itu, saya bisa menunjukan kemampuan saya, terlepas saya haid dan ambil cuti satu hari setiap bulan, kerjaan dipengaruhi mood, bagian mana dari pekerjaan saya yang terhambat karenanya? Semua selesai dengan baik, saya bekerja secara professional.
Kalau kesempatan menjadi Gender Specialist sekaligus ComDev tak datang, saya belum tentu bisa menempatkan 30% angka untuk perempuan duduk di organisasi pengelola listrik, dan 50% target peserta training perempuan dan dua target unit bisnis yang dibangun oleh perempuan. Yakin tercapai? Sekali lagi ini soal kemauan, kemampuan mengikuti.
Menghadapi nyi-nyiran terhadap pengarusutamaan gender dalam program-program pembangunan, itu adalah bagian dari pekerjaan. Tambeng saja pas tugas utama, memberikan kesempatan buat perempuan ada dan berkarya!
