
Setiap kali membuka salah satu situs berita online, jari saya lebih cepat menutup iklan yang pop up di sana sini. Kalau membuka situs di laptop, ada tawaran ad-block dan itu yang saya gunakan. Mengganggu sekali memang iklan-iklan yang tampil di laman artikel yang sedang saya baca, apalagi iklan jijik yang tampil seperti bagaimana cara menghilangkan kutil dan kutu. Sebagus apapun artikelnya, saya langsung tutup itu situs. Akang mengajari saya beberapa trik untuk memblok iklan. Saya paham iklanlah yang menghidupi media, dan semua platform tapi juga pahami iklan itu mengganggu secara tampilan dan seringkali mengganggu secara konten.
Buku Frenemies ini membahas bagaimana disrupsi mengancam kehidupan industri periklanan dunia dan bagaimana mereka yang masih ada bisa bertahan dan harus bertahan. Buku sebanyak 342 halaman ini cukup membuat saya kesel, karena di enam bab pertama, lebih banyak membahas kehidupan pribadi para juragan iklan yang ada di perusahaan Medialink, Dentsu, Havas, WPP dan teman-temannya. Bertanya-tanya apa hubungannya kehidupan keluarga Yahudi Sorrel dengan kesuksesannya memimpin MediaLinks selama 33 tahun sebelum akhirnya dipensiunkan paksa tanpa alasan yang transparan. Di bab ke 19, baru ada jawabannya dan buat saya tidak terlalu penting juga.
Buku ini sangat menarik ketika mulai bicara siapa sih Frenemeis nya dunia periklanan? Frenemies itu dalam bahasa sederhananya, teman tapi musuh, musuh tapi butuh. Mereka adalah kapitalis digital seperti Facebook, Google dan Amazon, perusahaan Media Berita dan pelanggan itu sendiri. Ini di luar persaingan antar agensi periklanan.
Dibuka dengan perdebatan seputar rabat yang diberikan oleh agensi kepada klien dan yang diterima agensi dari perusahaan media. Agensi adalah perantara antara perusahaan penghasil produk dan jasa dengan media tempat menyampaikan pesan. Rabat ini tidak pernah transparan dijelaskan baik kepada klien maupun media, pun harga iklan yang sebenarnya ditimpakan kepada klien. Semua informasi disimpan oleh agensi. Perusahaan-perusahaan yang beriklan kemudian menuding rabat sebagai bentuk korupsi, dan pembohongan publik yang seharusnya diaudit oleh auditor independen.
Tentang rabat kemudian merambat pada si pengacau Facebook, Google dan Amazon yang memegang data user tapi tidak transparan tentang bagaimana efektivitas iklan terhadap penjualan di platform ini. Ketiga kapitalis digital ini menolak mentah-mentah pengukuran dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. Perusahaan pengiklan mulai gerah, mereka bilang “kami ingin iklan kami dilihat mata manusia, bukan robot.” Pengiklan perlu tahu siapa saja yang melihat iklan mereka, bagaimana iklan memengaruhi orang untuk membeli jasa dan barang mereka. Meski Facebook punya lebih dari 3000 kategori berdasarkan data pribadi user yang ditambang, lalu apakah data itu akan berpengaruh pada penjualan? Belum tentu. Apakah media yang dipasang Google Ad sesuai dengan segmentasi pasar mereka? Belum tentu juga. Para pengiklan mulai aware pada istilah “Brand Safety” sementara para kapitalis digital ini tidak punya filter untuk itu.
Saya mungkin salah satu pengguna internet yang mengacaukan data iklan hahaha. Saya blok, menolak cookies dan tidak membaca berita yang “click-bait” juga menutup video iklan dalam hitungan 5 detik. Itu sebab perusahaan besar seperti Cola Cola, Pepsi, P&G, Unilever tidak sertamerta ikutan tren memasang iklan di Facebook, Google ad dan Amazon. Mereka lebih fokus pada interaksi, membangun emosi dan keterlibatan dengan calon pembelinya. Kita akan bicara ini berikutnya.
Sejumlah aplikasi menawarkan juga model keanggotaan yang bayar agar tidak diganggu iklan. Saya sudah melakukannya dengan Spotify dan Viu. Apple pernah digugat oleh perkumpulan perusahaan periklanan karena model blokiran iklan bisa mematikan usaha mereka.
Frenemies berikutnya adalah perusahaan besar itu punya tim marketing sendiri yang belanja iklan sendiri ke media. Begitu juga media yang punya tim marketing dan kreatif yang mendekati perusahaan secara langsung tanpa perlu lagi mendatangi agensi. Ke depan, ini akan lebih sering terjadi karena tren marketing selanjutnya adalah beriklan lewat artikel atau dikenal dengan istilah Native Ad. Ada jurnalis khusus yang disiapkan untuk menulis konten kreatif pesanan pengiklan. Buat pengamat media, ini seperti sebuah peringatan keras untuk memantau independensi sebuah media berita karena iklan dan artikel berita semakin sulit dibedakan. Native Ad tidak menggunakan tag atau bendera Advertorial seperti sebelumnya, perang redaksi dan tim marketing akan semakin gencar. Di satu sisi, media perlu hidup lewat iklan, di sisi lain media harus tetap menjaga independensi nya.
Tidak sedikit media massa yang mencoba melepaskan ketergantungan dari iklan yang dapat menyetir redaksi lewat model keanggotaan, donasi dan juga subscribe. Tapi baik New York Times maupun the Guardian, masih belum mampu mereka menutupi operasional dengan cara seperti ini, masih merah pada anggaran 2016-2017. Ini peluang bagi agensi yang kreatif untuk bekerjasama dengan media menciptakan konten yang menarik bagi pembaca. (daripada menyerah pada iklan kutil dan kutu hayo)
Bagi Agensi sendiri, mereka harus berbenah. Tidak sekedar mengandalkan traffic dan views tapi sebaliknya, lebih kreatif menciptakan konten. Unique Selling Proposition sudah lewat masanya, sekarang harus bisa memberikan “Differentiated Value” untuk setiap brand yang dijual, Brand Safety mereka harus dijaga. Iklan Dove yang mengangkat “Sisterhood” lebih nyangkut daripada sekedar jualan sampo. Nike dengan Just Do It tetap lebih nyangkut daripada produk sepatunya. Value lebih akan mengangkat penjualan. Sementara untuk Native Ad, sebagai contoh, artikel yang mengkampanyekan cuci tangan yang bersih tentu akan meningkatkan penjualan sabun cuci tangan.
Pada masanya nanti, mesin memang akan menggantikan agensi ketika kulkas pintarmu menampilkan informasi produk apa saja yang harus dibeli dalam waktu dekat karena produk lama mendekati kadaluarsa. Kulkasmu membaca dietmu dan akan menampilkan informasi yang cocok dengan dietmu tersebut. Saat itu terjadi, siapa yang butuh agensi?