Sejak serangan terorisme 9/11 di Amerika, perang terhadap terror menjadi pembenaran untuk mendiskrimasi Islam dari berbagai sudut. Tidak perlu menyangkal bahwa di antara kita sesame penganut ajaran agama Islam ada yang memang radikal, jangankan terhadap non-muslim, bahkan terhadap saudara sendiri saja bisa gelap mata dengan dalih ajaran mereka adalah yang paling benar.
Buku ini diberi subjudul The Origin, Evolution and Future of Islam, yup, spectrum yang sangat luas yang ingin digambarkan oleh Reza Aslan, seorang sejarahwan asal Iran yang tinggal di Amerika, dalam 292 halaman. Apakah kumplit penjelasannya? Tidak ada yang sempurna dan selalu bisa dibantah isinya. Tapi yang Reza berikan dalam buku ini sungguh membuat saya justru merasa lebih bangga dengan Islam yang sesungguhnya. Bahwa Islam adalah agama yang sungguh damai, memanusiakan manusia, mengakui demokrasi, pluralisme, menjunjung tinggi derajat perempuan, dan melindungi orang miskin dan yatim piatu.
Buku diawali dengan beberapa inovasi yang dilakukan Muhammad setelah mendapatkan wahyu dari Allah SWT, diantaranya mendirikan zakat, yang wajib untuk semua umat yang mampu untuk membantu mereka yang tidak mampu. Dengan zakat, masyarakat saling membantu, istilah sekarang adalah subsidi silang. Lalu tentang pernikahan, Muhammad mengambil sistem patrilineal dengan beberapa perubahan. Dengan pengalamannya bersama Khadijah, istri pertama beliau, Muhammad memperbolehkan seorang istri mengelola harta pribadinya sendiri selama pernikahan. Muhammad melarang seorang suami menyentuh harta istri bahkan memintanya menghidupi keluarga. Jika suami meninggal, istri mewarisi seluruh hartanya; jika suami menceraikan istri, seluruh harta menjadi milik sang istri untuk dibawa pulang ke rumah keluarganya. Tapi salah satu yang masih diperdebatkan hingga kini adalah lelaki boleh memperistri beberapa perempuan, sementara perempuan dilarang memiliki suami lebih dari satu (hal: 61-63)
Soal jilbab, di awal Islam, menggunakan jilbab karena mengikuti apa yang dilakukan para istri nabi sebagai ibu dari semua umat. Kapankah itu mulai jadi wajib, para sejarahwan dan feminist masih berdebat. Jilbab dianggap sebagai bentuk perlawanan perempuan muslim terhadap hegemoni kekuasaan budaya arab. Tapi jilbab juga dianggap sebagai bentuk pengekangan hidup perempuan, bahkan dianggap sebagai symbol property suami. Apa pun alasan menggunakan jilbab, Reza bilang, sebaiknya dikembali kepada si penggunanya, perempuan.
‘The veil may be neither or both of these things, but that is solely up to Muslim women to decide for themselves. Whatever sartorial choices a woman makes are hers and hers alone. It is neither a man’s nor the state’s place to define proper “womanhood” in Islam. Those who treat the Muslim woman not as an individual but as a symbol either of Islamic chastity or secular liberalism are guity of the same sin: the objectification of women.” (hal. 75)
Islam mengakui pluralisme, bahwa ada agama Kristen dan Yahudi yang mendahului Islam di semenanjung Arab. Dalam Al Quran mereka disebut People of Book, atau Ahli Kitab dan mereka wajib dilindungi sebagai bagian dari umat. Ajaran Islam lebih dekat dengan Yahudi karena kepercayaan pada satu Tuhan atau Monoteisme, bukan berarti Islam ‘membenci’ Kristen. Dalam Al Quran menyebut nama Isa di banyak surat. Yang kemudian tidak disepakati oleh Islam adalah konsep Triniti dalam Christianity yang mengakui Jesus sebagai Tuhan. Sementara Quran jelas menulis kalimat Syahadat bahwa Tiada Tuhan selain Allah SWT tapi Muhammad tidak pernah mengklaim dirinya diutus untuk memberikan kebenaran baru adalah umat Yahudi yang menuding Kristen salah dan juga sebaliknya dan mereka mengatakan tidak ada yang ditempatkan ke surga kecuali Yahudi dan Kristen. Lalu perseteruan 1400 tahun ini belum lagi usai (p. 103-105)
Sejarah berganti ke masa menjelang Muhammad meninggal dan Reza Aslan membuat saya menangis. Jumat siang 632 masehi, Muhammad datang menghadiri solat jumat yang khotbahnya dipimpin sahabat Abu bakar. Sudah tersiar kabar Muhmmad sedang sakit, beliau datang lunglai dan dipapah oleh Abu Bakr. Tak sampai selesai ibadah selesai, Muhammad bergeser perlahan meninggalkan umat dan pulang menuju kamar Aisha – istrinya dan langsung lunglai. Beliau memanggil Aisah yang langsung mendekap Muhammad dan meletakkan kepala beliau ke atas pangkuannya sambil mengusap rambut beliau yng panjang dan membisikan doa hingga Nabi menutup mata untuk terakhir kalinya (p.110-111). Bahasa saya tak seindah Reza Ashlan menggambarkan dalam bahasa inggris, tapi cerita ini entah kenapa bikin saya menangis. Tuh kan sekarang juga meleleh deh huhuhu… bentar…. Mellow abis *shalawat nabi
Masalah kemudian dimulai ketika muncul pertanyaan, siapa yang akan menggantikan Muhammad sebagai pemimpin umat? Beliau tidak memberikan pesan wasiat apa pun pada siapa pun. Salah satu kesepakatan adalah bahwa Muhammad ingin agama dan politik terpisah. Beliau tidak ingin serta merta jabatan pemimpin umat dipindahkan kepada keturunannya atau keluarganya, melainkan harus diputuskan bersama melalui musyarawah di dalam masyarakat. Bukankah jelas sudah bahwa Islam menjunjung demokrasi. Berdasarkan musyawarah dan pertimbangan umat, maka kalifah atau pemimpin umat diputuskan milik Abu Bakar. Apakah memberikan kepuasan kepada semua anggota masyarakat? Tidak tentu saja. Sebagian menginginkan agar sepupu Muhammad yang juga sahabat terdekatnya, Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah sementara beliau sendiri menerima keputusan musyawarah dan lalu bertugas menjadi pelindung keluarga Muhammad. Ini adalah masalah politik pertama sepeninggal Muhammad yang terus bergulir hingga kalifah terakhir Usman bin Affan. Lalu umat terpecah menjadi dua, Sunni yang disebut sebagai Islam ortodok dan Syiah atau Shi’atu Ali atau Partai Ali. Cerita Ali yang memilih Baghdad sebagai pertama dan kematian Husyain di Karbala juga diceritakan oleh Reza dalam bukunya ini.
Dalam perjalanan sejarah Islam, dikenal juga Kharijites, faksi dari Syiah yang bertanggungjawab atas kematian Khalifah Usman bin Affan. Kharijites ini memandang siapapun yang melanggar surat dalam Al Quran adalah kafir dan harus diusir dari umat. Kharijites adalah kelompok Islam radikal pertama dalam sejarah. Meski jumlahnya tidak bisa mewakili umat, tapi radikalisasi dalam Islam ada dan selalu ada hingga kini.
Reza juga bercerita tentang lima rukun Islam dan lima ketentuan dalam hukum Syariah. Tapi yang menurut saya menarik untuk diceritakan adalah bagaimana Islam dipraktekan oleh umat. Cerita tentang sufisme diawali dengan Laila dan Majnun, yang ditulis dengan indah oleh Reza. Terlalu panjang kalau saya ceritakan di sini. Lalu tentang politik, perjalanan Islam tak cuma berhadapan dengan pengaruh barat di masa kolonialisasi tapi juga friksi di dalam Islam sendiri yang membuat umat terpecah. Dalam bagian ini Reza memberikan gambaran bahwa politik tidak bisa dipisahkan hitam putih dari agama. Ketika Eropa menguasai dunia dengan imperialismenya, Gospel, atau kristenisasi menjadi salah satu tujuannya.
Tentang demokrasi, semenanjung Arab bergejolak sejak 2009 di Iran, lalu di Mesir dan seterusnya. Tapi yang dilupa bahwa demokrasi bukan sekularisasi, bukan meniadakan agama dari urusan politik atau melarang agama di satu negara.
‘It is pluralism not secularism, that defines democracy. A democratic state can be established upon any normative moral framework as long as pluralism remains the source of its legitimacy’ (p. 270)
Dalam hal ini Reza menunjuk Indonesia bersama dengan Malaysia, Bangladesh, Senegal dan Turki sebagai contoh sukses dari rekonsiliasi politik dan agama, meski tak bisa disebut sederhana sebagai Islam yang pluralism sekalipun dalam sejarah Islam menghargai keberagaman. Sementara soal penegakan hak asasi manusia dalam Islam, ini masih perlu didebat karena sesungguhnya Islam mengajarkan tentang kestabilan hidup bersama dalam sebuah komunitas, kepentingan kelompok di atas kepentingan individual (p.272-273)
Salah satu yang menjadi catatan dari buku Reza adalah kita berhak untuk bertanya tentang fatwa, fiqih dan segala yang diterjemahkan dan interprestasikan oleh kaum Ulama, karena mereka adalah manusia yang rentan salah menerjemahkan. Kembalikan semuanya pada keyakinan pribadi.
‘What must be recognized, however, is that the peaceful, tolerant, and forward-leaning Islam of an Amr Khaled and the violent, intolerant and backward-looking Islam of Osama bin Landen are two competing and contradictory sides of the same reformation phenomenon, because both are founded upon the argument that the power to speak for Islam no longer belongs solely to the Ulama. For better or worse, that power now belongs to every single Muslim in the world’(p. 286)
Tulisan ini merangkum apa yang menurut saya pribadi menarik dari buku yang ditulis Reza Aslan yang sekalilagi berlatarbelakang sejarahwan dari Iran. Mempelajari Islam tentu menarik dari segala sudut dan tetap berpikir kritis untuk mempertanyakan isinya, tidak serta merta menerima segalanya sebagai sebuah kebenaran.
Happy reading
Referensi:
Reza, A. 2011. No God But GOD. The Origins, Evolution and Future of Islam. London: Arrow Books