
Saya sulit kagum pada data statistik dengan grafis yang cantik penuh warna warni, naik turun, melingkar, berkelok. Buat saya, tanpa cerita menyertainya, dia cuma sekedar angka. So what? Jumlah peserta, kenaikan pendapatan, penerima manfaat, tanpa cerita penyerta adalah hampa. Again, so what?
Buku ini menjawab keresahan saya tentang data-data statistic hampa tentang apa itu pertumbuhan ekonomi GDP – Pendapatan Domestik Bruto yang dikejar mati-matian oleh negara-negara di dunia. Untuk mengejar GDP, kita dibikin obesitas, diabetes, gonta ganti pakaian sampai menggunung di TPA, daratan terkikis air laut karena sabuk hijaunya ditebas tuntas, ikan sumber pangan manusia tercemar tailing tambang, anak-anak mati di lubang-lubang bekas tambang. Karena GDP dinilai dari produk yang dijual di pasaran.
Krisis ekonomi dan lingkungan menyebabkan rasa tidak aman bagi individu dan rumah tangga yang kemudian membuat mereka berhati-hati dalam spending, akhirnya berpengaruh juga pada nilai ekonomi itu. Sementara krisis ekonomi dan lingkungan adalah akibat langsung dari upaya sembrono negara mengejar angka statistic dalam GDP. Sementara ketidaksetaraan akses pada nilai ekonomi dan sosial politik juga melanggengkan kemiskinan, membuat rasa ketidakamanan ekonomi dan berujung pada tingkat kepercayaan pada pemerintah. Semua saling terkait tapi tak bisa dijelaskan dalam angka pertumbuhan ekonomi PDB 6-7% lalu horeeee. Pret.
Lalu tentang pendistribusian pendapatan, apakah setara, oh jelas tidak Mariana (karena Ferguso terlalu mainstream). Kekayaan berputar pada kelas yang sama, begitu juga kemiskinan.
Trio Stiglitz, Fitoussi dan Durand menjelaskan kenapa GDP tidak lagi bisa dijadikan sebagai patokan kesuksesan sebuah negara mengelola ekonominya. Pencapaian GDP tinggi tidak menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungannya. Sebuah pencapaian GDP dalam jangka pendek yang mengorbankan masa depan generasi mendatang adalah sebuah dosa. Dan kesenjangan dalam kesempatan lebih tidak dapat diterima ketimbang ketidaksetaraan dalam outcome atau dampak. Di sini Trio ini bicara tentang inklusivitas, tentang mengakomodasi perbedaan dalam keragaman masyarakatan, ras, gender, budaya, disabilitas, yang harus diberikan akses seimbang dan mendampingi mereka agar mendapatkan outcome semaksimal kemampuannya.
Seharusnya kata mereka, kesejahteraan itu diukur mulai dari kualitas hidup di tingkat individu dan rumah tangga. Beberapa unsur yang kemudian diajukan adalah tentang penilaian Well-Being – kesejahteraan, yang indikatornya antara lain;
- Status kesehatan
- Keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi / keluarga
- Pendidikan dan keterampilan
- Koneksi sosial
- Keterlibatan dalam kehidupan sipil dan pemerintahan
- Kualitas lingkungan
- Pengamanan pribadi
- Kesejahteraan yang bersifat subjektif
Penilaian kesejahteraan juga dihitung dari kondisi material:
- Pendapatan dan kekayaan
- Pekerjaan dan penghasilan
- Rumah / tempat tinggal

Trio ini mengakui alat ukur mereka belum sempurna, dan memerlukan perbaikan terus menerus menyesuaikan kondisi dan konteks lokal setiap negara. Sejumlah negara sudah melakukan alternatif pengukuran kesejateraan di luar GDP seperti Belanda, Perancis, Australia, Bhutan, Jerman, Ekuador yang disesuaikan dalam kebijakan ekonomi dan politik pemerintahannya.
New Zealand yang belakangaan melalui Perdana Menterinya Jacinda juga mengumumkan bagaimana mereka meninggalkan GDP dan fokus pada Well-Being sebagai alat ukur kesejahteraan warganya.
Indonesia?
Kalau kamu masih mendengar Pulau Obi di Maluku Utara rusak karena mengejar target sebagai produsen terbesar Nikel dunia, kamu tahu persis jawabannya. Masih jauh ohhh Mariana.
Kamu wajib membaca buku ini sebagai referensi kerja-kerja sosialmu, dan juga pengetahuanmu.