Monthly Archives: Juli 2022

Angka Tanpa Cerita Penyerta Adalah Hampa. Resensi Measuring What Counts – Stiglitz, Fitoussi and Durand

Standar
Angka Tanpa Cerita Penyerta Adalah Hampa. Resensi Measuring What Counts – Stiglitz, Fitoussi and Durand

Saya sulit kagum pada data statistik dengan grafis yang cantik penuh warna warni, naik turun, melingkar, berkelok. Buat saya, tanpa cerita menyertainya, dia cuma sekedar angka. So what? Jumlah peserta, kenaikan pendapatan, penerima manfaat, tanpa cerita penyerta adalah hampa. Again, so what?

Buku ini menjawab keresahan saya tentang data-data statistic hampa tentang apa itu pertumbuhan ekonomi GDP – Pendapatan Domestik Bruto yang dikejar mati-matian oleh negara-negara di dunia. Untuk mengejar GDP, kita dibikin obesitas, diabetes, gonta ganti pakaian sampai menggunung di TPA, daratan terkikis air laut karena sabuk hijaunya ditebas tuntas, ikan sumber pangan manusia tercemar tailing tambang, anak-anak mati di lubang-lubang bekas tambang. Karena GDP dinilai dari produk yang dijual di pasaran.

Krisis ekonomi dan lingkungan menyebabkan rasa tidak aman bagi individu dan rumah tangga yang kemudian membuat mereka berhati-hati dalam spending, akhirnya berpengaruh juga pada nilai ekonomi itu. Sementara krisis ekonomi dan lingkungan adalah akibat langsung dari upaya sembrono negara mengejar angka statistic dalam GDP. Sementara ketidaksetaraan akses pada nilai ekonomi dan sosial politik juga melanggengkan kemiskinan, membuat rasa ketidakamanan ekonomi dan berujung pada tingkat kepercayaan pada pemerintah. Semua saling terkait tapi tak bisa dijelaskan dalam angka pertumbuhan ekonomi PDB 6-7% lalu horeeee. Pret.

Lalu tentang pendistribusian pendapatan, apakah setara, oh jelas tidak Mariana (karena Ferguso terlalu mainstream). Kekayaan berputar pada kelas yang sama, begitu juga kemiskinan.

Trio Stiglitz, Fitoussi dan Durand menjelaskan kenapa GDP tidak lagi bisa dijadikan sebagai patokan kesuksesan sebuah negara mengelola ekonominya. Pencapaian GDP tinggi tidak menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungannya. Sebuah pencapaian GDP dalam jangka pendek yang mengorbankan masa depan generasi mendatang adalah sebuah dosa. Dan kesenjangan dalam kesempatan lebih tidak dapat diterima ketimbang ketidaksetaraan dalam outcome atau dampak. Di sini Trio ini bicara tentang inklusivitas, tentang mengakomodasi perbedaan dalam keragaman masyarakatan, ras, gender, budaya, disabilitas, yang harus diberikan akses seimbang dan mendampingi mereka agar mendapatkan outcome semaksimal kemampuannya.

Seharusnya kata mereka, kesejahteraan itu diukur mulai dari kualitas hidup di tingkat individu dan rumah tangga. Beberapa unsur yang kemudian diajukan adalah tentang penilaian Well-Being – kesejahteraan, yang indikatornya antara lain;

  • Status kesehatan
  • Keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi / keluarga
  • Pendidikan dan keterampilan
  • Koneksi sosial
  • Keterlibatan dalam kehidupan sipil dan pemerintahan
  • Kualitas lingkungan
  • Pengamanan pribadi
  • Kesejahteraan yang bersifat subjektif

Penilaian kesejahteraan juga dihitung dari kondisi material:

  • Pendapatan dan kekayaan
  • Pekerjaan dan penghasilan
  • Rumah / tempat tinggal

Trio ini mengakui alat ukur mereka belum sempurna, dan memerlukan perbaikan terus menerus menyesuaikan kondisi dan konteks lokal setiap negara. Sejumlah negara sudah melakukan alternatif pengukuran kesejateraan di luar GDP seperti Belanda, Perancis, Australia, Bhutan, Jerman, Ekuador yang disesuaikan dalam kebijakan ekonomi dan politik pemerintahannya.

New Zealand yang belakangaan melalui Perdana Menterinya Jacinda juga mengumumkan bagaimana mereka meninggalkan GDP dan fokus pada Well-Being sebagai alat ukur kesejahteraan warganya.

Indonesia?

Kalau kamu masih mendengar Pulau Obi di Maluku Utara rusak karena mengejar target sebagai produsen terbesar Nikel dunia, kamu tahu persis jawabannya. Masih jauh ohhh Mariana.

Kamu wajib membaca buku ini sebagai referensi kerja-kerja sosialmu, dan juga pengetahuanmu.

Iklan

Kesederhanaan, Empati dan Berbahasa Manusia, Kunci Sukses Sebuah Produk dan Gerakan. Review The Simplicity Playbook for Innovators – Jin Kang Moller

Standar
Kesederhanaan, Empati dan Berbahasa Manusia, Kunci Sukses Sebuah Produk dan Gerakan. Review The Simplicity Playbook for Innovators – Jin Kang Moller

Buku ini merangkum pengalaman saya selama bergaul dengan para wirausaha sosial, sosial bisnis, fasilitator, teman-teman aktivis dan juga privat. Cara kerja boleh berbeda, tapi sebenarnya kalau segalanya dikerjakan dengan empati, tentu kita tak perlu mendengar ada ketidaksetaraan kesempatan, eksploitasi, kegagalan kampanye dan memahami kebutuhan sebenarnya di lapangan – mitra kerja, penerima manfaat atau kalau bahasa swasta, konsumen.

Buku ini ditujukan Jin Kang sebagai desainer project specialist untuk dunia bisnis yang orientasinya pada profit – keuntungan. Tetapi membacanya sampai akhir, tentu saja menjadi sangat berguna untuk kita yang bekerja di dunia sosial. Ini persis yang diajari dalam profesi fasilitator, membuat segalanya mudah untuk mencapai tujuan utama.

Di tengah kerumitan, dan dunia yang bergerak sangat cepat, kita membutuhkan hal sederhana, mudah dicerna, mengena sesuai kebutuhan kita. Buku ini dibuka dengan kutipan: siapa saja yang bodoh bisa membuat sesuatu menjadi besar dan rumit, tapi butuh sentuhan seorang jenius dan banyak keberanian untuk menggerakkannya- mengubahnya ke arah berbeda – Ernst F. Schumacher.

Kata sederhana bisa diartikan mudah digunakan dan dipahami, tetapi sederhana punya makna lebih luas sebagai sebuah prinsip – perasaan tenang, focus dan percaya diri. Maka simplicity atau kesederhanaan disimpulkan Jin Kang sebagai pengalaman untuk membuat sesuatu menjadi sederhana dan meninggalkan dampak emosional bagi penggunanya. Dia percaya kesederhanaan dalam proses, penyampaian dan produk akan mengarahkan seseorang untuk berubah dan melakukan perubahan. Kesederhanaan juga menciptakan dampak yang lebih nyata.

Setelah menetapkan untuk membuat suatu produk atau gerakan atau kampanye dengan lebih sederhana dan mengena, maka kita perlu mulai dengan modal dasar manusia, rasa empati. Kenapa sebuah produk gagal di pasaran, kenapa gerakan sosial tidak juga sukses meski bertahun-tahun dilakukan dengan berdarah-darah? Karena kita sebenarnya sok tahu aja ketika menyimpulkan tentang hal yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran. Kita tidak pernah benar-benar mendengarkan, melihat, merasakan langsung apa yang dibutuhkan mereka.

Ketika sudah ketemu kebutuhan, selanjutnya mengajak mereka terlibat dalam menyusun jawabannya. Berdansa bersama dalam kerumitan, membuat kita tidak merasa sendiri dan paling tahu tentang jawaban yang dibutuhkan. Design Thinking ini nama kerennya, mulai dengan riset, merancang produk, memetakan siapa saja yang dapat membantu, prototyping dan terus memonitoring. Selama proses berlangsung, gunakan bahasa manusia.

Percuma pakai bahasa indah berbuih-buih dan menggebu-gebu kalau konsumen, kelompok sasaran kita tidak paham yang kita maksud. Membangun rasa percaya, rasa nyaman mereka juga dimulai dengan bahasa yang kita gunakan.

Selebihnya kamu baca sendiri ya, sukses berinovasi. Jangan rumit-rumit, yang penting sederhana dan berdampak.

Merangkul Perbedaan, Berbagi Kekuatan untuk Selamatkan Demokrasi. Review The New Class War – Michael Lind

Standar
Merangkul Perbedaan, Berbagi Kekuatan untuk Selamatkan Demokrasi. Review The New Class War – Michael Lind

Buku ini dibuat dalam konteks demokrasi di Amerika dan Eropa, supaya kita memahami konteks politik dan contoh-contoh yang digunakan di dalamnya. Buku ini buat saya bagus, karena mengganggu kenyamanan saya, karena mempertanyakan beberapa hal yang akan saya bagi di sini.

Tapi pertama Lind mengajak kita untuk kembali ke demokrasi pasca perang dunia I, ketika itu demokrasi merangkul kelas pekerja. Serikat Pekerja mendapatkan tempat setara dengan perusahaan dan keputusan politik dilakukan bersama. Kemudian demokrasi bergeser dikuasai teknokrat dan ideologi neoliberalisme dimulai saat Jimmy Carter memimpin Amerika – ya ternyata bukan Ronald Reagan seperti yang selama ini saya tahu – lalu diamini oleh sekutunya di Inggris Raya sana, mulai Theacher, Blair, hingga Teresa May.

Seperti juga gaung “tak ada kelas” oleh neoliberalisme, kelas pekerja semakin dipecah belah, serikat pekerja dilemahkan. Demokrasi dipercayakan pada elit yang duduk di perusahaan yang mengatur ekonomi negara berkongsi dengan pemerintahan. Di masyarakat, makin dipecahbelah, dengan ras, gender, agama, negara, dan isu imigrasi. Demokrasi mengalami pembusukan dengan masuknya politisi populis yang memanfaatkan isu ini untuk menarik suara mayoritas.

Para politisi populis memangkan suara terbanyak dalam demokrasi tanpa kemampuan untuk mengelola negara yang kemudian mereka lemparkan kembali pada anggota keluarga dan kroninya. Sebagai contoh Trump dan Boris Johnson, keduanya memanfaatkan isu imigrasi yang akan menghancurkan masa depan warga aseli karena pekerjaan akan direbut.

Tetapi bicara aspek ekonomi, knowledge economy yang digadang-gadang neoliberalis tentu saja juga hanya menguntungkan lingkaran mereka lagi. Logikanya siapa yang dapat akses pada pendidikan adalah keluarga kaya, yang ketika lulus pekerjaan dengan gaji aman sudah menanti. Lingkaran kekayaan akan bertahan selama lima generasi. Sementara bagi kelas pekerja, imigran, yang tinggal di kawasan dengan akses pendidikan berkualitas rendah akan sangat sulit bagi mereka menanjak ke kelas yang lebih tinggi.

Di bagian ini tiba-tiba saya merefleksi kebijakan zonasi dalam pendidikan di Indonesia, apakah zonasi juga tidak mengukuhkan kesenjangan kualitas pendidikan yang sudah ada sejak lama? Apa kabar anak-anak yang tinggal di kawasan kumuh tapi pintar, tapi karena kualitas pendidikan di sekitarnya tidak bisa mendukungnya, maka kemiskinan akan terus melingkar dalam keluarganya.

Sementara itu, isu imigran sebenarnya menguntungkan keluarga-keluarga kaya dan para pengusaha yang membutuhkan pekerja murah, tanpa beban tunjangan sebagaimana seharusnya. Sektor pekerjaan informal menjadi kantung pendapatan bagi kelas pekerja dari imigran. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan besar itu tetap akan mencari buruh murah dengan mengalihkan pabrik mereka ke negara lain. Para konglomerat yang dipelihara dan disayangi pemerintah itu pun melarikan pajaknya ke negara bebas pajak. Lalu apa yang didapat negara dan rakyatnya?

Lind juga menceritakan bagaimana LSM juga dikuasai kaum elit yang cara pandangnya bukan mencerminkan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya tapi melayani donor yang mendanai mereka. Pendonor mereka tak lain dan tak bukan adalah para elit itu sendiri.

Di sisi lain, ini juga yang mengganggu saya. Ketika antimonopolis berinisiatif memperbanyak starts up, dan bisnis kecil seperti IKM, yang terjadi kemudian adalah perlindungan terhadap pekerja yang semakin lemah. Tidak terkontrolnya standar gaji dan hak-hak pekerja lainnya. Antimonopolis juga membuat pekerja tidak nyaman dengan mengharapkan mereka juga membangun usaha sendiri. Apa yang salah dengan hanya menerima gaji seperti pekerja lainnya? Kenapa harus punya usaha sendiri?

Inisiatif-inisiatif aspirin yang hanya meredakan sakit sesaat tapi tidak menyembuhkan sumber penyakitnya. Bahwa yang sebenarnya harus diperbaiki adalah sistem demokrasi itu sendiri. Jika demokrasi dibiarkan seperti sekarang, Lind yakin, Amerika dan Inggris Raya khususnya akan bernasib sama seperti Brasil dan Meksiko.

Lind menawarkan kembali pada demokrasi pluralism yang merangkul semua perbedaan yang ada, ras, gender, agama, kaum imigran diberikan kartu hijau setelah dua tahun berada dan bekerja di Amerika. Ada pembagian kekuasaan, memastikan setiap orang dapat memberikan pendapatnya melalui komunitas dan perkumpulan mereka, pastikan mendengarkan mereka. Kembali menguatkan serikat pekerja sebagai mitra dalam ekonomi. Memastikan tidak ada orang, warga negara yang merasa ditinggalkan dalam keputusan politik yang menentukan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya mereka.