
Beberapa hari lalu sempat membaca dua artikel yang membuatku tersenyum-senyum. Aih begitu dekat. Yang pertama, apakah sebuah pernikahan menggagalkanmu menjadi seorang feminis? Artikel kedua tentang generasi panini, itu lembaran daging digenjet di antara roti. Perempuan seperti roti lapis, memenuhi semua keinginan yang ada di sekitarnya, termasuk dirinya sendiri.
Aku rasa keduanya bertalian.
Menikah adalah keputusan sesadar-sadarnya yang aku buat di usia dewasa, 39 tahun. Sudah dengan menimbang bahwa aku tak lagi muda, kemungkinan besar tidak bisa punya anak. Dengan suami yang menjadi perawat atau caretaker kedua orang tua yang sudah dengan penyakit tuanya, stroke dan jantung. Sadar bahwa akhirnya aku yang jadi breadwinner untuk keluarga kecilku, dan keluarga besar. Bahkan dengan pertanyaan yang dalam dan sering aku utarakan, memastikan ibuku rela melepaskanku menikah, karena itu artinya aku tak bisa penuh menjaganya. Lalu beliau bilang, iya, demi kebahagiaanmu, menikahlah.
Maka dengan semua konsekuensi itu, aku menikah. Hari paling indah buat kami berdua. Sekeliling kami tak habis pikir kenapa kami berdua bersepakat menikah sementara secara materi belum terlihat cukup. Aku percaya pada kata-kata ibu, rezeki itu Allah yang punya. Itu saja. Maka Bismillah, semua dijalani.
Sepanjang dua tahun ini, ada saja yang harus kami berdua lalui. Kerja sedang asik, gaji lumayan untukku, tapi konsekuensinya jauh dari suami. Tibatiba dokter bilang, aku tidak boleh hamil kalau tidak mau meningkatkan risiko kanker serviks. Maka keputusan terbesar adalah keluar dari pekerjaan tetap, supaya sehat lahir batin, dekat dengan suami dan hidup sesederhana mungkin.
Tapi ternyata itu berat. Sebagai breadwinner, sungguh berat untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil plus ditambah ibu yang mulai menua dan sakit-sakitan. Tapi bekerja penuh sudah tidak mungkin lagi, kecuali aku menaruh risiko kesehatan terganggu, artinya ibu dan aku bisa jadi sama-sama tumbang, artinya lagi suami akan mengurus dua orang tua dan aku. Risiko itu tak bisa aku ambil. Yang paling berat saat menjadi freelancer yang juga breadwinner adalah ketika kebutuhan datang, dan tak ada cukup dana di tabungan. Itu saat paling sedih. Obatnya, ya kembalikan lagi pada Tuhan.
Panini… aku seperti lembaran daging yang tergenjet roti.
Lalu apa hubungannya sebagai feminis? Aku mau bilang, sejak membuat keputusan menikah, itu adalah sikap feminisku. Tidak ada paksaan, murni memutuskan secara pribadi dengan menimbang semua konsekuensi termasuk menjadi pencari nafkah utama. Feminism memandang hubungan yang setara suami dan isteri, dan kami berdua melakukan itu. Tidak ada penyesalan ketika saya menjadi breadwinner dan suami tinggal di rumah mengurusi orang tua. Bahkan dalam situasi seperti roti panini, kami berdua hanya bisa senyum, “kamu mau naik pangkat,” kata suami. Kita berdua sayang. Aku tidak bisa melakukan semua ini, tidak bisa menjadi diri sendiri, berkarya sebagai pribadi kalau tidak ada dukungan dari suami yang luar biasa. Dia membebaskanku menjadi apa yang aku mau. Batasan yang dia berikan hanya satu, “jaga kesehatan.”
Menikah dan tetap menjadi feminis itu sangat mungkin terjadi, lagi-lagi kuncinya ada di pasangan yang bisa memandangmu sebagai rekan setara, seorang sahabat yang memandangmu sebagai individu. Kami berdua berbagi meski tidak dalam bentuk materi, tapi saling mendukung. Mengakui sekalikali bahwa aku sedih, merasa berat menjadi panini, adalah obat. Tidak perlu untuk selalu menampakan diri sebagai perempuan hebat, kalau sedih ya sedih saja, kalau marah ya marah lah pada keadaan. Ketika sedang merasa lemah, aku akan bilang lemah, cape dan pengennya berhenti. Dengarkan saja, tidak harus berkoar-koar “You can do it Nita” of course I can do it, but it does takes time. Tidak semua hal harus dilakukan saat bersamaan, bahkan embracing your weakness will make you stronger. Apalagi pasangan di samping punya prinsip yang sama, memandang kita adalah setara dan sejalan. Itu yang membuat aku kuat, sebagai feminis, sebagai breadwinner dan panini J