
Membaca buku ini saya tertohok. Bukan karena bentukannya pdf dengan huruf semi kecil yang bikin mata juling – tidak bisa digedein kalau pakai kindle – tapi 75 halaman yang bikin saya merasa semua realita yang saya temui harian itu sama sekali tidak alami. Bahkan udara yang saya hirup di pagi hari, tak lagi murni karena sudah bercampur dengan emisi dari kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya hanya 50 meter dari rumah. Bahwa hujan dengan intensitas tinggi saban hari di Cimahi dan tanaman di pot saya menangis lalu mati dalam busuk, itu juga tidak alami. Kalau bukan karena campur tangan manusia, iklim masih bisa terbaca.
Kapitalisme begitu mengakar dalam kehidupan kita sehari-hari sampai membentuk realitas yang kita “embrace” sebagai sebuah hal yang natural terjadi. Setiap semester kita mendapatkan rapor nilai pekerjaan yang kalau pun hasilnya sudah sangat keren, pasti ada tulisan “akan lebih keren kalau…” tidak ada pernah ada kata cukup “enough is never enough” kata Fischer. Di dunia pendidikan pun begitu, murid bukan lagi penerima manfaat, sekolah adalah bisnis. Murid bayar untuk ilmu yang didapat, kualitas ditentukan biaya yang dikeluarkan. Lalu anak-anak pun dipaksa untuk mencapai predikat yang menjadi standar bukan lagi melihat pada kebutuhannya pribadi.
Bahwa kesehatan jiwa menjadi salah satu produk baru kapitalis. Berjembreng produk untuk meningkatkan kewarasan dan menjaga kesehatan jiwa. Bahwa kegilaan adalah konsekuensi pribadi yang tidak mampu mengikuti “kenormalan”yang ada. Bahwa mengejar kekayaan, profit adalah konsensus bersama dalam dunia ciptaan. “Kesembuhan” itu bukan dengan perbaikan sistem sosial dan ekonomi tapi dengan menyalahkan pribadi penderitanya.
Fischer mengambil tagline “is there no alternative” ini memplintir slogan pro pasar terkenal dari Margareth Thatcher “There is no alternative”. Pada bagian akhir dia mengatakan, ada alternatif yang harus berarti untuk dipikirkan sekecil apapun gagasan itu dan biarkan itu bergulir dalam setiap perdebatan.
Dalam penjelasannya tentang realita ciptaan kapitalisme ini dia banyak mengutip Slavoj Zizek dan paling nyangkut di kepala ketika kutipan Zizek tentang bagaimana melawan neoliberalisme dan kapitalisme adalah untuk terus hidup dinamis. Kapitalisme dan neoliberalis menuntut orang hidup dalam aturan-aturan yang menguntungkan pasar. Manusia laksana zombie di pabrik yang bekerja terus untuk produksi masal. Salah satu cara menjadi orang yang pintar dan memberontak dari sistem ini adalah dengan meninggalkan rutinitas itu, teruslah berubah, teruslah mencari hal baru.
Yang cukup mengganggu kenyamanan saya adalah pernyataan Fischer, bahwa sebenarnya kapitalisme / neoliberalis dan marxisme itu ga beda sama sekali. Ini semua tentang kontrol, dan aktornya saja yang berbeda. Kalau dalam kapitalisme kontrol itu ada pada pemegang kapital yang diartikan pasar, marxisme bilang kapital itu bertumpak pada pemerintah. Bagaimana mereka mengendalikan rakyat, ya sama saja.
Kapitalisme / neoliberalis menempatkan pemerintah itu seperti pengasuh anak, yang kalau anaknya nakal dan ada apa-apa terjadi dengan si anak manja bernama pasar, maka pemerintah aka pengasuh yang disalahkan dan dihukum. Pemerintah yang harus pasang badan menyelamatkan pasar, mengasuh baik-baik pasar sebagaimana pun buruknya dan merugikan rakyat.
Pada Marxisme, pemerintah itu macam orang tua otoriter yang merasa paling tahu apa yang terbaik buat anaknya aka pasar dan rakyat. Tidak perlu pakai diskusi, mereka akan memutuskan segalanya.
Fischer adalah guru dan fellow peneliti di Goldsmiths UoL saat buku ini ditulis 2009 dan mengambil penjelasan dalam buku dengan menggunakan film dan musik, karena Fischer fokus pada studi budaya. Dua diantaranya Fisher mengambil contoh film Children of Men dan Wall-E.
Fischer meninggal bunuh diri karena depresi pada 2017. Sedih.
Saya lampirkan link youtube untuk mendapatkan gambaran tentang buku ini https://www.youtube.com/watch?v=3IXvaFCauLw