Monthly Archives: Juni 2020

Hari Ke 100 Dalam Karantina – Merayakan Kewarasan

Standar

Hari ini adalah hari ke 100 dalam karantina karena Covid-19. 100 hari tanpa bertemu Mami, adik dan ponakan saya di Jakarta. Saya pernah tak jumpa mereka 365 hari saat sekolah, tapi kali ini rasanya setiap hari seperti hari terakhir. Mungkin besok dan seterusnya tak lagi bisa jumpa.

Ini juga kali pertama saya bersama Akang sejak kami pacaran, 9 tahun silam. Kali pertama bersama 100×24 jam! Beruntung kami menumpang di rumah ibu yang punya banyak ruangan, jadi secara teknis saya tak bertatap muka sepanjang 24 jam itu. Akang lebih banyak di rumah utama, saya di kamar tamu yang disulap jadi tempat kerja. Kami berjumpa di meja makan atau sesekali bertemu di lorong dan istirahat siang di kamar, baru bertemu lagi malam hari.

100days_room 01

Ini adalah ruang saya untuk tetap terkoneksi dengan dunia luar dan semesta. Ruang kerja, mushola dan tempat yoga

Sejak memutuskan menikah, kami bersepakat saya akan berada lebih banyak di ruang publik aka luar rumah dan Akang menguasai ruang privat, aka di dalam rumah. Sesekali Akang kumpul dengan teman-teman klub motornya yang dia dirikan sejak 1997 waktu masih piyik di bangku SMA, dan sampai hari ini masih aktif. Sampai Covid -19 mengubah semuanya. Kami berada dalam satu bangunan rumah, berbagi kehidupan 24 jam selama 100 hari ini. Sekali dua kali kami bertengkar, tak saling tegur berhari-hari. Belajar berkompromi dengan orang di luar diri sendiri memang tak mudah. Ada banyak hal baru dan selalu baru saya temui dari Akang setiap hari. Cinta tentu saja, tapi hidup jelas tak melulu soal cinta.

100 hari yang tak mudah menjaga kewarasan. Setelah bertahun-tahun merawat bapak yang stroke dan tak bisa bicara, di hari 8 sejak PSBB dilaksanakan 14 Maret 2020, bapak masuk rumah sakit. Dipindahkan ke ruang ICU dan meninggal dunia 27 Maret 2020. Saat berduka yang sepi tanpa sanak saudara dan keluarga juga sahabat memeluk dan menyemangati kami. Ibu menangis, Akang semakin pendiam dan saya merasa semakin kesepian, dan bingung dalam bersikap. Ada banyak hal buruk terlintas di kepala, saya mau kabur saja ke Jakarta. Untung hal itu urung dilakukan.

Kehilangan pencaharian tak terbilang. Dalam hitungan saya, keuangan kami hanya bertahan sampai 2 bulan saja. Saya pencari nafkah utama dan Akang tentu saja semakin sulit kalau harus mencari pekerjaan di luar di hari-hari ini. Jika sampai akhir bulan kedua saya masih belum berpenghasilan, maka semua aset harus segera digadaikan, kata saya. Utang keluarga, cicilan rumah dan premi asuransi menanti untuk dibayar saban bulan, bagaimana kepala tak rasa ingin pecah. Tapi Tuhan itu memang maha baik. Dia mengirimkan orang baik yang memberikan saya bantuan selama dua bulan dan tunjangan hari raya. Hidup tak bisa mengandalkan orang lain tentu saja. Pekerjaan ada satu dua orderan untuk kami bertahan, tetap bekerja dari rumah. Setiap hari buka laptop dan membuat target pekerjaan, kalau tak ada yang berbayar, ya kerjakan proyek pribadi. Setiap hari menulis dua tiga halaman fiksi, menulis blog, menuliskan ide, apa saja, saya mau bilang pura-pura sibuk, tapi begitu yang saya percaya, nanti juga akan datang rezeki kalau tetap usaha.

Ketika Ramadhan, hati ini sudah dimantapkan untuk sepenuhnya berserah dalam ibadah. Lalu hormon manja yang kelamaan di rumah itu mengamuk, saya dibuat mens 25 hari + 10 hari tambahan setelah dari dokter. 35 hari! Seperti diombang-ambing, emosi saya nyaris lepas kendali. Akang tak kurang dimaki, meski dalam hati. Benci datang dan pergi, pada Akang, terlebih pada diri sendiri. Saya semakin menarik diri dari obrolan keluarga dan bersembunyi di ruang kerja dan di sosial media. Ada hari-hari saya mengumpat kenapa masih diberi hidup, kenapa tak dijemput pulang?

Ibu-ibu di lapas menertawakan saya, manalah sekarang kita berbeda. Kita sama, hanya beda bentuk kurungan. Di sana mereka berhitung hari, begitu pun saya. Setiap kita punya penjaranya sendiri, buat saya 100 hari ini adalah “penjara” yang tak pasti kapan waktu akan bebas. Semakin hari, semakin berat, semakin mati gaya karena untuk “bebas” dari Covid 19 makin hari makin jauh dari harapan. Iya jauh dari harapan, karena setiap hari orang yang seharusnya bisa menahan diri di rumah, malah liar di luar sementara angka penderita bertambah 1000.  Apakah saya akan bertahan di 100 hari ke depan?

Bangun tidur hari ini rasanya berbeda. Tumben, hari ini saya terbilang bangun kesiangan, 6.30 dari biasanya pukul 4.30. Saya terbangun yang mimpi yang membuat saya sesak napas, karena saya kabur dari patroli polisi yang menangkapi orang tanpa masker. Dalam mimpi saya sama sekali lupa pakai masker. Terbangun terengah-engah dan akang di sisi kiri saya tersenyum, sementara Unin di kaki saya mengulet dengan kuku tajam mencengkram kaki. Okay saya bangun!

Hari ke 100, saya menarik napas dan menghembuskannya. Saya masih hidup, bersyukur dibangunkan di sisi Akang dan Unin, tapi kenapa? Pasti ada alasan kenapa saya dipilih untuk bertahan sementara yang lain tidak. Kenapa saya masih bangun dengan penuh kesadaran akan napas, akan hidup, tapi yang lain tidak? Apa yang membuat saya terpilih untuk satu hari lagi menjalani hidup, sementara yang lain tidak? Apa yang semesta inginkan dan titipkan pada saya hari ini?

100days_me

Swafoto di hari ke 100, sehabis peregangan dengan wajah merah sisa peluh dan belum mandi.

Covid mengajari saya untuk tidak semata-mata menerima anugerah hidup tanpa memaknai pesannya. I stop taking life for granted. Saya tahu selalu ada alasan di balik sesuatu. Jika Tuhan masih memercayakan kehidupan pada saya, artinya ada kewajiban yang harus lakukan, untuk menjadi manusia, untuk memberi manfaat.

Covid adalah badai yang semua orang hadapi di waktu bersamaan, tapi bagaimana kita menghadapinya, setiap kita berbeda. Sekoci saya, ya segini ini, penuh dengan gelombang dan pengaman seadanya. Saya belajar banyak untuk tidak mengukur orang lain dengan cara “saya” karena setiap kita punya cara berbeda.

Hari ini saya merayakan hari ke 100 ini bersama Akang dan Ibu. Hanya Hokben paket murah meriah tapi cukup untuk merayakan kewarasan! Saya ingin meninggalkan jejak digital sebagai pengingat bahwa pada suatu masa saya hebat, masih hidup dan melewati masa sulit 100 hari ke belakang dan insya Allah dengan kekuatan yang bertambah, saya akan bisa bertahan di 100 hari berikutnya dan berikutnya dan berikutnya!

Iklan

Libur Dari “Work From Home” Untuk Menjaga Kewarasan

Standar
Libur Dari “Work From Home” Untuk Menjaga Kewarasan

Bekerja dari atau di rumah bukan berarti pekerjaan lebih santai. Buat saya pekerjaan jadi berlipat ganda dan saya membaca status kawan-kawan, justru bisa separoh hari sudah 6 meeting online dilakukan. Kalau sedang menumpuk dan mendekati deadline, bisa sangat saya tidak masak, bahkan tidak mandi sampai waktu magrib. Selepas magrib, badan tidak bisa bohong, letihnya luar biasa.

Buat buruh lepas seperti saya, sekalinya kosong, kosong sekali. Sekitar lima sampai tujuh agenda fasilitasi batal karena korona, tapi Alhamdulillah ada aja rezeki yang nyangkut. Bener kata orang, rezeki itu selalu ada, yang tak selalu sama rupanya. Dua minggu terakhir, sesak napas, tidak berjeda sama sekali, termasuk di akhir pekan.

Alhasil, pekan ini saya bertekad untuk liburaaaan!!

Saat klien minta laporan, saya bilang, “aku liburan bos, nanti ya.” Lalu dia tanya, wong kerja dari rumah, liburan kemana? Masih psbb. Saya bilang yang liburan isi kepalanya. Niat seminggu tak buka laptop, hari keempat akhirnya buka laptop. Lah kalau laporan tidak diselesaikan, invoice tak cair, bulan depan apa kabar dapur?

Liburan 3 hari dari urusan pekerjaan itu sangat membantu untuk merefresh ulang mental dan raga. Bagaimana caranya liburan dari WFH? Gampang, kata saya, yang harus dihentikan sementara adalah keinginan buka laptop, pekerjaan itu sungguh sesuatu yang tak pernah usai, pasti selalu ada meski kadang datangnya tak bersamaan. Sementara pikiran dan badan harus istirahat supaya ada tenaga untuk melanjutkan pekerjaan berikutnya. Saat karantina sekarang yang sangat dihindari adalah kelelahan, fatigue, stress yang berujung pada sakit fisik. Jadi sebisa mungkin berusahalah untuk sehat. Laptop ditutup tapi telepon terus bergetar urusan kerjaan. Tips saya kemarin, sama, saya bilang kalau akan saya kerjakan setelah liburan usai. Dijawab harus, supaya klien tak menanti. Tapi jawab saja kalau masih liburan.

Seperti hari-hari sebelumnya, saya selalu usahakan meninggalkan pekerjaan pada pukul 17.00 atau 17.30 paling lambat dan setelahnya usahakan untuk tidak mikirin pekerjaan. Waktunya bersantai, baca buku, main kucing, ngobrol sama akang, merajut, nonton film receh. Apa saja yang bisa bikin kepala adem. Nah ketika liburan tiga hari kemarin, pagi sekali sudah berkebun, bersih rumah, dan membaca buku. Saya juga libur masak karena masak sudah seperti rutinitas ketimbang mengerjakan hobi. Saya olahraga yoga jadi lebih panjang dan tenang. Itu juga penting buat hilangkan stress.

Setelah tiga hari off, hari keempat setelah yoga, saya buka laptop. Ceritanya pas meditasi, tibatiba ide muncul. Dilemma! Kalau tak segera ditulis ide itu akan raib, apakah ide yang sama akan muncul besok ketika liburan usai? Belum tentu. Itulah sebab saya buka laptop dan mengerjakan yang muncul dalam meditasi. Saat itu saya bilang, okay 3 hari cukup lah untuk liburan, waktunya cari kerja. mengerjakan laporan dan mewujudkan ide. Paling tidak dalam 3 hari kemarin, saya dicass, badan lebih enak dan pikiran lebih tenang.

Kamu rasanya juga perlu deh liburan dari work from home. Kalau lihat flyer webinar di sosial media, bawaannya pengen diikuti semua, tapi lama-lama lelah. Saat work from home ini memang waktu yang tepat untuk membaca kebutuhan tubuh yang selama ini dipaksa buat bekerja. Ingat yo hidup ini bukan hanya tentang pekerjaan dan cicilan, liburan tetap perlu. Mulailah dengan mematikan sejenak isi kepala dari pekerjaan dan menikmati sekecil apapun kebaikan yang kamu temui hari ini.

gambar – google/vox

Raffles di Jawa, Cerita Rekayasa Kepahlawanan. Review Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa karya Tim Hannigan

Standar
Raffles di Jawa, Cerita Rekayasa Kepahlawanan. Review Raffles dan Invasi Inggris ke Jawa karya Tim Hannigan

Suatu hari saya bersama sahabat, Eci menyempatkan diri jadi turis di London dengan berkunjung ke makam para raja dan bangsawan Inggris Raya, Westminster Abbey, musim panas 2016. Berbekal kartu mahasiswa, harga tiket masuk diskon jadi hanya 15 poundsterling atau sama dengan 3x makan. Lupa, saat itu mungkin dibayarin Eci karena rasanya mustahil saya rela kehilangan 3x jatah makan. Begitu masuk, kita akan dapat seperangkat alat pemandu rekaman, dan brosur tentang makam. Pengamanannya ketat, darimana kita mulai dan akan dimana kita keluar bangunan itu diatur. Jadi dipastikan kita tidak tersesat di antara 3.300 orang besar yang dimakamkan di sini.

Begitu kita mulai penjelajahan, kami diarahkan ke sebelah kanan, makam pertama yang saya lihat adalah Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris di Pulau Jawa dan dikenal sebagai pendiri Singapura (ref https://www.westminster-abbey.org/abbey-commemorations/commemorations/stamford-raffles) Terlepas dari empat kalimat panjang yang menjelaskan Raffles, pada kalimat ini saya tercekat… “..he raised Java to happiness and prosperity unknown under former rulers.” Setengah berteriak, “No! Ga mungkin. Eci!” saya mencari tangan Eci dan menariknya untuk melihat tulisan itu. Eci tersenyum dan ssshh, mengingatkan kami ada dimana. Tapi kata-kata itu mengganggu di kepala saya selama empat tahun, ada yang salah dengan sejarah tentang Raffles. Lalu kembali ke Indonesia dan mendapati masih banyak anak muda bahkan seangkatan saya yang membandingkan penjajahan Belanda dan Inggris, seandainya kita dijajahnya oleh Inggris, mungkin kita akan semakmur Singapur dan Malaysia. Aarrrhh… saya menjerit, penjajahan tidak pernah memakmurkan tanah jajahannya. Omong kosong!

Buku ini menjawab keresahan saya. Ditulis oleh seorang Inggris dan buat saya cukup obyektif menguliti sejarah lima tahun kekuasaan Inggris di Pulau Jawa dibawah pimpinan Sir Thomas Stamford Raffles. Anak muda yang tidak punya latar belakang militer itu terobsesi pada Pulau Jawa yang disebutnya sebagai Tanah Harapan. Raffless selalu haus pada pengetahuan yang dia ambil dengan segala cara, termasuk membawa 20 ton hasil rampasan dari Jawa ketika pulang ke Inggris pada 1816. Di antara rampasannya adalah naskah-naskah kuno tentang sejarah kerajaan Jawa yang diterjemahkan dengan patuh oleh cendekia pribumi, dan patung-patung Hindu Jawa. Raffles pulang ke Inggris juga membawa utang kepada Pemerintah Hindia Timur yang ketika dia meninggal, isteri keduanya Sophia harus menghamba untuk membebaskannya dari utang tersebut. Raffles baru dibebaskan dari tudingan korupsi selama di Jawa pada 1826.

Raffles meninggalkan luka dalam dalam sejarah kerajaan Jawa, Surakarta dan Yogyakarta. Jika Belanda memisahkan kerajaan, maka Raffless membuat persaingan antar pewaris semakin tajam dan memecah belah keduanya. Sultan didampingi Pakualam, lalu Susuhunan Surakarta menjadi pendukung tentara Inggris untuk menghancurkan Yogyakarta. Raffles memilih Sultan baru yang berusia sebelas tahun untuk mengamankan posisi Inggris dan membuat kerajaan patuh. Raffles melewati batas kesopanan dan kesantunan tradisi Jawa selama berkuasa.

Peninggalan Raffles yang perlu diapresiasi adalah melarang penyiksaan terhadap tahanan dan narapidana, menghapus perbudakan (padahal pada perjalanannya dia mengirimkan budak-budak untuk residen di Banjarmasin Alexander Hare), menerapkan sewa tanah berdasarkan nilai tetap (sekarang NJOP mungkin) sehingga para petani di Surabaya misalnya terjebak utang berbelit pada rentenir Thionghoa. Raffles melarang tentara Inggris menerima suap termasuk dalam bentuk perempuan, untuk yang ini, saya pribadi cukup kagum, dalam buku ini Raffles disebut setia terhadap Olivia isteri pertamanya yang 13 tahun lebih tua dan pemabuk. Raffles lebih senang tenggelam dalam dokumen-dokumen sejarah. Raffles buat saya adalah bukti bahwa sejarah adalah milik mereka yang menulis.

Bagi Pemerintah Hindia Timur, Jawa bukan Tanah Harapan seperti yang dijanjikan Raffles karena bukan memberikan keuntungan, malah sebaliknya, membebani keuangan mereka. Gaji prajurit-prajurit Inggris dan India masih ditanggung Inggris, alih-alih dibayar oleh koloni. Pada masa ketika Raffles kesulitan anggaran, dia menjual tanah-tanah rampasan di Cianjur dan membelinya sendiri atas nama pribadi, ini yang kemudian dipakai oleh Guillepse untuk menyerang balik Raffles. Dia juga menerima 200.000 uang perak dari Baddaruddin, Sultan dari Palembang yang kemudian dicatat sebagai bentuk suap.

Tulisan Tim Hanningan sebanyak 402 lembar ini mengalir seperti dongeng dan saya harus mengapreasi penerjemahnya, Bima Sudiarto. Saya menikmati setiap kata yang disampaikan, sekalipun masih ada beberapa kesalahan penulisan, hilang huruf dan kenapa “Matahari” selalu ditulis dengan kapital. Beberapa cerita membuat saya tersenyum, seperti kemana Ratu Laut Selatan yang katanya melindungi Yogyakarta dengan pasukan gaibnya ketika Inggris menjatuhkan kerajaan? Kenapa Ratu ketika Sultan beserta keluarganya terancam? Lalu cerita gagah-gagahan tentara India yang ingin memberontak dari Inggris, menyusun strategi sambil makan mangga lalu kabur setelah ketahuan rencana busuknya. Saya mendadak kesemsem pada sosok tentara Crawfurd yang licik sebenarnya dan juga pemimpin pasukan Guilesspe. Damn liar sekali….

Saya juga menikmati Epilog Tim Hannigan, terutama ketika dia menyempatkan diri datang ke Parangtritis dan Parang Kusumo khusus untuk berterima kasih pada Ratu Laut Selatan dan bertanya apakah sudah cukup apa yang dia tuliskan? Kesopanan dan penghormatannya pada tradisi menunjukkan kerendahan hatinya. Ini masuk dalam daftar buku favorit saya!

Derajat Empati dan Kejahatan. Review Zero Degree of Empathy karya Simon Baron – Cohen

Standar
Derajat Empati dan Kejahatan. Review Zero Degree of Empathy karya Simon Baron – Cohen

Saya dikenalkan dengan empati ketika bergabung di Ashoka Indonesia. Mary Gordon terpilih menjadi Fellow Ashoka memang khusus kegiatannya mengenalkan empati pada murid-murid TK hingga jejang yang lebih tinggi. Orang sekeren apapun kegiatannya tapi kalau aktivitas perubahan sosialnya bukan didasari oleh Empati, maka dia gagal menjadi fellow Ashoka. Terus dan terus didoktrin tentang empati sampai akhirnya saya percaya, empati memang kekuatan super dalam diri manusia (di dalam buku dijelaskan bahwa primata juga punya empati) yang dapat menyelesaikan semua persoalan.

Sialnya saya “take it for granted” kalau semua orang dibekali dengan level empati yang sama. Lahir seperti kertas putih dan hidup akan berwarna setelah sentuhan pertama dengan orang tua. Buku ini menjelaskan bahwa empati tidak semudah itu muncul, berkembang dan menjadi kekuatan yang digunakan setiap orang saat menghadapi masalah. Ketika sebuah kejahatan muncul, Baron-Cohen bilang, orang terutama mereka yang beragama, akan sangat mudah menyalahkan setan daripada mengintrospeksi diri dan menganalisa faktor lain dari diri pelaku.

Baron-Cohen menyimpulkan kejahatan itu dilakukan oleh orang yang mengalami erosi empati, bukan setan! Erosi empati terjadi persis ketika seseorang menempatkan orang lain sebagai obyek, bukan subyek. Lalu empati itu apa? Empati adalah double-minded, bagaimana seseorang bisa menempatkan orang lain, membaca rasa dan emosi dan perubahan sikap orang lain terhadap dirinya. Apakah kita semua terlahir dengan empati?

Buku ini memadukan keilmuan psiko-sosial, sosiologi, dan biologi. Bahwa secara biologi, kita terlahir dengan sirkuit empati di dalam otak yang menurut ahli syaraf akan bereaksi atau menimbulkan reaksi terkait emosi dan empati. Saya tidak menjelaskan detail, bahasan dalam buku ada dalam halaman 20. Lalu Baron-Cohen membagi empati dalam bentuk kurva, pada derajat 0-6. Derajat 0 empati dalam pengertian umum artinya empatinya tidak ada, atau dimatikan oleh pemiliknya. Pada derajat 0 inilah seseorang berkemampuan untuk melakukan kejahatan.

Beberapa contoh yang digunakan Baron-Cohen adalah kejahatan seorang bapak yang memerkosa anak gadisnya selama puluhan tahun sampai punya anak. Kejadian itu terjadi di ruang bawah tanah tanpa diketahui isterinya yang hanya tahu bahwa anak perempuannya hilang diculik orang. Lalu perempuan yang membunuh dua anaknya setelah mantan suaminya menikah lagi. Atau teroris yang membunuh ratusan orang, atau nazi yang membunuh ribuan yahudi di masanya. Apakah tindakan mereka dipengaruhi oleh setan? Dimana rasa empatinya orang-orang ini?

Baron-Cohen menjelaskan pada manusia dengan tingkat empatinya 0 pun tidak semuanya memiliki kemampuan untuk menyakiti orang lain. Mereka yang ada pada kurva 0 dibagi menjadi dua kelompok, Zero Empati Negatif dan Zero Empati Positif. Ada 3 kepribadian yang masuk dalam kelompok Zero Empati Negatif; Borderline (B), Psikopat (P) dan Narsistik (N). Pada kelompok ini, Psikopat dan Borderline memiliki kemampuan untuk menyakiti orang lain, tetapi pada Psikopat, rasa bersalah itu hilang diganti dengan rasa “they deserve that” mereka pantas disakiti. Sedangkan pada Borderline dan Narsistik, rasa bersalah itu bisa muncul, belakangan. B dan N sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua sejak anak-anak di masa terbaiknya. Jika orang tua keras, mengabaikan perasaan anak dan tidak memberikannya kasih sayang yang diperlukan, maka kecenderungan kepribadian Borderline akan muncul. Sebaliknya memanjakan berlebihan, memuji di luar kenyataan dapat membuat si anak menjadi Narsistik, bahwa dirinya adalah pusat kehidupan, mencari perhatian dan orang lain tidak lebih baik darinya. Di bagian ini sangat penting untuk dipahami para calon orang tua. Apakah mereka yang masa kecilnya jauh dari kasih sayang akan selalu menjadi psikopat atau borderline? Belum tentu, tapi pada satu masa, ingatan rasa kehilangan kasih sayang akan datang kembali dan memengaruhi cara mereka memperlakukan anak-anak mereka seperti mereka pernah diperlakukan oleh orang tuanya.

Lalu ada Zero Empati Positif yang ditempati oleh mereka dengan sindrom Asperger dan autism klasik. Meski mereka memiliki tingkat empati yang rendah, tapi tidak memiliki kecenderungan menyakiti orang lain. Cara berpikir mereka sistematis dan berulang-ulang, sesuatu yang melenceng dari “kebiasaan” pola, atau rutinitas itu yang akan sangat mengganggu emosi dan perilaku mereka. Pertanyaan berikutnya adalah apakah mungkin seseorang memiliki dua kepribadian? Baron-Cohen bilang, sangat mungkin terutama B dan N.

Lebih lengkap perbedaan dan kemampuan mereka yang berada dalam dua kelompok ini untuk melakukan kejahatan, ada di gambar berikut:

empati 3

Hal lain yang juga sangat menarik adalah sirkuit empati di dalam otak kita ini dipengaruhi oleh 12 faktor; intention atau niat, physical state atau keadaan fisik, hormone, neurology atau saraf, genes – genetic / keturunan, corrosive emotion – emosi yang merusak, In-group / out-group (bergabung / keluar grup), conformity/obedience – kepatuhan, early experience – pengalaman awal, cultural sanction – sanksi sosial/budaya, threat (fight/flight) – ancaman (hadapi / lari). Jadi ketika berhadapan dengan orang lain dan setiap kali kita mau melakukan sesuatu, ke 12 faktor ini akan muncul bersamaan dan atau bergantian di otak. Tetapi sebagian dari kita tak punya kemampuan untuk menyaring pilihan lewat 12 hal ini. Sebagai contoh, seorang yang bergabung dalam kelompok teroris, dia akan terdoktrinasi bahwa kapitalisme adalah musuh bersama, dan kepatuhan mutlak dituntut dari setiap anggota, termasuk saat penugasan melancarkan serangan.

Gambar 12 faktor yang mengelilingi empati ada di bawah ini

empati 2

Baron – Cohen menyimpulkan bahwa empati menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik dan semua persoalan yang dihadapi manusia. Bahkan ketika hanya ada 0.1 persen kebaikan dalam diri seseorang, fokus pada kebaikan itu, dan hanya dengan memanusiakan orang tersebut, maka kejahatan akan luntur. Mengasah dan merawat empati dengan demikian sangat penting masuk dalam kurikulum pendidikan dan pengasuhan, juga masuk dalam kehidupan berpolitik. Hanya dengan empati, Baron-Cohen bilang, kita bisa hidup damai berdampingan.

Sampai di situ saya sangat sepakat untuk membawa empati dalam semua sisi kehidupan dan kembali mengenalkannya sejak dini dalam keluarga dan pendidikan di sekolah. Lantas saya tersenyum, tapi ya kedamaian tentu akan merugikan banyak orang yang cari makan dari keriuhan. Semalaman saya mencoba memasukan korupsi dan koruptor dalam kategori zero empati itu, seperti komedi rasanya kalau saya memasukan koruptor dalam ketegori zero empati positif, iya kali karena angka-angka rupiah begitu sistematis dan berpola sehingga mereka ingin memilikinya sendiri. Apakah koruptor masuk dalam psikopat karena tak merasa bersalah telah menyakiti korbannya? Atau narsistik karena merasa benar dan superior dalam melakukan aksinya?

Buku yang hanya 132 halaman + lembar the EQ ini asik sekali untuk dibaca karena bahasanya sederhana dan sangat penting untuk dibaca kita semua, terutama kamu calon orang tua.

Day 90: Waktu Terpanjang Berada di Rumah…. Sepertinya Akan Berlanjut

Standar
Day 90: Waktu Terpanjang Berada di Rumah…. Sepertinya Akan Berlanjut

Right at this moment, I miss Kakak Zi so much!

Separuh hari ini sudah berlalu, paling tidak ada 2 iklan pusat perbelanjaan siap menerima pengunjung dengan menjalankan protokol kesehatan. Saya langsung ingat Kakak Zi, saya tahu dia pasti ingin sekali ke mal, bermain, makan enak dan nonton di bioskop yang dapat situasi normal, tentu saja saya dengan sangat senang hati menuruti kemauannya.

Tapi situasi ini tidak normal, kewajaran baru yang tidak wajar.  Kalau masih bisa ditahan untuk tidak keluar rumah, sebaiknya tidak. Kalau tidak terpaksa, sebaiknya di rumah. Main-main di mal, bukan lagi pilihan. Kita tidak dalam situasi aman, apa pun yang dilakukan, belum ada yang bisa menyakinkan saya kalau semuanya sudah aman. Belum oi.

Selama 90 hari ini saya masih setia menuruti protokol kesehatan yang diharuskan. Menahan rindu bertalu-talu tak bertemu mami dan anak-anak di Jakarta. Sebuah privilese yang bisa saya lakukan, dibandingkan dengan kawan-kawan yang terpaksa harus tetap bekerja di luar rumah, berjubelan di transportasi umum karena pemerintah menarik aturan pembatasan kapasitas. Ini seperti kita dimasukkan dalam ruang bergas mematikan di zaman nazi dulu.

Seseorang bilang, jangan paksa orang memilih ekonomi atau sehat, keduanya bisa jalan bersamaan. Karena tidak bisa memilih, orang memang terpaksa harus menjaga kesehatannya sendiri-sendiri. Covid-19 memang pada akhirnya menunjukkan jurang yang lebih besar antara mereka yang memiliki privilese dengan yang tidak.

Mobil pribadi akhirnya keluar lagi lebih sering dan semakin banyak, begitu juga dengan motor dan sepeda. Apa saja yang tidak mempertemukan diri dengan banyak orang. Tapi mereka yang tak punya kendaraan pribadi, terpaksa ikutan berjubel kembali di terminal dan stasiun. Lalu ketemu lagi mereka yang naik kendaraan pribadi dengan yang naik kereta, di mal, di perkantoran yang sama… jiaaah ambyar. Penularan Covid-19 terbesar dilakukan oleh orang tanpa gejala, seperti aku dan kamu.

Selama 90 hari saya di rumah, menjaga diri, sementara membaca berita begitu longgarnya kehidupan di luar rumah. Rasanya percuma, betul. Menjaga kewarasan menjadi lebih berat daripada menjaga fisik untuk tetap sehat. Saya juga ingin berkeliaran di luar rumah lagi, cari uang dan bertemu para kawan sambil ngopi cantik, tapi kalau itu bisa menularkan covid ke orang lain atau saya membawa itu kepada orang rumah, buat apa. Saya tidak berusaha menjadi pahlawan, saya hanya tak ingin jadi bangsat yang punya pilihan di rumah dan bekerja di rumah lalu berkeliaran di luar rumah demi hiburan, demi menghilangkan bosan.

90 hari menjaga kewarasan, mengalahkan bosan, memang berat. Siapa menyangka orang dengan paku di pantat, saking tak pernah di rumah, tiba-tiba harus membagi rasa dan fisik dengan akang dan ibu mertua 24 jam x 90 hari! Berkompromi dengan diri sendiri saja berat, ditambah 2 orang lain di rumah. Memang berat, tapi saya selamat di hari ke 90 ini… horeee…hup hup horee! Ini prestasi, saya harus makan enak hari ini. Harus dirayakan neh.

Saya “menghilang” di ruangan yang berbeda sehingga tak melulu bertemu akang dan ibu. Saya menyibukkan kerja di depan laptop dengan music di telinga. Sibuk memasak di dapur minimal sekali 2 jam sehari, berkebun di teras, dan membaca buku. Apa saja yang bisa menjadi hiburan buat saya dan tak harus melulu berkomunikasi dengan orang rumah. Karena dalam kebosanan, kita cenderung melukai rasa orang lain. Bukan sekali kami bertengkar hanya perkara makanan, hal-hal remeh temeh yang sama sekali tidak signifikan untuk diperdebatkan.

Stress itu tidak bisa disangkal. Saya bisa saja tidak merasa stress ada di rumah, semacam penyangkalan, tapi hormon berkata beda. 25 hari menstruasi tak berhenti dengan volume yang banyak. Setelah sempat berhenti karena obat dokter, sekarang masuk lagi siklus menstruasi berikutnya. Bersamaan dengan itu juga, emosi kembali tak stabil.

Sesulit apa pun menjaga kewarasan dan kesehatan fisik, ya memang harus diusahakan bisa. Termasuk buat yang terpaksa harus keluar rumah. Kalau lihat orang ramai pergi karena harus bekerja, saya mendoakan dari jauh agar mereka tetap selamat dan membawa virus kembali ke rumah. Setiap kali saya melihat foto orang bertemu di kafe atau berkumpul dengan banyak kawan hanya untuk melepas penat, saya kepikiran membubarkan dengan disinfektan.

Semoga masih kuat bertahan menghadapi corona, selebihnya saya pasrah.

photo:googleimage

Antara Setan, Malaikat, Fantasi dan Metamorfosa. Review Satanic Verses Karya Salman Rushdie

Standar
Antara Setan, Malaikat, Fantasi dan Metamorfosa. Review Satanic Verses Karya Salman Rushdie

Buku ini saya beli 15 tahun yang lalu, karena penasaran kenapa Salman Rushdie sampai diancam akan dibunuh. Buku yang dilarang memang justru menarik untuk dibaca, membuat saya penasaran. Tapi selama ini, buku Satanic Verses ini cuma selesai di halaman empat, apaan sih, begitu kata saya lalu ditutup dan simpan. Tapi buku ini ikut kemana pun saya pergi, pindah dari Jakarta ke Bandung, lalu ke Jakarta lagi. Dibawa waktu pindah ke Bali dan bawa lagi ke Jakarta, lalu di Cimahi saya menuntaskan buku ini setelah 15 tahun! Akhirnya. Barangkali karena karantina covid-19, saya selalu merasa besok giliran saya pergi, tuntaskan hal yang paling pengen diselesaikan salah satunya ya buku ini. Barangkali karena bahasa Inggrisnya membaik dibanding 15 tahun lalu, makanya bisa selesai.

Anyhow, ini fiksi! Itu dulu yang harus kamu, pembaca pahami. Dalam fiksi, si pengarang bebas berfantasi menjadi tuhan di atas tulisannya sendiri. Tapi memang harus berdasarkan riset. Buat saya buku-buku Salman Rushdie bukan fiksi sejarah yang baik, dia selalu menjelaskan dalam kerangka besar saja, terutama dalam sejarah di India. Dua tempat yang selalu dia bawa dalam ceritanya ada India dan Inggris, kadang membawa kita ke Itaia dan Amerika, tapi India tempat dia besar itulah yang dia ceritakan.

Kekuatan utama Salman Rushdie ada pada fantasinya, sejak Haroun and the Sea of Stories, saya sudah jatuh cinta pada tulisannya. Dia pendongeng yang luar biasa, seperti dalam cerita 1001 malam. Termasuk dalam buku ayat-ayat setan ini. Cerita tentang bintang film India terkenal di masanya, Gibreel Farishta dan bersama dengan Saladin Chamcha selamat terjun dari pesawat yang dibajak teroris. Saat terjun itulah semua cerita dimulai. Gibreel yang bertemu dengan Rekha Merchant, pacar gelapnya yang mati bunuh diri karena menanggung cinta pada Gibreel yang tak berbalas dan berubah menjadi setan. Lalu Chamcha yang bermetamorfosa sebagai manusia bertanduk kambing. Merchant menawarkan Gibreel untuk bergabung dengannya menjadi setan, meyakinkan Gibreel bahwa dia bukan malaikat penyampai wahyu tuhan.

Gibreel bahkan tak pernah merasa yakin bahwa dia adalah malaikat, dalam mimpinya dia memberikan pesan pertama kepada nabi, dia juga yang memberikan Ayesha pesan agar membawa penduduk menyeberangi lautan untuk pergi haji, lalu meniupkan sangkakala milik Azrail saat kebakaran hebat di kota London. Gibreel terjebak antara kepercayaan dirinya sebagai malaikat dan manusia, dan di akhir cerita dia malah merasa setan telah menguasai dirinya. Tak bisa lagi memilih siapa dia akhirnya, Gibreel menyelesaikan dirinya di dunia.

Saladin Chamcha yang ketiban sial menjadi manusia kambing kehilangan segalanya yang dia cinta, pekerjaannya sebagai pengisi suara hilang karena dia mengembik, kehilangan isteri tercintanya Pamela yang percaya Saladin telah mati dalam kecelakaan pesawat lalu meneruskan hidupnya dengan kawan baik Saladin. Melewati segala pergulatan, Saladin kembali pada tubuhnya yang utuh. Kembali ke London dan tinggal satu atap dengan Pamela. Dia menceraikan Pamela tapi tak rela pergi dari apartemen yang kemudian dibagi dua. Saladin membalas dendam pada Gibreel yang membuatnya kehilangan segalanya. Dia merebut Allenuia kekasih Gibreel yang kemudian murka dan mengejar Saladin ke seluruh penjuru kota London. Allenueia memutuskan hubungan dengan Gibreel tapi kemudian kembali mencarinya di Bombay. Ada satu kalimat dari Gibreel yang membuat saya tersenyum yang kalau terjemahkan bebas begini, “lu pikir kaga cape jadi utusan Tuhan?” lelah saban saat manusia menunggunya, mencarinya untuk meminta jawaban dari doanya pada Tuhan. Lalu Tuhan juga lelah meyakinkan Gibreel bahwa dia diciptakan memang untuk menyampaikan pesanNya kepada manusia. Gibreel bilang, “gue kaga minta diciptakan.”

Buat orang lain Gibreel seperti orang dengan kelainan jiwa, menghilang dan berkali-kali kembali dari kematian. Tetapi sebagai manusia, hidupnya berakhir pilu, dia dituduh membunuh Rekha dan juga Allenueia. Kisah berbalik Gibreel kehilangan segalanya.

Buku ini kaya sekali cerita manusia di dalamnya. Tentang lelaki sudra yang menjadi muslim untuk bisa hidup karena kasta rendah membuatnya terpuruk dalam kemiskinan. Tentang cerita Nabi Mohound yang buta aksara lalu dimanfaatkan oleh juru tulisnya yang jelmaan setan dan memutarbalikan ayat-ayat yang disampaikannya. Tentu saja Nabi tahu tapi dengan penuh kasih, ampunan diberikan tetapi setan berbentuk manusia tak juga bertobat dan terus melakukan kejahatan hingga akhirnya dihukum pancung. Kritik Salman Rushdie pada orang-orang beragama yang selalu mencari pembenaran dalam kitab atas tindakan jahatnya terhadap manusia lain. Setan kata dia, hanya ada dan nyata di antara mereka yang beragama. Tentang politik yang memanfaatkan keluguan orang-orang beragama dan memecah belah antar kelompok beragama untuk kepentingan mereka. Dia merujuk pada pertentangan lestari antara Hindu dan Islam di India.

Buku ini mengajak saya jalan-jalan ke penjuru sudut kota London. Bercerita tentang kehidupan orang India yang bermigrasi karena dipaksa ke Inggris Raya tapi tetap diperlakukan sebagai warga kelas dua.  Membaca cerita Gibreel Farishta dalam buku ini sambil membayangkan Lucifer dalam serial Lucifer. Begitulah saya menempatkan buku ini. Tak perlu dipertentangkan, ini fiksi untuk dinikmati.

Duh gusti, saya masih hollow… hampa kalau habis selesai baca fiksi bagus.