11.11 malam, langit tercerahkan oleh separuh rembulan yang mencuri cahaya mentari. Angin malam berhembus kencang menembus tulang. Sejauh mata memandang hanya terlihat pendar lampu dari gubuk-gubuk petani pengganti kunang-kunang. Sebuah mobil mungil yang beken disebut city car parkir di jembatan yang membelah Gunung Batu Datar di Kabupaten Purwakarta. Tak ada yang memerhatikan sesosok perempuan di samping kiri mobil mengarah ke Bandung sedang berdiri memandangi kegelapan.
Sepuluh menit kemudian dia berdiri di atas pembatas jembatan. Hanya perlu tepukan angin di bahunya dan dia terjun menuju kegelapan… menghilang.
**
Namanya Pagi dan aku Sugi. Kami bertemu dalam sebuah forum kepemudaan di Jakarta tiga tahun lalu. Dia duduk di sampingku, terus menerus menguap tanpa malu-malu menutup mulutnya yang menganga di tengah seorang motivator muda yang bicara berapi-api. Sudut mataku ikutan tertarik meliriknya saban kali dia menguap dan itu membuatku terganggu.
“Minum kopi dulu sana. Rasanya boleh meninggalkan tempat ini sebentar,” bisikku
“Ikut yuk cari udara segar. Muak gue denger para motivator ini bicara, macam sudah bener saja mereka jalani hidup,”katanya dengan volume sedikit tinggi dan melahirkan desisan seperti ular dari peserta lain.
Daripada bikin ribut, aku keluar ruangan lebih dulu dan Pagi mengikuti dari belakang. Dalam ruangan serba gelap dan lampu sorot hanya pada sang bintang, kami seperti laba-laba tak bersuara yang keluar dari sarang untuk memindai lawan. Tak ada yang keberatan kami tak ada.
“Agi.” Dia mejulurkan lengannya.
“Ugi.” Jawabku yang disambutnya dengan wajah keheranan, mata melotot dan mulut yang sekali lagi menganga. Sudah berapa kali kulihat deretan giginya yang bersih putih dan bibir penuhnya mungil itu.
“Bapak lu siapa namanya? Jangan-jangan kita sebenernya saudara.”
“Hahaha ga mungkin lah rasanya. Namaku Sugi Darmanto. Panggilanku Ugi.”
“Oooh, gue Puisi Pagi. Panggilan gue Agi. Bonyok gue sok romantis aja kasih nama begitu.”
“Nama itu doa, berterima kasih sama mereka yang menamaimu begitu. Ga ada orang tua yang memberikan nama anaknya dengan maksud buruk.”
“Ah rewel lu, macam motivator saja,” Agi menepak dadaku.
Singkat cerita, aku dan Agi menjadi dekat sebagai teman lalu naik peringkat menjadi sahabat. Setidaknya begitu menurutku. Kami begitu berbeda. Agi dengan gayanya yang metal dengan celana jins pensil yang menurutku sangat tidak masuk akal karena menyulitkan saat dia harus buang air kecil, melewati kobangan air atau sewaktu dia sholat, sesekali sih. Kalau sudah kesulitan dengan celana pensilnya dia akan seenaknya datang ke kamar kosku dan mengambil celana pendekku atau malah sarung tidurku. Lega katanya. Lalu kenapa dia memaksakan diri pakai celana jins pensil itu?
“Lu ga bergaul sih. Susah gue bilang sama lu kenapa celana pensil ini penting buat gue,”katanya sambil menarik turun celana jinsnya yang susah masuk apalagi keluar.
“Oi jangan melongo aja, bantuin tarikin jins gue dong ah.” Teriaknya.. selalu begitu dan selalu pula aku bantu dengan mata tertutup. Agi yang tak tahu malu, tak menganggapku lawan jenis yang bisa saja bernapsu padanya.
“Jins nyusahin ini kamu pakai cuma karena pacarmu si Bonar itu anak band Punk kan? Kenapa selalu menyusahkan diri hanya untuk orang lain Gi.”
“Susah gue cerita alasannya Gi, lu kan ga kenal cinta.”
Selalu begitu.
Lain waktu Agi akan datang dengan kaos sepakbola klub Manchester United, padahal aku tahu Agi tak suka bola. Kami bisa bertengkar berebut remote televise hanya karena aku ingin menonton pertandingan sepakbola sementara dia ngotot menonton konser Aerosmith yang cakram bajakannya baru dia beli.
Sebelum kamu menyimpulkan hal buruk tentang kami, aku tegaskan kami tidak serumah. Aku tinggal di kamar kos pilihan Agi, campur dan pemilik rumah tak peduli siapa membawa siapa dan menginap berapa lama. Iya itu pilihan Agi, supaya dia bisa keluar masuk sekenanya. Bulanan kos ini Agi menyumbang seperempatnya, selebihnya ya aku. Dia tidak pernah menginap di kamar ini, tapi sering kali datang untuk sekedar lepas penat dari keluarganya, urusan pekerjaan atau cinta. Aku kantong sampah buat Agi.
“Tapi lu kantong sampah paling cakeup dan paling wangi dari semua kantong sampah yang ada,” Agi mencubit pipiku yang sudah gempal sejak lahir.
Aku sudah bilang kami berbeda kan? Agi yang sembrono dan aku yang teratur. Semasa kuliah, aku bergaul dengan para kutu buku di perpustakaan. Agi nongkrong di kantin balik semak sambil menghabiskan berbungkus-bungkus rokok dan berbotol bir sambil membicarakan revolusi bangsa ini. Aku tak pernah bolos kuliah, Agi si tukang titip absen. Aku tak pernah punya pacar, entah karena aku terlalu gemuk dan tidak menarik buat perempuan mana pun atau aku saja yang tidak pernah punya keberanian untuk menyatakan cinta. Agi… semua lelaki bermimpi untuk menidurinya. Dia cantik, tak pernah punya standar tinggi untuk lelaki yang bisa memacarinya, asal dia suka, kenapa tidak. Aku bilang menidurinya, bukan mencintainya…. Entahlah, Agi mungkin terlihat gampangan, tapi aku tahu, dia rapuh di dalam.
Aku sudah bilang kan kalau aku ini teratur? Jam 10 malam adalah jam tidurku, selalu begitu. Sampai aku kenal Agi. Dia bisa jam 2 pagi menelponku dan bilang dia sudah sampai di gerbang kosanku. Dia cuma akan bercerita tentang langit yang membentang luas tanpa batas, bebas dan lepas. Sekali waktu dia berkhayal tentang dunia di balik awan, orang-orang kecil yang melompat tanpa beban dari satu gumpalan awan ke gumpalan yang lain. Dia menemukan ayahnya yang sudah tiada belasan lalu di balik awan, tersenyum dan mengajaknya pergi. Karena itu dia sering kali takut untuk tertidur dan bermimpi tentang dunia di balik awan dengan manusia mini dan ayahnya yang memanggilnya untuk datang. Agi akan bersembunyi di balik sarungku sambil terisak. Betapa pun dia mencintai ayahnya, dia lebih mencintai hidupnya sekarang, tak siap untuk pergi dan meninggalkan segalanya.
“Bokap tersayang, aku sayang Ugi. Kalau dia masih hidup, kenapa gue yang mesti diajak mati sih.”
“Ih kenapa gue yang dibawa-bawa sih Gi, ah.”
Baru enam bulan sejak kami lulus dan memasuki dunia kerja untuk pertamakalinya. Agi harus mengubah penampilan sesuai perintah atasan dan budaya kerja di daerah Sudirman Thamrin. Kalau dulu betisnya merasa kepencet jins pensil, sekarang betis itu harus rela dibalut stoking hitam seharian, kadang sampai malam. Kalau dulu jemari kakinya merintih karena sepatu boot, sekarang tumitnya menjerit menahan hak tinggi yang menopang badannya yang langsing. Yang membuat Agi menangis adalah waktu harus menggaris matanya dengan eye liner. Air matanya berlinang. Pipinya berlapis pelembab, alas bedak dan bedak lalu matanya ditiban eye shadow berwarna-warni. Aku terbahak-bahak waktu pertama kali melihatnya dengan riasan penuh, Agi seperti badut yang cantik.
“Cari duit ternyata susah ya Gi, gue mesti cemong begini buat bisa makan,” kata Agi di depan cermin kamar kosku.
Sementara Agi bekerja di tengah kota yang katanya metropolitan dengan semua modernitas semu, aku tetap memilih menjadi penulis dan menjadikan kamar kosku sebagai rumah merangkap kantor. Agi mulai mengurangi kunjungannya ke tempatku, barangkali dia sibuk. Semakin sedikit cerita yang dia bagi denganku dan semakin banyak yang dia sebar lewat sosial media. Aku merasa semakin jauh dengan Agi. Kami berbeda dan sekarang semakin berbeda.
Agi tampil berganti-ganti pasangan dalam foto dengan berbagi pose yang dia unduh dalam laman facebooknya. Cerita yang tadinya dia bagi hanya untukku sekarang dia terjemahkan dalam status dan notes di facebook. Aku tak lagi istimewa. Bahkan kalau ayahnya kembali datang menjemputnya dalam mimpi, tentu Agi tak lagi bernegosiasi dengan mengatasnamakanku, barangkali nama yang lain.
Aku kehilangan Agi. Ugi dan Agi tak ada lagi.
Hari-hariku tanpa Agi adalah kertas dan perempuan. Iya aku tak lagi Ugi si pemalu dan hanya milik Agi. Ternyata tanpa Agi, aku berani memulai petualanganku sendiri. Bukan cinta. Mereka yang datang menyerahkan diri untuk puisiku, berharap aku mengabadikan cerita mereka dalam tulisan. Aku tak mencari cinta. Saban kali bercinta, di mataku hanya ada wajah Agi. Hatiku malu tapi tak kuasa menahan itu. Aku tidak tahu rasanya bercinta dengan Agi sahabatku sendiri, bagaimana Agi akan mendesah dan menggeliat. Sampai saat itu, aku akan kembali menjadi Ugi yang pemalu dan pengecut. Aku tak mungkin berani menghamburkan napsu untuk Agi kecuali itu kuyakin cinta. Seperti Agi bilang, aku tak kenal cinta, bagaimana aku tahu rasanya cinta. Yang pasti aku merindukan Agi, sakitnya sampai ke ulu hati.
**
“Ugi..kangen.. ngopi yuk,”
Blackberry message dari Agi dan aku tak membacanya sampai lima jam berikutnya. Aku tenggelam dalam tulisanku novelku. Aku sedang menanami hutan cerita aku dan Agi. Sejak pagi sudah kuputuskan untuk merangkum kisah Ugi dan Agi dalam sebuah cerita pendek. Kalau aku tak bisa menyatakan dan menyimpulkan perasaanku sendiri, barangkali kamu, pembaca, bisa membantuku. Tolong bantu deskripsikan apakah perasaanku ini adalah cinta?
“Agi? Maaf baru baca bbmmu, masih berminat minum kopi denganku?
Tak ada balasan.
“Agi… ada apa? Kamu dimana? Mau kujemput? Hari ini aku harus ke Bandung bertemu penerbitku, tapi bisa kutunda kalau memang kamu butuh aku.”
Lagi-lai tak ada balasan.
***
Sial betul perjalananku malam ini menuju Bandung. Baraya yang kutumpangi bermasalah, remnya berdecit saban kali supir menekan pedal. Peluh mengucur di punggung yang memaksaku terbangun, pendinginnya mati. Kami cuma bertiga di kursi penumpang. Lelaki di belakangku tak terpengaruh decit rem dan panasnya ruangan minibus ini, dia tetap tidur pulas sambil mendengkur keras.
10.30 malam kami dipaksa berganti Baraya menuju Cimahi. Perkiraan akan tiba di Bandung tengah malam. Kalau harus bermalam di Cimahi aku juga tak keberatan, tinggal pilih hotel paling murah yang ada di sana dan besok pagi bisa lanjut ke Setiabudi Bandung untuk bertemu dengan penerbitku. Mestinya aku bisa berangkat lebih awal selepas magrib misalnya, tapi aku menunggu balasan pesan dari Agi yang tak kunjung tiba.
Tak ada rasa curiga apa pun terhadap Agi, kupikir besok pagi tentu aku bisa tahu apa yang terjadi dengannya dari status di Blackberry Message, status facebook, atau di timeline twitternya. Agi yang dulunya introvert dan eksklusif hanya menceritakan padaku, sekarang seolah dunia perlu tahu apa yang dia rasa dan lakukan. Jadi kupikir tak perlu menunggu kabarnya lebih lama, aku berangkat ke Bandung.
Aku menikmati perjalanan sambil menatapi rembulan yang separuh bagiannya dilahap awan hitam di sebelah kananku. Aku takut berkedip, takut rembulan menghilang dari hadapanku. Benar saja. Sepersekian menit aku terlelap dan rembulan menghilang, dia berpindah ke sisi kiriku. Dinginnya menembus tulang, aku menarik syal coklat pemberian Agi tahun lalu lebih dekat ke leher.
Saban kali melintas Tol Cipularang di tengah gulita, aku selalu teringat pada Agi yang mencintai gelap. Menurut dia gelap penuh misteri, dia santun menerima semua duka, suka pun ketakutan, dia sepi yang menenggelamkan riuh, dia begitu tenang. “Aku ingin tenggelam buat di lautan, tapi dalam gelap.” Kata Agi di suatu waktu. Puisi Pagi, tanpa disadari dia memang lebih puitis daripada aku yang menelanjangi fakta dengan hanya memainkan kata. Agi tulus menelurkan rasa dalam kata, aku tidak.
“Apa jadinya kalau suatu saat aku keluar dari mobil ini di pinggir tol lalu berlari memasuki semak terus ke hutan dalam gelap dan tak pernah kembali.” Kata Agi suatu kami sempat liburan bersama persis di hari ulang tahunku.
Aku cuma bilang,”gila kamu.” Dan dia menjawab tanpa menolehku,”karena gue gila kenapa kita bisa bertahan jadi sahabat, lu butuh cerita buat ditulis, gue butuh tong sampah.”
KM 97, Baraya Cimahi ini kembali berhenti. Untuk ketiga kalinya kami terpaksa berpindah Baraya yang kali ini ke tujuan seharusnya, Suropati. Di pinggir jalan kami beranjak keluar dari mobil dengan kantuk yang teramat berat. Jam 10.50 malam. Waktunya tidur menurut agendaku yang teratur.
Kali ini aku kebagian duduk di samping pintu, rembulan di sisi kiri dan aku merebahkan kembali kepala sambil menatapnya. Wajah Agi di permukaan rembulan dengan senyum bibir penuhnya yang mungil. Tulisan tentang kita, rasaku kepadamu harus segera selesai. Besok waktunya aku meyakinkan penerbit dengan draft awal tentang kita.
***
KM 112, jam 11.11 malam. Sebuah mobil menepi di pinggir jembatan yang menghubungkan dua bukit di Purwakarta. Sekelebat warna hijau metalik mobil itu mengingatkanku pada mobil Agi yang pernah mengantarkan kami ke Bandung sebelumnya. Nomor polisinya tak kelihatan.
“Kasihan sekali tengah malam mobilnya rusak begitu,” batinku.
11.45 malam KM 115. Aku merogoh saku untuk membaca pesan, yang mungkin ada. Kotak biru penanda pesan blackberry message, dari Agi.
“Ugi, aku pergi ya. Aku akan bertemu gelap. Aku sayang kamu.”
Agi pergi dan mayatnya tak pernah ditemukan di KM 112