Sainsbury dekat rumah punya empat kasir. Saban kali membayar belanjaan mba dan mas kasir akan bertanya, ‘hi how are you? Do you need a bag?.’ Lalu diakhhiri dengan kalimat, ‘thank you, enjoy your day.’ Pasti, itu semua cuma basabasi dan template dari bagian pekerjaan ‘service,’ tapi paling tidak saya sebagai pelanggannya akan menyapa balik, sedikit basa basi kembali. Lalu sebulan kemarin, empat mesin ‘self check-out’ dipasang di Sainsbury. Sesuatu berubah. Saya tidak perlu menyapa mba dan mas kasir karena bisa langsung bayar, self service dan pergi. Ga ada lagi basa basi, lebih jauh dari itu shift kerja mereka mungkin berubah, jumlah mas dan mba kasir mungkin juga mengecil. Sapa butuh manusia kalau mesin sudah bisa sendiri bekerja. Di Indonesia, ga ada lagi Emma Teana yang menjaga tol dengan senyum manis karena semua tinggal tab, berangkaaat…. Berapa banyak jumlah pekerja yang dihemat dari penggunaan mesin otomatis itu?
Terus masalahnya dimana? Tanya teman saya. ‘Gue sih menikmati banget kemudahan hidup karena teknologi ini. Tinggal telpon makanan datang, semuanya tersedia di hape.’ Saya ingat jawaban singkat ketika itu, ‘karena kenyamanan yang kita punya ga rata dinikmati orang, karena masih ada ketidakadilan soal teknologi.’
Siapa yang menyangkal kalau teknologi memudahkan hidup, akses informasi berlimpah ruah, efisiensi tenaga dan waktu karena semua tersedia. Tapi pernahkah menengok ke isu lain, semisal tenaga kerja?
Teknologi tidak serta merta membuka kesempatan kerja bagi semua yang jumlah terus bertambah. Dalam kuliah yang penuh depresi tentang globalisasi, DR. Gholam Khiabany memaparkan angka yang bikin nyesek. Apple meraup profit milyaran dollar dengan hanya mempekerjakan 700ribu orang di seluruh dunia. Facebook Cuma punya 4000 pekerja dengan profit jutaan dollar ameriki. Dan whatsapp meraup 19 juta dollar dengan hanya 55 orang. Apa yang bisa disimpulkan? Iyap.. perusahaan berbasis teknologi pun ga membuka peluang cukup banyak buat lapangan kerja.
Karl Marx bilang, kelas pekerja itu adalah mereka yang jauh dari sumber produksi, sebut teknologi salah satunya, dan mereka harus menjual ‘labour’ (tenaga buruh) untuk bisa bertahan hidup. Dan jumlahnya tak terkira. Ini masalah sosial yang ada di depan mata.
Tidak semudah itu untuk bilang, ADAPT or DIE…. Some people have no choice but to DIE because they are literary cant ADAPT! Karena kesempatan buat mereka menikmati pelayanan sosial macam tersedianya lapangan pekerjaan yang layak buat semua orang, ga semua orang punya kesempatan mengecap pendidikan yang tinggi karena mahal setengah mampus, dan ga semua orang punya akses ke teknologi, even if they do, sebagian orang tidak sempat tengok hape karena harus bekerja cari makan!
Paling gampang emang menyalahkan orang miskin (definisi global MDG’s adalah hidup dibawah $2 perhari, sila dikoreksi) sebagai biang masalah, seperti itulah yang diingini pemerintah dan orang bisnis. Mereka Cuma dianggap beban negara dan perusahaan. Bahwa kegagalan hidup menjadi tanggung jawab pribadi, kurang usaha, kurang motivasi… oh betapa bahagianya jadi motivator dengan trend macam ini… padahal sejak zaman dulu kita diajari untuk gotong royong, the community does better together.
Kekerasan yang terjadi hari ini tetap ga bisa dibenarkan, tapi tolong tengok masalah dibalik itu. Ga adil rasanya untuk bilang mereka sombong, mereka sekumpulan orang bodoh nan angkuh juga vandal. Itu tidak menyelesaikan masalah, fakta bahwa setoran naik sementara penumpang menurun jumlahnya, dan biaya hidup terus tinggi…
Ini masalah bersama, mari pikirkan bersama.