Bapakku polisi. Sejak kecil aku selalu bangga dengan bapakku yang polisi itu. Setiap kali ditanya akan jadi apa aku besar nanti? Jawabku dengan mapan, jadi polwan biar bisa gantikan bapak.
Setiap pagi sebelum diminta, aku sudah berlari ke dapur mengambil sepatu bapak dan semir berwarna hitam. Aku ingin begitu bapak selesai berpatut dengan seragamnya dan celana coklat yang dia sendiri setrika karena tidak percaya pada siapa pun, karena kata bapak, tidak ada yang bisa serapi dia mempertahankan garis di celana tugasnya, dia akan mendapati sepatunya yang mengilap setiap saat.
Sepatu lars bapak itu adalah hal lain yang aku sayang dari bapak. Di atas sepatu lars itu, aku pernah berdansa dengan bapak yang tinggi tegap dan sangat tampan. Aku menginjak sepatu lars bapak agar bapak bisa menggenggam tanganku sambil kami menari. Lagunya bisa apa saja, bahkan dengan dangdut kesukaan bapak.
1998, awal ketegangan kami. Bapak adalah petugas negara dan aku mahasiswa yang meletup-letup mengikuti perkembangan reformasi. Di rumah kami berdebat tanpa henti. Aku lebih senang kami tidak bertemu agar ibu tak ikutan pusing dengan debat panjang kami yang berakhir biasanya dengan bapak melempar asbak karena kalah berdebat denganku. Sebelum ini bapak tak pernah marah padaku, dan aku tak pernah melawannya, karena tidak ada yang perlu didebat. Sampai aku merasa besar, dewasa dan bisa menentukan pendapatku sendiri, entah benar atau tidak, kala itu, aku merasa sangat perlu berada di barisan mahasiswa yang menentang Soeharto. Bapak panik.
“Tidak perlu kamu ikut-ikutan mahasiswa lain. Uang kuliahmu itu pakai uang negara, bapakmu ini masih digaji negara. Ga usah macem-macem. Awas, ga usah ikutan demo.”
“Bapak dibayar negara, pakai uang pajak rakyat. Bukan oleh Soeharto pak. Kalau perlu bapak ikut sama aku berdemo.”
Kesal kusahuti omongannya, bapak berlalu sambil meninju pintu dapur hingga bolong.
Lalu kekerasan terjadi, mahasiswa terbunuh. Apakah bapakku ikut-ikutan mengusir kawan-kawanku di lapangan? Apakah bapakku ikut menginjak kawan-kawan dengan sepatu larsnya yang aku semir saban pagi itu?
Aku tidak berani bertanya, lebih tidak berani lagi mendengar jawabannya. Bagaimana jika semua itu benar, sepatu lars itu menyakiti temanku. Aku tidak lagi berani bilang, bapakku polisi, takut kawan-kawanku bertemu dengannya dan tahu apa yang dilakukan bapakku dengan sepatu larsnya.
Aku diam, kami tak lagi sedekat dulu. Sepatu lars itu menakutkan bagiku. Dia telah mengikuti bapakku kemanapun dia pergi. Sepatu itu menjadi saksi apa yang dilakukan oleh bapakku. Aku menolak menyemir sepatu lars itu.
2003, bapak pensiun dan jatuh sakit. Kata orang kena post power syndrome, biasanya bapak tidak punya waktu istirahat karena sibuk, kali itu bapak punya waktu istirahat dan bingung karena tidak punya kesibukan. Sakit mendekatkan aku kembali padanya. Bapak hanya mau ditemani aku saat dokter menyelipkan infus di balik kulit tipisnya. Bapak menggenggam erat tanganku ketika selang makan ditanam paksa lewat hidungnya. Sakit kata bapak.
Sepatu larsnya dekil. Tidak ada yang sempat menyemirnya karena ibu berbulan-bulan di rumah sakit dan aku sibuk mencari uang untuk menutupi biaya rumah sakit dan kebutuhan sehari-hari. Sepatu lars itu membisu di dapur ditemani semir hitam pasangannya.
“Bapakmu itu polisi yang baik, teramat jujur. Itulah yang membuatnya susah naik pangkat. Selamanya cuma jadi polisi lalu lintas tua yang ada berdiri di perempatan jalan, sampai paru-parunya bolong karena polusi. Siapa peduli.” Om Budi sahabat bapak sejak kecil menemaniku makan siang usai menjenguk bapak siang itu.
Aku hanya menarik napas mendengarkan ceritanya.
“Pernah sesekali kamu mengintip bagaimana bapakmu bekerja? Apa kamu tahu dia adalah polisi lalu lintas yang paling terkenal di wilayah ini? Wajahnya yang garang tidak sama dengan hatinya yang lembut. Bapakmu itu sahabat supir angkot karena tidak pernah menerima suap, tidak iseng menilang orang, dan dia melakukan apa yang mestinya dilakukan. Kamu boleh meragukan bapakmu yang polisi itu karena di luar sana lebih banyak polisi yang tidak benar. Barangkali bapakmu memang satu polisi yang jujur dari ratusan yang tidak. Harusnya kamu tidak meragukan integritas bapakmu sendiri. Kalau bapakmu tidak jujur, sudah kaya lah kau sejak kecil, bukan tinggal blusukan di petakan kumuh seumur hidupmu.”
Sejak hari itu sepatu lars bapak kembali mengilap. Dalam tidurnya, aku berbisik di kuping bapak, “cepatlah sembuh pak, aku mau menginjak sepatu bapak lagi dan kita berdansa pakai lagu Mansyur S.”
Bapak tersenyum, aku tahu dia mendengar suaraku.
Tapi pagi itu aku panic sepatu lars bapak hilang, hilang tanpa jejak. Dari semua barang di rumah sempit kami, hanya sepatu bapak yang hilang, lengkap dengan semirnya. Aku cari dari mulai dapur, ruang tengah, kamar tidur, sampai kamar mandi sampai ibu telpon.
“Bapakmu sudah pergi Yan.”
(Terinspirasi cerita akang tentang Pak Magrib, polisi di Cimahi, sahabat supir angkot dan terkenal di salah satu jalan. Mendahului tugas akang menulis artikel tentangnya :-))