Monthly Archives: September 2021

Let’s talk about knowledge and intellectual on BTS RM’s birthday

Standar
Let’s talk about knowledge and intellectual on BTS RM’s birthday

It has been a hot topic between me and friends about how much a trainer cost for one session. One name said he asks for five million rupiahs per hour, but unfortunately the program does not have that much for a trainer cost. I know it is not cheap to get knowledge, you pay for your college, books, time and energy and I would not be surprise if someone making money from it.

However, for someone who was living underprivilege once, I know how expensive education is. I used to sell my only gold necklace from my mom to buy a book, because no one I can borrow to. The only corruption my late father did was copy the original books for me to read at schools. My mom gave me money for one ticket to college and packs of meals for me to sell if I wish to return home. I spent nights to rewrite from the book that belong to my friend so I can re-read it again before the exam. I know that feeling, when you really want to learn something but have a very limited access to it.

I graduate bachelor with two scholarships and master with a very prestigious scholarship from UK Government. Now, that I have money to buy books and I spent millions monthly for books, I know it is part of my privilege that once I got thanks to scholarships. I am very aware that there are million girls and boys, people underprivilege that like me, knowledge enthusiast with limited access.

I got my knowledge, my skill “freely” and since then I promise myself to distribute what I have to everyone. Knowledge distribution is as important as knowledge production – Gramsci. Therefore, I never put price on my self when it comes to knowledge sharing. If my knowledge and skill can somehow help someone to change or benefits to something, that’s enough for me. Money can come afterward; sharing will never make me broke.

On knowledge and intellectual, I am with Gramsci, because our focus is about the change itself, how a narrative of knowledge can be produced and distribute by the intellectual in a social group. I am reading Gramsci’s Common Sense book at the moment but already captive by it. Although Gramsci is very open for anyone perspectives on what he means by intellectual, but what I understand is that intellectual is a vocational work on processing, producing and distributing knowledge, have the power to spread narratives and to change common or good sense of a group that they belong. Intellectual is never independent because knowledge produced from social interaction and narrative. Intellectual can also represent a group knowledge. Anyone can be an intellectual as long as he or she within his and her knowledge can make a change something or to maintain the status quo.   

Now let us meet Kim Namjoon, BTS member who also known as RM – Rap Monster. He has the highest IQ in the group with 148 score, had TOEIC score of 900 from 990, a bookworm and to me he is very political. He transferred and share his knowledge through lyrics of BTS songs, and his speech. He is the leader of BTS , he got the full power to create narratives that moves his people called ARMY. He has the knowledge, and he is an intellectual that Gramsci mention.

On 2018, RM lead BTS and speech at the UN General Assembly and said  “Tell me your story. I want to hear your voice, and I want to hear your conviction. No matter who you are, where you’re from, your skin colour, gender identity: speak yourself.” Those lines have been spread around the globe, stuck on ARMY’s mind and it does change life of ARMY’s. I must say that I know BTS also from his speech that my niece sent me. She herself change once she embraces Namjoon words. You can read his full speech here: https://www.unicef.org/press-releases/we-have-learned-love-ourselves-so-now-i-urge-you-speak-yourself

Youth has been seen as part of the exclusion social group. Youth is excluded from the process of decision making in political realm that most of the time related to their future. Youth voice is excluded from adult status quo in many issues. Nevertheless, as a social group, youth create and produce their own knowledge and narratives. They also produce organic intellectual that can speak on their behalf and I believe BTS is one of them.

If you study the inequality narratives and want to understand what anthropologist said subaltern narratives, then following and listening their life, is so fascinating. I am still learning about BTS and the realm that their create and how they become intellectuals for the ARMY-BTS relationship.

Time to say HAPPY BIRTHDAY KIM Namjoon, stay healthy and stay in power, you need it to make a bigger impact to your fellow youth. Lead us, lead them to create a better future for themselves and for all.

Iklan

Perbedaan Fasilitator, Moderator, MC, dan Motivator

Standar
Perbedaan Fasilitator, Moderator, MC, dan Motivator

Setiap kali saya mengenalkan diri sebagai fasilitator, yang pertama terbayang oleh lawan bicara saya adalah moderator. Oh, nanti berarti Mbak-nya yang mengantarkan diskusi, menyimpulkan dan memancing tanya jawab dengan audiens kan? Bukan, kata saya, itu moderator, saya fasilitator. Lalu disambut jeda…. Silent… oh okay okay, jawabnya, padahal saya yakin belum okay di kepalanya. Begitu juga ketika dalam sebuah program dimasukan post fasilitator, tim keuangan lantas menyamakan honornya dengan mc dan moderator.

Lalu ada motivator. Seringkali yang ditunjuk sebagai moderator atau fasilitator malah terjebak jadi motivator, self-center, merujuk melulu pada dirinya lalu melontarkan petuah-petuah bijak. Mikropon itu memang dahsyat kekuatannya, seperti cincin dalam film Lord of The Ring. Siapa yang memegang mikropon, mendadak merasa punya superpower untuk memengaruhi orang lain. Jadi inget mantan satpam di kantor lama, dia paling seneng dikasih tugas check-sound lalu berakhir dengan kultum dan nyanyi-nyanyi gembira. Dia gembira, kami bengong.

Baiklah, saya akan coba dengan bahasa bayi menjelaskan dimana perbedaan Fasilitator, Moderator, MC dan Motivator.

Fasilitator. Arti paling sederhana adalah orang yang memudahkan proses. Biasanya saya diundang untuk membantu proses konsultasi publik yang pesertanya berasal dari beragam latar belakang. Fasilitator tugasnya mendapatkan tanggapan, masukan, ide dari semua orang secara inklusif dan partisipatif. Semua punya kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat dan didengarkan pendapatnya.

Fasilitator tidak boleh menggiring jawab pada tujuan tertentu, untuk sepakat atau tidak sepakat pada satu hal. Tapi memancing peserta untuk berpartisipasi penuh dalam tujuan pertemuan. Boleh merangkum jawaban tapi tidak boleh menyimpulkan. Fasilitator wajib menguasai berbagai tools atau alat kreatif yang memudahkan proses pengumpulan pendapat, mengajak orang terlibat dalam proses.

Moderator. Arti sederhananya moderasi atau menengahi. Ya betul, moderator hadir di tengah diskusi atau debat yang diadakan. Idealnya dalam sebuah diskusi narasumber yang dihadirkan mewakili perbedaan pandangan di publik, dan moderator berada di tengah-tengah. Moderator memastikan kedua perbedaan pandangan bisa dapat porsi yang seimbang. Merangkum dan membuat kesimpulan, menjadi bagian dari tugas moderator.

Meski tugasnya berbeda, fasilitator dan moderator wajib, fardhu kifayah untuk menguasai materi yang dibawakannya. Ini tidak bisa ditawar-tawar dan persiapannya tidak bisa dalam kebut satu malam. Keduanya harus membaca materi, mengubahnya menjadi narasi yang mengalir. Fasilitator dan Moderator harus mengenal narasumber dan audiensnya, menyesuaikan bahasa agar mudah dipahami oleh peserta atau audiensnya.

Karena itu saya sudah sebal kalau ada yang merendahkan profesi ini, persiapannya lama. Berat tahu! Dilan aja belum tentu sanggup memikulnya.

Lalu ada MC. MC atau master of ceremony, dia mengantarkan sebuah acara, perhelatan, seremoni. Yang harus dikuasai adalah panggungnya, dan agenda acara. Makdarit kalau agenda berubah dalam waktu sepersekian menit sebelum acara mulai, MC mukanya udah berlipat tujuh. Kalau ada yang salah penyebutan nama atau agenda acara, MC mempertaruhkan reputasinya di depan orang banyak loh.

Terakhir Motivator, tentu orang yang memotivasi audiens. Dengan pengalaman dan pengetahuannya seorang motivator akan bicara untuk menggerakkan audiens berbuat atau berpikir sepertinya. Ada banyak sekali motivator sekarang ini, kamu pasti lebih paham daripada saya.

Saya bukan motivator, da aku mah apa atuh. Sejak 2015, saya jadi fasilitator setelah lulus dari Inspirit Vibrant Fasilitator kelas. Bagaimana menguasai kelas, itu soal jam terbang, practice, practice and practice. Sampai hari ini saya masih belajar untuk kreatif agar kelas tidak membosankan, mengendalikan emosi sebelum kelas dimulai.

Selain jadi fasilitator, saya masih warawiri di dunia moderasi. Saat jadi moderator, saya akan kurang senyumnya karena harus konsentrasi menangkap percakapan narasumber. Prinsip yang saya pegang adalah moderator sebagai penengah bukan narasumber, jadi jangan sok pinter dari narasumbernya, atau menggiring percakapan agar menyepakati pendapat saya. My opinion is not matter, karena bukan di situ tugasnya.

Semua pekerjaan di atas adalah penampil dan harus bisa menampilkan “pertunjukan” yang terbaik. Menyiapkan mental dan fisik adalah bagian dari pekerjaan. Suara harus dieman-eman, banyak minum air putih, tempo harus dijaga – yang ini masih terus belajar, karena saya kalau ngomong merepet macam rapper. Tidur cukup sebelum tampil, bahasa tubuh harus diperhatikan, dan mental juga harus dijaga. Sebelum tampil, saya tidur cantik, minum kopi dan mendengarkan music yang enak. Sekalipun sekarang panggung itu virtual, saya tetap melakukan ritual yang sama. Mandi dan sikat gigi, penting bukan buat orang lain, tapi buat menaikan mood sendiri.

Ini bukan soal bakat, ini adalah skill atau keahlian yang bisa dipelajari dan menghasilkan cuan. Silakan dikuasai.

Feminisme dari kelompok marjinal dan hal-hal yang luput dari perjuangan. Review Hood Feminism – Mikki Kendall

Standar
Feminisme dari kelompok marjinal dan hal-hal yang luput dari perjuangan. Review Hood Feminism – Mikki Kendall

Mikki Kendall adalah feminist, berkulit hitam dan besar di lingkungan tempat tinggal kulit hitam. Adalah neneknya yang menanamkan prinsip semua anak dan cucu wajib punya pendidikan yang tinggi. Kendall kutu buku, sementara sebagian besar teman sebayanya putus sekolah lalu mengandalkan jalanan untuk bertahan hidup. Kendall tumbuh menjadi feminis  dari lingkungan termajinalkan dalam kehidupan Amerika Serikat.

Dalam buku ini Kendall mengritik gerakan mainstream feminis yang utamanya digawangi oleh kelompok feminis kulit putih. Kata dia sebagian besar gerakan feminism di Amerika gagal karena tidak melihat pada kepentingan kelompok marjinal, tapi gerakan ditujukan untuk mengamankan kenyamanan kelompok menengah dan kulit putih.

Kendall mengajak kita kenalan pada isu-isu yang tak disentuh oleh banyak gerakan mainstream. Saat kita bicara tentang kemiskinan, seringkali kita fokus bahwa kemiskinan adalah persoalan individual. Nope. Kemiskinan adalah sistem. Dalam kelompok marjinal, akses pada pendidikan, peningkatan ekonomi, terbatas. Di buku ini topik bahasan utama bukan langsung menyasar pada pendidikan, tapi tentang kepemilikan senjata. Di Amerika, orang boleh memiliki izin punya senjata, tapi lihatlah kelompok mana yang akhirnya menjadi korban dari kekerasan, brutalan polisi. Kelompok kulit berwarna menjadikan mereka sasaran empuk pada pemegang senjata, dan polisi.

Lalu tentang rasa lapar, ketika feminism bicara tentang hak-hak perempuan, mereka melupakan kenyataan tentang rasa lapar yang harus dipenuhi dengan cara apapun. Kendall pernah menjadi orang tua tunggal setelah bercerai dari suaminya yang abusive, dan dia harus antri kupon makanan untuk bertahan hidup bersama anaknya. Menjadi kepala keluarga tunggal buat perempuan tidak mudah, kalau dia harus bekerja untuk mencari nafkah, dia harus meninggalkan anak-anakya di rumah sendirian atau menitipkan pada pengasuh atau day care yang artinya tambahan biaya yang harus dipenuhi.

Tentang pendidikan, hak pada reproduksi, rumah justru ada di bagian-bagian akhir dibahas oleh Kendall. Dia mengajak pembaca untuk melihat gambaran yang lebih luas, tentang stigma, sistem yang membuat kelompok marjinal tak punya pilihan. Dia ingin mengajak lagi feminis melihat pada akar perjuangan, bahwa feminism adalah perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan buat semua, melewati gender, race, status ekonomi dan sosial.

Ketika dia bicara tentang war on drug, memerangi narkoba, dia menyentil bagaimana mainstream media dan kebanyakan orang hanya melihat narkoba sebagai setan. Apakah kamu pernah tahu cerita anak-anak yang harus mencari uang untuk membantu ibu tunggalnya dan adiknya untuk bertahan ditambah nenek yang sakit-sakitan? Pernahkah kita tahu cerita di balik mereka yang terjebak dalam kejahatan?

Berkali-kali Kendall dalam buku ini menyebutkan betapa beruntungnya dia bisa bertahan hingga sekarang. Pendidikan yang ditanamkan neneknya, ibunya menyelamatkannya. Begitu juga dengan guru-guru yang melihat potensi di dirinya, keluarga besar yang menjaganya. Tapi ada banyak sekali anak perempuan yang tidak seberuntung dia.

Feminis yang lahir dan besar dengan pengalaman barangkali tidak sama dengan mereka yang menjadi feminis dengan buku. Kendall adalah feminis yang tak akan ragu untuk maju melawan ketidakadilan yang dia lihat di depan mata. Kita memang harus marah jika melihat dan tahu hal itu terjadi, lalu apa yang bisa kita lakukan untuk memastikan ketidakadilan bisa diubah menjadi keadilan? Kesetaraan dan keadilan buat Kendall adalah tentang akses yang sama untuk pemenuhan kebutuhan dasar.

Membaca buku ini seperti diajak jalan-jalan ke masa kecil saya yang juga besar dalam lingkungan padat penduduk di Jakarta Selatan. Rekan sebaya saya sebagaian besar yang laki-laki berakhir dengan narkoba, yang meninggal karena over dosis, meninggal di penjara karena digebukin, dan yang mati karena sakit menahun akibat obat. Rekan sebaya perempuan ada yang berakhir di jalanan, dari satu laki-laki ke laki-laki lain, yang meninggalkan sekolah karena hamil duluan. Papi dan mami saya sangat ketat menjaga agar saya tak terpengaruh pergaulan di rumah. Setiap pukul 19, papi akan berdiri di depan pintu memastikan saya kembali ke rumah dan jangan harap bisa keluar lagi.

Saya adalah Kendall yang beruntung punya orang tua yang menjaga ketat dan mendidik saya dengan keras. Di sisi lain, saya adalah anak dari isteri kedua, anak ke tujuh dari tiga belas bersaudara se ayah. Ayah saya punya 3 orang isteri. Ketika feminis dan kelompok Islam garis keras berdebat tentang poligami dalam sisi agama dan hak-hak perempuan, nyaris tidak ada yang meyentuh dan bertanya bagaimana anak-anak dari keluarga poligami ini bertumbuh secara fisik dan mental. Buat saya berat sekali percaya bahwa institusi pernikahan adalah perlu dan penting. Saya memang menikah atas kesadaran penuh dan pilihan sendiri tanpa tekanan siapa pun. Itu tidak terjadi sampai di usia 39 tahun, ketika saya yakin jika ada hal buruk terjadi, I can just packed my bag and leave, saya mampu berdiri di atas kaki sendiri. Sampai hari ini saya tetap bilang, pernikahan bukan kuncian buat bahagia, itu cuma satu pilihan dalam hidup dan pilihlah yang bijak untuk dirimu sendiri.

Feminisme saya lahir dari pengalaman, melihat kehidupan mami yang dipoligami, bertahan demi anak-anaknya yang sempat membuat saya murka karena dia bisa saja bahagia dengan berpisah dan kami anak-anaknya tetap akan baik-baik saja. Feminism saya lahir dari hidup di tengah lingkungan yang marjinal, anak-anak yang tak punya akses pada pendidikan karena miskin, ajaran agama dan budaya yang patriarki. Feminisme saya lahir dari pengalaman pernah dilecehkan di bis ketika seorang laki-laki meraba payudara saat saya tertidur, ketika tersadar dia langsung lari dan saya terpaku, diam, bingung dan merasa kotor. Bangsat itu semoga hidupnya tak pernah tenang.  Buku-buku tentang feminism baru saya baca ketika kuliah dan diskusi akademis.

Saya sepakat dengan Kendall, feminism bukan sekedar perbincangan dan hingar-bingar kampanye di sosial media, tapi buat aksi yang memastikan kita bisa menutup kesenjangan dan memastikan kesetaraan dan keadilan itu terjadi, sebuah gerakan yang memahami dan memenuhi kebutuhan di tingkat tapak.  

Using Pop Culture to Counter the Hegemonic. Notes for BTS Jungkook Birthday

Standar
Using Pop Culture to Counter the Hegemonic. Notes for BTS Jungkook Birthday

Since I fall happily into the BTS’s rabbit hole, I use them not only to make me happy (as Jin and RM told us to) but as my production means. Does it make me sounds academic?

I work around the issues of Gender and Social Inclusion and whenever I do the training or work or people recognize me as a feminist, there are some resistances, I can hear “sigh” from the audience even just looking at their changing faces. Why do we need to learn about gender? Are you trying to change our habit, beliefs and culture? Why is it so important for us to know the different between sex and gender? There is no such as a social exclusion in our community. Such a basic and common comment I have every time we have the session.

It is so challenging and for those who knows me well, I really love challenges, they make me feel alive and useful. So, the first important thing I prepare when I do the training or talking is an ice breaking. I tend to make myself “fool” and funny in front of everyone. Music is a universal language that can break any language barrier, after all, you can always find video with the lyric if you want to understand it. So, I use music one. For adult audience, I use dangdut, I use pop music. For young audience, BTS is on the playlist and I open for a request. I use premium Spotify – damn I should get a discount for using it for a good cause. Not just for a smile and a head banging session, you can challenge the audience with asking them about the message in the lyric, what issues are the singers wants to challenge? And you can find interesting answers. Making gender issues as public talks is fun, there is where you start, where I start. Here are some pictures to challenge the hegemonic of gender role, the patriarch culture. I put not only BTS, because they are not the only one who challenge the hegemonic.

skirt is neutral gender
everyone can cook

Currently, Indonesian officer has been busy repainting wall that being used by artists to spread their messages, a critique to the authorities. Followed by the respond from the government that if you have something to say, better to have a dialogue, how government is very open for one. What a polite argument, while at the same time, officers have been put the painters on the list to catch like a criminal. Is that how you treat people with some critiques? I know the hegemonic is very annoyed with Bansky’s and painters or artist who followed him. If the dialogue is open for every one equally dan fairly, they might not use the mural, and other art to send their message.  The more tense of pressure the authorities give, the more resistance they will get.

Why pop culture?

Pop culture has two characteristics; it is dynamically expressive, and it is accessible. Popular culture acts both as a means for us to have enjoyable and emotional experiences with characters, places, things, or situations that we may not otherwise experience—perhaps because they are not even real—and a means for us to define our social reality (Doveling et al. (2014). Emotions and mass media: an interdisciplinary approach. In Doveling, et al. (Eds.), Routledge Handbook of Emotions and Mass Media)

However, during my times talking about social inclusion how youth for example feeling being exclude from the public decision-making process while they feel “home” and belong around their groups as fandom. When we are talking about pop culture, it is not only about music, but also movies, sports, where their fans develop their own identity and values. So pop culture is not just about the mass-product of art but we can look at it from the social movement and politic perspectives as an agent of change. I am not saying like a changing behavior because it will take long times, but through this pop culture and fandom life, we can find the change of perspectives, identity and public discourses. Like countering the patriarch culture, erasing gender gap, and creating an equal and inclusion society is so big that is not happening in short time, even if the struggle has been running for decades. However, being able to make gender issues as a public talk and discourses, and people can recognize social exclusion while talking and taking a small step toward inclusion, is some of an achievement. And I prefer using pop culture in doing it, as means of production of consent. Using the same “weapon” to manufacture of consent. The hegemonic occupied the media mainstream, and maintaining the culture as status quo, while I and we can use the pop culture to counter it. And why not!

I should mention that it has been eight months since I fall happily and become an ARMY, an adult ARMY. I see how ARMY doing good things and the individual feelings that they do change how they thoughts and behave in daily life. One of my friend said “my husband is very supportive to me because he sees that being ARMY is changing me into a better person.”

If you read this article: https://www.koreaboo.com/news/turkey-government-investigating-kpop-threatens-traditional-values/ you will find how the hegemonic is feeling threat by pop culture, have we won yet? Nope, a long way to go. But at least it is there, the change is in everyone’s mind.

Time for me to go and leave your brain digest this mumbling thought of mine. Let me leave by saying Happy Birthday to the golden Maknae, Jeon Jungkook! I really love your kindness, duality, and your puppy eyes when you are excited on something or being zonk into your own world. I love your painting both the natural one and the abstract one. I don’t have to say that I love your voice anymore because I listen to yours and BTS every day! Stay healthy and happy JK, you deserve every second of happiness in life.