Monthly Archives: Februari 2018

Micin, Chiki dan Juki #9

Standar

Saban kali membaca di sosmed bagaimana generasi ‘Micin’ atau mereka sebut juga Bani Micin dibully sebagai generasi terdepan yang kosong pengetahuan dan sejarah, saya ngikik loh. Dude, who is generasi Micin sebenarnya?

Yang merasa paling keren dan bukan generasi micin, menurut perhitungan kasar adalah mereka yang sekarang ini usianya baru masuk 30an, 40an, 50an. Generasi micin yang kalian sebut itu artinya mereka di bawah 30an ya. Yaelah…

Saya, bentar lagi mau masup 40an dan merasa terpanggil untuk merapat di generasi Micin sebenarnya. Generasi saya dijejali makan siang, atau malam dengan bakso MICIN dengan nasi. Hayo ngaku! Generasi saya doyan banget Chiki, itu makanan MICIN paling ngehits di zaman saya ke bawah. Generasi saya yang hidup di kota dan pinggiriannya, sok sok an pengen modern dengan Chiki, lalu Chitato dan semua micin-micinan. Begitu keluar dari rumah untuk kuliah atau kerja, micin lagi yang dimakan, MIE INSTAN! Woohoo… pagi siang malam, cepat, gampang, murah, kenyang. Micin lagi!

Setelah angkatan saya menikah dan punya anak, mereka berubah, micin dianggap najis yang ga mungkin diberi ke anak-anak mereka. Gaya hidup mereka dipaksakan sehat, vegetarian, diet anu ini, frutarian, olahraga, semedi… tapi mereka tetap pernah besar dengan MICIN!

Nah terus generasi atau Bani Micin ini emangnya lahir dari batu? Ya lahir dari generasi saya dan kamu lah,yang juga dibedong dan disuapin pake Micin. Saya bahkan ga yakin anak-anak sekarang doyan chiki, apalagi dengan tren hippies, hidup sehat yang baru-baru ini. Jadi siapa yang micin? Kita lah!

Generasi yang kalian sebut Bani Micin tanpa isi itu anak-anak kita loh, adik-adik kita. Kalau mereka kosong, yang salah siapa? Kita lah yang tidak mengisi mereka dengan nilai-nilai yang menurut kita ‘baik’ eh nilai kamu deh, kan saya ga ikutan ngebully huehehe.

Mereka yang lahir setelah saya itu menanggung beban berat akibat kerusakan yang dibuat generasi saya dan sebelum saya. Mereka tidak lagi bisa menikmati sekolah murah, rentan sakit karena hidup di tengah polusi, diiming-imingi kesejahteraan yang semua. Ga sanggup beli rumah karena harganya terus melangit, ga bisa kerja enak karena persaingan kian ketat. Ga bisa hidup di ‘rumah’ yang menjejak di tanah karena ruang yang kian sempit. Diajakin travelling yang iya kali bayar pake daun. Dikenalkan technologi sejak bayi, giliran addictive, dimarahin! Lah yang mencipta itu teknologi itu sapa? Yang ngasih semua kemudahan itu siapa? Yang memanjakan mereka itu siapa? Kamu, ya kamu….

Generasi micin, yang warisan dunianya tidak lebih baik, semakin buruk dan terpuruk. No thanks to generasi baby boomers dan setelahnya. Iya saya dan kamu yang bertanggungjawab pada masa depan mereka.

Kemarin saya beli Chiki dan komik Juki. Chiki itu konsumsi anakanak generasi saya dan Juki itu seyogyanya milik generasi ‘micin’. Cukup beberapa jam aja menghabiskan Juki, lalu saya terkagum-kagum. Juki bisa bicara dengan generasi sekarang dengan penuh idealisme yang dibungkus cerita eek dan mie instan. Bisa tertawa ngikik tapi sebenarnya anak-anak ini sedang dijejali hal serius, tentang eksploitasi dalam dunia seni, tentang hak untuk berpendapat dan menjadi beda, menjadi diri sendiri, tentang undang-undang berserikat dan masa depan.

Juki pointed something yang sangat penting dan saya aja ga kepikiran, bagaimana berharap mahasiswa pintar kalau belajar mereka terbebani biaya kuliah, kos dan makan, bagaimana pintar kalau asupan mereka cuma mie instan dan bakso. Ini kan masalah klasik yang ga pernah dipikirin orang banyak karena dianggap tanggungan keluarga, itulah yang disebut kemiskinan dan kebodohan terstruktur, bodoh by design.

Sekali lagi saya mencoba bandingin dengan masa saya sekolah di negeri seberang. Ada makan gratis dari gereja setiap rabu, ada bantuan susu coklat setiap senin malam, ada psikolog gratis di kampus, ada kegiatan mewarnai di perpustakaan sampai acara dansa. Semua yang kekinian untuk menjaga mahasiswanya tetap waras lahir batin.

Juki bisa mengubah generasi muda ini menjadi lebih baik dengan caranya. Selain ngatain mereka Bani Micin, lu bisa apa?

Iklan

Menyelami Cinta Bersama Murakami #8 review: Men Without Women

Standar

Buku ini adalah kumpulan 7 cerita pendek yang (sigh) ternyata saya sudah punya versi soft copy nya, versi e-booknya. Tapi sekalipun sudah baca sebelumnya, tetap aja tersihir Murakami, lagi dan lagi. Dari tujuh cerita pendek: Drive My Car, An Independent Organ dan Men Without Women, bikin saya termehek-mehek, tertusuk sembilu, berasa bener.

Drive My Car, bisakah kamu bersahabat dengan orang yang menjadi selingkuhan pasanganmu? Sebagai seorang aktof Kafuku keluar dari karakter aselinya untuk berteman dengan lelaki yang dia yakini pernah tidur dengan mendiang isterinya. Somehow you just know! Tapi pertanyaan yang tak pernah bisa dia dapat adalah kenapa isterinya memilih lelaki itu sebagai selingkuhannya, apa yang dicari, apa yang kurang dari dirinya.

An Independent Organ, jatuh cinta itu menyakitkan, yet, you cant stop the feeling. Tokai, dokter bedah plastik yang tidak pernah jatuh cinta selama 30 tahun terakhir. Dia menikmati hubungan tanpa statusnya dengan berbagai perempuan, empat sampai lima kali sekaligus yang jam dan tempat pertemuannya diatur secara professional oleh asisten pribadinya. Sampai suatu kali bertemu dengan perempuan yang sudah menikah dan punya seorang anak lelaki. Tokai jatuh cinta, tapi perempuan itu berkata tak bisa meninggalkan suaminya. Suatu hari perempuan itu meninggalkan suaminya tapi bukan untuk Tokai. Patah hati, Tokai memilih mati, meninggalkan jasadnya tanpa makan selama dua bulan, tanpa bergerak sama sekali dari tidurnya.

Men Without Women, kematian bekas kekasih yang membuatmu terjungkal kembali ke masa lalu, masa sekolah. Cinta itu tak pernah pergi, dia hanya idle, menanti dipanggil oleh moment. Yang dibawa pergi oleh perempuan itu adalah dia yang berusia 16 tahun, yang menantinya sampai perempuan itu kembali suatu hari padanya. Perempuan itu tak pernah kembali, kecuali ketika suaminya menelpon lelaki itu untuk mengabari tentang kematiannya.

Ah saya ikutan patah hati ☹ Murakami memang jahat, cara dia bercerita begitu dekat, seringkali kelam, so dark, sisi yang hampir semua orang ingin tinggalkan. Murakami tidak pernah gagal menyungkil rasa saya.murakami

Menikmati hidup dengan membaca. Review #7 Neil Gaiman: the view from the cheap seats

Standar

Perjumpaan saya dengan Neil Gaiman justru dimulai dengan film Stardust, film yang menyisipkan kesan tentang khayalan. Karena memang suka sekali memandangi langit malam hari, film itu seperti membenarkan khayalan selama ini, ada sesuatu di angkasa, bintang yang berpenghuni. Khayalan itu masih berlaku sampai hari ini.

Untuk alasan yang sama, Neil Gaiman menuliskan cerita Stardust ini. Di dalam buku the view from the cheap seats, dia cerita kalau Stardust memang dongeng untuk orang dewasa. Imajinasi itu tak boleh mati meski usia bertambah. Imajinasi yang mengasah intelejensia kita. Meminjam kata-kata Einsten, Gaiman menulis, ketika Einsten ditanya bagaimana membuat anak-anak menjadi pintar, dia menjawab sederhana. ‘Kalau ingin anak-anakmu pintar, bacakan dongeng. Kalau ingin mereka lebih pintar, bacakan lebih banyak dongeng.’

Saya merasa dekat dengan Gaiman lewat buku, kumpulan tulisan non fiksi, tentang pengalaman konyolnya dia duduk sebagai undangan di penghargaan Oscar, tentang kecintaannya pada membaca dan menulis. Saya tahu saya jatuh cinta pada Gaiman di kalimat pertama pengantarnya, ‘saya menulis fiksi untuk mengungkapkan kebenaran tanpa perlu dibebani data dan fakta.’ Gaiman bekas jurnalis, saya juga. Sebagaimana kami menaruh hormat pada profesi jurnalis, tapi diluar sana, menjadi jurnalis yang independen dan berintegritas, susah, susah sekali. Selama masih menggantungkan hidup pada perusahaan media yang dikuasai kepentingan pemilik modal, ya sudahlah.

Gaiman percaya menulis novel adalah cara lain untuk mengungkapkan fakta. Cara terbaik mengasah empati. Di tengah dunia yang terburu-buru, diburu kemajuan teknologi, duduk santai, membaca buku fiksi dan non-fiksi, membuat kita ‘slowing down’, pelan tanpa ketinggalan, membuat kita kritis. Berhenti, menganalisa baru jika perlu, berkomentar, bersikap. Buat apa sik buru-buru menyimpulkan sesuatu tanpa dikunyah, nanti kamu keselek, gitulah kirakira.

Sejak umur 7 tahun, Gaiman ‘dititipkan’ orang tuanya di perpustakaan di lingkungan rumahnya saat keduanya bekerja. Di sanalah, Gaiman membaca semua jenis buku, semua jenis cerita, semua jenis fakta dan data. Pustakawan merangkap baby sitter, sst jangan bilang-bilang, kata dia, menjadi orang tua kedua yang mendidiknya.

Buat Gaiman, tidak ada buku yang jelek, tidak ada pengarang yang buruk. Semua soal preferensi, pilihan. Buatnya hanya ada buku yang paling dia sukai, dan kurang dia sukai, tapi bukan karena cerita yang disajikan buruk. Untuk anak-anak, tidak perlu itu dikategorikan bagus atau tidak untuk mereka. Bebaskan anak-anak membaca, apa saja, apa saja!! Untuk apa orang tua memberikan pilihan menurut mereka sendiri. Anak-anak menyerap lebih baik, mereka punya hak untuk memilih bagi dirinya. Dan tak ada cerita yang buruk, yang ada hanya lebih disukai dan kurang disukai.

Saya lalu ingat deretan buku yang menemani dulu waktu kecil, mulai dari bobo, nina, koping ho, 212 wirosableng, sampai karya tatang s. Semua dikunyah, waktu itu mentah-mentah, sekarangkan sudah besar bisa mencerna. Eh ada deng orang dewasa yang gagal mencerna, mungkin dia sakit…

Anyway, Gaiman bilang buku ini bukan cerita yang perlu dihabiskan seluruhnya, dan boleh memilih sesuai subject yang kita suka, liat dari daftar isi (iya sik, dia menulis tentang orang-orang yang sebagian besar ga saya kenal). Karena itulah, review ini dibuat lebih dulu sebelum khatam buku dibaca semua. Saya bisa bolakbalik ke buku ini, kapan aja!

neiled

Saya Nyaris Tidak Pernah Beli Buku Motivasi, Buat Apa?

Standar

Setiap kali mendapatkan pesan tentang bagaimana seseorang merasa terinspirasi dengan tulisan saya, ada rasa bersalah yang terselip. What have I done? I am no better than anyone. I am struggling with my personal issues as well. Jadi sebaiknya, saya tidak mendengar tentang bagaimana saya mengubah seseorang. Sebenar-benarnya orang berubah karena dirinya sendiri.

Mungkin karena itu juga, saya sudah cekikikan saban kali berada di toko buku dan dikelilingi oleh best seller – self motivation. Really? Kamu butuh orang lain untuk memancing motivasimu? Really, mereka bisa menginspirasimu? Do you really need anyone to help you to find YOU?!

Basically, I don’t really fancy any motivator, any speakers, any preacher, or anyone… karena menurut saya, you just need to educate yourself, to keep you critical to your environment, your life, and exercising your empathy. Karena cuma empati yang bisa memicumu untuk peduli pada orang lain, pada diri sendiri. Kalau duduk di pesawat, ada petunjuk untuk memasang masker pada diri sendiri sebelum membantu orang lain. That’s it, help yourself before helping others, love yourself then people will love you. and now, do you really need me to tell you all of this? Of course not!

Experience is the best teacher in life dan satu lagi cerita fiksi bisa mengasah empatimu. Seperti Neil Gaiman bilang, emosi bisa dimainkan lewat cerita, marah, sedih, tertawa, menempatkan diri dalam kehidupan si tokoh cerita, penasaran di setiap lembarnya lalu ketika habis, seperti ada yang hilang. Berhari-hari ga bisa move on dari cerita. Iya segitunya.

Oh well, pilihan setiap orang kan berbeda. Buat saya, ga penting banget buang duit untuk diberitahu orang lain bagaimana menemukan diri sendiri, lah. Mending banyak-banyak baca buku tentang keresahan sosial, politik sampai fiksi. Mending numpang ngeprint di kantor gambar-gambar lalu diwarnain deh, mending juga beli buku sketsa dan oret-oret sendiri.

Begitu banyak orang yang kata buku belum menemukan dirinya sendiri, atau malah dibilang ‘gagal’ sehingga perlu eksternal forces buat mereka termotivasi. Saya Cuma sedih, kamu jadi makanan industry percangkeuman, industry basa-basi. We are all human, go out there, make mistake and learn from it! Itu aja bro sis.

 

Negara Tidak Perlu Bayar Hutang. Menilai Kemiskinan Dari Perspektif Sejarah dan Ekonomi Global Bersama Jason Hickle Dalam Buku – The Divide. Review #6

Standar

Apa yang menyebabkan tingkat kemiskinan dunia terus bertambah padahal milyaran dollar dana bantuan sudah disalurkan dari negara-negara kaya kepada negara-negara miskin? Apa  yang membuat kesenjangan antara orang kaya dunia dengan rakyat miskin dunia terus terjadi?

Jawaban paling standar yang biasanya diterima: miskin itu bawaan, hal yang natural terjadi, ada yang miskin dan ada yang kaya. Orang miskin karena tidak mau usaha, kesalahan sendiri, pemalas, siapa suruh banyak anak, dan sebagainya. Perempuan yang akhirnya melacur adalah dosa maha besar, sekalipun dibelakangnya ada kebutuhan untuk bisa bertahan hidup untuk dia dan keluarganya.

Jason Hickle yang berlatar belakang antropolog, anak seorang dokter di sebuah negara afrika, hidup dekat dengan kemiskinan dan orang yang hidup dengan HIV/AIDS yang setiap hari antri di klinik bapaknya untuk sembuh. Seseorang berkata pada bapaknya, Hickle, bahwa dia berjuang di tempat yang salah. Tanpa melakukan pencegahan, sepanjang umurnya akan habis mengobati orang sakit yang hanya akan terus bertambah.

Dari sanalah buku ini disusun Hickle. Kemiskinan itu bukan hal yang alami terjadi, kemiskinan itu disusun sedemikian rupa oleh sistem yang tidak adil. Mari mundur ke sejarah kolonialisme eropa terhadap afrika, asia dan amerika selatan. Para penjajah mengeruk sebesar-besarnya sumber daya alam dari negara-negara ini, menangkapi dan menyandera pribumi untuk kerjapaksa dan dijadikan budak.

Membacanya kesel sendiri, kita sik jadi orang ramah bener sama pendatang, diberi makan, diberi tempat tinggal, diberi emas sebagai buah tangan lalu mereka memotong tangan yang memberikan kebaikan. Kesel karena kalau saja James Watt tidak menemukan mesin uap yang membuat kapal laut berjalan lebih cepat menjajahi negara-negara di luar eropa, barangkali penjajahan tidak terjadi, tidak meninggalkan kemiskinan abadi.

Lalu datang kebangkitan negara-negara korban penjajahan ini dimana-mana, negara-negara eropa meninggalkan mereka, tapi tidak pernah benar-benar pergi. Ketika negara-negara ini membutuhkan modal untuk memulai pembangunan di negaranya, eropa dan amerika datang lagi dengan gula-gula. Mereka yang tidak mau nerima gula-gula seperti Soekarno di Indonesia, Cuba, Colombia, Brasil, sampai Irak, digulingkan dengan cara kekerasan dengan berdalih ‘kiri’ menghadirkan boneka seperti Soeharto yang ramah pada Amerika untuk duduk di pemerintahan dan menjadi dictator 32 tahun selanjutnya.

Gula-gula itu berupa Utang yang hanya akan diberikan jika negara-negara penerimanya mau melakukan Structural Adjustment program (SAP) yang isinya antara lain memotong budget negara untuk layanan public dan privatisasi asset nasional agar kemudian perusahaan-perusahaan asing bisa leluasa menanamkan modal di negara ini. Lalu ada ‘Free Market’ yang mengharuskan negara menjauh dari urusan ekonomi. Pada negosisasi tertutup tentang TTIP dan TTP, bahkan disebutkan perusahaan bisa menuntut pemerintah sebuah negara yang merugikan investasi mereka. Hua hebat ya… kongkalingkong World Bank, IMF dan WTO itu lah sistem yang mengabadikan kemiskinan di negara-negara Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Tiga setan ini pun dikuasai sepenuhnya oleh kepentingan negara kaya, pengusaha-pengusaha multinasional dan politisi-politisi yang hanya ingin melanggengkan kekuasaan dan kekayaannya saja.

Lalu bagaimana mengatasi kemiskinan ini jadinya? Hickle mengajukan lima poin upaya pengentasan kemiskinan dunia dan menutup kesenjangan dan ketidakadilan negara kaya dan miskin.

  1. Debt Resistance

Ga usah bayar utang aja! Toh sejak awal, sebagian utang itu dipaksa untuk diterima negara-negara ini kan? Hickle bilang kalau kita hapuskan hutang, tidak ada yang bakal mati, dunia akan berjalan seperti biasanya. Utang itu tidak perlu dibayar, bahkan emang seharusnya tidak perlu dibayar jika untuk membayarnya harus mengorbankan banyak orang.

Tapi sejarah mengingatkan, mereka yang berani menolak hutang dan menolak membayarnya akan berakhir dengan kudeta yang didukung oleh negara-negara kaya.

  1. Global Democracy

Tiga serangkai IMF, World Bank dan WTO harus direformasi. Lebih transparan terhadap rencana-rencana kebijakannya, tidak lagi lobi-lobi rahasia yang merugikan public. Negara-negara miskin dan berkembang harus duduk setara dalam ketiga organisasi ini. Suara bukan berdasarkan besarnya sumbangan financial, tapi berdasarkan jumlah populasi negaranya. Dan Presiden IMF dipilih secara demokratis dan bukan Cuma datang dari Amerika dan Eropa.

  1. Fair Trade

Perdagangan yang adil bukan sekedar perdagangan bebas. Memberikan kesempatan yang sama bagi negara-negara berkembang untuk aktif melalukan perdagangan sesame mereka dan punya kebijakan sendiri yang tidak diatur oleh Amerika dan Eropa.

Paten itu menjebak terutama dalam ilmu pengetahuan dan dunia pengobatan. Paten menyengsarakan banyak orang. “It is vital that natural substances and public knowledge remain in the public domain, so that people have equal access to bounty of life and the yields of humanity’s collective intelligence.”

  1. Gaji Yang Adil

Hentikan perburuan buruh murah dalam perekonomian dunia. Harus ada standar bersama yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi lokal, biaya hidup dan daya beli, supaya tidak terjadi lagi eksploitasi buruh di negara miskin.

Hickle dibagian ini bilang, “kita tidak perlu memilih produk yang diproduksi adil dan tidak adil. Ketika kita membeli sesuatu karena kebutuhan dan untuk menikmati hidup, kita harus bisa yakin bahwa barang yang kita beli itu bukan dari hasil mengeksploitasi manusia lain.”

  1. Reclaiming the common

Pajak adalah sumber pendapatan negara untuk membangun dan mensejahterakan warganya. Jika ada kasus penggelapan pajak dan pelarian pajak ke negara lain, itu merugikan secara keuangan negara. Ini harus dibenahi. Sistem perpajakan dalam perekonomian dunia harus direformasi agar lebih transparan.

Hal lain yang Jason Hickle usulkan dalam buku ini untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan mengubah perspektif pembangunan mengejar pertumbuhan angka GDP – Produk Domestik Produk menjadi GPI – Genuine Progress Indicator, atau indeks kebahagian yang mengukur pembangunan dari hal diluar angka ekonomis seperti: kesukarelawanan, mengurangi polusi, penurunan jumlah kejahatan dan upaya mengurangi kesenjangan sosial.

Karena pada kenyataannya GDP tidak sama dengan kebahagiaan. Makin tinggi angka GDP sebuah negara tidak berbandinglurus dengan tingginya angka GPI. GDP berarti mengubah hutan menjadi perkebunan sawit, pertambangan, mencaplokan lahan untuk industry, menggusur manusia di dalamnya dan melanggengkan kemiskinan. Perubahan iklim mendatangkan bencana, yang tidak pantas disebut sebagai bencana alam, tapi bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia.

Buku dengan 303 halaman ini belum ada di toko buku di Indonesia. Saya memesannya secara online di Periplus.com dan makan waktu 20 hari karena barangkali dipesan dari luar negeri juga. Doh. Jejak karbon buku ini saja sudah banyak huhuhu….

Saya tidak serta merta sepakat dengan Hickle, ada beberapa pertanyaan yang sebenarnya ingin diajukan, mungkin liwat twitter resminya. However, menurut saya, usulan dia itu masih terlalu lemah, dan bikin saya pesimistis dengan kelanjutannya. Harusnya dia bisa bilang, seperti juga tentang Hutang, do we really need these three evils of IMF, WOLRD BANK and WTO today and the future? Instead of purposing the reformation of these three, why not just say, NO TO IMF, WORLD BANK and WTO!

Ujian Demokrasi di Masa Aktivisme Klik. Review Digital Political Radical – Natalie Fenton #5

Standar

Hanya karena kamu klik ‘like’ atau ‘petisi’ tidak berarti sebuah perubahan akan terjadi.

Selebrasi berlebihan dari netizen, warganet ketika sosial media seseolah membebaskan kita untuk berkuasa atas keputusan politik dan perilaku politik kita. Tapi politik yang berakar pada kekuasaan dan kuasa untuk melakukan perubahan tidak akan terjadi tanpa sebuah aksi. Sementara sosial media membuat kita bergaung di medan sendiri, dalam ruangan sendiri atau istilahnya the echo chamber..

Radikal berarti mewujudkan sebuah perubaha. Politik radikal artinya menggunakan kekuasaan untuk melakukan perubahan. Tapi sebuah perubahan hanya akan terjadi kalau setiap individu politik bersatu, merasa satu tujuan dan tergerak oleh masalah bersama tapi di dalamnya tetap saling menghargai perbedaan, mewakili semua perbedaan yang ada. Itu baru mewakili demokrasi.

Teknologi digital itu kan cuma alat yang digunakan untuk menyampaikan aspirasi. Pada akhirnya teknologi itu tergantung pada pemiliknya, siapa berkata apa untuk kepentingan apa. Mereka yang tidak tertampung aspirasinya dalam media massa, maka sosial media menjadi ruang untuk meluapkan emosi. Berpolitik itu memang pakai rasa ada rasa marah atas ketidakadilan, passion untuk melakukan perubahan, menyuarakan uneg-uneg

Berada di zaman digital ini seperti membuat kita harus lebih kritis menilai ‘kebebasan’ yang maya. Dengan menyuarakan aspirasi tanpa aksi hanya menjadi sia-sia. Sebesar-besarnya apresiasi pada aksi yang digalang lewat sosial media, tetap harus  disertai dengan pertanyaan, what now? Then what… social media membuat berita dan informasi meluas dan cepat, terus kenapa?, social media memenuhi asas pluralisme karena jangkaungannya, tapi coba pikir lagi, di timeline kita siapa aja sih? Apakah teman-teman sepandangan atau yang sama?…. nah berbeda dengan aksi yang dilakukan oleh sebuah organisasi – jelas siapa yang memimpin, jelas yang dituju dan disepakti, nilai-nilai yang ingin diubah dan kepada siapa aksi ditujukan, maka aksi yang digalang lewat sosial media menjadi begitu lepas, tanpa koordinasi, tanpa arah. Dalam sebuah aksi, harus jelas kepada siapa tuntutan ditujukan, who has the power? What kind of power do they have? Can they exercise the power and make a different?

Buku yang ditulis Natalie Fenton, dosen di Political Communication di Goldsmiths, UoL berjudul Digital Political Radical ini pas banget untuk dibaca oleh para aktivitis politik dan komunikasi. Fenton mengajak kita untuk lebih kritis membaca tren digital yang setiap saat berubah. Menganalisa data dan informasi dengan terus berikan challenge sampai kita yakin pada apa yang kita lakukan. Politik itu bukan barang mati, tapi dia harus ditantang terus menerus, menjaga demokrasi agar tetap pluralis, menampung aspirasi yang berbeda.

Diantara banyak dosen yang bagus, Fenton mampu membuat saya terjaga dan aktif di kelas meski dimulai dari jam 8 pagi dan baru selesai jam 2 siang. Bukunya ditulis persis seperti saat dia berada di depan kelas, tidak ada judgemental terhadap siapapun, straightforward, dan jujur, ga berbunga-bunga.

IMG_20180130_140438

Kita Pernah Muda, Sayang Kita Sering Lupa

Standar

Dilan masih penuh penonton, karena anak-anak yang besar di tahun 90an merasa bernostalgia. Pernah konyol, pernah gombal, pernah tawuran, benjol, luka, bermalam di pos polisi, pernah meringkuk ketakutan kena lemparan batu. Sebagian itu saya juga ingat, tapi bagian punya kekasih di masa ingusan, saya tak bisa berelasi. Sesuai kontrak politik dengan papi, selama masih pengen kuliah, jangan pernah pacaran, atau berhenti dan nikah sekalian. Karena papi ga pengen investasinya sia-sia, putus di tengah jalan karena bunting. Ketakutan berlebihan, tapi saya berterima kasih untuk itu.

Tapi ketika Zaadit mengeluarkan kartu kuning kepada Presiden Jokowi, generasi 90-an seolah merasa jijik. Mengata-ngatainya sebagai mahasiwa tolol, ga baca buku, penyebar pahan jonruism. Dosanya seolah berlebih karena media menyebutnya partisan PKS. Membandingkan aksinya dengan aksi heroic mereka melawan Soeharto di 98, tumpukan bacaan buku politiknya, diskusi-diskusi debat kusir di pojokan kampus dan malam-malam penuh aksi.

Sebelum saya nyerocos lebih jauh, saya harus menyatakan bahwa saya bukan kader partai mana pun, bukan pendukung siapa pun, tidak berafiliasi dengan siapa pun. Saya cuma warga Indonesia yang merasa punya hak untuk mengeluarkan pendapat di blog saya pribadi, kegundahan saya di masa penuh orang baper. Saya mengapresiasi kerja Presiden dan saya tahu Pak de adalah orang yang santai kayak di pantai, tapi saya berdiri untuk mengkritisi Pak De agar ketidakadilan bisa diminimalisir. Saya gemas sama pendukung Pak De yang membabibuta membela Pak De dan gagal melihat hal yang lebih besar. Oh iya, saya peminum kopi hitam tanpa gula… sambil nyeruput, ini lah kegundahan saya.

Beberapa waktu lalu saya menulis tentang suara anak muda jangan cuma ditambang menjelang pemilu. Anak muda jangan cuma diimingi bakal bisa melakukan perubahan dengan masuk partai lalu mereka jadi kambing congek ketika pembagian kekuasan. Semua partai berlomba-lomba menggaet anak muda, tapi harus diakui PKS lebih maju dalam kaderisasi, tentu saja lewat identitas keagamaan, kelompok-kelompok kajian islam di kampung, masjid, dimana pun anak muda berkumpul. Partai lain, gagal! Bahkan masih megap-megap mengejar ketinggalan ini. Kaderisasi mereka terlambat belasan langkah dari PKS. Maka ketika Zaadit dikait-kaitkan dengan PKS, ya biasa aja. Mereka di UI dan IPB mereka giat menggaet kader, kalian kemana aja selama ini?

Lalu kalau sudah bergerak aktif dalam sebuah organisasi politik, tidak boleh kritis?

Setiap orang menjadi kritis tentu saja dipengaruhi oleh culture capital di belakangnya, Pendidikan yang dia dapat di keluarga, pergaulan dan sekolah atau institusi dimana dia bergabung. Tidak ada yang bebas nilai. Rada aneh kalau ngenye tindakan Zaadit karena partisan PKS, lah terus kenapa? Kalau dia ternyata kadernya Demokrat, boleh? Atau PDIP, atau PAN, atau Golkar, boleh? Ya boleh lah. Kritik ya kritik, itu hak politik seseorang yang dilindungi oleh hukum.

Zaadit, mahasiswa. Susah jadi mahasiswa saat ini, diam aja ditanyain, ngapain aja. mahasiswa, bersikap, dianggap cari panggung. Kampus memang tempatnya belajar dinamika politik. Berbeda pendapat, bersikap anarkis sekalipun, ini memang tempatnya belajar. Semua juga berproses. Berapa banyak dari kita yang pernah turun di 98 itu benar-benar memahami perjuangan, membaca Marx, membaca Che Guevara, membaca Soekarno Penyambung Lidah Rakyat. Saya, termasuk penggembira saat itu. Saya tahu Soeharto ga beres, tapi merelasi Soeharto dengan semua teori politik itu, saya pelajari belakangan. Jujur saja.

Kamu generasi tua, kalian juga berproses, ga ujug-ujug menjadi bijak seperti hari ini. Kamu pernah ngegele di balik semak, pernah tukar kancing jaket di DPR, pernah nakal, pernah goblok, dan pernah naif. Kebayang ga sik, generasi pecinta orde baru pernah ngenye nya ke kamu, persis seperti kamu ngenye pada Zaadit.

Kartu Kuning itu symbol. Air hujan ga pernah jatuh jauh dari talangnya. Kita memang hidup di zaman politik penuh symbol. Islam Nusantara, disimbolkan dengan peci dan sarung. Papua aman, disimbolkan dengan naik motor di transpapua. Indonesia pemberani, disimbolkan dengan kunjungan presiden ke Afghanistan, Ananda Sukarlan walk out… itu kan symbol. Terus apa anehnya dengan kartu kuning zaadit?

Saya tidak sedang membela Zaadit sebagai pribadi, saya sedang mengetuk kembali kewarasanmu kawan. Berbeda pendapat, mengeluarkan kritik adalah dinamika demokrasi. Salah besar jika demokrasi berkembang homogen! Demokrasi adalah tentang representasi, tentang pluralisme dan partisipasi.

Saya sedang mengajak anak muda dan mahasiswa untuk tidak kemudian takut berpendapat setelah ini. Tetaplah kritis, lanjutkan diskusi-diskusi di pojok-pojok kampus, sementara tugas yang membludak, jangan lupa tetap membaca banyak-banyak apa pun diluar perintah dosen.

Tentang aksi nyata anak muda kawan… barangkali mereka lebih banyak beraksi daripada kita-kita yang tua dan termakan kebutuhan dapur dan kasur. Silakan tengok startup, aksi kerelawanan anak-anak muda di desa. Kamu hanya harus berhenti sejenak dari aktivitas klik mu di sosial media dan turunlah bersama mereka.

Tabik, saya harus kembali mengerjakan laporan dan menghabiskan kopi

Saya Lumut, Ini Pelajaran Menempel di Swasta dan di Non-Profit

Standar

Saya bekerja sejak masih kuliah, mulai jadi surveyor lapangan yang digaji perlembar kuesioner 1998, lanjut jadi penyiar yang sampai jontor cuma mentok dibayar 25K / jam, lalu jadi reporter lapangan bersama KBR, disambi siaran di Radio Utan Kayu yang beralih jadi Green Radio, lalu ke Ashoka, NGO internasional sampai hari ini di Akuo Energy.

Sampai hari ini, saya masih sering terima ‘nyirnyiran,’ ‘LSM banget sih lu.’ Biasanya sih saya garuk-garuk kepala, perasaaan cuma sekali kerja di LSM, itu di Ashoka, selebihnya di swasta. Terus kalau di LSM emang kenapa? apa yang salah sama LSM? Dia sih bilang, lu sok idealis, itu kan LSM banget. Terus saya ngakak, lah kalau di swasta emang ga boleh idealis? Kalau idealismenya uang, juga kan sah-sah saja, pilihan hidup orang toh.

Bekerja di dua dunia yang kadang-kadang bersebrangan ini memang seru. Saya belajar banyak untuk disiplin soal manajemen waktu, dokumen, sampai keuangan di swasta. Suatu hari, saya berantem dengan vendor yang, gagal menyetorkan bukti transaksi pembelian paku senilai 500K, dia bilang, ‘busyet deh Nita, 500K doang.’ Kata saya,’kaga pake doang! Ini duit orang, situ harus tanggungjawab kalau pake.’

Di swasta, saya belajar untuk disiplin soal waktu, seperti saat bekerja di radio, yang hitungannya detik. Kalau kita lupa mutar iklan 30 detik saja, itu nilainya sudah ratusan ribu. Tanggungjawabnya berat memang. Taking note, rapi dalam dokumentasi kegiatan dan keuangan, itu jadi pelajaran penting. Tapi yang berat untuk saya bertahan di swasta ya memang profit orientednya. Wajarlah, namanya juga swasta, ini kan semata-mata pilihan. Terima kasih untuk ilmunya selama ini.

Di Lembaga non-profit, mari jujur jujuran. Kita ini paling lemah di soal pelaporan. Bikin proposalnya aja kenceng kayak ferari, giliran disuruh bikin laporan, apalagi keuangan, kita megapmegap macam bajaj kuning. Program di lapangan lebih banyak melencengnya daripada perencanaan. Galak duluan aja, tapi lupa intropeksi diri, bahwa operasional itu bukan duit kita, tapi duit donor yang harus dilaporkan secara jujur, dan transparan. Ada tenggat waktu yang harus dipatuhi karena sudah disepakati sejak teken kontrak kerjasama proyek. Teman-teman non-profit yang juga saya kenal di lapangan, lemah di soal administrasi dan manajemen, pokoknya lari-larian di lapangan mah jago, giliran suruh duduk manis depan laptop bikin laporan, ya allah, mukanya bersungut-sungut nggak asik. Saya ini orang lapangan! Selalu gitu alasannya, lah situ ke lapangan kan pake duit kakak, laporannya mana?

Kawan-kawan di non-profit juga suka lupa kalau tidak selamanya donor tersedia untuk kerja-kerja baik di masyarakat. Saking semangatnya menghabiskan donor, lupa kalau besok kegiatan masih harus jalan, lupa kalau ada masyarakat yang masih menaruh harapan penuh pada kita. Sebagian besar non-profit kecil terpaksa tutup, teman-teman menganggur karena menunggu nasib diserap Lembaga lain yang masih punya dana.

Sebagian yang sudah pandai berbisnis sosial, kadang-kadang sok sial. Menjadi kapitalis-kapitalis kecil berlabel hijau. Memberdaya di awal, lalu memperdaya di tengah jalan.

Saya ini lumut, dimana pun menempel bisa hidup. Di swasta, saya berharap idealisme dan empathy bisa menular. Di Lembaga non-profit, saya berharap profesionalisme bisa dibangun. Di bisnis sosial, oh kawan, mari pagari diri dengan niat awal, jangan lelap karena keuntungan mini.

Dan saat ini saya berada di swasta rasa lsm, aih seru😊