Namanya Nuning. Saya bertemu dengan perempuan muda ini di pertemuan pertama dengan perempuan-perempuan di Kampung Teluk Sumbang, Berau, Kaltim. Dengan peserta puluhan perempuan, saya tidak mungkin hapal nama dan pekerjaan mereka satu persatu. Tapi Nuning sejak awal memang tampak berbeda. Memangku batita, dia menyeletuk sesekali tentang kesehatan ibu dan anak. Usai pertemuan barulah kami berkenalan. Namanya Nuning, bidan desa.
Kampung Teluk Sumbang sejak awal selalu istimewa buat saya. Delapan jam perjalanan dari Kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb dengan melewati jalan aspal berlubang karena kelebihan beban sawit dan ikan selama enam jam. Sedangkan dua jam terakhir harus melewati jalan tanah, masuk hutan yang gelap dan sempit. Baru beberapa bulan terakhir jalan di hutan dan dalam kampung sedikit membaik, memangkas perjalanan dari dua jam menjadi satu sampai satu setengah jam. Tapi perjalanan panjang dan bergelombang itu terbayar karena kampung ini cantik mendekati sempurna. Pantainya yang bersih dan hutannya yang alami, cukup sudah menghapus semua lelah. Terlebih, manusia di dalamnya, menyambut seperti keluarga di rumah.
Nuning Namanya. Usianya baru 29 tahun. Sejak lulus sekolah kebidanan, bidan desa asal Toraja ini ditempatkan di Kampung Teluk Sumbang 9 tahun lalu. Sembilan tahun! Bukan waktu sebentar untuk mengabdi di Kampung yang baru saja menikmati listrik menyala minggu lalu. Selama itu pula dia bertugas dalam gelap. Ada lebih dari 60 bayi dibantunya lahir.
Usai tugasnya di Puskemas Pembantu yang juga dari rumah dinasnya, saya biasanya melihat Nuning berkeliling kampung dengan sepeda motornya. Dia berkeliling ke rumah-rumah, mengecek kesehatan anak-anak-nya, iya begitu dia sebut, semua adalah anak-anaknya. Satu, dua, tiga anak bergantian diajaknya jalan-jalan berkeliling kampung. Sorean sedikit, Nuning mudah ditemui di Lapangan Voli. Bukan main bulutangkis, tapi Voli.
Saya selalu senang nguping Nuning bicara dengan ibu kos kami di Teluk Sumbang. Kadang-kadang memarahi Ibu Kos kalau memberi makan anaknya Pelbi tanpa sayur, mengganti susu dari ketal manis menjadi susu formula bubuk (setelah lepas dari ASI). Diskusinya seru, kadang tentang perempuan yang menolak berKB, yang anak-anaknya masih di bawah garis kuning, artinya berat badannya di bawah sehat. Tentang rencana posyandu berikutnya.
Tanpa listrik, Nuning membantu kelahiran bayi dengan menggunakan senter kepala termasuk saat tindakan menjahit dilakukan. Sekarang dia tak mengizinkan orang melahirkan di rumah, harus di Pustu agar lebih bersih. Kadang dia bertugas sebagai perawat bila bertemu pasien perempuan yang enggan dirawat oleh dua perawat lelaki yang bertugas di kampung itu. Mau gimana lagi, katanya. Tenaga kesehatan di kampung berpenduduk lebih dari 150KK ada tiga orang, 1 bidan (Nuning) dan dua perawat laki-laki. Di Kampung ini ada satu RT yang terpisah karena berada di Pulau Kaniungan Besar.
Anak-anak generasi pertama yang dirawatnya sudah kelas enam. Saya bisa membayangkan bagaimana terharunya jadi Nuning melihat anak-anak yang dulu dibantunya menghirup udara bumi bertumbuh besar, berseragam merah putih, menjelang remaja. Aih.
Buat saya Nuning luar biasa, bertahan di Kampung yang gelap gulita, bukan kampungnya sendiri, selama sembilan tahun. Dia sangat bisa untuk mengajukan mutasi atau melanjutkan sekolah lagi. Tapi dia bertahan, mungkin karena cinta.
“Si A kemarin minta aku lepaskan KB isterinya. Aku bilang, anakmu itu baru satu setengah tahun, garisnya masih kuning. Urus dulu anakmu supaya sehat, baru bikin lagi.” Saya menguping Nuning berbincang dengan Ibu Kos kami, Kak Mia.
Nuning pernah bilang, ‘tugasku mengingatkan Kak, tapi kalau orangnya susah diajak berubah, ya sudah. Aku kan hanya ingin anak-anak sehat.”
Huaaa Nuning, Tuhan Berkati. Saya percaya anak-anak itu akan terus mengingatmu, berterimakasih padamu yang terus tanpa bosan mencereweti orang tua mereka. Jangan bosan untuk berbuat baik ya Ning.
Terima kasih yaaa. saya Cuma bisa mengabadikanmu lewat tulisan Nuning. Muah muah