Monthly Archives: April 2018

Nuning, Bidan Muda di Ujung Timur Kalimantan

Standar

Namanya Nuning. Saya bertemu dengan perempuan muda ini di pertemuan pertama dengan perempuan-perempuan di Kampung Teluk Sumbang, Berau, Kaltim. Dengan peserta puluhan perempuan, saya tidak mungkin hapal nama dan pekerjaan mereka satu persatu. Tapi Nuning sejak awal memang tampak berbeda. Memangku batita, dia menyeletuk sesekali tentang kesehatan ibu dan anak. Usai pertemuan barulah kami berkenalan. Namanya Nuning, bidan desa.

Kampung Teluk Sumbang sejak awal selalu istimewa buat saya. Delapan jam perjalanan dari Kota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb dengan melewati jalan aspal berlubang karena kelebihan beban sawit dan ikan selama enam jam. Sedangkan dua jam terakhir harus melewati jalan tanah, masuk hutan yang gelap dan sempit. Baru beberapa bulan terakhir jalan di hutan dan dalam kampung sedikit membaik, memangkas perjalanan dari dua jam menjadi satu sampai satu setengah jam. Tapi perjalanan panjang dan bergelombang itu terbayar karena kampung ini cantik mendekati sempurna. Pantainya yang bersih dan hutannya yang alami, cukup sudah menghapus semua lelah. Terlebih, manusia di dalamnya, menyambut seperti keluarga di rumah.

Nuning Namanya. Usianya baru 29 tahun. Sejak lulus sekolah kebidanan, bidan desa asal Toraja ini ditempatkan di Kampung Teluk Sumbang 9 tahun lalu. Sembilan tahun! Bukan waktu sebentar untuk mengabdi di Kampung yang baru saja menikmati listrik menyala minggu lalu. Selama itu pula dia bertugas dalam gelap. Ada lebih dari 60 bayi dibantunya lahir.

Usai tugasnya di Puskemas Pembantu yang juga dari rumah dinasnya, saya biasanya melihat Nuning berkeliling kampung dengan sepeda motornya. Dia berkeliling ke rumah-rumah, mengecek kesehatan anak-anak-nya, iya begitu dia sebut, semua adalah anak-anaknya. Satu, dua, tiga anak bergantian diajaknya jalan-jalan berkeliling kampung.  Sorean sedikit, Nuning mudah ditemui di Lapangan Voli. Bukan main bulutangkis, tapi Voli.

Saya selalu senang nguping Nuning bicara dengan ibu kos kami di Teluk Sumbang. Kadang-kadang memarahi Ibu Kos kalau memberi makan anaknya Pelbi tanpa sayur, mengganti susu dari ketal manis menjadi susu formula bubuk (setelah lepas dari ASI). Diskusinya seru, kadang tentang perempuan yang menolak berKB, yang anak-anaknya masih di bawah garis kuning, artinya berat badannya di bawah sehat. Tentang rencana posyandu berikutnya.

Tanpa listrik, Nuning membantu kelahiran bayi dengan menggunakan senter kepala termasuk saat tindakan menjahit dilakukan. Sekarang dia tak mengizinkan orang melahirkan di rumah, harus di Pustu agar lebih bersih. Kadang dia bertugas sebagai perawat bila bertemu pasien perempuan yang enggan dirawat oleh dua perawat lelaki yang bertugas di kampung itu. Mau gimana lagi, katanya. Tenaga kesehatan di kampung berpenduduk lebih dari 150KK ada tiga orang, 1 bidan (Nuning) dan dua perawat laki-laki. Di Kampung ini ada satu RT yang terpisah karena berada di Pulau Kaniungan Besar.

Anak-anak generasi pertama yang dirawatnya sudah kelas enam. Saya bisa membayangkan bagaimana terharunya jadi Nuning melihat anak-anak yang dulu dibantunya menghirup udara bumi bertumbuh besar, berseragam merah putih, menjelang remaja. Aih.

Buat saya Nuning luar biasa, bertahan di Kampung yang gelap gulita, bukan kampungnya sendiri, selama sembilan tahun. Dia sangat bisa untuk mengajukan mutasi atau melanjutkan sekolah lagi. Tapi dia bertahan, mungkin karena cinta.

“Si A kemarin minta aku lepaskan KB isterinya. Aku bilang, anakmu itu baru satu setengah tahun, garisnya masih kuning. Urus dulu anakmu supaya sehat, baru bikin lagi.” Saya menguping Nuning berbincang dengan Ibu Kos kami, Kak Mia.

Nuning pernah bilang, ‘tugasku mengingatkan Kak, tapi kalau orangnya susah diajak berubah, ya sudah. Aku kan hanya ingin anak-anak sehat.”

Huaaa Nuning, Tuhan Berkati. Saya percaya anak-anak itu akan terus mengingatmu, berterimakasih padamu yang terus tanpa bosan mencereweti orang tua mereka. Jangan bosan untuk berbuat baik ya Ning.

Terima kasih yaaa. saya Cuma bisa mengabadikanmu lewat tulisan Nuning. Muah muah

Iklan

Dewasa itu hanya fisik, setiap kita adalah anak-anak di dalam hati dan pikiran – review The Ocean at The End of The Lane by Neil Gaiman #14

Standar

Kenapa orang dewasa tidak membaca Narnia? Karena Narnia dianggap bacaan anak-anak bukan bacaan orang dewasa. Orang dewasa hidup mengikuti aturan, anak-anak adalah Tuhan yang menciptakan dunia lewat khayalannya. Anak-anak mengeksplorasi dunia, orang dewasa hidup tanpa bertanya.

Neil Gaiman sekali lagi mengajak saya keluar dari dunia nyata yang penuh keputusasaan, dunia yang depresif, menuju dunia fantasi, penuh petualangan. Gaiman ngga pernah gagal mengajak saya bersembunyi di dunia khayal menikmati cerita fantasinya yang menjungkir balik emosi. Cukup satu malam, 235 halaman itu selesai.

Tokoh yang tak bernama itu kembali ke kampung halamannya, di sebuah rumah di ujung jalan dia berteman dengan Lettie Hempstock, anak perempuan berusia 11 tahun yang selanjutnya berpetualang dengan dia saat usianya 7 tahun. Di rumah Lettie ada sebuah kolam yang selalu dia sebut sebagai Samudra. Lettie bersama ibu dan neneknya datang dari seberang Samudra untuk menetap di kampung yang sama dengan anak lelaki itu.

Suatu hari mahkluk gaib berbentuk cacing masuk ke dalam dunia nyata lewat lubang kecil di kaki si anak dan berubah wujud menjadi perempuan cantik Ursula Namanya. Ursula berhasil memikat ayah si anak dan menguasai rumahnya. Membuat si anak ini menderita.

Si anak berlari kabur dari rumah menuju tempat tinggal Lettie, yang dengan kekuatan sihirnya menantang Ursula, yang dia sebut sebagai kutu. Pertarungan dimenangkan sihir baik milik Lettie, ibu dan neneknya. Tapi tak semudah itu, dan Lettie harus terluka parah. Gennie ibu Lettie mengembalikan anaknya ke Samudra di kolam bebek itu. Hanya waktu yang bisa menjawab kapan Lettie akan dikembalikan ke dunia nyata.

Dalam kehidupan selanjutnya si anak meski melewati usia 40tahun, dia selalu kembali ke tempat yang sama ketika gundah melanda. Tentang cerita masa mudanya di 20an, tentang keluarga barunya di usia 30an. Kali ini dia kembali untuk diingatkan apa yang sesungguhnya terjadi saat dia berusia 7 tahun dan Lettie 11 tahun. Nenek Hempstock bilang, Lettie memanggilmu untuk selalu kembali ke tempat ini, tapi yang dia selalu inginkan adalah kamu kembali ke rumahmu sendiri dan jalani hidup seperti biasanya.

Ah Gaiman, sepertimu, saya tidak pernah benar-benar dewasa. Sisi anak-anak itu selalu saya pelihara, tempat saya berkhayal melihat almarhum ayah tersenyum di balik awan setiap kali saya melongok di jendela pesawat. Saya tidak pernah merasa benar-benar sendirian karena ayah dan sahabat saya menemani entah dalam rupa seperti apa. Barangkali menjaga. Ini bukan kegilaan, tapi karena saya dan kamu menjaga anak-anak di dalam diri. Saya tetap si Nita kecil yang Sukanya berpetualang, berkhayal dan nonton film kartun sepanjang saat.

#14

Jebakan Batman Big Data Yang mendiskriminasi – Review Weapons of Math Destruction by Cathy O’Neil #13

Standar

Suatu hari berkumpul sekelompok anak muda di sebuah kampus di Jakarta, kami berbincang ngalor ngidul sampai pada pertanyaan tentang pelajaran apa di SMA yang paling berguna di kehidupan selanjutnya. Jawaban beraneka, tapi hampir semuanya bersepakat, apa guna pelajaran Matematika tentang cotangent, sinus, cosinus… jiah yang sampai saat ini ditulis, saya sama sekali tidak ingat itu apaan. Yang saya ingat, semua tertawa… iya, apa guna itu dipelajari ya?

Voila! Hidup di dunia digital, matematika tetap menjadi raja ilmu pengetahuan. Algoritma yang mengatur ‘hidup’ antara nyata dan tak nyata, yang mengubah hal maya menjadi nyata, kuncinya ada di ilmu matematika. (lalu saya tertunduk, kenapa juga dari dulu bodoh sekali aku neh di matematika)

Buku ini ditulis oleh Cathy O’Neil, ahli matematika yang bekerja warawiri di perusahaan penambang data. Apa yang dipaparkan O’Neil di bukunya, bikin merinding, dystopian literature. Seperti Orwell dalam bentuk kekinian, hidup kita ini tak lebih seperti angka yang diutak-atik dan disajikan ulang sebagai semua pola.

Mereka yang miskin tinggal di daerah kumuh, pemukiman miskin yang dalam catatan kepolisian ada banyak kejahatan jalanan terjadi di sana, dalam catatan perbankan, mereka jelas bukan calon peminjam yang baik buat bank, terlalu berisiko meminjam uang kepada mereka. Lalu sekolah yang ada di sana, barangkali guru-guru dengan kualitas seadanya dengan fasilitas seadanya. Lalu apa yang terjadi? Kemiskinan yang abadi….

Sekolah berlomba-lomba mengejar prestasi, akreditasi yang ditengok dari apa? Di Amerika dan Inggris dinilai dari jumlah penghasilan alumninya, dari berapa banyak alumni yang ‘sukses’ secara materi, dari berapa banyak alumni yang terserap dalam dunia kerja. Bayangkan jika sekolah itu sekali lagi tidak ada biaya untuk peningkatan fasilitas dan kualitasnya dan berada di daerah ‘miskin’… apa yang dihasilkan? Alumni yang berjuang lebih keras karena CV mereka tidak menarik di dunia kerja, dunia perbankan dan sebagainya… sekali lagi pemiskinan yang abadi. Kalau kamu pernah melakukan kenakalan remaja, datamu ada abadi dalam digital record, selamanya itu akan jadi pertimbangan bagi calon pimpinan merekrutmu sebagai karyawan.

Membaca buku ini seperti dibawa kembali ke masa kuliah di Kriminologi UI. Stigmatisasi yang mengekalkan seseorang menerima diskriminasi. Bekas junkie, bekas napi, seperti masa lalu, stempel keluarga PKI di KTP yang membuat tujuh keturunannya susah meningkatkan kehidupannya. Stigmatisasi itu sekarang dalam bentuk digital, big data. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Jika ada yang bisa melewati Batasan itu, dianggap unique number, sebuah pengecualian.

Matematika menjadi senjata mematikan di era digital jika digunakan untuk mendiskriminasi perlakukan polisi terhadap masyarakat, bank terhadap calon debitur, sekolah terhadap calon murid bahkan gurunya.

Pada kesimpulannya O’Neil bilang, seperti cita-cita digital yang ingin membuat dunia ini transparan, begitu juga seharusnya Big Data diperlakukan. Seharusnya kita punya hak untuk mendapatkan informasi bagaimana data pribadi kita digunakan oleh bank, sekolah, polisi dan politisi. Kita punya hak untuk memperbaiki informasi salah yang mereka terima tentang kita. Kita punya hak untuk menolak data kita digunakan untuk kepentingan materi pihak-pihak tertentu…

Oh iya… do you ever wonder kenapa rumus badan ideal itu, berat badan : tinggi badan (M) kuadrat (BMI)? Darimana rumus itu muncul dan untuk apa? Tanyakan saja pada perusahaan obat diet, ahli nutrisi dan pengusaha gym 😉

WMD