Akhir pekan lalu adalah kali pertama saya menginap di sebuah hostel di Korea, berbagi kamar dan kamar mandi dengan orang yang benar-benar asing. Seharusnya kamar yang saya pesan lewat situs Agoda itu khusus untuk perempuan, ternyata tidak. Begitu saya masuk ke dalam kamar, sudah ada koper di sana. Seseorang sudah menempati salah satu ranjang. Tanpa dugaan apapun, saya ganti baju santai, kaos tanpa lengan dan celana pendek. Tibatiba seorang lelaki paruh baya masuk ke dalam kamar, hampir saya menjerit. Dia mencoba menenangkan saya sambil bilang,” No worry, I am leaving this afternoon. You have this room on your own.”
Saya bilang kalau kamar ini harusnya khusus perempuan. Lawan bicara saya Cuma ketawa, katanya ga ada kamar khusus perempuan di hostel ini, semuanya barengan. WHAT!! Saya panic, mikirin bagaimana gaya saya tidur yang suka memperlihatkan perut dan kaos kemana-mana, ga bisa buka kutang dong. Merasa menyesal diboongin sama hostel ini.
Si bapak itu bilang, sejak kemarin dia sendirian ga ada teman satu kamar, jadi kemungkinan besar saya pun begitu. Percakapan kami singkat saya. Sambil menutupi seluruh tubuh saya dengan bedcover, dia meneruskan cerita kenapa sampai di sini. Si bapak datang dari Amerika khusus untuk implant gigi, kata dia jauh lebih murah. Kata saya, kalau diitung biaya perjalanan dan akomodasi apa masih lebih murah. Dia Cuma senyum. Dia bilang, begitu beranjak tua semua masalah datang, termasuk gigi yang mendadak tanggal, supaya tetap nyaman makan dan tertawa, dia rela deh ngeluarin jutaaan dalam rupiah untuk implant gigi. Sepuluh menit kemudian lelaki gundul dengan wajah ganteng menjemput si bapak dan membantunya menurunkan koper, kami saling mengucap selamat tinggal.
Ah lelaki gundul ganteng itu, salah satu pegawai di hostel ini. Bisa saya tebak, dia juga orang Serbia. Betul hostel ini dimiliki seorang Serbia, dengan aksen bahasa inggris yang aneh, saya memberanikan diri bertanya dia darimana. Ada sekitar tiga lelaki Serbia di hostel ini yang kalau ngomong ga bisa pelan, menakutkan, tapi ganteng, ya termaafkan lah… hua plak!
“Someone took my towel, I still need it.” Kata saya kepada salah satu dari mereka
“Oh that was me, I cleaning up everything. I cannot stand looking at anything that hanging on the door. Im sorry but you know that you can always have the clean one.” Katanya sambil menyerahkan handuk baru.
“I aim to save the planet by reusing my towel.”
Dia Cuma senyum.
Ga berapa lama, seorang cewe berambut coklat datang dengan wajah ceria. Dia langsung menyapa saya,”Indonesian girl… hi, I am Anna from Rusia, hmmm near border to China.” Katanya. Setelah memperkenalkan diri, dia melanjutkan cerita tanpa bisa saya hentikan. Dia bilang kalau beberapa bulan lalu dia ke Indonesia, backpackingan sendiri. Kenapa? Karena dia butuh waktu dan ruang jauh dari lelaki yang dinikahinya selama tiga tahun terakhir.
“After I came back, I told him that I made a decision. I want a divorce. Oh yes, I am single for the last two weeks now.”
Wow… saya ga tahu harus menanggapinya seperti apa. Mau menunjukkan rasa simpatik karena biasanya orang bercerai itu sedih, Anna malah cerita sambil tertawa. Hal yang menurut dia paling menyakitkan dari perjalanannya ke Seoul kali ini adalah kenyataan bahwa dia sendirian. Dua kali datang ke Seoul sebelumnya selalu bersama lelaki yang sama. Bahkan foto pra pernikahaannya pun dilakukan di Seoul, setiap sudut membawa kenangan katanya. Sampai di situ saya tahu, Anna sedang sedih. Dia lalu menunjukkan foto-foto pra pernikahannya itu pada saya.
“I love him.” Katanya dengan mata yang menghindari saya.
“Then why you divorce him?”
“You are not married right?”
Saya menggelengkan kepala
“People changed once they got married. So was my husband. When we were just dating, he was so sweet. We worked so hard to save money so we can get married. Then, he changed. He no longer works. He is an artist and said that he needs to concentrate to find inspiration. The inspiration never came. I love him. I couldn’t tell him that it is hard for me to work by self to fund our marriage. So I tell him that I want to clear my mind by traveling alone. Then yes, everything became clear. Why should I marrying someone who eat and spend my money and live at my apartment.”
Okay… dalam 15 menit pertama pertemuan kami, saya sudah dapat ceritanya selengkap itu. Buat saya cukup mengagetkan sekali. Bagaimana bisa anda bercerita dengan orang asing selancar itu?
Saya ceritakan ini semua pada teman saat makan siang di hari berikutnya, Anna sudah check out dari hostel saat itu. Teman saya punya analisa menarik. Bukannya emang asik ya bercerita pada orang asing, yang ga ada keterkaitan emosional sama sekali, bukan teman atau saudara, completely stranger. Orang yang asing ga akan menghakimi, berkomentar menyakitkan, mereka Cuma akan memasang kuping lebih lama daripada orang dekat.
Saya setuju dengannya. Barangkali dua perempuan yang berikutnya datang jadi teman sekamar juga begitu. Mereka semua datang sendirian, menikmati Seoul sendirian, bukan sekedar wisata, tapi mencari jawaban atas pertanyaan hidupnya. Barangkali juga itu yang terjadi dengan saya. Bertanya ulang pada diri sendiri, mau ngapain setelah ini. Sudah benarkah pilihan hidup saya? Kenapa cerita Anna begitu menghantui saya?
Minggu malam saya pulang dijemput akang. Setelah hampir satu bulan penuh hidup di jalanan, saya pulang. Saya tahu, bersamanya saya punya rumah untuk selalu kembali.