Begini ceritanya. Di Jakarta, saya seringkali pergi ke pusat perbelanjaan untuk berbagai alasan di luar urusan belanja, seperti buat ngadem karena di luar panas, atau sekedar jalanjalan karena pusing sama urusan kerjaan atau janjian nongkrong sama teman, serius dikit, ya meeting dengan klien. Padahal fungsi awal pusat perbelanjaan adalah untuk belanja. Tapi apa iya, pilihan saya mengalihkan fungsi mal jadi tempat nongkrong adalah pilihan sadar secara pribadi? Biasanya pulang dari mal, nyaris ga pernah dengan tangan kosong, minimal roti untuk orang rumah dari sebuah toko roti yang selalu ada di mal itu loh… akhirnya iya… saya belanja juga… apa saya secara sadar memilih belanja? Apa saya ‘bebas’ memilih?
Dalam sebuah ruang besar seperti mal, berderet ratusan ribu lembar kain melambai, patung-patung tersenyum memanggil dengan papan diskon 50%, up to 70% dengan ketentuan berlaku. Berjejer bangku kafe dengan tawaran free wifi, harga menarik, special menu with special price. Lampu dipasang untuk menipu warna baju, patung-patung kurus membuat si gemuk merasa kecil hati. Apa kita benar-benar bebas memilih? Apa kita punya ‘kuasa’ untuk memilih?
Jawabannya antara iya dan tidak. Iya, saya punya kuasa untuk memilih panas-panasan di jalan atau ngadem di mal. Saya punya kuasa memilih nongkrong di warung kopi pinggir jalan atau di ngafe di mal. Saya juga punya kuasa belanja atau tidak, kuasa itu ada di dompet aha! Hahaha… tapi kuasa yang saya punya ‘terkonstruksi’ oleh pilihan yang disediakan oleh produsen dibantu tangantangan ajaib para seniman periklanan. Saya dibuat ‘nyaman’ dengan pilihan yang tersedia.
Tapi apa saya tahu darimana barang dari ujung kaki sampai kepala yang saya gunakan berasal? Saya bisa google sih, dan berusaha kalau tidak sedang ‘malas’ untuk membeli barang yang saya tahu asalnya darimana. Atau saya menolak belanja barang-barang ‘murah’ dari merk terkenal yang dibuat dari buruh murah di Bangladesh atau Vietnam, mungkin juga Indonesia. Istilah kerennya belanja dari barang Fair Trade aja, tapi apa iya 100% mereka sustainable dari urusan material, sampai perburuhan, ga ada yang jamin, dan jangan take it for granted on everything memang.
Maka sampailah di point pertanyaan, ada berapa ‘saya’ di dunia ini? Saya yang sungguh beruntung bisa mencari tahu darimana sumber materi yang saya beli dan bagaimana prosesnya berlangsung. Saya yang beruntung terpapar oleh informasi. Tapi ada berapa banyak yang seperti ‘saya’ lalu kemudian peduli? Lebih sedikit lagi barangkali, karena kalau lebih banyak tentu hutan di Sumatera dan Kalimantan ga terus terganti dengan sawit toh… karena sebenarnya kalau kita peduli, kita bisa mengurangi ketergantungan dari sawit. Ada berapa perusahaan yang jujur memaparkan bagaimana proses produksinya berlangsung, bahaya dari produknya terhadap lingkungan dan pribadi? Lebih nihil lagi…
Jadi ide untuk bilang bahwa pilihan di tangan konsumen dan anda bebas memilih itu menurut saya tidak sepenuhnya benar. Kapitalis ‘menjual’ kebebasan itu untuk semata-mata untuk kepentingan keuntungan mereka. Di tengah kebebasan memilih, ada berapa banyak di antara kita yang justru malah menjadi ‘cemas’ apakah pilihan saya sudah benar? Apa kata orang lain tentang saya?
Lalu sebagian dari kita akan bilang, ‘kenapa juga lu mesti peduli sama pendapat orang lain tentang kita?’ apa kamu bisa benar-benar tidak peduli pada pendapat orang lain tentang kamu? Saya kira tidak… selama kamu tidak bebas bersendal jepit dan bercelana pendek juga kaos buntung masuk kantor, sebenarnya kamu tidak sedang bebas memilih…
Kalau Peer Gyn dalam terjemahan bebas bilang, kita ini cuma bawang, yang kalau dibuka satu persatu lapisannya, berakhir dengan kekosongan… tafsiran saya setiap lapisan itu terbentuk dari paparan nilai, norma, konstruksi budaya, politik, sosial yang membuat kita sebagai individu yang utuh… Karena itu meletakkan sepenuhnya pada kebebasan individu untuk memilih tanpa memperbaiki kondisi pilihan yang tersedia adalah mustahil.
Sudah ya, saya mau belanja dulu. Musim dingin berakhir, waktunya melepas jaket dan sweater lalu sadar ga punya kaos — alasan!!!!