Sistem Informasi Kehidupan dan Semesta. Review buku The Demon in the Machine – Paul Davies

Standar
Sistem Informasi Kehidupan dan Semesta. Review buku The Demon in the Machine – Paul Davies

Pukul 10.45, sambil berjalan ke dapur untuk menyeduh kopi, di kepala saya sudah terencana bahwa makan siang hari ini adalah nasi goreng tuna. Membayangkan nasi goreng tuna yang pedas dengan campuran sayuran kol ungu, wortel, timun dan salada, membuat air liur saya mendesak ke luar mulut. Nyam.

Tapi yang terjadi adalah ga ada nasi sama sekali. Seketika itu juga saya mencentong beras sebanyak 3 cup, mencucinya sebanyak 3x, menampung air sisa beras dan menakar air untuk menanak nasi, dengan ukuran satu setengah ruas jari. Lalu sisa air cucian beras saya bawa ke teras untuk siram tanaman dan ternyata daun di pohon kopi sedang kering parah. Berjatuhan. Yang saya lakukan setelah menyiram air cucian beras, adalah membereskan daun kopi yang rontok.

Menyeduh kopinya jadi tertunda dua pekerjaan, menanak nasi dan membersihkan daun rontok. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Apa yang ada di otak saya? Bagaimana saya bisa melakukan tindakan A dan B lalu melupakan rencana awal?

Paul Davies menjawab pertanyaan saya itu dalam buku ini. Kemampuan saya memilih tindakan A, B atau C, adalah bentuk kesadaran atau consciousness yang hanya dimiliki oleh manusia. Bahwa ada situasi makro (ga ada nasi, daun rontok) yang mengalahkan kondisi mikro (informasi awal tentang menyeduh kopi). Bahwa otak saya memproses sangat cepat informasi-informasi yang tersimpan tentang takaran air untuk menanak nasi, tentang berapa kali beras dicuci, dan takaran kopi dan membuat atom dan molekul dalam tubuh saya bertindak atas perintah otak ini.

Dalam buku ini Davies menawarkan satu teori tentang universality in informational organization, ada hal-hal umum yang terjadi dalam tubuh makhluk hidup saat memproses, mengorganisir informasi. Sistem informasi pada makhluk hidup tentu jauh lebih kompleks dibanding processor dalam computer karena sifat informasi dalam alam semesta dan tubuh tidak terbatas. Davies berharap ilmu fisika, biologi dan kimia disatukan dalam penjelasan tentang informasi kehidupan ini.

Saya memang menjelaskannya secara mundur, dari bagian epilog. Di awal-awal bab, Davies menjelaskan bagaimana protein + asam amino + sinar matahari = kehidupan. Di tempat paling ekstrim sekalipun seperti di dasar laut, padang pasir, bahkan di mars, dia yakin ada kehidupan yang dapat dijelaskan selama sinar matahari dan dua unsur protein dan asam amino ditemukan di sana. Bagaimana bakteri bisa bertahan hidup di tempat yang ekstrim dan bagaimana molekul serta atom bergerak menurut siklusnya? Semua terjadi karena mereka menyimpan informasi purba sejak keberadaan awalnya. Bahkan jika “demon” atau iblis ditempatkan di antara siklus itu, mereka punya informasi bagaimana mengubah pola dan bertahan hidup.

Dari Davies saya tahu bahwa semua semut pekerja adalah perempuan dan mereka lagi-lagi bekerja secara sistemik berdasarkan informasi yang diturunkan dalam DNAnya. Begitu juga dengan cicak dan jenis hewan lain yang bisa menumbuhkan lagi bagian tubuhnya yang terputus karena DNA mereka menyimpan informasi bagaimana hal itu bisa dilakukan.

Bahwa waktu bukanlah jam dengan jarum yang menunjukkan angka. Tapi waktu adalah peristiwa yang melompat dari satu masa ke masa berikutnya. Tentu saja saya pukul 10.45 tidak sama dengan saya di pukul 12.15 saat menuliskan review ini, karena peristiwa yang saya alami dan bagaimana saya meresponnya berdasarkan informasi yang saya punya juga berbeda.

Saya bukan ahli fisika, biologi apalagi kimia tapi membaca buku-buku sains selalu menarik karena memberikan pengetahuan baru. Dan apakah pemahaman saya terhadap buku ini benar? Silakan kamu baca sendiri bukunya. Davies menuliskannya dengan sangat baik, mencoba menyederhanakan semua hal yang terlalu teknis, dan dengan gaya bahasa yang lucu. Misalanya dia bilang harusnya “sweetbrain” bukan sweet heart, harusnya broken brain bukan broken heart, yang tentang rasa itu adanya di otak bukan di jantung, apalagi hati yang letaknya di area pencernaan.

Satu hal yang berkesan, saya sadar ilmu tentang semesta yang dipunya manusia itu cuma seiprit dari yang tersedia. Hidup itu misteri yang tak terbatas oleh ilmu, karena itu tetaplah belajar, tetaplah diungkap misteri itu.

Semoga Semua Makhluk Berbahagia. Review Sacred Nature karya Karen Amstrong

Standar

Doa dari Agama Buddha mengawali tulisan ini, cocok merangkum tulis Karen Amstrong dalam buku ini. Dalam doa tersebut, Buddha mengajak kita untuk mendoakan bahagia untuk semua makhluk baik yang terlihat maupun tidak terlihat.

Semua agama mengajarkan kebaikan, dan kasih sayang. Tetapi sebelum agama-agama monolitik hadir, masyarakat di Cina dan India sudah mengenal energi supranatural yang hadir dalam setiap ciptaan, seperti hewan, tanaman, air, angin, api dan tanah, langit, matahari, bulan, dan Bintang. Dari ketiadaaan, menjadi ada, lalu kembali pada ketiadaan. Penciptaan bukanlah bentuk kekuasaan yang besar tapi kelemahan yang saling mengisi untuk menjadi kuat. Dan manusia hanya bagian dari semesta bersama isinya.

Penyerahan diri dalam semua ajaran agama dan kepercayaan, tidak sekedar berserah pada tuhan, tapi juga pada semesta yang tercipta. Sholat, semedi, meditasi adalah bentuk ritual bagaimana manusia kembali berserah, menjadi bagian dari semesta, mengikat kembali hubungan dengan sekitar, dengan tuhan dan dengan dirinya sendiri, melepaskan ego dan keinginan duniawi.

Dalam Al Quran, berulangkali disebutkan “apakah kamu tidak mendengar dan melihat?” bahwa kekuatan Allah nyata dalam ciptaannya di bumi dan di langit, pada gunung, lautan, hutan, hewan, tanaman. Menjaga harmoni hubungan antar manusia, manusia dengan Allah dan manusia dengan alam dan keharmonisan yang sama ada di semua agama, dalam Islam, Hindu, Buddha, Yahudi, dan ajaran Konghucu. Lalu kenapa manusia melanggarnya?

Ahimsa adalah ajaran dalam masyarakat India untuk tidak menyakiti siapapun dan ajaran ini masuk dalam praktik keagamaan di sana, Hindu dan Islam. Kasih sayang dan rasa menghormati yang ada dalam lima hubungan di Konghucu yaitu kepada anak, kepada orang tua, saudara, masyarakat dan negara, tidak bisa dilakukan tanpa menjaga hubungan dengan alam yang membuatnya menjadi ada. Islam mengajarkan umat untuk beramal lewat zakat kepada kaum dhuafa, mengasah empati dengan puasa adalah bentuk bagaimana kita menjaga hubungan antar manusia dan berserah harta untuk keadilan bagi orang lain. Tapi bagaimana dengan kerusakan yang dilakukan yang membuat orang lain menjadi miskin karena kehilangan penghidupan dan rumahnya?

Sebelum demokrasi hadir di dunia barat, Konghucu sudah lebih dulu mengajarkan tanggung jawab individu dalam berpolitik. Bahwa setiap orang wajib berpartisipasi dalam kehidupan bernegara, berpolitik dan memastikan sebuah kebijakan tidak mencederai rakyat dan alam, agar Bakti kepada Tian dan semesta tetap ditegakkan. Islam memperingatkan bahwa kerusakan yang dilakukan manusia dimuka bumi akan membawa petaka. Hindu dan Buddha menyebutnya sebagai karma.

Karen tidak tegas mengajak kita untuk mengutuk negara yang abai menjaga keseimbangan alam, pada pengusaha dan penguasa yang seringkali menggunakan dalil agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok dan memiskinkan rakyat dengan merusak alam. Karen mengajak individu kembali merefleksikan hubungan dengan alam, berjalan di alam tanpa headphone dan ambil foto lalu berbagi di media sosial. Karen mengajak kita duduk dalam diam, menikmati angin, memandangi kebesaran semesta di atas langit, benda-benda alam yang berputar pada orbitnya.

Tapi itu saja tidak cukup, karena seruan moral harus nyata dalam bentuk aksi. Membuat saya berpikir, apakah mereka perusak alam itu benar-benar beragama? Apa mereka yang menerima sumbangan dari para pendosa itu juga ikut dosa? Rumah ibadah yang megah dibangun dengan uang dari merusak alam, apakah bisa memediasi hubungan kita dengan Tuhan? Apakah Tuhan maha pemaaf bagi mereka yang merusak ciptaannya tanpa ada upaya mereka memperbaikinya?

Saya menikmati alam, duduk sambil menikmati angin dan debur ombak adalah suara terbaik dari alam begitu juga suara burung. Saya menikmati panas matahari dan hujan yang membasahi tubuh, menikmati gelap malam dan mensyukuri sinar pinjaman rembulan. Tapi ketika melewati log kayu besar yang tergeletak di antara perjalanan saya ke desa di Kalimantan, saya patah hati. Tiap kali melintasi lubang tambang, saya mengutuk. Atau ketika melewati hamparan kebun sawit, hati saya pilu. Saban membaca berita banjir bandang, saya marah. Karena di balik itu semua, yang celaka selalu mereka yang tak punya dan hewan juga tumbuhan tanpa daya.

Sesungguhnya, menjadi pemaaf bagi mereka yang membuat kerusakan sangat berat buat saya. Bahkan ketika Tuhan Yesus, dan Allah Swt memerintahkan kita untuk memaafkan musuh, dan mendoakan mereka, amarah saya sangat besar. Saya masih belajar menjadi manusia yang masih jauh dari baik menurut ajaran agama saya.

Teh lemon hangat

Standar
Teh lemon hangat

Secangkir teh lemon hangat dan gemiris di luar jendela kafe. Aku berharap kamu akan bilang, “iya nanti aku ke sana setelah meeting.” Tetapi sebuah pesan tiba, “sepertinya kita perlu menjauh. Aku tidak bisa menerangkan alasannya.”

Tidak ada rasa sakit hati, tidak ada marah. Aku hanya melemparkan pandangan ke luar jendela, menikmati gerimis dan seruput teh lemon hangat lalu melanjutkan kerja.

“Aku memutuskanmu. Kenapa tidak ada tanggapan.” Pesan darimu muncul lagi

Aku hanya tersenyum. Kejadian yang sama sudah berkali-kali terjadi dan aku tahu, percuma untuk sakit hati. Suatu hari yang tak berlangsung lama, kamu akan kembali dan aku senang hati menerima.

“Kita itu terikat oleh takdir. Jadi tidak perlu khawatir. Kamu selalu punya rumah di hatiku, kembalilah ketika kamu siap. Begitu juga denganku. Kamu bebas pergi karena cinta yang melulu akan membuat kita jenuh dan menjauh. Tapi kembalilah ketika merindu.” Begitu katamu. Entahlah, aku pun mengamini.

Tidak ada cerita orang ketiga atau keempat. Aku tak ada waktu menjajal rasa dengan yang lain. Aku dan kamu tidak pernah secara resmi mengikatkan diri pada sebuah hubungan. Kita adalah kita, kataku. Tidak perlu sekali lagi deklarasi di media sosial. Kita menikmati saat berdua, mau pun sendiri.

Dua hari berlalu, kamu masih tanpa kabar, aku pun begitu.

Sepi, tapi aku sudah terbiasa sendiri. Sunyi datang ketika ada setumpuk bahan cerita yang perlu aku sampaikan padamu tapi aku memberimu ruang untuk menyepi. Aku rasa aku percaya pada kata “kita”, jika tidak hari ini, kamu akan kembali besok.

Hari ketiga masih tak ada kabar dan aku seolah lupa karena kesibukan kerja.

Tujuh hari berlalu, aku menunggu di kafe yang sama. Katamu jika seminggu tak ada kabar, mari saling menanti di kafe tempat kita selalu berjumpa. Masih dengan menu yang sama, aku menikmati secangkir teh lemon hangat sambil melemparkan pandangan ke jendela. Kali ini turun hujan deras.

“Mi, kamu dimana?”

“Di kafe. Kenapa, Jo?”

“Mi, Aldi meninggal. Jenazahnya baru saja ditemukan di kamar.”

Jantungku berhenti seketika.

“Mi, gue jemput lu sekarang. WA alamat kafe.”

Duniaku gelap seketika.

Jurnalisme vs Churnalisme dalam buku Flat Earth News – Nick Davies. Sebuah Review

Standar
Jurnalisme vs Churnalisme dalam buku Flat Earth News – Nick Davies. Sebuah Review

Saya akan memulai review buku ini dari sebuah cerita pertemuan dengan seorang kawan senior dalam pembangunan media di dunia.

Di sebuah kafe di South Bank, London, saya menantikannya sambil menghabiskan kopi dan waktu dengan membaca. Dia datang, “like always, selalu menemukanmu bersama buku.” Lalu saya cerita bahwa saat ini saya jadi relawan, sekedar jadi tukang data input di LSM Hacked Off Campaign yang salah satu pendirinya adalah Hugh Grant, yoi si aktor senior itu.

“So, how was it? How you find UK media? Sucks ah? I am sorry that we gave you really bad example,” katanya sambil tertawa.

Maka dengan sangat jujur saya bilang kalau saya kecewa, begitu banyak media di UK yang kualitasnya seburuk koran kuning di Indonesia, sebuah tabloid gossip yang sekilas dibaca orang lalu jadi bungkus gorengan.

Kuliah saya memang khusus mengkritisi media dan perkawinan mereka dengan politisi dan pengusaha dan buku ini adalah satu bahan bacaan wajib. Hanya saja kalau waktu kuliah cuma dapat beberapa bab saja, 8 tahun setelah lulus, akhirnya saya tuntaskan membacanya.

Nick Davies adalah jurnalis investigasi yang dengan kritis menguliti cara kerja media besar di barat yang bermarkas di US dan UK. Buku ini menceritakan bahwa saat ini bukanlah jurnalis bekerja berdasarkan etika jurnalisme tapi yang terjadi  adalah churnalisme. Churnalism adalah memproduksi tulisan atau laporan bukan dari hasil kerja jurnalistik, tapi membungkus ulang dari materi yang sudah ada seperti siaran pers yang dibuat humas baik swasta maupun pemerintah, atau menerjemahkan atau menerbitkan ulang apa yang sudah diterbitkan oleh kantor berita baik asing atau dalma negeri. Sialnya kadang Churnalism ini ditulis dengan menempelkan “by line” atau “ditulis oleh..” nama penulisnya, tidak secara jujur menyebutkan menurut atau berdasarkan rilis. Antara Adventorial, Infotorial, dan editorial menjadi kabur, iklan dan propaganda menyusup di antara produk jurnalisme.

Bagaimana hal ini terjadi? Karena media berkembang secara komersil, pertanggungjawaban utamanya pada pemegang saham bukan pada publik. Rupert Murdoch si juragan media dunia itu tidak peduli pada propaganda, tapi bagaimana dia bisa dapat keuntungan dari hubungan manisnya dengan politisi. Dia tidak sungkan menyebarkan berita bohong untuk kemenangan politisi yang sudah berteman secara bisnis dengannya. Kamu bisa riset bagaimana FOX NEWS menjadi corong pemenangan Donald Trump di 2016.

Yang mengerikan adalah berita yang disebarkan melalui kantor berita asing (AP / Reuters / AFP) yang mentah-mentah diterjemahkan oleh media di negara-negara lain termasuk Indonesia. Davies menceritakan sebuah berita yang muncul di AP tentang seorang pendukung sepakbola Inggris membeli asuransi karena khawatir mentalnya terganggu jika Inggris kalah di piala dunia 2006. Berita itu beredar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia tanpa ricek ulang kebenarannya. Yang terjadi sebenarnya itu adalah permainan PR asuransi, si orang ini adalah agen asuransi. Berita itu dibuat untuk menarik publik beli asuransinya.

Davies menjelaskan berita yang beredar tentang Irak yang menyiapkan senjata pembunuh massal yang belakangan diketahui bohong. Kebohongan itu beredar viral di media-media asing sekelas Bloomberg, BBC, CNN, Reuter, AP, AFP, tanpa ada keinginan untuk menginvestigasi kebenaran dari berita itu. Apakah cukup dapat dipercaya jika menyebutkan “dari sumber pemerintah yang tidak dapat disebut namanya? Atau menurut sumber agen intelejen?” apakah itu kemudian serta merta dianggap sebagai sebuah kebenaran?

Dengan beban kerja setoran berita sehari sekian berita, jurnalis kemudian berdalih tidak punya waktu untuk mengecek kebenaran dari info yang diterimanya. Setiap hari menerima banyak siaran media dari perusahaan, atau bahkan dari lembaga pemerintahan yang tanpa cek akurasi, tayang di media.

Di luar UK, kemarin saya bertanya pada seorang jurnalis senior “apakah media akan mengecek ulang akurasi data dalam rilis pers kami?” dia menjawab,”tulislah sebaik dan semenarik mungkin dengan data dan kutipan narasumber, sehingga kami tidak perlu bertanya.”

Setelah tidak lagi bekerja di media, tugas saya adalah PR, menulis atau mengedit dengan baik setiap rilis dan benar, tanpa pernah ada yang mengontak saya untuk mengecek ulang, media mempublikasi semuanya pek ketiplek. Buat organisasi sebuah kesuksesan mendapatkan rilis kami tampil di media, tapi sebagai bekas jurnalis, saya meringis pedih. Njir saya adalah bagian dari pabrikan berita, saya produsen berita. Bayangkan jika yang ditulis memang ditujukan untuk memecahbelah publik atau membohongi publik, atau propanda agar kebijakan negara didukung publik?

Lalu Davies juga membongkar bagaimana agen intelejen memang dikerahkan untuk berteman dengan jurnalis dan bertugas menyuapi jurnalis dengan sepotong bahkan informasi penuh sehingga berasa sebagai berita eksklusif lalu dikutip media lain menjadi kebohongan yang dianggap sebuah kebenaran. Atau media yang memang tugasnya mencari sensasi saja seperti Daily Mail, bikin sensasi aja dulu biar laku kalau kemudian ada complain, mengaku salah, bayar denda, ya sudah. Kegoblokan itu terus dilakukan dan anehnya di UK tidak ada pembredelan media hanya karena menyebarkan berita bohong, seolah selesai dengan pengakuan dan bayar denda.

Tidak mudah sebagai pembaca awam untuk bisa membedakan mana berita yang benar-benar produk jurnalistik dengan berita sisipan rilis produk atau propaganda. Butuh mata elang dan pengalaman untuk bisa menemukan bedanya. Tapi kalau tema yang sama, muncul hampir di semua media dengan hanya sedikit perubahan di judul, itu bisa jadi muncul dari siaran pers. Lalu jangan percaya pada “sumber pemerintah atau agen atau disebut menurut sumber yang dapat dipercaya” yang bisa dilakukan adalah mencari pembanding berita dari sumber berbeda.

Saya tidak akan bilang bahwa media tidak bisa dipercaya, kamu hanya perlu lebih banyak membaca dan kritis terhadap setiap bacaan. Sementara bagi jurnalis, please deh, I have been there, hatimu tahu kalau yang kamu lakukan itu salah. Kembalilah ke etika jurnalisme, akurasi data dan informasi karena tanggungjawab utamamu adalah pada publik dan kebenaran.

Ide-ide Paslon yang Perlu Disoroti (dari Debat Terakhir)

Standar
Ide-ide Paslon yang Perlu Disoroti (dari Debat Terakhir)

Tentu saja dalam tahap ide kita perlu mengapresiasi kecuali satu, hiliirisasi nikel yang buat saya sebagai full-time activis lingkungan, sangat amat ga bisa diwujudkan atau bahkan sekedar diapresiasi.

Debat semalam meski membosankan tapi ada beberapa hal yang menurut saya menarik, perlu dikawal dan bisa diwujudkan oleh siapa pun yang menang. Semoga bukan 02. Lagi-lagi ini pilihan pribadi tentu saja.

  • Ide DayCare- diusung 01

Day Care itu salah satu perhatian dari kawan-kawan buruh perempuan, dan feminist. Isunya masih urban, karena biasanya yang butuh day care adalah kawan-kawan perempuan di perkotaan yang perlu bergerak jauh dari rumah ke lokasi bekerja. Day care salah satu jawaban untuk kerja-kerja perawatan yang selama ini dibebankan kepada perempuan. Day care ada, tapi itu dikelola bisnis yang harganya mahal, tapi melihat pengalaman bekerja di KLHK Manggala Wanabakti yang day carenya ada di Gedung 7, it helps a lot. Anak-anak ikut orang tuanya ke kantor, dititipkan, dirawat dan diasuh oleh pekerja day care, sore mereka pulang bareng orang tuanya. Tapi itu kalau orang tuanya punya kendaraan pribadi, bagaimana dengan yang menggunakan kendaraan umum? Maka day care mestinya bisa dekat dengan rumah pekerja dan dengan harga yang terjangkau tanpa mengurangi kualitas layanan.

Yang ramai sekarang juga adalah day care untuk lansia yang lagi-lagi biasanya dibebankan tugas itu kepada perempuan. Perempuan meninggalkan karirnya demi mengurus orang tua yang sakit. Padahal beban itu bisa dibagi, salah satunya dengan day care lansia, dititipkan harian, jika terlalu berat secara moral meninggalkan orang tua di panti jumbo.

  • Olah raga – diusung 03

Suatu hari kawan dokter saya bilang, “saya tidak mau jadi dokter yang seperti tukang becak. Penghasilan bertambah karena ada banyak pasien sakit.” Tugas petugas kesehatan bukan sekedar mengobati tapi mempromosikan kesehatan. 03 mengusung ide olahraga, tapi tentu tidak semudah itu Rudolfo karena bicara soal olahraga berarti bicara tentang aksesnya, sesederhana trotoar, dan taman. Saya tidak akan promosi gym ya, ga ada kepentingan di situ. Nah senggolannya adalah tata kota yang baik agar orang bisa berolahraga atau sekedar jalan kaki tanpa takut kecemplung di got atau keserempet motor / mobil.

Di sebuah kota di Jepang, desain wilayah dibuat untuk manusia, memudahkan akses jalan kaki ke semua fasilitas publik seperti pasar, sekolah, kantor. Kota dirancang agar orang berjalan kaki dengan nyaman terutama untuk orang tua dan disabilitas. Penduduknya diberi bekal pedometer- alat mengukur langkah, dan pada target tertentu mereka bisa mengklaim bonus voucher belanja misalnya. Ini sangat bisa dilakukan. Ketimbang memberikan bansos, atau makan gratis buat orang miskin, buat sistem yang memaksa kita semua menjadi sehat. Orang sehat itu pahlawan bagi anggaran belanja negara, terutama belanja kesehatan. Saya boleh bilang sejak terdaftar di BPJS, saya tidak pernah pakai fasilitas itu. Harusnya negara mengapresiasi saya yang tidak membebani anggaran ahai.

Desain wilayah yang dirancang untuk memaksa penduduk jalan kaki itu termasuk juga soal transportasi massal. Buat saya kota yang beradab ya kota yang peduli pada kesehatan warganya, pada transportasi massalnya.

  • Pairing teknologi  – diusung 01

Ide pairing teknologi yang diusung 01 lebih riil daripada sekedar transformasi teknologi ide 03. Pairing teknologi ini seperti mencontoh Cina yang “memaksa” perusahaan swasta asing untuk membuka akses belajar buat tenaga kerja lokal. Dengan begitu, alih teknologi menjadi nyata, bukan sekedar membukakan akses buat investasi, tapi timbal baliknya adalah teknologi yang bisa dipelajari, dan dikembangkan sesuai kebutuhan lokal.

  • Mengirim 10.000 anak Indonesia belajar di luar negeri – diusung 02

And then what? Itu yang muncul di kepala saya. Dengan program beasiswa yang sudah ada, apa sudah ada ukuran keberhasilannya? Apakah anak-anak Indonesia yang dibiayai pajak rakyat itu kembali untuk berbakti pada rakyat?

Tentu tidak cukup sekedar mengirim orang sekolah lalu kembali ke Indonesia tapi tidak ada akses untuk pengembangannya karena lagi-lagi teknologinya masih dikuasai asing. Kenapa tidak menciptakan Silicon Valley di banyak kota / wilayah di Indonesia? Pusat-pusat pengembangan teknologi, bukan sekedar infrastruktur tapi juga support kebijakan, finansial, manusianya.

  • Kementerian Kebudayaan, diusung 01, diamini 02

Sejak debat kedua, 01 sudah mengungkapkan strategi kebudayaan yang menurut saya mirip-mirip yang dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan melalui K-Wave nya. Betul, pemerintah tidak cukup dengan memfasilitasi kebijakan, tapi tidak pernah strategis dan seserius Korea Selatan menjadikan kebudayaan sebagai komoditas yang menyokong pendapatan negara. Konsekuensi budaya sebagai komoditas tentu saja besar tapi sangat mungkin dilakukan, kalau serius ya.

Debat semalam, keseriusan strategi budaya diungkapkan 01 dengan ide membuat Kementerian Kebudayaan tersendiri yang 02 janji bakal mewujudkannya juga kalau terpilih. Semoga bisa seserius itu.

Saya kok merasa 01 ini didukung oleh tim yang rasanya paham betul tentang Asia Timur, gimana berkomunikasi ala Kpopers, bagaimana melihat strategi yang dilakukan Cina jadi sekali lagi saya sih tidak percaya dalam politik ada dukungan yang terjadi secara organic hahaha. Everything is political, babe.

  • Memberi makan gratis – diusung 02

Negara bukan lembaga donasi bapak. Negara harus berpikir strategis bagaimana mencegah stunting dan memperbaiki gizi anak negeri yang katanya harus jadi cemerlang di Indonesia emas 2045. Mau sampai kapan negara sanggup memberi makan orang miskin? Ini seperti kejumawaan orang kaya yang merasa bakal masuk surga hanya karena memberi makan orang miskin.

Kerena kemiskinan yang terjadi struktural, maka yang harus dilakukan juga adalah mengubah struktur yang memiskinkan rakyat. Pastikan lingkungan alam mereka sehat, supaya mereka bisa bekerja dengan tenang. Mengembangkan pangan lokal agar gizi buruk teratasi bukan dengan mengirim mie instan atau susu formula ke desa-desa.

  • Kekerasan Seksual – diusung 01

Sejujurnya saya kecewa karena debat semalam hanya 01 yang bicara soal kekerasan seksual dan bagaimana hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan semua paslon. Tapi strategi apa yang dilakukan oleh 01 juga tidak sepenuhnya jelas dan tegas. Kalau melihat nilai dari PKS, bahwa semua kembali ke keluarga dalam artian menjadi tanggungjawab perempuan, saya tidak sepakat.

Kekerasan adalah masalah sistemik, bagaimana secara struktural negara hadir dengan sistem peradilan yang baik untuk pencegahan dan pengananan kasus kekerasan seksual. Bagaimana perempuan bisa mendapatkan akses tanpa penghakiman dalam hukum, kesehatan fisik dan psikis pasca kasus.

Dan dikaitkan dengan internet gratis yang diusung 03, isu kekerasan berbasis gender online, harus masuk dalam agenda. Begitu internet masuk ke pelosok, risiko KBGO semakin besar yang akan dialami perempuan dan remaja, lalu bagaimana 03 punya strategi untuk ini? zonk… belum dibahas sama sekali.

Selamat mencoblos kawan-kawan, semoga ocehan ini membantumu menentukan pilihan. Kalau tidak, coba kembali pada Tuhan lewat shalat istikharah. Belakangan saya menemukan bagaimana Tuhan hanya dihadirkan ketika manusia kehilangan jawaban.

Kalau Pacarmu Seorang Feminis. My Crazy Feminist Girlfriend – Min Ji hyoung

Standar
Kalau Pacarmu Seorang Feminis. My Crazy Feminist Girlfriend – Min Ji hyoung

Buku ini ditulis menggunakan perspektif laki-laki yang bertemu kembali dengan mantan pacar empat tahun lalu. Pertemuan terjadi saat perempuan itu sedang ikut demo gerakan feminis yang di Korea Selatan disebut Megalia. Buku ini ditulis sangat apik, karena penulisnya juga penulis skenario yang membuat setiap adegan terlihat jelas dalam imajinasi, termasuk adegan pertemuan mereka. Mata mereka bertemu, tetapi perempuan itu menggunakan masker hitam, jadi yang terlihat hanya bagian mata. Si perempuan itu menghampiri lelaki, yang lari tunggang langgang karena takut.

Gerakan feminis di Korea Selatan memang menghadapi tantangan berat dari kelompok laki-laki yang merasa nyaman dengan patriarki. Dalam percakapan lelaki ini dengan kelompok temannya, Megalia dianggap sekelompok perempuan aneh yang ingin menjungkirbalik dunia dan membuat lelaki seperti sebuah ancaman bagi kehidupan perempuan.

Maka ketika lelaki ini bertemu kembali dengan perempuan itu, bukan sekedar urusan cinta yang tumbuh kembali, tapi sebuah tantangan. Lelaki ini merasa tertantang untuk mengembalikan perempuan itu ke kehidupan sebelum perempuan itu mengenal feminisme. Percakapan keseharian yang umum terjadi digambarkan dengan detail oleh si penulis. Seperti lelaki ini merasa perlu bertanggungjawab untuk melindungi si perempuan, dan bahkan memaksa menikah agar si perempuan tidak perlu lagi bekerja. Si perempuan dalam harapan dia dan juga lelaki pada umumnya adalah tinggal di rumah, mengurusi urusan rumah tangga dan melayani suami.

Tidak, perempuan itu feminis. Yang dibicarakannya adalah tentang bagaimana menindak tegas pelaku kekerasan dan pelecehan seksual, melegalkan aborsi, kesempatan yang setara dalam dunia kerja. Perempuan itu mampu menghidupi dirinya sendiri dan punya mimpi yang tinggi. Dia tidak feminine, dengan rambut pendek, tidak suka berdandan, selalu dengan kaos bernada feminisme dan jeans. Lelaki ini tidak berani mengenalkan perempuan itu pada teman-temannya apalagi pada keluarganya, sampai pada suatu ketika…. Saya sebaiknya berhenti di sini.

Bagaimana akhir hubungan mereka? baca sendiri dong.

Membahas feminisme biasanya dengan kepala tegang, situasi julid, tetapi ternyata belajar feminisme bisa seringan buku yang ditulis  Min Ji hyoung. Saya bisa tertawa-tawa geli membaca sejumlah cerita yang sangat relevan dalam keseharian, tanpa merasa digurui oleh penulis yang pintar.  Mestinya memang feminisme bisa sangat mudah dicerna karena bukan wacana mengawang-awang seperti sosialisme, marxisme, demokrasi dan lain-lain. Sesederhana kamu gerah dan terganggu melihat ketidakadilan yang terjadi bagi perempuan hanya karena dia perempuan, atau laki-laki yang tidak mendapat ruang berekspresi karena diharuskan tampil kuat oleh patriarki, atau kawan-kawan non biner yang selalu mengalami diskriminasi.

Saya seorang feminis dan tidak merasa perlu menyembunyikannya karena khawatir reaksi pembaca. Buat saya feminisme adalah cara pandang kita membedah kondisi ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Feminisme bukan sekedar urusan perempuan, tapi kesetaraan bagi semua, termasuk laki-laki dan non biner, dan tidak tinggal diam ketika kekerasan berbasis gender terjadi di depan mata, tidak diam ketika upah tidak setara untuk pekerjaan yang sama, tidak diam ketika perempuan harus mengemban beban ganda di rumah dan kerja.

Memahami Cina Sepenuhnya Dalam The New China Playbook bersama Keyu Jin

Standar
Memahami Cina Sepenuhnya Dalam The New China Playbook bersama Keyu Jin

‘China never exports their ideology or culture, they let them look for it,’ Henry Kessinger.

Keyu Jin menjelaskan bagaimana Cina sebaiknya dipelajari secara utuh. Cina tidak percaya bahwa untuk kesejahteraan tercapai sebuah negara demokratis harus lebih demokrasi, atau kebebasan pasar yang justru gagal ketika semakin dibebaskan.

Buat Cina, kekayaan tidak boleh dinikmati hanya oleh segelintir kelompok. Ketika perusahaan dibebaskan, investasi dibuka dan starts up didukung penuh, ada yang harus tetap dipatuhi, patuh hukum, memerhatikan kebutuhan dan kepuasan pelanggan dan masyarakat umum, satu lagi syarat muncul belakangan, tidak merusak lingkungan. Toleransi nol buat korupsi. Bagi Cina kestabilan politik dan sosial juga adalah modal ekonomi yang penting.

Ini yang tidak ada dalam cara kerja kapitalisme yang dikuasai oleh sekelompok pengusaha yang dibengkingi penguasa sehingga aturan-aturan ekonomi dibuat untuk memenuhi kepentingan mereka atas nama pasar.

Yang menarik, Cina mengharuskan adanya transfer ilmu, pengetahuan dan keterampilan. Meniru adalah bagian dari proses belajar, mengadaptasi dan mengembangkannya justru yang menjadi kelebihan Cina. Beberapa perusahaan Cina sukses di negara yang dekat dengan Amerika karena mereka mempelajari budaya lokal dan mengadaptasinya dalam bisnis. Tidak seperti Barat yang memaksa negara lain berkiblat padanya.

Bagaimana Cina kemudian membuat kota-kota satelit mereka menjadi silicon valey yang melahirkan ahli-ahli IT baru di sana juga dibahas dalam buku ini. Setiap daerah dibuat berkompetisi satu sama lain dalam pendapatan daerah dan pemimpin yang berhasil bisa naik posisi di kepengurusan Partai Komunis di pusat.

Tentang penulisnya, Keyu Jin, dia jadi idola baru saya. Gaya bahasanya yang ringan, berisi dan humoris. Belajar semenyenangkan itu. Barangkali ini adalah buku yang paling berkesan buat saya sepanjang 2023 kemarin.

Tulisan ini pengembangan dari postingan di IG 9 Desember 2023 (baca di sini: https://shorturl.at/giwz8 )

Jawabannya Ada di Perpustakaan. Review What you Are Looking For Is In the Library – Michiko Aoyama

Standar
Jawabannya Ada di Perpustakaan. Review What you Are Looking For Is In the Library – Michiko Aoyama

Buku itu memang barang ajaib yang bisa memberikanmu inspirasi dalam menjawab persoalan yang sedang kamu hadapi. Berbeda dengan google yang memberikanmu banyak pilihan jawaban, dalam buku, kekuatan memberikan jawaban sebenarnya bukan terletak pada jawaban benar atau salah yang diberikan. Kekuatan itu ada pada kemampuan si pembaca dalam menerjemahkan bacaan. Jadi dampak yang dihasilkan oleh buku tentu akan berbeda pada setiap pembacanya.

Semisal dalam buku ini, bagaimana seorang pramuniaga mengalami kebosanan dalam kehidupannnya dan pekerjaannya lalu direkomendasikan buku tentang kue oleh librarian di perpustakaan milik komunitas. Iseng, dia baca buku itu dan mempraktikkan resep di dalamnya, hidupnya tak lagi membosankan karena kemudian dia menikmati proses membuat kue tersebut.

Atau ketika seorang laki-laki pensiunan setelah 35 tahun bekerja di perusahaannya mendapati hidupnya kosong, teralienasi dari kehidupan sosial. Padahal kehidupan sosial itu tidak ditentukan oleh pekerjaan dan status sosial, sesederhana interaksi dia dengan orang lain adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat. Lagi-lagi librarian itu memberikan rekomendasi buku yang tidak terduga, sebuah buku puisi. Justru buku itu yang kemudian mampu menjembatani hubungannya kembali dengan anak perempuannya yang selama ini terpisah karena kesibukan si lelaki itu bekerja. Buku puisi itu menjadi bahan percakapan dengan anak perempuannya secara mendalam dan berarti. Kehidupannya tak lagi sepi.

Dan tiga cerita dari orang-orang yang menemukan jawaban dari buku yang dibacanya. Buku-buku sesederhana cerita anak, buku puisi, buku tentang Evolusi karya Darwin ternyata mampu mengubah cara pandang orang tentang dirinya dan dunia sekitar. Buku-buku rekomendasi dari librarian berkulit pucat yang senang merajut di balik meja kerjanya. Dia membaca apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang yang sedang linglung mencari rekomendasi buku untuk menjawab masalahnya. Orang itu seringkali salah menebak akar masalah, sehingga salah memberikan jawaban yang sesungguhnya dibutuhkan.

Ada istilah buku yang menghangatkan hati, a warm-hearted book, maka buku ini salah satunya. Mungkin karena saya juga berkali-kali diselamatkan oleh buku dan terinspirasi oleh buku, maka saya merasa dekat dengan cerita di dalamnya. Salah satunya ya yang sedang kamu baca ini. “Kita perlu buku bagus sebanyak mungkin di dunia ini,” kata salah satu tokoh di dalamnya, dan saya merasa tertampar. Saya rasa review buku-buku yang selama ini saya lakukan adalah sudah benar, karena kamu perlu membaca buku-buku bagus. Kalau bagus saya akan bilang bagus, kalau jelek, menurut saya, ya jelek. Tadinya saya mau bilang kalau jelek tidak saya review, tapi ada banyak sekali buku yang belum sempat saya review, bukan karena tidak bagus, tapi saya belum sempat menulisnya. Tahun ini harus lebih rajin, demi kamu.

Catatan: saya tetap gunakan kata librarian dan bukan pustakawan / pustakawati, karena profesi ini tidak perlu berkelamin.

Selamat Datang di 2024

Standar
Selamat Datang di 2024

Seperti tahun-tahun pascapandemi kemarin, saya tidak lagi membuat visualisasi mimpi. Bukan berarti saya berhenti bermimpi, hanya tidak ingin hidup dikejar-kejar mimpi dan cita-cita. Pascapandemi hidup adalah bonus, dan bagaimana saya menikmati bonus hidup dan memanfaatkannya untuk orang lain, itu saja. Seperti payback, memberikan kembali yang saya nikmati selama ini, dan tak lagi muluk bermimpi.

Di 2024, seperti kemarin, saya ingin menikmati kejutan-kejutan hidup dan keputusan-keputusan spontan tanpa rencana, seperti ketika membangun rumah pisang, atau saat mendaftarkan diri kuliah lagi. Ketika ternyata uang saya tidak cukup untuk membayar semesteran, daripada mengambil utang, saya pilih cuti. Ya sudah, kalau ada dilanjut, kalau tidak ya berhenti saja dulu.

Saya ingin mencoba rutin lagi menulis review buku di tahun ini karena sebenarnya blog ini diperuntukkan buat saya mengingat dan menerjemahkan ulang apa yang saya baca. It is not about the book, it is about how you read it that holds power. Setiap buku punya dampak berbeda ada pembacanya, dan dunia butuh buku bagus, pembaca yang tekun, dan waktu yang melambat, itu yang akan saya coba konsisten lakukan tahun ini lewat blog ini. Saya tahu pembaca review buku di blog ini lebih banyak daripada baca postingan curhat macam ini.

Jadi mari kita menulis lagi, membaca lagi. Jika ada buku yang kamu ingin saya review, jangan sungkan kirim email ke nroshita78@gmail.com

Selamat tahun baru 2024. Semoga tahun ini penuh berkah, penuh cinta.

Keluarga, Storytelling dan Kerja Keras. Review buku Beyond the Story – 10 years of BTS – Kang Myeongseok

Standar
Keluarga, Storytelling dan Kerja Keras. Review buku Beyond the Story – 10 years of BTS – Kang Myeongseok

“If God indeed existed, clearly BTS were blessed onstage – or more precisely, through determination and effort, they had flown as high as they could fly and touched the face of the divine”- Kang Myeongseok

Myeongseok memberikan pernyataan ini setelah performa BTS di Grammy 2022 untuk lagu Butter. Ketika itu BTS mengombinasikan teater Broadway style dengan tema pencurian di galeri seni, seperti dalam cerita Mission Impossible dengan lagu Butter. Jin berperan sebagai mata-mata yang duduk di meja monitor, pasca operasi jari, dan enam member lain bergerak menghindari laser, lalu jaket mereka saling tertautan. Kesalahan kecil sangat mungkin terjadi, apalagi mereka latihan hanya satu hari sebelum penampilan. Tonton di sini https://www.youtube.com/watch?v=HbkBVxU5K5A

Myeongseok menjahit percakapan dengan anggota BTS dengan sangat baik, dan penerjemah bahasa Inggris menuliskannya ulang dengan bahasa yang mudah dipahami, kecuali ada beberapa kesalahan penulisan dan grammar. Tetapi seperti juga living document, penulisannya jadi terkesan buru-buru dan loncat di beberapa bagian. Saya rasa wajar saja. Buku ini harusnya terbit di 2019, tetapi keburu pandemic lalu selama dan setelah pandemic, banyak hal yang terjadi pada BTS dengan sangat cepat. Saya bisa membayangkan kewalahannya penulis menjahit informasi terbaru dengan yang sebelumnya telah dikumpulkan.

Di beberapa bab awal, Myeongseok memasukkan opininya, deskripsi subyektifnya dapat dan justru itu yang menarik. Saya ingin meminjam mata penulis ketika dia berhadapan dengan member BTS, bagaimana bahasa tubuhnya, reaksi wajahnya. Penulis melakukan hal tersebut di bab awal ketika penulis menggambarkan bagaimana Suga yang tidak pernah meninggikan suara tiba-tiba terdengar emosional saat menceritakan momen dia menulis tangan 300 pesan untuk ARMY. Suga merasa hal tersebut adalah terbaik yang bisa dia lakukan untuk berterimakasih kepada ARMY yang ada mendukung mereka. Selanjutnya di bab tengah, mulai meloncat dan hanya menjahit percakapan. Di bab terakhir, penulis terbaca sangat haru dan semangat menceritakan kesuksesan BTS sebagai Artist of the Year di American Music Award dan juga penampilan di Grammy. Saya sepakat dengan opininya, bahwa inilah momen terbesar dalam sejarah musik dunia, bagaimana BTS, 7 anak muda Korea menguasai pasar industri musik Amerika. Politis ya.

Tentu saja sukses terjadi setelah perjuangan berdarah-darah, keringat dan air mata, – Blood, Sweat and Tears, 10 tahun BTS. Seperti apa sih perjuangan mereka? Sebesar keputusasaan Suga yang mempertanyakan Tuhan ada dimana sampai tak ada satupun yang menghargai kerja mereka, dan begitu banyaknya haters yang menghujat mereka. V merangkumnya dengan halus, jika BTS masih bertahan hingga hari ini, itu hanya karena ARMY percaya pada mereka.

Pertanyaan umum yang selalu saya terima adalah, apa sih yang membuat kalian – ARMY, segitunya sama BTS? Jawabannya ada di buku ini, tapi yang perlu digarisbawahi, BTS adalah grup mendengarkan ARMY.  Setiap album dikemas dengan cara bercerita, storytelling yang mengalir mulai dari intro sampai outro yang mengantarkan ke album berikutnya. Trilogi pertama BTS bercerita tentang perjuangan mereka mulai dari nol di BIG HIT, perusahaan rekaman yang nyaris bangkrut itu. Tidur berhimpitan dalam satu kamar dengan satu kamar mandi, di studio latihan tari yang lembab dan studio rekaman di garasi. Cerita bagaimana mereka merasa sendirian dalam bertumbuh di lingkaran industri Kpop karena tidak punya relasi – yongo dalam bahasa Korea, karena bagi 7 anggota BTS ini adalah kali pertama mereka menjadi trainee.

Trilogi kedua BTS tumbuh tidak hanya melihat pada cerita yang terjadi di dalam grup tapi juga anak muda di sekitar mereka, terutama ARMY dan tentang bagaimana secara pribadi mereka menghadapi perubahan secara mental. Pada trilogy kedua ini BTS menjadi representasi anak muda, bukan sekedar urusan cinta antara pribadi, bukan fantasi ideal seperti layaknya muncul di Kpop, tapi yang mereka ceritakan adalah tentang realitas anak muda yang ditekan oleh harapan-harapan sosial, perjuangan untuk didengar dan sekedar ada.

BTS membangun relasi personal dengan ARMY melalui lirik lagu, video siaran langsung maupun rekaman. Setiap kali mereka mendapatkan penghargaan, ARMY lah yang diteriakan pertama kali, bahkan sebelum Bang PD dan Big Hit.

Storytelling dalam setiap lirik dan album yang disampaikan lewat marketing dan promosi adalah kuncian dalam bisnis yang patut dicatat khusus. Selain juga bagaimana membangun ekosistem dalam marketing dan komunikasi yang tidak mainstream. Pada trilogy pertama, BTS sama sekali tidak ada dalam media mainstream, mereka membuat sendiri ekosistem markom. Reality Show tidak mengundang BTS, maka BTS membuat sendiri RUN BTS, tidak ada media mewawancara mereka, maka mereka buat sendiri V-Live sekarang Weverse Live, ada Vlog dalam setiap kesempatan. Jin mempertahankan personanya sebagai penyuka makanan dan tukang masak lewat EatJin dan di setiap Live-nya. Jhope dengan vlog latihan tarinya. BTS memanfaatkan semua channel komunikasi di media sosial untuk dekat dengan ARMY dan tentu saja untuk mempromosikan album mereka.

Salah satu yang juga didengar BTS dari ARMY adalah tentang kritikan terhadap trilogi pertama yang dianggap kurang sensitif gender. BTS mengakui hal tersebut (di sebuah wawancara RM bahkan meminta maaf untuk hal itu), mereka belajar dan secara sistemik melakukan perubahan. Semua idol dalam manajemen Hybe harus melalui pelatihan sensitif gender sebelum mereka debut. Keren banget.

Bang Si-Hyuk, sebagai produser juga sangat menarik disorot. Sebagai pemimpin, dia memberikan kepercayaan penuh pada kreativitas BTS dalam bermusik. Kalau Kpop lain menjalankan apa yang sudah dibuat manajemen, BTS menciptakan karyanya sendiri, mulai dari lirik, melodi, sampai pada musik video yang dibuat. Bang PD hanya berpesan agar mereka “sincere” atau tulus dalam berkarya, bukan karena terpaksa. Ketika Big Hit menjadi perusahaan besar yang bernama Hybe, mereka tidak lagi jadi marginal, tapi mainstream, termasuk menguasai ekosistem industri Kpop, BTS tetaplah BTS yang rendah hati.

Buku ini menceritakan bagaimana setiap anggotanya justru mempertanyakan sendiri apakah mereka pantas se-sukses ini? Di awal mimpi mereka adalah debut, setelah itu mendapatkan penghargaan atas kerja keras mereka (pertama kali di 2016), lalu secara beruntun penghargaan terus diterima. Pada akhirnya sukses itu menjadi beban pribadi untuk selalu tampil sempurna. Tapi di akhir buku, Jhope menutupnya bahwa mereka hanya ingin tampil sempurna untuk ARMY, bukan lagi untuk piala dan penghargaan. Kebahagiaan ARMY adalah ultimate happiness for BTS.

Bagian akhir buku ini memberikan kesan pribadi buat saya. Jhope bilang, kunci mereka bertahan selama 10 tahun adalah karena mereka menemukan keluarga baru di BTS dan itu membuat saya melayang. Sebelum membaca buku ini, saya membuat esai tentang BTS sebagai keluarga dalam pemahaman konfusiasme, dan apa yang disebut Jhope adalah pengukuhan dari analisis yang saya buat. Gimana ga melayang coba, wuiiiih…. I did it tanpa wawancara Jhope, ooh how I wish.

Anyway, saya tidak mau jadi spoiler terlalu banyak. Silakan membaca buku ini, yang ditujukan bukan cuma buat ARMY bernostalgia dan merembes mili atas perjuangan mereka. Buat saya buku ini layak dibaca untuk semua, yang bekerja di bidang development maupun bisnis, bagaimana ekosistem dibangun, storytelling menjadi penting dan leadership yang baik seperti Bang PD pada BTS.