Sepatu Malam Minggu

Standar

Perempuan itu sibuk mengurai ikat rambutnya yang melintir tak karuan. Dia berdiri persis di tengah lobi studio XXI yang memaksa pasangan melepas gandengan tangan saat melintasinya. Dia bahkan bergeming ketika bahunya terdorong pengunjung yang datang. Beruntung satpam tak mengusilinya untuk pindah posisi ke bangku pengunjung.

“Ikat rambut tali telepon itu sulit sekali diurai sepertinya. Gue ganti yang baru aja neh.” Seorang lelaki berdiri di samping perempuan itu sambil menjulurkan bungkusan plastic transparan berisi ikat rambut berwarna pink.

Perempuan itu lagi-lagi bergeming, dia hanya melirik sepatu lelaki itu. Sepatu casual berbahan kanvas warna merah marun dann bercelana pendek. Pergelangan kaki sampai ke betis lelaki itu membuat hati perempuan itu berdesir. “Kaki yang indah, pergelangan yang sempurna.” Katanya dalam hati sambil tetap khusyu mengurai ikat rambutnya.

“Ini, ambil aja.” Lelaki itu menjejalkan bungkusan ikat rambut ke tangan perempuan tadi lalu buru-buru berlalu.

Perempuan itu menerima dengan gugup dan sebelum sempat mengangkat wajahnya, lelaki itu sudah menghilang di balik belasan pasangan yang datang memadati lobi bioskop. Dia tak sempat menangkap rupa lelaki itu, tapi dia mengingat dengan baik bentuk betis dan pergelangan kaki yang telapaknya dibalut sepatu kanvas merah marun. Oh iya, dia juga ingat celana pendek sedengkul berwarna khaki yang dipakai lelaki itu, selebihnya tak ada.

Malam minggu, malam yang ditunggu mereka yang berkasih. Memang tak ada consensus bersama yang mengatakan pacaran harus dilakukan di malam Minggu. Tapi begitulah yang terjadi entah sejak kapan, mereka yang saling mencinta meluangkan waktu untuk bersama menonton bioskop di Sabtu malam. Itulah pula yang membuat semua harga hiburan berbeda di Sabtu Malam, termasuk tiket bioskop. Tapi siapa peduli, namanya juga cinta, keluar sedikit uang tak mengapa.

Harusnya perempuan itu pun bertemu dengan kekasihnya malam ini untuk menonton film paling baru yang ditayangkan di bioskop. Selalu begitu di malam Minggu, dengan jadwal di awali dengan makan malam bersama, menonton film lalu pulang ke rumah, sesekali kekasihnya menginap. Tapi dalam beberapa malam Minggu terakhir, dia merasa hambar. Makan malam tak lagi dipenuhi dengan gelak tawa tapi dia dan kekasihnya sibuk dengan telepon pintar masing-masing.

Di seberang meja makan, dia menangkap kekasihnya bersemu membaca sebuah pesan entah dalam bentuk sms, blackberry message, mentioned di twitter atau entahlah…. Hatinya bilang, cuma cinta yang bisa membuat orang bersemu seperti itu. Lelaki tak beda dengan perempuan dalam soal cinta yang bisa membuat pipi mereka memerah tanpa kendali. Hatinya berdesir.

Empat tahun lalu, perempuan itu jatuh cinta pada kekasihnya karena betisnya. Pada sebuah pertandingan futsal persahabatan antar universitas yang berlangsung di kampusnya. Dia tak suka menonton bola, dia hanya datang menemani sahabatnya si penggila sepakbola. Sepanjang pertandingan perempuan itu hanya memandangi betis setiap pemain, sampai dia terpaku pada satu betis, milik lelaki yang kemudian dipacarinya selama empat tahun terakhir.

Saban malam minggu, dia dan kekasihnya tak pernah absen pergi ke bioskop. Kekasihnya akan menjemput dia dengan motor tuanya dan perempuan itu akan memeluk erat-erat punggung kekasihnya. Meletakkan telapak tangannya di dada si lelaki sambil berdoa semoga debar jantung lelaki itu tetap miliknya. Menciumi bau lelaki itu dan menyimpannya erat-erat di dalam kepala agar tak lupa. Dia merekam semua hal tentang lelaki itu, lekuk wajahnya, bau badannya, sampai suara langkahnya. Saat dia merasa tahu segala hal tentang kekasihnya, ternyata dia sama sekali tak kenal kekasihnya.

Malam minggu ini, perempuan itu dibuat menunggu berjam-jam di bioskop yang sama yang mereka kunjungi selama empat tahun terakhir. Dia sudah mati gaya. Semua sudut mal sudah dia jelajahi untuk membunuh waktu sambil menunggu kabar. Tak ada balasan bbm pun telepon balik dari kekasihnya.

Persis ketika dia memutuskan untuk menonton sendiri film malam ini, sebuah pesan tiba dari kekasihnya, bahwa cinta sudah selesai, dia tak bisa menjalani sesuatu yang sudah hilang. Kepalanya mendadak gagal, dia menggaruk tanpa hasil. Dia menarik paksa ikat rambutnya yang membuat ikat itu kusut. Dia keluar garis antrian dan sibuk mengurai ikat rambutnya sampai lelaki itu menghampiri dan memaksanya menerima ikat rambut berwarna pink dalam bungkusan plastic transparan. Lelaki bersepatu kanvas berwarna marun dengan pergelangan kaki dan betis yang sempurna. Hatinya berdesir.

Perempuan itu keluar lobi bioskop dengan mata yang terus membaca kaki semua orang, mencari lelaki dengan cirri yang diingatnya. Sekali lagi dia mengelilingi setiap sudut mal ini sambil terus menunduk, bahunya sakit karena terus bertabrakan dengan pengunjung lain, kupingnya panas dimaki orang yang merasa terganggu dengan aksinya. Perempuan itu tak peduli, dia hanya merasa perlu mencari lelaki dengan betis yang membuatnya berdesir.

Perempuan itu berhenti di sebuah taman yang dibangun untuk melengkapi mal ini. Dalam jarak lima puluh meter, dia menangkap warna marun dari sepatu kanvas yang membalut kaki dan menyisakan sedikit saja pergelangan kaki yang mengintip. Tapi dia takkan pernah salah menilai betis yang betulnya sempurna itu, betis yang kencang dan membulat karena banyak dilatih dengan mengayuh sepeda atau berlari. Lelaki itu duduk sendiri di bangku taman sambil meremas kedua telapak tangannya sendiri dengan gelisah.

Dengan ragu, perempuan itu menghampiri dan duduk di samping lelaki itu sambil terus menunduk. Dia menyodorkan kembali bungkusan plastic berisi ikat rambut berwarna pink itu.

“Maaf, saya tidak bisa menerima ini. Neh saya kembalikan.”

Lelaki itu terkejut dan menoleh ke arah perempuan yang sekarang duduk di sebelah kanannya. Dia tak menyambut plastic yang disodorkan perempuan itu.

“Baiklah kalau lu ga mau, ya buang aja.”

“Saya tidak bisa membuangnya karena ini milikmu.”

“Bukan. Milik orang lain.”

“Kalau gitu, kembalikan pada yang punya. Ini.” Perempuan itu menyodorkan lagi plastic itu

“Percuma. Gue udah ga kenal sama yang punya.”

“Berarti tadinya kenal? Maaf. Harusnya ga ikut campur.” Perempuan itu menarik bungkusan ke pangkuannya.

“Ga papa. Kita ga saling kenal jadi ga ada ruginya gue cerita. Bercerita sama orang yang ga kita kenal itu lebih menyenangkan daripada dengan sahabat yang suka sok tahu memberikan nasihat ga penting.”

“Kalau tidak mau cerita, tidak apa. Saya permisi.” Perempuan itu berdiri, sampai saat itu pun dia tak berani memandang pemilik betis indah yang membuat hatinya berdesir itu.

“Mau kemana?”

“Pulang.”

“Ga jadi nonton?”

“Ngga.”

“Gue mau cerita, masa lu pulang. Duduk sini deh sebentar, masih punya waktu kan?” lelaki itu menepuk bangku kayu di sebelahnya. Perempuan itu menurut.

“Tadinya ikat rambut itu buat cewe gue. Sesekali pengen romantis sama dia, karena belakangan dia selalu bilang pacaran sama gue seperti pacaran sama batu, lempeng, ga ada inisiatif, ga ada spontanitas bla bla bla… lu tahu lah, perempuan,” lelaki itu melirik sebelahnya sebelum meneruskan cerita. “Ga ngerti apa yang bikin dia uring-uringan begitu, gue pikir karena mau menstruasi aja. Tapi ternyata berlanjut. Jadi hari ini gue mau belajar jadi cowo romantis, pergilah gue ke toko beli ikat rambut. Menurut lu romantis ga?”

Perempuan itu tidak menyahut, dia cuma menunduk. Tak sekali pun menatap lelaki yang begitu semangat bercerita di sebelahnya. Perempuan itu mencuri waktu menutup mata dan mencium dalam-dalam bau badan lelaki itu lalu merekamnya.

“Anyway, begitu keluar toko, cewe gue sms, dia bilang putus. Sumpah, gue ga ngerti alasannya apa. Gue telepon ga dijawab, gue sms ga dibalas. Salah gue dimana? Tadinya gue mau nonton bioskop sendiri, tapi berasa bego. Rasanya kosong. Kalau gue tahu alasannya, gue pasti bisa berdebat, kalau beneran gue salah, gue punya kesempatan minta maaf. Ya sudah lah. Begitu gue mau cabut, gue liat lu lebih linglung dari gue. Ngelempengin iket rambut begitu aja ga kelar-kelar. Makanya gue kasih tuh ikat rambut baru. Begitulah. Nah lu kok bisa nemu gue di sini?”

“Saya cuma ingat sepatumu, mencarimu untuk mengembalikan ini.” Lagi-lagi perempuan itu menyodorkan plastic berisi ikat rambut pink.

“Buat lu aja. kan lu udah tahu ceritanya, jadi buat apa gue simpen. Mau cerita kenapa lu linglung di bioskop tadi?”

“Sama. Diputusin pacar tanpa alasan.”

“Kok bisa?”

“Ya ga tahu.”

“Hey, kenalan yuk. Sepertinya asik ngobrol sama cewe kayak lu, aneh.”

Perempuan itu tertawa ringan saja.

“Karena kamu dan saya nyaman bercerita dengan orang asing. Mari tetap menjadi asing. Tak usah menyebut nama. Saya selalu ada Sabtu malam di bioskop yang sama jam setengah tujuh malam. Jadi kalau mau cerita, temui saya di sana”  

Perempuan itu berdiri dan meninggalkan lelaki dengan betis indah itu yang terpaku bingung dan mulut menganga tanpa kata.

 

Cihampelas Walk 20 April 2013

 

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s