Sudah dua tahun sejak dari Pulau Bintan, saya merindu laut. Angin yang berdesir, ujung ombak menjilati kaki dan lengketnya pasir putih, suara camar dan pandangan lepas cakrawala tanpa batas. Saya merasa bebas bersama lautan lepas. Meski mencintai gunung, lalu selalu bisa membawa jiwa saya hanyut bersamanya.
Perjumpaan saya dengan laut terjadi di Demak – Pantai Utara Pulau Jawa, tak cantik tapi boleh lah, 17 Maret 2013.
Perjumpaan berikutnya di tepian Pasifik, ujung utara pulau Biak, 13 April 2013
Saya baru tahu Pulau Biak Papua ini cuma 9 jam terbang ke Honolulu, Hawaii. Sayang penerbangan internasional itu terhenti 2003 karena krisis ekonomi dunia dan kondisi politik Papua yang tak menentu. Industri wisata Biak mati suri.
Pantai Bosnik, saya pikir namanya Botsnic seperti Rusia, ternyata bukan. Pantai ini berdekatan dengan kepulauan Padaido, surganya terumbu karang di Papua selain Raja Ampat. Sampai 2003 ada hotel bintang 5 yang sekarang cuma jadi bangunan kosong dan penuh hantu – kata orang-orang sini. Sekarang turis lokal yang menikmatinya. Sayang waktu ke sana 15 April 2013, seorang anak robek kulit jempol kakinya karena beriris pecahan botol bir.
Perjumpaan dengan pantai mana pun selalu bisa mendesirkan kalbu. Seperti terpanggil untuk tenggelam bersamanya. Ada takut tapi lebih banyak rindu.